Mitha gadis manis, anak pasangan Bapak Cakrawala dan Ibu Sekar, dia masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh di sebuah SMA Negeri. Setiap hari dia pergi dan pulang ke sekolah dengan naik angkutan. Ayahnya hanya buruh pabrik dan ibunya seorang penjahit di butik terkenal di kota itu.
Gadis itu sering terlambat sampai sekolah karena harus menunggu angkot yang kadang sudah penuh sesak sampai di tempatnya, sehingga harus menunggu angkot berikutnya. Namun begitu tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Seperti biasa, jika dia terlambat maka akan berlari dari halte sampai gerbang sekolah yang berjarak dua ratus meter.
Saat berlari, tiba-tiba ada motor berhenti di sampingnya.
“Ayo ikut! Nanti keburu terlambat,” ucap seseorang dibalik helm.
Dengan patuh, Mitha naik ke boncengan motor itu.
“Anak Smanu, ‘kan?” tanya orang itu lagi dan langsung diiyakan oleh gadis itu. Smanu adalah singkatan dari nama sekolah Mitha, SMA Negeri Dua.
Motor pun langsung melesat dan berhenti di depan gerbang sekolah SMA Negeri Dua. Mitha bergegas turun dan mengucapkan terima kasih tanpa menatap wajah laki-laki yang menolongnya.
Dari seragam yang dipakai laki-laki itu, Mitha tahu jika dia anak SMA yang bangunan sekolahnya nempel dengan sekolah dia. Namun, dia tidak berani melihat ke wajah laki-laki itu. Tanpa dia tahu, jika si laki-laki sudah lama memperhatikannya.
Hal itu sering terulang seiring berjalannya waktu. Setiap kali Mitha kesiangan dan hampir terlambat, Celo sudah siap sedia menunggu di halte untuk memboncengkan gadis cantik itu sampai depan gerbang sekolah. Keduanya pun menjadi semakin akrab walau hanya bertemu sesekali, kemudian berkenalan.
Seiring berjalannya waktu karena sering berinteraksi keduanya pun menjalin kasih. Mereka kemudian berpacaran walau mereka beda sekolah dan tingkatan kelas. Marcelo saat ini duduk di kelas dua belas, sedang Mitha kelas sepuluh.
Satu bulan setelah jadian, Marcelo yang sudah duduk di bangku kelas dua belas lebih sibuk dibanding hari-hari biasa karena menyambut ujian kelulusan. Kedua insan itu tidak pernah bertemu lagi walau hanya sekedar berpapasan apalagi bertegur sapa.
Celo sibuk dengan persiapan ujian kelulusan nya, sedangkan Mitha harus sering libur karena ruang kelas dipakai untuk ujian anak-anak kelas dua belas. Dua insan itu berpisah tanpa kabar, walaupun begitu mereka tidak saling melupakan.
Ujian akhir kelulusan telah usai, kini anak-anak kelas sepuluh dan sebelas sedang menghadapi ujian kenaikan kelas. Mitha mengesampingkan rasa penasarannya akan kabar sang kekasih. Dia harus fokus pada ujian kenaikan kelas agar bisa mendapatkan nilai terbaik demi beasiswanya agar tidak dicabut.
Waktu terus berjalan, kini Mitha telah lulus SMA, sudah dua tahun lamanya dia tidak pernah bertemu dengan Marcelo. Ada rindu menelusup dalam kalbu, menggebu ingin bertemu. Namun, apalah daya, keinginan itu tidak akan pernah terwujud dalam batas waktu yang tidak diketahui kapan.
Setiap ada kesempatan, Mitha selalu mencari informasi tentang sang kekasih. Gadis itu bahkan rela mendatangi daerah di mana Celo tinggal. Akhirnya, dia mendapat informasi jika Celo mengalami gangguan jiwa, tanpa dia tahu apa penyebabnya.
Walaupun mendengar kabar sang kekasih mengalami gangguan mental, gadis itu tetap mencintainya. Gadis itu nekat mendatangi rumah Marcelo dengan menaiki sepedanya, hanya untuk bertemu dengan pujaan hati.
Tidak mudah untuk masuk ke dalam rumah mewah itu. Hanya orang yang sudah membuat janji atau sudah dikenal baik yang diizinkan masuk. Namun, Mitha tidak patah semangat ketika harus menunggu lama di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Setelah menunggu selama setengah jam gadis itu baru diizinkan masuk.
Mitha dipertemukan dengan nyonya rumah di istana itu. Wanita itu masih terlihat seperti anak kuliahan di umur empat puluh. Wajahnya tampak angkuh dan sombong.
“Aku dengar tadi kamu bilang pacar Celo. Sudah berapa lama kamu mengenalnya? Berani sekali gadis gembel seperti kamu mengaku pacar anakku,” cerca Rosita Weasley, ibu Marcelo Weasley.
“S-sejak tiga tahun yang lalu. Setelah Kak Celo lulus, kami tidak pernah bertemu atau pun bertukar kabar,” jelas Mitha dengan terbata karena diliputi rasa takut.
Nyonya Rosita mengajak Mitha ke halaman belakang. Dia ingin menunjukkan keadaan anaknya pada gadis miskin itu. Wanita itu berhenti tepat di depan sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka.
“Seperti itu keadaan dia sekarang. Apa kamu masih mencintainya?”
“Apapun keadaannya, saya tetap mencintai dia, Nyonya,” jawab Mitha dengan wajah tertunduk.
Nyonya Rosita mengangguk mendengar jawaban gadis di depannya. Tiba-tiba saja wanita itu memiliki rencana. Tentu saja rencana untuk kebaikan dia semata.
Nyonya Rosita menyuruh Mitha untuk berbicara dengan anaknya, lalu meninggalkan keduanya di dalam kamar berukuran empat kali lima itu. Wanita itu sengaja pergi untuk memulai menjalankan rencananya.
Dua insan itu ngobrol seperti orang pada umumnya. Tidak ada tanda-tanda orang gila dalam setiap ucapan yang terlontar dari bibir Celo. Mereka membicarakan pilihan setelah lulus SMA, kuliah atau bekerja. Gadis itu pun bercerita ingin bekerja tetapi belum mendapatkannya, jadi untuk mengisi waktu dia memutuskan kursus memasak.
Celo sendiri sudah setahun ini mengikuti kuliah secara online. Dia tidak pernah keluar rumah walaupun sebentar. Namun, dia tidak bercerita apa yang sedang dialaminya.
Hari berikutnya, di rumah orang tua Mitha sudah ada beberapa orang menunggunya pulang dari tempat kursusnya. Mereka adalah keluarga Weasley yang datang hendak melamar Mitha untuk Celo.
Gadis itu tidak diberi kesempatan untuk menjawab karena orang tuanya sudah menerima lamaran itu. Nyonya Rosita ternyata mengambil gambar dirinya dan Celo ngobrol di dalam kamar hanya berdua. Dalam foto itu keduanya tampak seperti orang yang berciuman, padahal tidak.
Dengan alasan menjaga nama baik keluarga, Nyonya Rosita dan Tuan Damian Weasley ingin segera menikahkan Celo dengan Mitha. Mereka tidak peduli dengan kesiapan dua sejoli itu untuk berumahtangga. Yang ada dalam benak dua orang itu hanyalah melakukan apa saja demi nama baik keluarga.
Akhirnya, Celo dan Mitha menikah keesokan harinya. Berhubung mendadak dan untuk menutup aib, mereka menikah secara siri dan tanpa adanya pesta. Acara pernikahan mereka sangat sederhana dengan mahar uang sejumlah delapan juta dan satu set perhiasan emas dua puluh empat karat seberat seratus gram.
Setelah menikah Celo dan Mitha tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka tinggal di paviliun yang berada di lingkungan kediaman Weasley. Mereka tidak diizinkan masuk ke rumah utama kecuali dipanggil oleh nyonya Rosita atau tuan Damian.
Meskipun mereka diberikan tempat tinggal, untuk biaya hidup dan lainnya mereka harus berusaha sendiri. Berhubung Celo dalam keadaan tidak memungkinkan untuk bekerja, maka Mithalah yang bekerja mencari nafkah. Tidak adanya pengalaman kerja membuat gadis itu sulit mendapatkan pekerjaan.
Akhirnya berbekal uang mas kawin, Mitha membuat kue untuk dijual berkeliling menggunakan sepeda. Sepeda butut yang dipakai untuk kursus, dia bawa ke tempat tinggalnya sekarang. Setiap hari tanpa lelah dia mengurus rumah dan berjualan kue hasil tangannya sendiri.
Siang ini, kue buatan Mitha sudah terjual habis. Gadis itu pun pulang dengan hati senang karena bisa mendapatkan uang yang lumayan. Dia mengayuh sepedanya memasuki pintu pagar kecil sebagai akses satu-satunya dengan dunia luar.
"Dari mana saja kamu? Suami sakit tidak diurus malah ditinggal keluyuran. Lihat suami kamu telah merusak tamanku, sekarang kamu ganti semua kerusakan itu!" ucap nyonya Rosita tanpa belas kasihan
Ingin rasanya Mitha marah pada sang mertua, tetapi apalah dayanya yang hanya seorang menantu miskin. Gadis itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang malang. Memiliki mertua kaya tetapi keberadaannya tidak pernah dianggap.
Memiliki suami yang mengalami gangguan mental tidaklah mudah. Suatu waktu laki-laki itu akan bersikap manis layaknya suami pada umumnya, tak jarang pula Marcelo mengamuk menghancurkan semua barang milik orang tuanya. Seperti hari ini, anak bungsu Damian Weasley itu tiba-tiba saja datang ke rumah utama dan mengamuk di sana.
Semua barang habis dihancurkannya, usai mengamuk dan menghancurkan barang-barang Celo langsung pulang dan mengurung di dalam paviliun tempat tinggalnya. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu di dalam sana yang jelas nyonya Rosita teriak memanggil tidak ada yang keluar dari dalam paviliun itu. Tak lama kemudian Mitha pulang dan dia yang menjadi sasaran kemarahan sang mertua.
"Hai, Mitha! Lihatlah suamimu kembali menghancurkan barang mahalku! Sekarang kamu bereskan semua kekacauan akibat ulahnya. Setelah itu, kamu masak untuk makan siang kami," teriak Rosita pada menantu yang dianggap ba bu itu.
"Baik, Ma." Gadis itu dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan oleh sang ibu mertua.
Gadis itu menyimpan sepeda dan kotak tempat kuenya. Mencuci kaki dan tangan lalu bergegas menuju rumah utama.
"Lihat! Semua ini karena ulah suami kamu," teriak Rosita pada menantunya seraya menunjuk barang-barang pecah belah di dekat meja makan.
Banyak pecahan piring, mangkuk serta gelas di sana. Asisten rumah tangga yang biasa dipekerjakan di rumah itu tidak diizinkan membereskan kekacauan yang diakibatkan oleh Marcelo.
Tanpa menunggu lama, Mitha mengambil sapu dan serokan sampah untuk mengangkat semua barang itu. Perlahan-lahan gadis itu mengumpulkan pecahan kaca itu agar tidak terinjak kakinya. Pecahan kaca tersebut dimasukkan ke dalam tempat sampah yang telah dilapisi plastik.
Setelah selesai dia segera meletakkan di luar pagar, agar petugas kebersihan mudah mengambilnya. Mitha masuk ke dapur dan memulai memasak seperti yang diperintahkan oleh sang ibu mertua. Selesai memasak, gadis itu segera menata makanan yang sudah matang di atas meja.
Nyonya besar di rumah itu langsung mendatangi meja makan tanpa dipanggil. Wajahnya masih tampak marah dan kesal sehingga para asisten di rumah itu ketakutan.
"Masakan apa ini? Rasanya tidak enak sama sekali!" teriak ibu mertua galak itu setelah merasai masakan sang menantu.
"Kamu sengaja ya? Ingin meracuni saya, ha?"
Rosita menuang sayur ke lantai, tepat di depan Mitha berdiri. Gadis itu meneteskan air mata kala melihat makanan yang telah susah payah dimasaknya berserak di lantai. Jika sang ibu mertua itu tidak mau memakan masakan itu, masih ada yang mau memakannya.
Akan tetapi, jika sudah berserak di lantai sama saja sengaja membuang makanan, padahal di luar sana masih banyak orang yang menahan lapar. Tidak usah jauh-jauh, saat ini gadis itu pun tengah menahan lapar dan lelah. Pulang dari berjualan keliling kompleks dengan menaiki sepeda, belum sempat istirahat harus segera memenuhi perintah sang ibu suri.
Dengan air mata menetes di pipi, istri Marcelo itu kembali membereskan kekacauan di ruang makan itu. Jika tadi kekacauan karena ulah sang suami, kini karena perbuatan ibu dari suaminya. Badannya terasa remuk redam sejak bangun tidur belum beristirahat sama sekali.
Selesai membereskan kekacauan di ruang makan. Gadis itu bergabung dengan para asisten rumah tangga di belakang. Mereka menikmati makan siang sisa masakan tadi.
"Untung tadi aku ambil separuh semua masakan kamu. Kalau tidak, kita pasti tidak makan. Nyonya besar memang kelewatan," ucap Surti asisten rumah tangga yang paling senior dengan suara lirih takut terdengar oleh sang majikan.
"Masakan enak begini dicaci. Mau yang seperti apa coba?" tanya Tinah, asisten yang lebih muda dari Surti.
"Sudah Mbok, Mbak. Jangan dibahas lagi. Cepat habiskan makan kita, sebelum mama datang ke sini dan marah-marah lagi," ujar Mitha mengingatkan kedua asisten rumah tangga itu.
Saat nasi di piring mereka tinggal sedikit, satpam dan sopir di rumah itu mendatangi mereka.
"Kalian ini makan nggak ajak-ajak. Aku juga laper," ucap Parjo sang sopir.
"Iya nih, keterlaluan kalian!" seru Budiman sang satpam.
Suara Budiman itu cukup keras sehingga terdengar sampai di ruang keluarga. Rosita yang kebetulan akan pergi sedang mencari Parjo, mendengar suara di belakang.
"Apa yang kalian lakukan? Kalian di sini untuk kerja bukan untuk ngerumpi!" tanya Rosita dengan suara lantang.
Semua pekerja yang sedang berkumpul itu langsung menunduk karena takut, kecuali Mitha. Dia menatap sang mertua lalu menjawab sebisanya.
"Kami sedang makan sambil bercerita, Ma. Kami juga butuh makan agar memiliki tenaga saat bekerja," ujar Mitha dengan mengumpulkan sedikit sisa keberaniannya.
Rosita melangkah mendekati Mitha lalu menarik rambut gadis itu dengan sekuat tenaga. Gadis itu sampai ikut berdiri mengikuti langkah kaki ibu mertuanya agar kulit kepalanya tidak begitu sakit saat tertarik rambut.
"Sudah berani kamu, hah? Punya apa kamu sampai berani melawanku?" cerca Rosita dengan tangan semakin kuat menarik rambut sang menantu.
"Ampun, Ma. Mitha tidak bermaksud melawan Mama. Mitha hanya menyampaikan apa yang kami ...."
"Halah, kebanyakan alasan kamu!" potong Rosita seraya mendorong menantunya itu kuat sehingga jatuh tersungkur.
Pelipis mengenai kaki meja dan mengeluarkan darah. Kepala Mitha terasa berputar akibat benturan keras itu. Gadis itu memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan rasa sakit dan pusing akibat benturan tadi.
Rosita meninggalkan ruangan itu saat mata Mitha terpejam. Sebelumnya dia memanggil Parjo agar mengantarkan pergi ke arisan. Tidak peduli dengan keadaan sang menantu, nyonya besar di rumah itu meninggalkan ruangan begitu saja.
Surti lekas membantu Mitha berdiri dan membantu duduk. Sementara Tinah mengambil kotak obat untuk mengobati pelipis gadis itu yang berdarah.
"Aturan tadi kamu diam saja, Nduk. Nyonya itu orangnya tidak suka pas ngomong kita menjawab, apalagi membantah. Pasti dia semakin murka," ucap Surti sembari membersihkan darah dan mengobati luka itu.
"Kita ini sama-sama manusia, Bi. Tidak usah takut. Lagian tadi beliau bertanya, terus aku jawab. Apa itu salah?"
"Walaupun kita benar tetap saja salah di matanya. Bagi dia, semua orang salah. Hanya dia yang benar," celetuk Tinah yang tiba-tiba muncul setelah membereskan sisa makan siang mereka tadi.
Selesai diobati, Mitha kembali ke paviliun tempat tinggalnya setelah menikah. Gadis itu membuka pintu perlahan, takut membuat sang suami kaget dan marah. Saat memasuki kamar, matanya menelisik mencari keberadaan sang suami.
"Kamu baru pulang?" tanya Celo sambil berjalan mendekati sang istri.
"Ini kenapa? Siapa yang melakukan ini?
"Jawab Mitha! Pelipis kamu kenapa? Siapa yang telah membuat kamu terluka?" Marcelo melontarkan beberapa pertanyaan pada sang istri.
Laki-laki yang sering dikatakan gila oleh keluarganya itu tampak marah melihat sang istri terluka. Amarahnya siap meledak kapan saja jika sang istri salah menjawab. Namun, gadis itu tetap tenang dan memperlihatkan senyumnya.
Melihat senyum sang istri mengembang, amarah Celo reda seketika. Hatinya merasa damai setiap kali melihat senyum manis istrinya. Walau mereka masih terlalu muda menikah, pernikahan mereka berjalan baik-baik saja.
Laki-laki berusia dua puluh satu tahun itu menuntun istrinya untuk duduk di atas ranjang. Dia usap perban yang menutupi pelipis sang kekasih halal. Setelah itu, Celo meniup lalu menciumnya berharap luka itu cepat sembuh.
"Dah sembuh! Sekarang kamu tidurlah. Istirahat yang cukup agar kuat menghadapi wanita gila itu," ucap Marcelo lembut.
"Aku tidak apa-apa, Kak. Aku harus menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Aku harus tetap berjualan agar kita bisa makan," jawab Mitha dengan senyum mengembang.
Mitha sudah memanggil Marcelo dengan sebutan kakak sejak pertama kali kenal. Hal ini dikarenakan sang suami termasuk kakak kelasnya.
Marcelo sangat perhatian dan menyayangi istrinya saat hanya ada mereka berdua. Sikapnya juga sangat manis selama pernikahan mereka yang baru berjalan satu bulan. Sayangnya, suami Mitha iyu akan menjadi laki-laki yang berbeda jika berada di luar paviliun, lebih tepatnya jika memasuki rumah utama.
Mitha sendiri merasa bingung menghadapi sang suami, jika sudah mengamuk di rumah utama. Gadis itu merasa aneh karena perangai sang suami yang tidak menentu. Celo akan semakin mengamuk jika salah satu penghuni rumah utama merendahkannya dan mengatai gila.
Amarah Marcelo hanya bisa reda dengan pelukan sang istri. Selama menjadi istrinya, belum sekali pun mendapat makian apalagi pukulan dari sang suami. Laki-laki itu selalu memperlakukannya dengan sangat baik.
Marcelo sering membantu istrinya membuat kue untuk dagangan jualannya. Tidak pernah sekalipun laki-laki itu mengeluh selama membantu sang istri. Mereka berdua mengerjakan dengan hati gembira sehingga kue yang dihasilkan terasa enak karena diproses dengan penuh cinta.
Jam sembilan malam kue yang mereka buat sudah matang. Ada kue bolu, kue bugis, dan donat. Untuk kue dadar dan kue yang lainnya akan dikerjakan setelah subuh.
"Horee sudah selesai!" seru Marcelo sambil bertepuk tangan yang ditanggapi senyuman oleh sang istri.
Laki-laki itu bertingkah bak anak kecil yang baru saja selesai membantu ibunya. Mitha sendiri sudah terbiasa menyaksikan hal ini. Wanita itu bersyukur karena sang suami selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan sering membantu meringankan pekerjaan dia.
Kini mereka sudah membersihkan diri dan bersiap menuju ke peraduan malam. Menjemput alam mimpi yang telah menanti.
"Sini peluk!" ucap Marcelo manja sambil menepuk kasur.
Mitha tersenyum lalu duduk di pinggir ranjang. Sengaja berlama-lama ingin menggoda sang suami. Tak lama kemudian, Marcelo menariknya dan membanting pelan tubuh sang istri ke kasur dengan tawa lepas.
Mereka tertawa bersama di atas ranjang berukuran king size itu. Setelah lelah bercanda dan tertawa keduanya berbaring telentang dengan napas memburu karena aktivitas yang mereka lakukan tadi.
"Kak, boleh tanya sesuatu tidak?" tanya Mitha setelah napasnya kembali normal.
"Ingin bertanya apa, hmm?" sahut Celo seraya mengusap pipi sang istri lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
Mitha terdiam memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan sang suami. Dia tidak ingin amarah suaminya tersulut hanya karena salah bicara. Oleh karena itu, gadis cantik berusia delapan belas tahun itu harus berhati-hati saat berucap.
"Kok malah bengong? Tadi katanya mau bertanya, nggak jadi?"
Mitha mengulas senyum melihat sang suami sudah tidak sabar mendengar pertanyaan darinya.
"Sabar! Nggak sabaran banget sih jadi orang!"
"Hehehe ... habis lama banget ngomongnya. Bikin penasaran aja!" ucap Celo terkekeh, tangannya mencubit dagu sang istri mesra.
Mitha memainkan jari-jari tangannya terlebih dahulu sebelum berucap. Jantungnya berdegup kencang dengan perasaan was-was takut pertanyaannya nanti membuat sang suami tersinggung.
"Umm, sebenarnya Kakak ini pura-pura gila atau emang beneran gila?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibirnya.
"Atau aku yang gila karena terlalu mencintai kamu?" lanjut Mitha dengan gumaman, tetapi masih tertangkap jelas oleh telinga Marcelo.
Tawa Celo seketika pecah mendengar pertanyaan dari sang istri. Ternyata istrinya itu masih terlalu polos. Selalu berbuat kebaikan seolah orang lain akan memperlakukannya dengan baik juga.
Tidak tahukah dia, jika dunia ini begitu kejam karena makhluk yang menghuni pandai bersandiwara. Sepertinya gadis itu juga tidak tahu jika orang gila akan mengaku waras jika ditanya.
Sementara itu, di rumah utama Rosita baru saja pulang. Sang suami, Damian Weasley sudah berada di rumah sejak sore. Laki-laki itu sengaja tidak memberitahu sang istri jika pulang cepat hari ini.
"Dari mana saja kamu? Pantas saja semua anakmu tidak ada yang benar. Ibunya saja tidak peduli dengan keadaan anak-anak dan suaminya di rumah!" teriak Damian saat Rosita, sang istri menapaki anak tangga.
"Eh, Mas Damian! Tumben jam segini sudah pulang. Biasanya jam sebelas itu sudah paling cepat pulang," jawab Rosita dengan senyum sinis.
"Apa pantas seorang ibu keluyuran sampai malam?"
"Tenang Mas! Anak-anak sudah besar, tidak perlu dijaga selama dua puluh empat jam. Kecuali ... anak kesayangan kamu yang gila itu!" Rosita melanjutkan langkahnya setelah menjawab pertanyaan sang suami.
Damian memijit kepalanya yang terasa berdenyut karena ulah sang istri. Dia harus bersabar menghadapi sikap sang istri yang selalu mendominasi. Percuma juga menasehati karena Rosita tidak menerima nasehat siapa pun.
Laki-laki paruh baya itu sebenarnya tahu kelakuan buruk sang istri tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya laki-laki warga negara asing yang terdampar di kepulauan Riau dan ditolong oleh Rosita. Akhirnya mereka menikah setelah setahun saling mengenal.
Rosita dan Damian sudah lama tidak akur, terutama sejak Marcelo tiba-tiba saja gila saat diperkenalkan pada seorang gadis cantik teman sosialita sang ibu. Rosita merasa itu adalah aib besar yang harus segera ditutupi, jika bisa dibuang. Oleh karena takut berita itu menyebar ke teman sosialitanya, Rosita mengurung Celo di paviliun belakang rumah dan sekarang dinikahkan dengan Mitha.
Seminggu sekali akan datang dokter yang akan memeriksa keadaan anak nomor duanya itu. Kakak dan adik Marcelo diminta untuk tutup mulut agar keadaan anak itu tidak tersebar keluar. Tidak hanya itu saja, semua pekerja yang tinggal di rumah juga diminta untuk tutup mulut.
Rosita tidur masih membawa perasaan jengkelnya pada sang suami, sehingga pagi hari saat bangun tidur dengan suasana hati yang buruk. Dia harus mencari seseorang untuk melampiaskan kekesalannya. Untuk itu, turun ke dapur lalu berjalan menuju paviliun dimana anak dan menantunya tinggal.
"Mitha! Mitha! Keluar kamu!" teriak Rosita dengan suara lantang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!