NovelToon NovelToon

Di Culik Hot Dady

Jadi Momy

Suasana dalam bis kota itu amat sepi, berjalan sesuai rute menuju sebuah halte entah yang keberapa sore ini.

Didalam sana ada seorang gadis Bernama Ameera Larasati, gadis yang bekerja sebagai guru disalah satu sekolah Anak Usia Dini swasta di kotanya. Sekolah yang cukup besar dengan fasilitas mewah, dan bahkan rata-rata anak orang dengan strata tinggi disana. Dan bisa dibayangkan, jika gaji yang meera dapat juga sebenarnya besar.

Namun semua gaji dan pekerjaan yang ia dapat tak bisa mnejadi tolak ukut kebahagiaan hidupnya saat itu. Ia saat ini bisa disebut generasi sandwich, yang mana meera harus menghidupi kedua orang tuanya saat ini sebagai penghasil utama keuangan mereka. Jika hanya membiayai itu mudah saja, tapi ini lebih dari itu dan bahkan berapapun yang meera dapatkan seakan tak pernah cukup untuk mereka semua.

Bayangkan saja, Dua tahun bekerja sebagai pengajar di sekolah elit, tapi kendaraan berupa motor saja meera tak punya saat ini. Uang yang ia dapat selalu diminta sang ayah untuk judi dan mabuk-mabukan, sementara ibunya sendiri menderika sakit menahun yang tak kunjung sembuhh. Kadang ia berharap jika kehidupanya akan indah dikemudian hari bersama suami yang tampan dan kaya.

"Dikiranya kisah dongeng? Ada saja harapan," tawa meera dalam hati, yang tengah meratapi hidupnya saat itu. Dengan kepala ia sandarkan di jendela kaca bis dengan tatapan kosongnya yang entah menerawang kemana.

Hingga akhirnya bis berhenti, dan saat itu meera segera turun tepat di halte yang ada tak jauh dari gang rumahnya. Ia masih harus berjalan Dua kilo meter lagi untuk tiba, tapi ia begitu lelah dan memilih duduk sejenak dikursi yang ada disana.

"Gajian masih beberapa hari lagi, tapi saat ini sama sekali ngga pegang uang. Nanti kalau bapak minta, gimana?" galaunya yang mendekap tas saat itu. Apalagi memikirkan sang ibu yang pasti juga kehabisan stok obat bulanan saat ini, kepalanya semakin sakit dan serba salah akan pulang atau memilih mencari pinjaman ke semua orang yang ia kenal.

Tapi ia sadar, jika ia juga tak memiliki banyak teman saat ini.

Chiiitzz! Sebuah mobil mewah berhenti tepat didepan meera. Gadis itu bengong, terutama melihat beberapa orang pria turun dari sana begitu rapi dengan pakaian serba hitam. Awalnya meera biasa saja, namun lama kelamaan ia panik ketika pria itu semakin dekat berjalan padanya.

"Nona meera?"

"Ya, Saya sendiri. Ada apa?" tanya meera. Tapi mereka tak ada yang menjawab sama sekali, melainkan dua orang langsung menggenggam tangan meera dan memaksanya untuk masuk kedalam mobil mewah mereka yang terparkir dijala raya.

Meera yang kaget spontan memekik kuat dan bahkan meminta tolong pada semua orang yang ada disana. Namun, mereka saja takut dan justru sembunyi ketika para pria itu mengarahkan pandangan kearahnya.

Pintu di kunci, Meera dibawa pergi dengan mata yang ditutup dan tangan yang diikat saat itu. Ia ketakutan, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya gemetaran. "Lepasin, kenapa kalian menculik saya? Saya orang miskin dan tak punya apa-apa." Tangis meera dihadapan mereka semua.

"Toloooong! Tolooooong! Lepasin!" Meera memukuli kaca mobil mewah itu sekuat tenaganya.

Namun mereka hanya diam, bahkan tak sama sekali bersuara meski hanya sekedar menjawab pertanyaan dari meera. Perjalanan itu cukup panjang, hingga akhirnya meera merasakan mobil berhenti dan tubuhnya dibopong masuk kedalam, tapi entah dimana karena meera sama sekali tak bisa melihat bahkan mengintipnya saat itiu. Digedung tua, di markas penculik, atau dimana ia dibawa?

Bruuuggh!! Tubuh meera dijatuhkan dengan kasar. Tapi, ia dijatuhkan diatas ranjang empuk dan sepertinya mewah. Meera dapat meraba dan merasakannya saat itu juga, apalagi dengan suasana ruangan yang begitu dingin dan lega, jauh dari drama penculikan yang selama ini ia ketahui.

Hingga seseorang membuka penutup matanya saat itu. Dan benar saja, meera justru dibawa kerumah besar nan mewah bahkan ia melihatnya seperti sebuah istana. Matanya yang sempat buram itu perlahan membaik, dan ia bisa melihat sesosok pria duduk dikursi yang ada dihadapannya saat ini.

Meera memperhatikannya. Pria itu tak begitu tua, tampan dan gagah dan jujur saja mempesona. Tapi, untuk apa ia menculik meera, dan sama sekali meera tak pernah bertemu dan mengenalnya saat ini.

"Ameera Larasati?"

"I-iya, saya? Anda siapa?" tanya meera padanya sembari terus memperhatikan seluruh ruangan itu saat ini. Yang bahkan satu kamar itu sama besar dengan rumah orang tuanya yang selama ini ia tempati.

"Aku Louis Alexander Damares. Kau ingat dengan seorang anak bernama Ocean alexander Damares?"

"Sean? Benar?" tanya gagap Meera, memastikan ia tak salah sebut saat itu. Karena ia ngeri, jika saklah sebut nama bisa berakibat fatal untuk dirinya.

"Ya, dia biasa dipanggil itu oleh orang terdekatnya. Bukankah kau begitu dekat dengannya, bahkan dia memanggilmu mami." Louis yang mengingat ocehan sang putra saat menceritakan meera padanya, yang bahkan ia tahu jika sean amat jarang bicara dengan siapapun atau menceritakan orang lain padanya.

Ya, Sean adalah anak yang sangat pendiam meski begitu aktif. Ia banyak gerak untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan dan apa yang ia inginkan. Dan saat ini, Louis mendengar sean berbicara dan bahkan memanggil momy pada seorang guru yang mengajarnya dikelas setelah beberapa hari ia masuk sekolah.

"Ya, memang Sean terkadang memanggil mami padaku. Aku sempat menegur dan memintanya memanggil dengan sebutan yang sama dengan murid lain, tapi dia tak mau. Jadi_jadi bukan salahku jika_" Meera terdiam, bahkan ia tak berani menatap ekspresi serius louis padanya saat itu yang terlihat mengerikan baginya.

"Tuan, kau mau apa padaku? Jujur, aku bahkan tak punya apapun saat ini." Meera mulai mengiba, ia mulai takut denga napa yang terjadi padanya. Entah fikiran apa yang merasuki kepalanya saat ini, bahkan mendadak ia menangis tersedu-sedu dengan suara yang begitu keras menggema diseluruh ruangan itu.

"Tuan! Aku tak pernah melakukan apapun pada putramu. Dan aku tak pernah memintanya memanggilku mama, dia sendiri yang mau memanggilku dengan sebutan itu. Jadi_ jadi aku mohon lepaskan aku." Tangis meera semakin menjadi saat itu, sementara louis hanya terus menatapnya diam tanpa melakukan apapun pada meera yang terus mengiba didepan matanya.

"MOMY!!" panggil seorang anak kecil saat itu. Meera langsung menoleh, saat itu sang anak segera berlari kearah meera dan duduk memeluknya dengan begitu erat. Bahkan mengusap tangan meera dengan mesra, seakan ia begitu rindu padanya.

"Dady, thanks," ucap pria kecil itu dengan mata yang berbinar penuh rasa bahagia. Mengingat Sean yang memang jarang bicara, ucaoan itu cukup berkesan untuk ayahnya.

Sementara meera hanya mengedip-ngedipkan mata, sesekali menatap senyum pada sean dan sesekali melirik dadynya dengan penuh tanda tanya. Tapi meera masih bersikap baik dengan membalas pelukan sean padanya.

"Ya, Kau akan menjadi Momy nya mulai saat ini." ucap Lois dengan santainya, membuat meera seketika membulatkan mata sebesar bola bekel yang sering ia mainkan disekolah bersama para muridnya.

Kenapa harus Aku?

Ocean Alexander Damares, adalah anak pertama dan satu-satunya dari Louis dan mendiang istri yang meninggal Tiga tahun yang lalu karena kecelakaan. Saat itu mereka bertiga akan berlibur bersama Baby moon calon anak Louis yang kedua, tapi kecelakaan ditengan jalan hingga mengakibatkan istri dan calon anaknya meninggal.

Bahkan bayi itu sudah berbentuk karena kandungan sang istri sudah berusia Enam bulan. Kecelakaan itu membuat trauma mendalam bagi Sean hingga gara-gara itu ia tak lagi pernah bicara pada siapapun selain yang begitu dekat dengannya.

"Hey, Tuan... Sudah ku bilang, panggilan itu biasa diucapkan oleh semua murid pada gurunya. Kenapa harus aku menjadi momi untuk Sean? Aku bahkan belum menikah. Dan_" Ucapan terhenti. Louis mengatupkan bibir dengan jari didepannya agar meera diam, karena saat itu sean mulai perlahan memejamkan mata diatas pangkuannya.

Entah berapa lama kemudian, hingga akhirnya sean benar-benar terlelap diatas pangkuan meera dan seorang pengasuh membawanya pergi dari sana meninggalkan meera dan louis hanya berdua. Benar-benar berdua, bahkan mereka mengunci pintunya dari luar agar meera tak bisa kabur darinya saat itu.

Meera ketakutan lagi, apalagi benar-benar hanya tinggal berdua saat ini. Bahkan Louis berdiri dari tempat duduknya, ia berjalan dan terus berjalan hingga akhirnya begitu dekat dengan meera yang masih duduk diranjangnya. Meera menjauh dan terus berusaha menjauh dari pria bertatapan tajam dan mengerikan itu.

Ya, bagaimana tak ngeri ketika mendadak diculik dan harus bersedia menjadi momi untuk putranya.

"Apa mau Tuan sebenarnya? Bukankah guru juga adalah ibu bagi muridnya? Kenapa Tuan sampai menculikku seperti ini?" tanya meera sekali lagi.

"Aku ingin kau benar-benar menjadi momi untuk Ocean, bukan sebagai guru yang bertemu di Sekolahnya. Dia yang menginginkanmu," jawabnya tenang sembari membuka beberapa kancing dikemeja yang ia pakai saat itu.

"Lantas?" tanya meera semakin gemetaran.

"Kau harus disini, melayani Ocean, menemaninya tidur, membacakan dongeng untuknya."

"Kau ayahnya,"

"Haruskan aku memintamu jika aku bisa melakukannya sendiri?"

"Tapi kenapa harus aku?"

"Karena Ocean butuh dirimu! Kau akan tinggal disini dan menjadi momy. Bahkan aku sudah beberapa kali mengatakan itu padamu sejak tadi," hela Louis dengan napasnya yang berat dan panjang. Padahal meera seorang guru, tapi kenapa lamban sekali untuk mencerna setiap perkataan yang keluar dari mulut louis saat ini. Padahhal setiap kata ia ucapkan dengan jelas dan meera tak memiliki gangguan pendengaran dan ia amat normal.

"Kita akan menikah," jelas louis yang akhirnya to the point denga napa maksudnya saat itu.

Meera semakin membulatkan matanya, ia bahkan mengorek telinganya saat itu dan meminta louis mengucapkan kembali apa yang barusan keluar dari bibirnya.

"Tolong, katakana sekali lagi karena aku kurang mengerti." Dan...

Bruuuggh! Tubuh louis secara tiba-tiba mengungkung tubuh meera dan menekannya dekat saat itu.

Ia merangkak dan saat ini tepat berasa diatas tubuh meera. Mata mereka saling bertemu, Meera berusaha menghindar dari tatapan itu dan membuang muka tapi louis meraih wajah meera agar kembali beradu tatap dengannya.

Dalam kungkungan itu, Louis mengusap pipi mulus meera dengan jemarinya. Hal itu membuat meera memejamkan mata, jujur saja baru louis yang menyentuhnya apalagi dengan posisi yang sedekat ini. Bahkan degup jantung meera terdengar hingga louis mengulurkan senyum tipisnya.

Tapi meera tahu, jika itu bukan tulus dan louis tak benar-benar menginginkannya saat ini. Apa ia hanya menggertak dan membuat meera takut padanya?

"Kau takut padaku?" Meera menggelengkan kepala, tapi tatapan dan dinginnya tubuh meera saat itu menjawab semuanya.

Louis mendekatkan bibir mereka, dan saat itu meera membuang muka padanya. "Kau bahkan akan jadi istriku, dan kau menolakku?"

"Aku bahkan belum menjawab apapun padamu. Aku juga tak pernah mengenalmu, bahkan melihatmu mengantar Ocean berangkat sekolah. Bagaimana kau bisa menjadi suamiku?"

Tatapan louis kembali tajam, ia saat ini beralih ke surai meera dan membelainya lembut bahkan sempat mengecup aromanya yang wangi disana. Begitu harum hingga louis bahkan memejamkan mata menikmati setiap aroma yang masuk ke hidungnya.

"Kau kaya, kau tampan dan punya segalanya. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku untuk putramu."

"Aku tak akan menjelaskannya lagi," singkat louis. "Bahkan seorang gadis dengan kehidupan yang sulit, masih saja bisa menolakku yang sempurna ini? Kau serius?"

"Tahu apa kau tentang hidupku? Lepaskan aku sekarang!" pekik meera, dan louis segera berdiri dari kungkungannya.

Meera lantas duduk dan membenarkan dirinya saat itu, ia menoleh kesana kemari mencari jalan bagaimana caranya agar ia bisa keluar dari sana. Ia hanya memikirkan sang ibu saat ini, dan ia ingin segera pulang karena takut ibu akan dijadikan sasaran kemarahan sang ayah karena keterlambatannya.

"Kau juga akan dipukuli olehnya jika pulang tanpa membawa uang." Tatapan mata louise mengarah pada dada meera dan terdapat bekas memar disana. Sepertinya sudah cukup lama dan tampak mulai pudar, meera segera menutup kemejanya rapat.

Louis memanggil beberapa anak buahnya yang berjaga diluar sejak tadi. Pria itu membawa tas meera dan memberikannya kembali pada gadis itu. Tapi, betapa kagetnya meera ketika melihat begitu banyak uang yang saat ini ada didalam tasnya.

"Setidaknya itu bisa menolongmu dan ibumu saat ini. Pulanglah, sembari berfikir dengan tawaran yang ku berikan."

Meski sedikit tersinggung, tapi meera akui jika ia memang sangat membutuhkan uang itu saat ini. Tapi, itu uang untuk apa? Ia tak mau jika uang itu harus ia ganti dengan harga dirinya.

" Jangan fikirkan yang lain. Pulanglah, supirku akan mengantarmu." Louis keluar dari ruangan itu meninggalkan meera dan anak buah yang akan mengantarnya.

Meera cengo. Ia bengong dan bingung harus berbuat apa saat ini, hingga pria itu menegur dan menawari meera untuk mengantarnya pulang segera.

Sepanjang jalan meera hanya diam, begitu juga pria itu. Meera terus memeluk tasnya sejak tadi, ia tak percaya ada uang cukup banyak didalamnya saat ini. Antara dua kemungkinan yang akan datang. Uang itu direbut sang ayah atau aman untuk biaya pengobatan ibunya. Meski kemungkinan pertama adalah yang paling nyata.

Hingga meera meraih beberapa dan mengantonginya didalam saku celana bahkan ia simpa didalam branya.

"Apa?" tanya meera, yang sadar jika pak supir memperhatikannya saat itu.

Akhirnya ia turun ditempat pertama ia ditangkap. Ia langsung berjalan cepat pulang ke rumah untuk menemui ibunya disana dan mengurusnya meski diri sendiri lelah bukan main sebenarnya.

" Aaarrrghh! Ampun! Hentikan!!" Suara samar itu terdengar ditelinga meera. Perasaannya benar tentang ibu yang tengah dipukuuli sang ayah saat ini.

Meera lantas lari sekuat tenaga, ia menghampiri ibunya yang sudah tampak lemah tak berdaya dengan beberapa luka disekujur tubuhnya.

" Ibu... Maaf, Meera telat." Sesal meera yang langsung meraih tubuh lemah itu kedalam pangkuannya.

"Dari mana kau? Jual diri?" tanya sang ayah yang dengan sadar sudah begitu menyakiti hati lyra saat itu.

Menikah denganku

“Dariman, kau, jual diri?” tanya ayah meera yang terdengar amat menyayat hati. Bisa-bisanya seorang ayah kandung mengatakan hal itu pada sang putri yang bahkan menjadi sumber pemberi hidup bagi keluarganya saat ini.

Tapi meera berusaha tak mendengarkannya, ia mengangkat tubuh sang ibu untuk duduk dan berdiri agar ia bisa membawanya ke kamar. Tapi, justru ayah lyra melayangkan kaki lagi ke tubuh ibunya saat itu juga hingga tersungkur ke lantai.

“Ayah!!” pekik lyra dengan penuh rasa kecewa. Ia menatap tajam pria tua itu lalu berdiri tepat dihadapannya saat ini dengan napas yang berat dan tak beraturan.

“Mau melawanku?” tanya sang ayah yang menantang putrinya saat itu.

“Meera capek seperti ini terus, Ayah. Capeeeek!! Bahkan meera sudah tak mampu menggambarkan bagaimana rasa itu sendiri saat in. Ayah kapan berubahnya?” tanya meera dengan suara yang benar-benar berat saat ini, tapi seperti biasanya bahwa sang ayah hanya diam menatap tajam tak dan tak menjawab apapun keluh kesah dari anaknya.

“Bisa ngga, keluarga kita itu normal seperti keluarga yang lain? Ayah bekerja menafkahi ibu dan meera membantunya. Bisa ngga!” bentar meera pada akhirnya.

Greepp!! Ayah meera justru meraih rahangnya saat itu, menekan dengan kuat dan mendekatkan mulut berbau alcohol itu tepat didepan hidung putrinya. Meera seakan langsung pusing dan ingin muntah mencium aroma memabukkan itu.

“Jika aku bekerja, lalu fungsimu apa? Aku sudah membesarkanmu sampai seperti ini, maka kau memang wajib mengganti semua yang telah ku berikan padamu!”

“APA! Jangan ayah kira kalau meera tak tahhu, selama ini ibu yang memperjuangkan semuanya. Ayah menghabiskan semua uang ayah sendiri untuk bersenang-senang diluaar sana. Ayah fikir meera bodoh?”

Buugghh!! Sebuah bogem mendarat dipipi mulus meera, yang bahkan ia masih ingat jika baru saja louis mengusap dan membelainya dengan begitu lembut tadi. Rasanya memang sangat berbeda, sakit dan perih, keadaan seperti sangat berbalik antara orang yang baru saja menculik dan dengan ayahnya sendiri. Bukankah harusnya yang menculik adalah yang menyiksa?

meera merasakan darah keluar dari ujung bibirnya. Ia usap dan sejenak memperhatikan cairan merah itu diibu jarinya, dan seketika itu hatinya meradang. Ia menghela napas panjang sejenak, berdiri tegap melepas tas yang masih ia sandang, kemudian menumpahkan isinya pada sang ayah.

Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi kaget seklaigus senang pria itu saat ini melihat uang begitu banyak keluar dari tas sang putri. Bahkan dengan rasa malu yang telah hilang dari dirinya, ia memungut semua uang itu layaknya pengemis gila yang haus harta. Ia tak perduli jika mungkin meera akan meludahinya saat itu juga.

“Jika aku tahu kau akan memberiku uang sebanyak ini, kita tak perlu berdebat seperti tadi,” bahagianya, tanpa ia bertanya dari mana meera mendapatkan uang sebanyak itu untuknya.

Meera hanya diam dengan tatapan kosong penuh rasa kecewa, bahkan ketika sang ayah mengambil sebuah kantong kresek untuk menampung uang itu didalamnya. “Pergi yang jauh, jangan pernah kembali lagi kemari. Mulai sekarang, hubungan kita selesai.” Meera begitu datar, ia tak perduli lagi bahkan jika pak tua itu mati setelah ini.

Bahkan fikiran sempat meraja dikepalanya. Ia ingin ketika keluar, pria itu dirampok bahkan dibunuh oleh rentenir atau penjahat yang selama ini mengejarnya. Mungkin rasanya ia akan bahagia jika itu semua terjadi, seakan hilang satu beban berat dalam hidupnya saat ini.

Meera menarik napas lagi beberapa kali, ia kemudian menoleh pada sang ibu dan meraihnya beridiri lalu masuk kekamarnya. Ia menidurkan sang ibu untuk istirahat sejenak dan membuang semua fikiran tentang ayah, dan hanya fokus pada mereka berdua saat itu.

“Kamu dapat uang itu darimana? Ibu tahhu, jika kamu belum gajian, Meera.” Ibu meraih tangan meera dan mempertanyakan semua. Tapi ibu tak tahu, jika yang didapat meera sebenarnya lebih dari itu.

Beruntung meera yang sudah siaga menyimpan beberapa lembar dibeberapa saku pakaian celana dan kemejanya. Dan beruntung lagi, karena sang ayah tak memeriksa semua karena sudah silau dengan yang ada dalam genggamannya.

“Terpaksa meera minta gaji lebih cepat,” jawabnya bohong. “Tapi, setelah ini kita harus balik hemat seperti biasa, karena sisa gajinya tinggal sedikit. Apalagi untuk ibu berobat,” ucap meera yang mengikat rambutnya.

“Masalah hemat, ibu Sudah biasa, Meera. Tapi uang kamu, semua habis jika kamu berikan dia semua. Ibu kasihan sama kamu,”

“Tapi nyatanya kita tak bisa berbuat apa-apa.” Pasrah meera.

Ya, meera bahkan sempat ingin kabur dari kekejaman ayahnya. Tapi rekan ayah begitu banyak dan tersebar dimana-mana hingga mereka bisa dengan mudah menemukan meera dan ibunya. Terlebih lagi pergerakan ibu yang sudah begitu sulit dibawa kesana kemari hingga memperlambat laju meera.

Ibu pernah meminta meera meninggalkannya, tapi meera tak bisa melakukan itu semua. Ia tahu bagaimana sang ayah, yang bahkan akan menyiksa istrinya hingga mati karena tak bisa dimanfaatkan lagi.

Dan usai kepergian ayahnya, meera sedikit tenang. Ia bisa duduk santai sejenak megatur napas lega. Bahkan ia bisa memasak untuk ibunya, masak cukup enak dengan uang yang masih ada pemberian louis padanya. Bersyukur meski hatinya masih linglung.

“Meera, tolong buang sampahnya sebentar. Ini sudah beberapa hari menumpuk,” pinta sang ibu, yang tetap memaksa memberesakan rumah meski sakit disekujur tubuhnya.

Tanpa babibu meera segera menuruti sang ibu dan meraih plastic sampah itu darinya. Meera juga hanya mengenakan kaos oblong dengan celana pendek ketika keluar dari rumah menuju tempat pembuangan sampah. Suasana disana juga mulai sepi hingga tak akan banyak orang yang menggodanya disana.

Braak!! Meera mengibaskan tangan yang sempat kotor dan mengelapnya dicelana kemudian berbalik untuk segera kembali ke rumahnya. Hingga seorang pria brtubuh besar, mengenakan hoodie hitam dengan topi senada berdiri dihadapannya saat ini.

“Dia memukulimu?”

“Astaga!!” pekik meera terlonjak kaget karenanya. “Kau? Kenapa sampai disini?” tanya meera menoleh kanan dan kiri.

“Jawab pertanyaanku. Dia memukulimu?” Pria itu meraih ujung bibir meera dan mengusapnya.

“Aiihhss! Hey, sudahlah. Ini tak apa, hanya luka kecil.”

“Luka di bibirmu yang kecil, tapi dihatimu?” jawabnya datar tapi begitu memperhatikan bahkan disekujur wajag meera, bahkan ia menolehkan wajah itu dan melihat bagian leher dan dadanya.

“Hey!! Tak sopan!”

“Kau ingin berteriak lagi? Toloong! Tolooong! Teriaklah, sampai ada yang berani keluar untuk menolongmu saat ini. Siapa yang akan menoolong gadis dengan pakaian yang bahkan mengundang pria untuk menggodanya.”

Louis benar. Pakaian meera saat itu memang mengundang mata lelaki untung menghampirinya saat itu, hingga semua orang yang melihat justru akan menyalahkan dirinya jika terjadi sesuatu.

“Aku tak ingin calon istrku terluka,”

“Sudah ku bilang, aku bukan calon istrimu. Uang yang tadi akan ku ganti,”

“Berapa lama, setahun?” Begitu jujur Louis menekan semua ucapannya saat ini hingga meera bahkan langsung diam dan tak mampu menjawab perkataannya.

“Menikah denganku, dan aku akan melindungimu.”

“Hey, ayolah… Aku bahkan belum siap menikah, apalagi menjadi mama untuk Sean.” Sangking tertekannya meera, bahkan ia sampai geregetan padanya. Bicara dengan tangan tak bisa diam sampai menggenggam begitu gemasnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!