“Kenapa tidak Jingga saja yang menikah dengannya?” Sentak Mega saat seorang pria tua datang bersama asistennya untuk menagih janji sang ayah yang akan memberikan salah satu putrinya untuk pria tua itu nikahi.
Dihadapan pria tua itu Mega menolak. Membuat pria tua berjanggut tebal itu mengeraskan rahangnya dengan gigi saling beradu. Tentu saja penolakan Mega melukai harga dirinya, tak pernah ada seorang berani menolaknya.
“Jadi seperti ini sombongnya putri sulungmu, pak Hardi?” Celetuk pria tua itu. Tatapannya tajam menghunus, menunggu jawaban Hardi yang tampak gugup.
“Tidak Tuan, maafkan putri saya,” mohon Hardi.
Pria tua bernama Langit itu menyeringai, menumpuk sebelah kakinya dengan kakinya yang lain. Duduk bersilang dengan sebelah tangan memegang tongkat kesayangannya. “Dia menolakku, kamu tahu akibatnya?” ucapnya dengan suara dingin.
Hardi mengusap keringat dingin yang mulai menetes dai dahinya. Ia menatap putri sulungnya dengan tatapan memohon. Tapi sayangnya, Mega berpaling, sepertinya gadis itu akan tetap menolak.
“Aku pulang..” teriakan ceria dari arah pintu masuk membuat semua orang menoleh, termasuk Yaya, istri Hardi yang baru saja muncul dari dapur. Perempuan paruh baya itu membawa nampan berisi dua gelas kopi untuk tamunya.
Gadis cantik berwajah imut itu menghentikan langkahnya saat mendapati dua orang asing duduk di sofa sederhana di ruang tamu. “Maaf,” ringisnya seraya tersenyum. Ia tak tahu di rumahnya tengah kedatangan tamu, karena itu ia datang dengan teriakannya.
“Itu Jingga, adikku. Kamu bisa menikah dengannya,” celetuk Mega dengan angkuhnya. Sepertinya gadis ini benar-benar tak mengenal tamunya dengan baik. Dengan pongah Mega berbicara, tanpa tahu sopan santun pada yang lebih tua. Karena dalam pandangannya, pria tua itu tak lebih dari pria keladi yang menginginkan daun muda sebagai mainannya.
Kalimat itu mengejutkan semua orang. Terutama Jingga yang tak tahu apa-apa. Gadis itu melanjutkan langkah, tatapannya penuh tanya, meminta penjelasan pada siapa saja yang sudi berbicara dengannya. “Ada apa ini, ayah?”
Hardi menelan ludahnya dengan susah payah, alih-alih menjawab pertanyaan putrinya, Hardi justru menatap Langit lalu berkata, “Tuan, apakah Jingga bisa menggantikan Mega?”
Kalimat kedua yang berhasil membuat Jingga ternganga. Ia benar-benar tak mengerti dengan situasi di depannya. Menikah? Menggantikan Mega? Apa maksdunya? Begitu kira-kira isi kepalanya.
Langit tampak berfikir, harga dirinya sudah terluka, di injak-injak oleh gadis bernama Mega dengan seenaknya. Padahal jika pun Mega ingin menolak, harusnya bisa berbicara dengan baik, karena bagaimana pun, Langit lebih tua dari gadis itu.
Belum sempat Langit menjawab, Jingga sudah menyela, “Apa maksud ayah?” Gadis itu lalu menatap sang ibu yang sayangnya hanya diam dan memalingkan wajahnya. “Ibu, jelaskan padaku. Ada apa ini? Kenapa aku harus menggantikan mbak Mega?”
“Duduk dulunak, biar ayah jelaskan..” akhirnya Hardi bersuara, bagaimana pun juga, ia memang harus menjelaskan semuanya pada Jingga. Tak ada harapan lagi untuk Mega, putri sulungnya itu menolak.
Dengan jantung yang mulai berdetak tak aman, Jingga duduk di sebelah sang ayah, menunggu pria paruh baya itu menjelaskan keadaan yang terjadi.
Sedangkan Langit, pria tua itu duduk angkuh bahkan tak menatap Jingga sedikitpun. Sepertinya Langit harus menerima Jingga demi menyelamatkan harga dirinya yang sempat terkoyak karena penolakan Mega.
Hardi berdehem, lalu beranjak dan bersimpuh di gadapan Jingga. Hal yang membuat semua orang kembali terkejut. Bahkan kali ini Langit pun ikut menatap ke arah mereka.
“Ayah, apa yang ayah lakukan? Bangunlah! Jangan seperti ini, ayah tidak pantas melakukan hal ini padaku, duduklah ayah, jelaskan padaku tanpa harus bersimpuh seperti ini,” Jingga merengkuh kedua bahu Hardi, mengajak pria itu kembali duduk di sampingnya tapi Hardi menolak.
“Tidak nak, biarkan ayah seperti ini. Dengarkan ayah! Apa kamu menyayangi ayah dan ibu?” Tanya Hardi, bibirnya bahkan sedikit bergetar, pria itu takut putri bungsunya juga menolak.
Jingga mengangguk tanpa ragu, karena di dunia ini, keluarganya lah yang paling ia cintai, “Tentu saja ayah, kenapa ayah bicara seperti itu? Katakan yang sebenarnya, ada apa? Jangan membuat aku takut ayah..”
“Tolong, menikahlah dengan Tuan Langit, gantikan mbakmu nak..”
Permintaan yang berhasil membuat Jingga terkulai lemas, terkejut tentu saja, bahkan Jingga tak tahu harus mengekspresikan rasa terkejutnya itu seperti apa. Gadis itu hanya diam mematung dengan mata yang mulai berembun.
“Ayah mohon, nak..” lirih Hardi.
“Tapi ayah..”
Belum sempat Jingga menyelesaikan kalimatnya, Hardi memegang dadanya dengan raut wajah pucat menahan sakit. Jingga yang baru sadar bahwa sang ayah mempunyai riwayat penyakit jantung pun panik, gadis itu menangis dan meminta sang ibu membantunya membaringkan Hardi di sofa.
Langit sempat terkejut dengan tumbangnya pak Hardi, tapi sedetik kemudian ia bersikap biasa saja. Pria itu melirik Mega yang justru sibuk dengan ponselnya, seperti tak mencemaskan Hardi sedikitpun. “Cih, gadis sombong!!” batinnya.
"Aku akan menuruti semua permintaan ayah!"
Satu kalimat yang membuat Langit kembali menatap Jingga. Gadis itu tampak sangat cemas, terus menggenggam tangan sang ayah dengan derai air mata yang sudah membanjir. Ada ketulusan di mata gadis bernama Jingga itu, tentu saja tak sombong seperti Mega, kakaknya.
"Baiklah, aku setuju menikah dengan putri bungsumu ini!" Ucap Langit, ia beranjak, menatap pak Hardi yang tampak lemah.
Pria paruh baya itu tersenyum lega, sedari tadi ia sudah sangat takut. Takut jika Jingga maupun Langit menolak permintaannya. Ini tentang hutang, yang menjadi janji seumur hidupnya.
Dengan di bantu ibu Yaya dan Jingga, Pak Hardi kembali beranjak duduk, "Terima kasih nak, terima kasih Tuan.." ucapnya bergantian menatap Langit dan Jingga. Suaranya masih terdengar berat, mungkin masih menahan sakit yang membuat dadanya sesak.
Baik Langit maupun Hingga sama-sama tak menjawab, sama-sama diam dengan pemikiran yang berbeda.
Dan Lagi-lagi Jingga mengalah demi sang kakak, bukan dalam hal perjodohan ini saja Jingga mengalah, nyaris dalam semua hal gadis itu selalu mengalah demi kedamaian keluarganya juga kesehatan sang ayah.
Hardi memang lemah, pria itu mempunyai riwayat penyakit jantung. Sering sakit-sakitan apalagi ketika menemukan hal yang membuatnya tertekan atau terkejut.
Beda halnya dengan Langit, meski sepertinya usia mereka terpaut jauh, Langit lebih tua dari Hardi, tapi Langit masih tampak bugar. Bahkan jika di lihat, tangannya masih tampak kekar. Mungkin karena pria itu rajin berolahraga.
"Alex!" panggil Langit pada sang asisten yang sedari tadi hanya diam menyimak.
"ya, Tuan."
"Siapkan semuanya, dan bawa gadis ini bersama kita. Biarkan keluarganya menyusul besok saat acara pernikahan!" titah Langit dengan suara tegasnya.
Jingga terkejut, ia sampai berdiri dan menoleh menatap Langit, ada ketakutan di raut wajah gadis itu. Dan itu terlihat jelas dimana Langit.
"Tu-tuan, apakah harus besok? Biarkan aku disini dulu untuk merawat ayahku, aku mohon.." pinta Jingga dengan air mata yang sudah kembali deras mengalir. Mana mungkin ia bisa meninggalkan Hardi dalam keadaan sakit seperti ini, Jingga tak akan bisa tenang.
"Saya tidak suka di bantah!"
Hanya kalimat itu, karena kemudian Langit memilih pergi dan menunggu Alex dan Jingga di mobilnya.
"Sana bersiap!" Mega yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya ikut bicara, ada senyum kemenangan yang terbit dari bibirnya. Mungkin Mega tenang karena sudah lolos dari perjodohan konyol ini, mana mungkin ia mau menikah dengan pria tua Bangka?
Jingga menggeleng, ia menoleh dan menatap ayah dan ibunya dengan tatapan mengiba, bermaksud meminta pertolongan agar mereka bisa bicara dengan Langit dan membiarkannya di rumah dulu.
Tapi justru, Yaya dan Hardi kompak mengangguk, menyetujui permintaan Langit dan ucapan Mega.
"Nona Jingga, sebaiknya anda menurut. mengenai ayah anda, Tuan akan mengirimkan seorang dokter untuk memeriksa dan memastikan ayah anda baik-baik saja!" Alex berucap tak kalah tegas dari Langit.
Membuat Hingga akhirnya pasrah dan menurut.
HALO SEMUANYA, MAK KEMBALI KESINI...
SEMOGA KALIAN SEMUANYA SUKA NOVEL BATU MAK INI YA..
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK JEMPOLNYA LOOOH..
Jingga mengedarkan pandangannya saat pertama kali memasuki rumah milik Langit. Pria tua yang akan menikahinya esok hari. Rumah itu begitu megah, pilar-pilar yang menjulang tinggi menunjukkan betapa gagahnya bangunan tersebut. Rumah tiga lantai itu begitu besar, mungkin cocok di sebut istana. Berbanding terbalik dengan rumah Jingga.
Lantai marmer yang Jingga pijak bahkan membuat gadis itu enggan menginjakkan kaki, terlalu mengkilat, pikirnya. Belum lagi berbagai perabotan yang mengisi rumah itu tampak mewah, kebanyakan perabot isi rumah itu berwarna gold dan silver, tentu saja menambah silau pandangan Jingga yang hanya seorang gadis biasa dari kalangan biasa pula.
Entah bagaimana awalnya, mengapa Hardi mempunyai urusan dengan pria tua kaya raya itu. Dengan alasan hutang, Jingga harus menggantikan kakaknya menikahi Langit. Hutang apa, Jingga pun tak tahu. Entah hutang budi atau hutang berupa materi.
Belum habis rasa takjub Jingga, berjarak beberapa meter darinya, ada sekitar dua puluh pelayan berjajar menyambut tuannya pulang. Jingga bahkan enggan menghampiri, ia hanya diam dengan kepala tertunduk. Sampai panggilan dari Alex membuat Jingga mau tak mau melanjutkan langkahnya.
“Mari, Nona. Tuan akan memperkenalkan anda,” ucap Alex. Pria berkaca mata itu menggerakkan tangannya mempersilahkan Jingga untuk berdiri di dekat Langit yang sudah menunggunya dengan tatapan dingin.
Pria tua berjenggot tebal itu berdehem, lalu mulai bicara, “Ini Jingga, besok dia akan menjadi nyonya di rumah ini. Perlakukan dia seperti kalian memperlakukan aku. Penuhi semua kebutuhannya, layani dia seperti ratu, dan patuhi apa yang dia mau. Tapi dengan catatan atas persetujuan dariku!”
Langit berkata tegas, membuat semua pelayannya mengangguk patuh dengan kepala tertunduk. Tak ada satu pun di atara mereka yang berani mengangkat kepala atau menatap Langit, terlihat jelas kekuasaan seperti apa yang Langit punya.
Entah pria seperti apa yang akan Jingga nikahi ini, dari rumah yang sekarang akan menjadi tempat tinggalnya, Jingga tahu Langit bukanlah orang sembarangan. Pria itu berasal dari kalangan atas bahkan mungkin sangat atas. Jingga sedikit terkejut dengan cara Langit memperkenalkannya pada semua pelayan, ia merasa tak pantas di panggil nyonya apalagi di anggap ratu. Tapi sepertinya, memang tak ada yang berani membantah pria itu.
“Pak Lim, perkenalkan mereka satu per satu padanya,” ucap Langit lagi pada seoramg pria paruh baya yang berdiri tak jauh dari Alex.
“Baik, Tuan.” Pak Lim menjawab patuh, pria itu lalu berdiri di dekat Jingga setelah Langit pergi ke lantai atas, mungkin pergi ke kamarnya. Di ikuti Alex yang sepertinya tak pernah jauh dari tuannya itu.
“Nona, perkenalkan, saya Lim, kepala pelayan di rumah ini. Dan ini Rika, asisten saya..”
Pak Lim terus memperkenalkan semua pelayan disana. Sayangnya, Jingga tak dapat mengingat satu persatu dari mereka selain dari pak Lim dan Rika. Rumah itu sangat luas, besar dan tiga lantai, tentu saja memiliki dua puluh pelayan adalah hal yang wajar.
“Terima kasih pak Lim, saya Jingga,” Jingga balas memperkenalkan diri.
"Mari nyonya, saya antar anda ke kamar anda," ucap pak Lim. Meski terdengar tegas, tapi pak Lim tetap tersenyum di akhir kalimatnya.
Di antar pak Lim yang membawakan barang-barangnya yang tak seberapa banyak, Jingga tiba di lantai dua, di sebuah kamar yang lagi-lagi membuatnya menganga. Luas kamar itu bahkan setara dengan luas halaman rumahnya. Terdapat ranjang di tengah-tengah ruangan, dengan nakas di sisi kanan kirinya. Kemudian di sebelah kiri nakas terdapat meja rias yang di atasnya lengkap dengan make up dan beberapa parfum yang Jingga yakin harganya pasti mahal. Tak jauh dari meja rias, ada sebuah pintu kaca juga jendela kaca yang menjulang tinggi dengan gorden berwarna silver menjuntai indah, di lapisi gorden putih nerawang yang tampak sangat bersih.
Di sebelah kanan ranjang ada sebuah lemari besar yang pintunya terbuat dari kaca secara keseluruhan, Jingga tebak itu adalah lemari pakaian. Ada sofa berwarna putih di sebelah kiri juga televisi yang ukurannya sangat besar.
Tak jauh dari sofa, ada sebuah pintu, mungkin itu pintu kamar mandi, pikir Jingga.
Kamar yang sangat luas juga komplit dengan berbagai fasilitas, bahkan ada sebuah lemari es kecil di pojokan sebelah kanan televisi.
“Kenapa aku jadi takut tidur di kamar seluas ini?” Gumam Jingga.
Maklum saja, kamarnya sangat sederhana meski tak terlalu kecil. Ranjang yang ia punya saja hanya cukup di huni satu orang saja, dua orang bisa tapi mungkin berdempetan.
“Ini kamar anda Nona Jingga,” ucap pak Lim.
Jingga terkejut, mengagumi kamar itu ia sampai melupakan keberadaan pak Lim yang masih berdiri di belakangnya.
“Pak Lim, apa ini tidak berlebihan? Kamar ini sangat besar, aku jadi takut tidur disini sendirian,” cicit Jingga dengan jujur.
Pak Lim tersenyum tipis, menghampiri Jingga dan berdiri di hadapannya, tapi tentu saja menjaga jarak. “Tidak Nona, ini memang kamar anda. Ini pantas untuk anda, calon nyonya di rumah ini. Semoga anda nyaman dan betah, mulai hari ini, anda harus membiasakan diri. Dan Rika akan mengajarkan tugas yang harus anda lakukan setelah nanti anda menjadi istri Tuan Langit,” jelas Pak Lim panjang lebar.
Jingga mengerutkan dahinya, ia lalu bertanya, “Tugas? Tugas apa yang harus aku lakukan pak Lim?”
“Rika akan menjelaskannya nanti, saya permisi Nona, dan selamat beristirahat.” Pak Lim tersenyum, membungkukan badannya sebagai tanda hormat lalu benar-benar pergi dan menutup pintu kamar itu.
Sepertinya, yang paling manusiawi disini adalah pak Lim, pria itu selalu tersenyum. Mengingatkannya pada sosok sang ayah yang tiba-tiba ia rindukan. Padahal baru beberapa jam saja mereka terpisah, tapi Jingga sudah merindukan keluarganya. Ia hanya bisa berharap, semoga Langit benar-benar mengirimkan seorang dokter dan perawat untuk memeriksa keadaan ayahnya.
***
“Atur semuanya, pak tua itu harus benar-benar menyaksikan aku menikah sesuai keinginannya,” perintah Langit pada Alex yang berdiri di sebelahnya.
Sang asisten mengangguk, “Baik Tuan, anda jangan khawatir, semuanya akan saya pastikan berjalan sesuai keinginan anda,” jawab Alex. Ia benar-benar merasa kasihan pada sang Tuan, meski bergelimang harta, hidupnya tak pernah bisa tenang. Bahkan Langit sesekali mengkonsumsi obat tidur agar bisa tertidur dengan lelap.
Sejak kejadian naas lima tahun lalu, Langit hidup dalam kehampaan. Sendirian, hanya di temani para pelayan yang masih setia mengurusnya.
Terkadang tatapan pria itu terlihat dingin, terkadang juga terlihat hampa, menyiratkan betapa pria itu sangat kesepian. Tinggal di rumah megah bak istana tanpa ada satu keluarga pun yang menemaninya.
Gelap menyapa, menyingkirkan cahaya sang Surya berganti dengan cahaya rembulan. Malam ini terlihat cerah, di hiasi bulan bertabur bintang.
Semilir angin yang menyentuh permukaan wajah cantik Jingga membuat gadis itu memejamkan mata. Berdiri di balkon menatap taman belakang rumah yang terlihat temaram oleh lampu taman berbentuk bulat.
Ada kolam renang di bawah sana, terdapat kolam ikan buatan juga. Di atas kolam ikan itu ada sebuah gazebo untuk bersantai. Di sekeliling kolam renang dan kolam ikan itu di tumbuhi rumput hijau yang memanjakan mata.
Terdapat beberapa bangku panjang terbuat dari kayu berikut mejanya. Ada pula meja bundar yang di kelilingi kursi. Di setiap bangku, tumbuh pohon rindang, entah pohon apa itu, Jingga tak jelas melihatnya.
"Apa besok aku boleh kesana? Sepertinya tempat itu sangat nyaman untuk menenangkan diri," gumamnya.
Suara ketukan di pintu kamar membuat Jingga menoleh, kemudian ia beranjak dari balkon memasuki kamar, berjalan mendekati pintu dan membukanya perlahan.
"Selamat malam, Nona. Apa anda masih mengingat saya?" tanya perempuan paruh baya yang tampak membungkuk hormat padanya.
"Tentu aku ingat, Bu Rika?"
Rika mengangguk, senyumnya tersungging manis, "Boleh saya masuk Nona? Saya di tugaskan pak Lim untuk memberi tahu beberapa tugas yang harus anda lakukan nanti," jelas Rika.
Jingga mengangguk beberapa kali, ia balas tersenyum dan membuka pintu kamarnya lebar-lebar, "Silahkan masuk, Bu."
"Terima kasih, Nona.."
Jingga kembali mengangguk, lalu mereka duduk di sofa.
"Nona, ada beberapa tugas yang harus anda lakukan setelah anda menikah dengan tuan Langit nanti, saya harap anda melakukannya dengan tulus."
Jingga menelan ludahnya, ia takut dari salah satu tugas itu adalah perihal ranjang. Jika boleh jujur, ia tak siap. Apalagi ia tak mengenal Langit, bukan karena pria itu tua dan lebih pantas menjadi kakeknya, tapi karena ia belum mengenal siapa Langit sebenarnya.
"Jangan takut Nona, tua Langit orang yang sangat baik. Meski pun tegas dan dingin, tapi beliau orang yang sangat baik. Dia tidak akan memaksa jika anda tak mengizinkannya," jelas Rika.
Sepertinya, Rika bisa membaca jalan pikirannya. membuat Jingga malu dan tersenyum kikuk.
"Bu-bukan seperti itu Bu, aku hanya.."
"Saya mengerti Nona," potong Rika. Ia tersenyum, dan mulai menjelaskan apa saja tugas yang harus Jingga lakukan dari pagi hari menyambut Langit bangun, sampai malam hari menemani pria itu tidur.
"Menemaninya tidur?" ulang Jingga sesaat setelah Rika menjelaskan tugasnya.
Rika mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya, "Iya nona, selama ini yang selalu menemani tuan tidur adalah Alex, dan setelah anda menjadi istrinya nanti, tugas itu akan di alihkan pada anda."
Mendengar kalimat itu, Jingga ternganga. dalam bayangannya bermunculan hal yang menggelikan. jadi selama ini Alex kerap menemani Langit tidur? begitu pikirnya.
"Hanya menemani sampai tuan Langit benar-benar tertidur Nona. Tidak terjadi apa-apa di antara mereka," celetuk Rika.
Lagi-lagi Jingga terkejut, Rika seperti tahu semua isi hatinya.
Jingga tersenyum kikuk, "Iya Bu, pasti seperti itu.."
Setelah memberi tahu tugas apa saja yang harus di lakukan Jingga, juga kebiasaan yang selalu Langit lakukan, Rika mengajak Jingga turun untuk makan malam.
Ingin menolak tapi Jingga takut. Ia masih enggan bertemu dan bersitatap dengan Langit terlalu lama, tatapan pria tua itu seperti hendak mengulitinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!