Pyyaaaarrrr
Bunyi pecahan kaca terdengar keras di salah aatu sudut ruangan. Seorang ayah yang tidak lagi tahu harus berbuat apa pada anak satu satunya itu.
"Antonio Baires!"
"Apa ... Ayah fikir aku tidak tahu kelakuan ayah diluar sana. Apa fikir aku senang dilahirkan di keluarga ini? Aku Tito ... Lebih baik jadi gelandangan dibandingkan terus hidup di rumah ini!"
Gue Antonio Baires, umur gue 18 tahun. Ayah dan ibu gue bercerai sejak umur gue 5 tahun, gue dipaksa milih diantara keduanya.
Dan Anak usia 5 tahun gak bisa di suruh milih antara ibu dan ayahnya, gue ingin kayak orang orang yang keluarganya lengkap, gue mau tinggal bareng nyokap sama bokap. Istilah gaulnya kayak gitu.
Tapi gue juga gak bisa ngapa ngapain, disaat mereka setiap hari bertengkar dan terus bertengkar. Cacian dan makian jadi lalapan yang harus gue denger dan gue telen.
Sampai akhirnya Ayah yang bawa gue pergi, gue gak tahu rasanya kayak apa. Gue udah lupa atau berusaha lupa. Sampe bertahun tahun gue lihat gimana ayah ngebesarin gue, gue lihat gimana borok dan bobroknya bokap gue sendiri. So gue bakal jadi apa nanti? Dan gue masa bodo dengan itu semua.
Malam itu juga gue mutusin buat keluar dari rumah, ya gue habis berantem lagi sama bokap. Lagi. Bukan pertama kalinya gue berantem sama bokap gue, setiap hari gue denger hal yang sama keluar dari mulutnya.
"Mau jadi apa kamu hah?"
"Dasar anak gak berguna!"
"Dasar anak gak tahu diri!"
Itulah yang selelu gue denger dari bokap gue sendiri, Huuh ... Pengen nya sih gue tonjok tuh mulutnya, tapi gue takut kualat, gini gini juga gue tahu diri. Gue gak minta di lahirkan, siapa suruh kawin dan bikin anak tapi gak bisa jadi orang tua yang baik.
Gue pecahin lagi aja kaca jendela gue, biar tahu rasa, tapi percuma saja karena besok paginya Bokap bakal ganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru. No problem, yang gak bisa Bokap gue ganti hanyalah waktu, kasih sayang dan figur ayah yang gue mau.
***
"Apa ... Ayah fikir aku tidak tahu kelakuan ayah diluar sana. Apa fikir aku senang dilahirkan di keluarga ini? Aku Tito ... Lebih baik jadi gelandangan dibandingkan terus hidup di rumah ini!"
"Tito ... Kau mau kemana. Kau fikir kau bisa hidup tanpa yang ayah. Kau fikir kau bisa hidup di jalanan?" Ayah panik lihat gue bawa ransel dan mulai masuk masukin beberapa pakaian gue, buku dan juga yang paling penting dompet dan laptop gue, satu lagi kunci motor kesayangan gue.
"Tito pergi! Tito bakal buktiin sama Ayah kalau Tito bisa hidup tanpa uang dari Ayah, Tito juga bakal jadi orang!"
Gue asal nyebut aja, gue udah kepalang marah sama bokap yang gak bisa nerima apapun dari gue, di matanya gue selalu salah, gak pernah bokap dukung keinginan atau bahkan hobi gue. Emang asem tuh orang!
"Silahkan pergi! Pergi sesuka hatimu Tito, gak usah pulang sekalian!"
"Sabar Yah ... Sabar ...! Tito ... Jangan pergi Nak, apa Tito gak kasian sama Ayah dan Bunda?"
Gue noleh buat lihat wanita yang keliatan kayak malaikat tapi dia lah yang jadi duri di hubungan gue sama bokap. Yes ... Ibu tiri gue.
Hubungan gue sama ibu gue sama aja, sebaik apapun dia perlakuin gue, seenak apa masakan yang dia bikin buat gue. Gue tetep gak suka.
Malam itu juga gue putusin buat pergi, ransel udah nempel di punggung gue, sarung tangan gue juga, dan seperti biasa gue buka penutup si hitam manis punya gue, gue tarik gas sekenceng mungkin, bodo amat mereka denger sampe budeg. Gue ketawa dalam hati. Syukurin.
Dan gue langsung melesat pergi, gue injak gigi 1 biar makin ngegas, gak lupa helm full face gue udah gue cekrekin biar aman. Gak lucu aja gue tiba tiba jatoh dan kepala gue yang batu ini ancur ya kan.
Sampe gak bisa lihat lagi Spidometer motor gue udah di angka 180. Cepet gila kayak biasanya dan gue langsung ke tongkrongan gue.
"Wih ... Tito kita udah dateng nih!"
"Yoiii ... Malem ini gue pegang dia. 50:50!"
"Eh buset, lo mau bikin gue bangkar. Udah pasti Tito yang menang lah ... Gue gak ikutan kalau gitu!"
Gue ketawa aja denger Si Reksa sama di Adit ngbrolin gue sambil nyetandarin motor hitam manis gue yang gak jauh.
Gue bakal lupa segala macam masalah masalah gue kalau udah di tempat ini, tempat tongkrongan gue selama hampir 2 tahun, gue selalu kabur ke tempat ini dimana gak bakal ada yang nanya nanya masalah gue, gue bisa seneng seneng juga di sini, sedikit minum minuman dan juga bebas ngerokok tanpa ada yang larang.
"To ... Lo bawa duit seransel?" celetuk si Reksa.
"Elah ... Lo kayak gak tahu dia aja! Udah langganan dia mah!" timpal si Adit.
Gue cuma senyum doang dan langsung duduk, gue ambil sebungkus rokok dari dalam kantong celana gue dan langsung gue bakar.
"Malam ini siapa lawannya?"
"Si Roni dari Genk Devil!" jawab Reksa.
Gue hanya mangut mangut tanpa bilang apa apa, gue lempar rokok gue yang masih tinggal setengah terus gue injek sampe mampus tuh rokok.
Kawasan ini memang sering di pake buat balapan liar, orang orang yang gak ada kerjaan alias gabut dan pasti bakal taruhan. Mereka rela buat keluarin duit jajan mereka buat balapan ini dan seperti biasa Guelah pemenangnya.
Gue Tito, Yang sering mereka panggil Ijul ... Gue gak tahu nyambungnya dari mana dua nama itu. Tapi katanya Ijul itu kependekan dari begajulan. Argh bodo amat, yang pasti malam ini gue menang lagi. Gue jago balapan motor dan yang penting gue dapet duit dari sana.
"Nih udah di potong pajak sama panitia!"
Reksa ngasih duit hasil menang sama gue, gue ambil semua dan gue kasih dia selempar warna merah. "Buat lo!"
"Wah thanks Jul ... Modal gue balik nih, lumayan buat sarapan pagi di kampus besok. Gue balik duluan ya," katanya lagi sambil ngelengos gitu aja.
Begitu juga dengan Adit, dan teman teman gue yang lainnya. Mereka punya rumah dan tempat pulang. Sampai gue sadar tinggal gue aja yang ditinggal sendirian. Tanpa gue tahu harus pulang kemana lagi, gue juga gak tahu tempat yang disebut rumah itu apa. Gue tarik nafas, dada gue rasanya kok nyesek tapi gue gak tahu kenapa.
.
Gue Tito dan ini kisah gue!
Karena tidak ada tempat untuk pulang, Tito alias Ijul memutuskan mencari tempat yang bisa dia kunjungi. Dan hanya ada satu tempat dimana dia bisa tinggal leluasa. Akhirnya tanpa berfikir lama lama Tito melajukan kendaraan roda dua miliknya, membelah malam yang semakin larut, gelap dan juga kelam seperti masa depan Tito yang belum jelas.
Brak!
Suara pintu terbuka lebar saat dirinya baru saja tiba dan turun dari motornya. Seorang pria berdiri menatapnya tajam.
"Bang ...!" sapanya pelan.
"Masuk!"
Tito mengangguk, segera berjalan mengikuti pria yang dia sebut abang itu. Dia hanya bisa diam seraya terus memperhatikan pria yang berjalan beberapa langkah di depannya.
"Lo kabur dari rumah lagi?" tanya nya saat mereka memasuki sebuah ruangan.
"Iya bang, dan kali ini gue gak akan balik ke rumah itu!"
Pria yang dipanggil abang itu mendengus kasar, lantas mendudukkan dirinya di sofa,
"Kenapa. Padahal keluarga lo orang berada, lo bosa bosan kaya?"
Tito menggelengkan kepalanya, tidak berniat menceritakan kesedihannya. "Enggak Bang!"
Boni tertawa keras, "Kalau lo mau, lo boleh tinggal di sini tapi lo juga harus kerja bareng gue, gue butuh orang!"
"Iya bang, gue mau kerja apa aja dan boleh tinggal di sini sama Bang Boni!"
"Kebetulan gue bakal pergi untuk sementara waktu, jadi lo di sini sampe gue balik."
Tito mengernyit, "Abang mau pergi kemana. Bukannya bisnis abang lagi rame di sini?"
Pria bernama Boni itu tertawa, "Lo gak usah banyak tanya, lo bakal tahu nanti, sekarang lo ke atas, ada kabar kosong bekas adik gue dan lo boleh nempatin sampe adik gue balik nanti."
Tito lagi lagi hanya mengangguk saja dan langsung berjalan ke arah tangga menuju ke lantai dua. Rumah yang kini ditinggalinya lebih cocok di sebut gudang sebab barang barang berantakan dimana mana, juga debu yang sepertinya tidak pernah di bersihkan. Sangat berbeda dengan di rumahnya tapi tidak masalah bagi Tito, karena percuma saja rapi dan bersih juga sedap dipandang seperti rumaah yang dia tinggali bersama sang ayah, tetap tidak membuatnya nyaman dan betah.
Tito merebahkan dirinya dan menatap langit langit kusam, jaraknya lebih pendek jika di bandingkan langit langit rumahnya yang tinggi. Merasa sepi dengan keheningan yang melandanya sampai akhirnya Tito tertidur dengan sendirinya.
***
Motor sport hitam kini melaju kencang menuju sebuah universitas, ya ... Tito saat ini berkuliah jurusan Bisnis, jurusan yang sama sekali tidak dia sukai, dan dia masuk karena ayahnya yang memasukkannya tanpa dia tahu.
Hal itu pula lah yang menjadikan keduanya tidak pernah akur, semua keinginan Tito selalu ditentangnya termasuk memilih jurusan.
"To ... To ... Tito!" sapa Reksa saat pemuda itu baru saja turun dari motor.
Tito menyipitkan kedua mata, "Apaan?"
"Lo di cariin noh," timpal Adit dengan menunjuk ke arah kiri dengan lirikan matanya.
Tito memutarkan pandangan, lirikan Adit baru saja menunjuk ke arah ruangan Dekan. Secepat kilat dia kembali naik ke atas motornya dan menyalakan mesin.
"To ... Mau kemana? Lo gak masuk kelas hari ini?" Reksa menghampirinya dengan bingung.
"Males! Kalian aja ...!"
"Eeh ...?"
Adit menahan Reksa untuk kembali bicara, walaupun dia tidak tahu masalah apa yang membuat Tito pergi setelah tahu ayahnya berada di ruang Dekan sekarang.
Tito melesat, keluar dari kawasan kampus dan berbelok di jalanan sepi belakang kampus, tempat sepi dimana biasanya mahasiswa mahasiswa malas memilih nongkrong dibandingkan belajar.
Orang orang mulai melihat Tito yang menghentikan motor diparkiran, mereka menatap satu sama lain lantas memilih untuk pergi, ataupun memilih melipir dan menundukan kepala menghindari tatapannya.
Tito turun dari motor, berjalan ke arah food court dengan orang orang yang mulai pergi.
"Nasi ayam 1!" serunya pada salah satu penjaga stand makanan.
Tidak peduli tatapan orang orang yang takut padanya, Tito melahap makanan dengan santai, sesekali dia melirik orang orang yang langsung menghindar.
Siapa yang tidak kenal Tito, pemuda ugal ugalan yang terkenal arogan dan begajulan, kasar dan juga sinis. Baik laki laki maupun perempuan takut padanya bahkan hanya dengan tatapannya saja. Dia tidak segan berkelahi, sering kali bermasalah dengan dosen dosen maupun Dekan, sampai tidak ada yang berani lagi padanya.
Bruk!
Seorang pria tersandung kaki meja di depannya sampai dia terkejut dan ayam yang tengah dia gigit terjatuh.
"Maaf ... Maaf maafkan aku To!" ujarnya dengan tergagap gagap.
Tito menatap pria itu dari atas sampai bawah, setelan culun dan norak dengan kaca mata tebalnya. "Lo mau mati?"
Pria berkaca mata tebal itu segera menggelengkan kepalanya. "Enggak ... Enggak To!!"
"Ganti ayam gue ...!"
"I---iya ...!"
Pria itu lari terbirit birit menuju stand penjual nasi ayam, lalu kembali dengan 2 piring nasi ayam dan menyimpannya di atas meja Tito.
"Siapa yang suruh dua?" sentaknya marah.
Alih alih menjawabnya, justru pria itu menundukkan kepalanya.
"Bawa! Lo fikir kerongkongan gue segede gaban lo suruh makan dua piring begini!"
Dengan cepat pria itu mengambil satu piring dan mengembalikannnya lagi.
"Gue gak suruh lo balikin, gue suruh lo bungkus!" teriaknya lagi.
Dan disalah satu kursi di paling ujung, tiga gadis sedang memperhatikannya diam diam. Dan menyenggol lengan seseorang yang menatap ke arah Tito dengan tajam.
"Sila...!?"
"Siapa sih dia. Sok jagoan banget cuma gara gara ayam kaget doang?"
Temannya yang duduk di hadapannya menarik topi yang dikenakan Sila hingga membuat kedua matanya yang tengah menatap tajam Tito terhalang.
"Mending lo mingkem, lo gak tahu dia siapa. Gue kasih tahu ya ... Dia itu Tito alias si Ijul ...!"
"Ijul?"
"Hm ... dia paling berprestasi di sini?" timpal satu temannya di samping.
"Masa iya? Dia ... Berprestasi?"
Dua temannya tertawa pelan, "Gak ada yang bisa ngelawan dia, dia juga tukang mabok, tukang berantem! Banyak deh pokoknya prestasinya!"
Sila tertawa renyah, tidak peduli jika tawanya membuat dua orang temannya was was, "Idih ... Apaan prestasi begituan!"
"Sila ... diem gak Lo!"
Tito mendongkakkan kepalanya saat mendengar suara satu perempuan yang tertawa, menatap tajam ke ujung ruangan dimana Sila yang juga langsung menatapnya.
Dua orang didepannya kini harap harap cemas dan memilih bersiap siap untuk kabur dari sana.
"Jes ... Pergi Jes!"
Jessi bangkit dan menarik Sila, begitupun dengan Merry yang membawa dua tas, tas miliknya sendiri dan milik Sila. Mereka langsung berlari keluar dari food courd itu dan langsung masuk kedalam angkutan umum.
Tito mendengus kasar melihat tiga orang perempuan tidak jelas itu, dan langsung berlalu pergi dengan satu nasi ayam yang telah dia bungkus, dia menghampiri pria culun yang duduk tidak jauh darinya dengan takut, menepuk bahunya keras sampai kaca matanya hampir saja jatuh.
"Lo bayar sekalian punya gue!"
Sila dan kedua temannya kembali masuk ke kelas untuk mengikuti jam mata kuliah dari seorang dosen yang cukup di kenal killer, semua tampak baik baik saja selama satu jam mata kuliah, sampai suara keras terdengar hingga hampir semua mahasiswa menoleh ke luar.
"Jangan di paksa dong, itu namanya ngelanggar hak asasi manusia!"
"Ya ... Tapi ayahmu su___"
"Gue gak peduli, sekalipun presiden yang ngomong. Gue gak mau dan gue gak sudi!"
Dosen killer yang tengah berada di kelas pun ikut keluar, dia melihat Tito dan seorang pegawai administrasi tengah saling ribut.
"Antonio Baires!" sentaknya dengan keras, berjalan ke arah Tito dengan penuh kemarahan.
Semua orang yang kini melihat mereka menjadi harap harap cemas, apa yang akan di lakukan Dosen yang terkenal galak itu pada salah satu mahasiswa tergalak di kampusnya, seluruh kampus tahu bagaimana perangainya Tito. Tidak sedikitpun terlihat ketakutan pada Tito sekalipun dia berhadapan dengan seorang dosen.
"Kau tahu apa hak asasi manusia sementara kau saja tidak berlaku seperti manusia?"
Tito menggeram, "Lo bilang apa Botak?"
"Dasar kurang ajar!"
"Apa ... Lo fikir gue bakal takut? Mau semua dosen turun pun gue jabanin, sini lo ... Atau lo lo semua yang berani ... Sini lo, gak usah pada lihatin doang!" tunjuknya pada mahasiswa lainnya yang hanya berdiri dan menonton keributan diantara ketiganya bak menonton pertunjukan opera sabun.
Tito benar benar tidak mau kalah apalagi mengalah pada dosen maupun petugas yang menyuruhnya menanda tangani sebuah surat yang dia sendiri tidak begitu faham akan isi surat itu. Begitu pula dosen killer yang semakin tersulut oleh amarah Tito.
Sampai Adit dan juga Reksa yang tengah berada di kelasnya berlari ke arah Tito dan menariknya mundur.
"To ... Balik To, ayo kita ke kelas aja!"
Tito mencengkram tangan Adit dan menghempaskannya begitu kuat hingga Adit tersungkur.
"Gak usah ikut campur lo lo pada! Gue gak butuh pembelaan dan gue gak butuh kalian!"
"To ... Nyebut To ... Lo bisa di D.o nanti!!" tambah Reksa.
"Bodo amat! Kalau perlu keluarin gue dari sini sekarang juga, gue bakal seneng keluar dari tempat sialan ini!" ujarnya dengan mengambil tong sampah dan melemparkannya ke arah dimana Dosen dan petugas Administrasi itu berdiri.
Brak!
Hampir saja tong sampah itu mengenai Dosen killer itu, semua orang juga kaget dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi mereka berdua masih beruntung karena ternyata Sila berlari ke arahnya dan mendorong Tito hingga tong sampah terlempar ke sisi lain.
"Lo gila ya! Otak lo konslet?" bentaknya pada Tito yang kini tersungkur, pria itu bangkit dan menatap ke arah Sila dengan tajam, kedua rahangnya semakin mengeras dengan dua bola mata yang memerah.
Cewek ini lagi, dia bukannya yang ngetawain gue di kantin tadi kan, dan sekarang dia nyari gara gara lagi sama gue. Batin Tito.
"Lo gak usah ikut campur!" sentaknya pada Sila. "Lo cari gara gara sama gue!"
Sila berdecih, dia tidak suka ketidak adilan yang terjadi baik dimana saja dan kapan saja, apalagi ini terjadi depan mata kepalanya sendiri . "Lo fikir lucu, lo fikir lo itu jagoan, lo gak di ajarin sopan santun di rumah lo. Hah?" sentak Sila.
Tito semakin berang saat Sila menyebut rumah dan semua spekuasi terhadapnya, tatapannya semakin tajam saja pada Sila yang saat itu juga menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun.
"Jangan lo kira gue gak berani karena lo cewek!"
"Oh iyaa silahkan, lo mau apa sama gue, mau pukul gue ... Sini, pukul gue, nih pipi gue ... Lo mau pukul?" kata Sila memancing emosi Tito.
Semua semakin terlihat takut dan was was saat melihat keberanian Sila, apa dia tidak tahu siapa Tito, atau dia bahkan tidak tahu siapa kelurga Tito, dan sepertinya dia memang tidak tahu apa apa tentang Tito.
Tito mengepalkan tangan, berjalan mengampirinya, namun Dosen killer itu langsung menarik tangan Sila dengan cepat dan membawanya masuk ke dalam kelas.
"Jangan di ladeni! Kau hanya akan membuatnya makin marah!"
"Tapi pak!" Sela Sila saat Dosen itu menutup pintu kelas mereka.
"Kita lanjutkan saja kelas ku, jangan hiraukan berandalan itu!"
"Gak bisa dong Pak, dia udah kurang ajar banget, apa pihak kampus gak ada tindakan apa apa sama dia, apa bapak juga takut sama dia?"
Sorai sorak terdengar riuh kini di kelas mereka saat Sila bicara, Merry segera menariknya untuk duduk dan berhenti bicara, Sila benar benar dibuatnya heran karena mereka justru menyorakinya.
"Mening lo gak usah ikut campur deh! Percuma aja!" Cicit seorang temannya yang duduk di paling depan.
Sila menatapnya tajam, namun Dosen itu kembali menyuruh mereka diam dan kembali fokus pada mata kuliahnya saja.
Sementara Tito melangkah pergi dengan marah, mnninggalkan Adit dan juga Reksa begitu saja, niat hati menghindari ayahnya yang kini sudah pergi, dia justru harus berurusan dengan seorang gadis.
"To .. Lo mau kemana?"
"To ... Ayo pergi To!"
Lagi lagi Tito tidak mampu bicara sedikitpun, dia terus berjalan dalam diam dengan fikiran yang panas, dia perlu sesuatu untuk menyalurkan amarahnya yang tertahan.
Brak!
Brak!
Dia menendang tong tong sampah yang dia lihat di sepanjang koridor kampus.
"Kurang ajar, gue pengen tonjok tuh mulut rombeng cewek tadi! Kalau perlu gue sobek tuh mulut!" gumamnya marah dengan terus berjalan keluar.
Tak kurang dari satu jam, semua pihak kampus tahu apa yang dilakukan oleh Tito perihal sepele itu, namun tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan segala tindak tanduk Tito sang berandal.
Sementara itu, seseorang mengetuk pintu kelas lalu masuk. Berbisik bisik pada dosen yang kala itu masih menerangkan mata kuliahnya di depan kelas. Sedetik kemudian dia menoleh pada Sila yang sedang menulis ringkasan.
"Sila ... Kau di tunggu ke ruang dosen!" ucapnya.
Silaa tersentak, menatap Merry yang duduk di sampingnya juga pada teman temannya yang lain yaang kini melihat ke arahnya dengan heran.
"Apaan ya Mer?"
"Gue gak tahu Sil!"
"Ada karena gue tadi ribut sama tuh cowok. Mereka butuh kesaksian gue kali ya?" tanyanya lagi penasaran.
Merry mengerdik tidak tahu, atau memilih untuk tidak mengatakannya pada Sila, tapi satu hal yang dia tahu adalah satu masalah yang akan di alami Sila karena perbuatannya tadi.
"Ayo Sila. Tunggu apa lagi?" ujar Dosen itu lagi.
Sila pun akhirnya bangkit, melangkah keluar dan mengikuti seorang staff kampus yang menyusulnya.
"Kenapa ya Sila di panggil Bu. Apa gara gara ribut tadi, cowok kurang asem itu emang wajib di D. O sih, gak ngotak soalnya!"
Petugas staff itu hanya diam tidak menjawab, dia hanya menoleh sekilas dan kembali berjalan menuju ruangan yang di maksud. Sedangkan Sila hanya menatapnya dengan heran.
"Duh ... Kok gue jadi was was ya!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!