NovelToon NovelToon

Satu Atap Dengan Pria Asing

Bab 1. Rumah Baru

"Satu minggu sudah kita semua kehilangan sosok MUA terkenal kebanggaan Korea Selatan. Lily Kim yang ternyata putri dari sosok pemilik perusahaan kecantikan terkenal, ternyata sengaja ditikam oleh saudari kembarnya sendiri. Berdasarkan pengakuan dari tersangka ...."

Suara pembawa acara dari sebuah siaran berita stasiun televisi nasional Korea Selatan menggema di sebuah ruangan. Di depannya tengah ada seorang gadis cantik dengan rambut diikat asal sedang memangku laptop seraya menatap kosong layar televisi yang masih menyala.

Gadis itu adalah Amarilis, atau yang biasa dipanggil Amy. Salah satu penulis novel yang sedang naik daun karena karyanya yang baru selesai dibuat film dan sudah tayang di layar lebar beberapa bulan terakhir. Mata Amy tampak bengkak dengan lingkar hitam yang mengelilingi indra penglihatannya itu.

"Mungkin pilihanku untuk membeli rumah ini adalah keputusan yang paling tepat!" Amy mengalihkan tatapannya dari televisi.

Lalu Amy mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumah bergaya mini malis modern itu. Sebuah rumah yang ada di kawasan pegunungan yang ada di Busan itu memberikan ketenangan tersendiri bagi Amy. Udara sejuk khas dataran tinggi, pemandangan hijau yang memanjakan mata, serta suara gemercik air sungai yang menyapa pendengaran, membuat Amy jauh lebih tenang ketika menulis.

"Hah, aku harus segera bangkit dari keterpurukan!" Amy langsung menatap lagi layar laptopnya.

Jemari lentik Amy langsung menari-nari di atas papan ketik untuk melanjutkan pekerjaannya. Gadis itu ingin membuat cerita berbeda kali ini. Amy ingin mencoba hal baru dengan membuat cerita tentang mafia yang jatuh cinta kepada seorang polisi.

Kalimat demi kalimat tersusun rapi hingga terbentuk beberapa paragraf yang akan menjadi bagian dari cerita yang dibuat oleh Amy. Gadis itu sampai terbawa suasana. Terkadang adrenalinnya terpacu ketika membayangkan adegan saling tembak atau baku hantam.

Kegiatan menulis Amy berhenti ketika perutnya terasa perih. Ketika melirik jam yang melingkar di tangan, Amy baru sadar kalau dia telah melewatkan makan siang. Mata indah gadis itu beralih ke jendela yang kini membantunya menatap langit dengan semburat jingga.

"Astaga! Ternyata sudah sore!" Amy menutup laptop, lalu meletakkannya ke atas meja.

Gadis itu beranjak dari sofa dan mulai meregangkan otot yang terasa kaku. Amy pun bergegas berjalan ke arah dapur, lantas membuka lemari pendingin makanan. Sebuah napas kasar diembuskan oleh Amy setelah melihat kondisi di dalam kulkas.

Di sana hanya ada botol air mineral yang berbaris rapi pada rak. Stoples kimchi tampak kesepian di sudut ruang sempit yang dingin itu. Bumbu instan seakan saling mengobrol satu sama lain karena tidak ada yang bisa mereka kerjakan akibat bahan makanan yang lupa belum dibeli oleh Amy.

"Astaga! Aku kemarin hanya membawa lauk yang dibuatkan oleh Jay." Amy menepuk dahi, kemudian kembali menutup pintu kulkas.

Perempuan itu pun masuk ke kamar untuk bersiap pergi ke salah satu toko dan berbelanja beberapa bahan makanan. Amy mengeluarkan sepeda kayuh dari garasi, dan mulai menuntunnya keluar dari pekarangan. Dia tinggal di daerah yang sulit diakses oleh kendaraan roda empat.

Jadi, Amy meninggalkan mobilnya di sebuah area yang dikhususkan untuk tempat parkir mobil warga setempat. Dia harus mendaki selama tiga puluh menit untuk bisa sampai di rumahnya. Sementara untuk pergi ke rumah satu dengan lainnya, Amy harus memakai motor atau sepeda karena jarak yang lumayan jauh.

Setiap rumah satu dengan lainnya berjarak paling dekat 20 meter, sehingga suasana daerah itu tampak sunyi meski pada siang hari. Setelah melakukan perjalanan selama 15 menit, akhirnya Amy sampai di sebuah toko yang menjual berbagai macam kebutuhan harian.

"Tidak lengkap, tapi lumayan untuk kebutuhan seminggu ke depan. Sepertinya aku harus turun ke kota untuk berbelanja setiap minggunya. Aku tidak bisa mengandalkan toko ini ke depannya." Amy menatap deretan bahan makanan sederhana yang tertata rapi di rak.

Setelah membayar belanjaan, Amy segera mengayuh sepeda untuk pulang ke rumah. Menikmati senja sambil menghirup udara segar khas pegunungan membuat hati Amy sedikit lebih tenang. Sesekali gadis itu bersenandung, menembangkan lagu kesukaan Lily dan dirinya ketika menghabiskan waktu bersama di apartemen.

Amy tidak tahu sedang ada kejutan yang menantinya setelah sampai di rumah. Usai membuka pintu pagar dan menurunkan standar sepeda. Akan tetapi, ketika hendak melangkah lebih dalam lagi ke pekarangan rumah, Amy terbelalak.

Tas belanjaan yang Amy pegang kini terlepas dari genggaman. Kakinya mendadak lemas saat melihat pemandangan mengerikan di depannya. Sontak tubuh perempuan tersebut ambruk ke atas jalanan setapak yang terbuat dari berbatuan kecil.

"Astaga! I-itu mayat, atau manusia hidup?" Bola mata Amy seakan hampir copot karena melihat tubuh seseorang yang tergeletak di depan pintu masuk rumahnya.

Amy kembali mengumpulkan kekuatannya. Dia melangkah mendekati lelaki yang masih menutup mata tersebut. Kepala lelaki itu terdapat noda darah yang sudah mengering.

Amy mendekatkan wajahnya ke arah si lelaki asing dan mulai memerhatikan dadanya. Tampak lelaki tersebut sedang bernapas. Amy pun mengembuskan napas lega.

"Syukurlah, dia masih hidup!" seru Amy.

"Tapi, bagaimana aku bisa menolongnya? Tubuhnya segini besarnya, dan aku cuma segini!" Amy mengangkat lengan kanannya tinggi-tinggi serta mendekatkan jempol dengan telunjuk tangan kirinya, untuk mengibaratkan selisih tinggi badannya dengan lelaki asing tersebut.

"Hah, aku harus segera membawanya masuk. Semoga lukanya tidak begitu parah!" Amy pun melakukan peregangan otot.

Perempuan itu mulai mengangkat tubuh lelaki itu hingga terduduk. Setelahnya, Amy melingkarkan kedua lengan pada dada lelaki tersebut. Amy memfokuskan kekuatannya pada lengan serta kaki, dan mulai menyeret tubuh lelaki tersebut masuk ke dalam rumah.

Keringat bercucuran membasahi dahi Amy di tengah cuaca sejuk cenderung dingin. Gadis itu terus berusaha membawa lelaki asing itu masuk ke rumah. Setelah sampai di ruang tengah, Amy melepaskan lengannya dari tubuh lelaki tersebut.

"Astaga! Siapa dia? Kalau aku minta bantuan ke luar, takut urusannya sama polisi!" Amy mengusap wajah kasar kemudian menatap bingung ke arah lelaki yang masih tak sadarkan diri tersebut.

Amy kembali mengumpulkan kekuatan untuk menarik tubuh lelaki itu ke atas sofa. Setelah berhasil memindahkan tubuhnya, Amy berjalan ke dapur dan mengisi baskom dengan air bersih. Dia kembali ke ruang tengah dan mulai membersihkan darah kering yang menempel pada kepala lelaki tersebut.

Terdapat luka lebam dan beberapa goresan di wajah tampan lelaki asing itu. Setelah bersih, Amy mengoleskan antiseptik dan menutup luka-luka tersebut menggunakan plester. Usai merawat pria tersebut Amy kembali diliputi rasa bimbang.

"Aduh, bagaimana ini? Dia siapa? Kenapa bisa sampai terluka parah? Jangan-jangan penjahat yang kabur ke gunung untuk menghindar dari kejaran polisi?" Amy terbelalak seketika.

Ketika gadis itu sedang sibuk bergelut dengan pikirannya, perlahan lelaki itu menggeliat. Kelopak matanya mulai terbuka. Ketika pandangannya kembali seutuhnya, dia mengerutkan dahi.

"Kamu siapa?" tanya pria tersebut.

Bab 2. Jordan Park

Amy merawat lelaki asing tersebut dengan telaten. Sesekali dia mengecek kondisinya di sela-sela kesibukan menulis cerita. Sampai akhirnya jemari pria itu bergerak perlahan, saat Amy sedang mengira-ngira siapa identitas lelaki yang ada di depannya tersebut.

"Kamu sudah bangun?" Amy menggerakkan telapak tangan di depan wajah lelaki asing itu.

Lelaki tersebut perlahan membuka mata. Dia berusaha memfokuskan pandangan serta mengerjapkan mata berulang kali. Pria itu mendesis sambil meringis menahan sakit.

"Kamu siapa?" tanya pria asing tersebut kepada Amy.

Mendengar pertanyaan lelaki itu sontak membuat Amy mengerutkan dahi. Gadis itu langsung berdiri tegak seraya bersedekap. Dia tersenyum kecut sambil membuang muka sekilas, lalu kembali menatap lelaki yang masih terbaring lemah di atas sofa.

"Siapa aku? Bukankah pertanyaan itu yang seharusnya aku lemparkan kepadamu?" tanya Amy dengan perasaan kesal seraya mencondongkan tubuh ke arah lawan bicaranya.

"Ya! Kamu tadi hampir mati ketika rebahan di teras rumahku! Seharusnya aku tadi membuang tubuhmu itu ke jalanan saja! Merepotkan sekali!" gerutu Amy sambil menatap kesal lelaki tersebut.

Kini pria asing itu terbelalak. Dia menatap tajam Amy, dan berusaha bangkit dari sofa. Akan tetapi, dia gagal menahan rasa sakit yang menghunjam sekujur tubuh. Dia pun akhirnya memutuskan untuk kembali berbaring.

"Rumahmu? Ini rumahku!" seru pria asing tersebut.

"Apa kamu mabuk? Ini RU-MAH-KU!" Amy menunjuk lantai menggunakan ujung telunjuk.

"Aku sudah membelinya dari seorang perempuan bernama Mona Park!"

Jordan kembali terbelalak dengan bibir menganga lebar. Lelaki itu tahu betul siapa yang sudah menjual rumahnya kepada Amy. Jordan mengusap wajah kasar, tetapi langsung menjauhkan lagi telapak tangannya dari muka. Lelaki tersebut lupa bahwa wajah tampannya kini masih penuh luka.

"Begini, mana buktinya kalau memang kamu telah membelinya dari Nyonya Park?" Jordan melemparkan tatapan tajam kepada Amy.

"Tentu saja!" tegas Amy.

Amy berjalan ke arah kamarnya dan kembali ke hadapan Jordan sambil membawa beberapa dokumen. Jordan langsung mengambil alih berkas-berkas tersebut. Pertama Amy menyodorkan kuitansi dengan nominal yang lumayan besar. Ya, Amy ternyata membeli rumah itu dengan harga yang cukup tinggi.

"Kupikir dia sudah berubah! Ternyata sama saja!" Jordan tersenyum kecut dengan pandangan yang dialihkan ke langut-langit rumah.

"Jadi, cepatlah sembuh dan pergi dari rumahku!" Amy menyipitkan mata seraya melipat lengan.

Jordan tersenyum tipis. Lelaki itu berusaha tetap berdebat dengan meredam emosi terlebih dahulu. Lelaki tersebut ingin mempertahankan haknya atas rumah yang kini ditemlati Amy.

Jordan perlahan bangkit mengabaikan rasa sakit yang mendera kepala dan sekujur tubuhnya. Setelah dia berhasil duduk sendiri dan bersandar pada sandaran sofa, lelaki itu menunjuk sebuah dokumen lain yang masih tertutup rapi di atas meja. Amy mengerutkan dahi, lalu membuka map berisi sertifikat rumah tersebut.

"Lihat baik-baik nama yang tercantum di sana!"

"Jordan Park?" Amy mengeja nama yang tertulis di atas sertifikat tersebut.

Jordan mengangguk mantap. Dia akhirnya mengeluarkan dompet dari dalam saku celana. Lelaki itu mengeluarkan kartu identitas dan melemparnya kasar ke atas meja.

Amy pun meraih kartu tersebut. Dia meneliti identitas yang tertera di sana serta mencocokkan dengan dokumen kepemilikan tanah dan bangunan yang ada di tangannya. Nama serta nomor identitasnya sama dengan yang tertulis pada sertifikat.

Akan tetapi, tentu saja Amy tidak mau mengalah begitu saja. Dia sudah mengeluarkan separuh tabungannya untuk membeli rumah itu. Dia tidak mau melepaskan rumah tersebut begitu saja. Terlebih lagi, Amy sangat menyukai suasana lingkungan serta desain bangunan tersebut.

"Oke, memang benar kamu pemilik rumah ini. Tapi, aku juga sudah membayar notaris untuk mengurus perubahan data kepemilikan tanah dan bangunan ini! Aku pun membelinya hitam di atas putih! Terlebih lagi aku percaya kepada Nyonya Park karena dia adalah ibumu! Dia bilang putranya yang meminta untu menjual rumah ini!" Amy tersenyum lebar penuh kemenangan.

"Aku akan membayarnya dua kali lipat!" Jordan menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya kepada Amy.

"Tidak! Aku tidak butuh uangmu!"

"Tiga kali lipat?" Jordan menunjukkan jemari yang mewakilkan angka tiga, tetapi Amy tetap menggeleng.

Sampai akhirnya Jordan menawarkan harga hingga sepuluh kali lipat. Kali ini Amy terdiam. Otaknya mulai bekerja layaknya mesin kalkulator.

"Jika sepuluh kali lipat benar-benar dibayar, maka aku akan bisa membeli rumah lain yang jauh lebih bagus. Aku rasa bukan hanya rumah di Busan, tapi bisa membeli rumah di Swedia atau Belgia!" Amy mulai mempertimbangkan tawaran Jordan.

Amy menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya kasar. Gadis itu mengangguk mantap. Akhirnya dia menyetujui tawaran harga beli kembali Jordan.

"Okay, DEAL! Sepuluh kali lipat!" Amy menarik ke depan tangan dan menunjukkan kesepuluh jarinya kepada Jordan.

Amy pun mengulurkan tangan dan Jordan menyambutnya. keduanya bersalaman sebagai tanda jadi. Setelah itu keduanya kembali melepaskan tangan satu sama lain.

"Okay! Sebentar aku akan mentransfermu sekarang juga!" Jordan mulai merogoh sakunya kembali untuk mencari ponsel.

Akan tetapi, Jordan gagal mendapatkan benda pipih yang dia cari. Wajah Jordan mendadak pucat pasi. Dia menatap Amy dengan mata membola seraya menelan ludah kasar.

"Sepertinya aku kehilangan ponselku." Suara Jordan terdengar lemah dan sedikit bergetar.

Amy tersenyum miring kemudian membuang muka. Dia menyangka bahwa Jordan hanya beralasan saja. Amy mengira lelaki tersebut tidak memiliki uang.

"Bilang saja kamu enggak punya uang! Cepat pulih, dan pergi dari RUMAHKU!" Amy balik kanan, kemudian kembali ke meja kerjanya.

Jordan menatap punggung Amy yang terus menjauh kemudian kembali mengempaskan tubuh ke atas sofa setelah gadis tersebut sudah berada di meja kerja. Jordan mengusap wajah kasar kemudian menghadap ke arah sandaran sofa. Lelaki itu memukul pelan kepalanya berulang kali karena merasa malu dengan sikap sombong yang telah dia lakukan.

Sementara Jordan tengah kebingungan dengan situasi yang dialami sekarang, seorang perempuan berumur 50 tahunan sedang menikmati senja di belahan bumi lain. Ya, Mona Park sedang menikmati segelas medovukha sambil menikmati pemandangan indah Kota Moskow.

Perempuan itu duduk bersama seorang pria muda yang lebih pantas menjadi anaknya daripada kekasih. Lelaki itu mengusap lembut rambut Mona, sambil ikut menatap pemandangan indah di depannya.

"Apa nantinya kamu tidak akan menyesal pergi ke negaraku ini?" tanya pria muda bernama Harley itu.

"No, Babe. Aku tidak akan pernah menyesali setiap keputusan yang pernah aku buat!" seru Mona percaya diri dengan senyum merekah.

Mendengar ucapan dari sang kekasih, tentu saja membuat senyum di bibir Harley ikut mengembang. Dia mengecup puncak kepala Mona seraya mengucapkan kalimat terima kasih dengan suara lembut tepat di telinga sang kekasih.

"Terima kasih, sudah menjadi orang bodoh," batin Harley.

Bab 3. Belas Kasihan

Amy mengusap wajah kesal. Dia akhirnya meraih lengan Jordan sehingga lelaki tersebut beranjak dari sofa. Amy menyeret paksa Jordan hingga lelaki tersebut keluar dari rumah.

"Jangan tinggal di rumahku dasar penipu!" teriak Amy.

"Hei, aku benar-benar tidak menipumu! Aku memiliki banyak uang yang sanggup membeli rumah ini sepuluh kali lipat!" seru Jordan sembari meringis menahan sakit.

"No, itu hanya alasanmu! Jika memang kamu memiliki banyak uang, pasti itu hasil rampokan! Kamu kabur ke gunung untuk menghindari polisi, 'kan?"

"Enak saja! Ayo berikan aku waktu untuk membeli rumah ini! Dan aku akan membungkam mulutmu itu dengan uang-uangku!"

Adu mulut itu terus terjadi sampai akhirnya Amy yang kesal menutup pintu kasar. Jordan sampai tersentak mendengar dentum pintu tersebut. Lelaki itu terus mengetuk pintu, tetapi Amy mengabaikannya.

Jordan tidak memiliki pilihan lain. Dia hari ini bertekad untuk tidur di bangku taman dengan pakaian seadanya. Lelaki tersebut melangkah gontai ke bangku taman dan mulai mendaratkan bokong ke atasnya.

Jordan menatap langit yang mulai gelap. Hawa dingin sejuk kini berubah semakin menusuk. Jordan merapatkan mantel yang menyelimuti tubuh, kemudian mengangkat kaki ke atas bangku taman.

"Nyonya Park, ternyata kamu tidak pernah berubah. Setelah mengabaikan Jay, kamu kini mengabaikanku bahkan menjual satu-satunya aset berharga yang aku miliki. Ibu macam apa kamu!" Jordan terus menggerutu seraya memeluk tubuhnya sendiri yang mulai menggigil kedinginan.

Di sisi lain, Amy terus memacu kerja otaknya untuk menulis kisah mafia dan polisi cantik. Mengerjakan novel kali ini benar-benar membuat adrenalinnya terpacu. Dia berharap novel kali ini juga laku keras seperti novel-novel sebelumnya yang dia buat atas nama Ara.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Amy melepas kacamatanya, kemudian mulai melakukan peregangan. Gadis itu melakukan gerakan memutar kepala untuk merelakskan otot leher yang terasa kaku.

"Aku lapar." Amy pun akhirnya bergegas berjalan ke arah dapur.

Gadis tersebut meletakkan panci berisi air ke atas kompor, lalu menyalakannya. Amy ingin membuat susu serta memakan ramyun. Dia yakin dapat segera tertidur pulas setelah perutnya kenyang.

Saat semua makanannya selesai dimasak, Amy membawanya ke ruang tengah. Gadis itu mulai menyalakan televisi, dan melihat drama kesukaan yang diputar ulang. Drama yang menceritakan tentang kumpulan psikopat hidup dalam satu gedung.

Mereka menyiksa para korban sebelum akhirnya dibunuh, dan dagingnya dimasukkan ke dalam panci sup untuk dimakan. Selain psikopat, ternyata mereka semua mengikuti sebuah aliran sesat yang memuja iblis.

"Astaga, apa aku juga masuk dalam golongan mereka! Bahkan aku menikmati semangkuk ramyun sambil menatap kumpulan psikopat ini yang sedang makan malam sup yang berasal dari daging korbannya!" Amy bergidik ngeri kemudian meletakkan kembali mangkuk berisi mi tersebut ke atas meja.

Rasa mual kini mulai dirasakan oleh Amy. Dia benar-benar merasa jijik ketika melihat beberapa adegan berdarah. Nafsu makannya hilang seketika.

"Ah, sebaiknya aku segera tidur!" Amy mematikan televisi kemudian membereskan meja.

Usai bersih-bersih, Amy langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuh ke atas ranjang. Gadis itu memeluk boneka babi bertubuh gemuk dengan kulit berwarna hijau. Salah satu karakter menyebalkan yang ada di game Angry Bird.

Amy mulai menutup mata setelah berusaha merelakskan pikirannya. Alunan musik klasik sengaja Amy putar untuk mengatasi gangguan tidurnya. Sejak bekerja untuk Ara memang Amy kesulitan untuk tidur.

Bahkan Amy harus bergantung kepada beberapa jenis obat selama setahun terakhir sebelum bertemu Lily. Amy sangat beruntung bisa bertemu dengan gadis tersebut. Lily benar-benar mengubah kehidupan Amy menjadi jauh lebih baik.

"Terima kasih, Lily. Semoga kamu tenang di sana," gumam Amy sebelum benar-benar tertidur pulas.

Matahari sudah membumbung tinggi. Akan tetapi, suasana di daerah Amy tinggal masih tampak sejuk dan sunyi. Suara serangga yang tengah menggesekkan sayapnya terdengar untuk menarik pasangan. Amy masih lelap di bawah selimut.

Wajah gadis itu tampak tenang dan setetes air mata berada di pelupuk mata. Amy bermimpi sedang mengobrol dengan Lily. Kepergian Lily yang sangat mendadak membuat Amy sempat frustrasi.

Gadis itu kembali mengalami gangguan tidur. Semalam dia berulang kali terbangun karena terus memimpikan Lily. Entah mengapa ada sedikit rasa bersalah yang bersarang di hatinya.

"Lily ...." Amy membuka mata lebar seraya menyebutkan nama sahabatnya itu.

Amy langsung terduduk dan menyandarkan punggung pada dasbor ranjang. Gadis itu mengusap wajah kasar. Ujung jemari lentiknya mengusap sisa tangis dalam mimpi yang terbawa ke alam nyata.

"Astaga, harus sampai kapan aku begini?" Amy menghela napas kasar.

Gadis itu langsung turun dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi. Dia mencuci wajah dan bergegas keluar kamar untuk masak. Perutnya kembali terasa perih karena gagal menghabiskan ramyun semalam.

Ketika membuka tirai ruang tengah yang menghubungkan dengan taman, Amy terbelalak. Jordan ternyata masih ada di sana. Lelaki itu tidur meringkuk di atas bangku taman.

Sebenarnya Amy ingin mengabaikan lelaki tersebut karena memang tidak mengenalnya. Namun, rasa kemanusiaannya muncul. Dia akhirnya bergegas menghampiri Jordan.

"Hei, Bodoh! Bangun! Kenapa tidak pergi dari sini?"

Tubuh Jordan terdiam. Lelaki itu tidak bergerak sedikit pun. Hanya terlihat gerakan dada yang kembang kempis akibat kegiatan pernapasan.

"Jordan! Bangun! Kamu jangan menakutiku!" Amy menggoyang lengan Jordan, tetapi lelaki tersebut sama sekali tidak merespons.

Amy kini memberanikan diri untuk memegang tangan Jordan. Dia tersentak karena suhu tubuh Jordan ternyata sangat panas. Amy akhirnya menggunakan punggung tangan untuk mengecek suhu tubuh Jordan.

"Astaga, kamu demam? Hei, Jordan! Bangunlah!" Amy kini sedikit lebih keras mengguncang tubuh Jordan.

Kali ini berhasil. Jordan mulai menggeliat dan mulai duduk meski terlihat lemah. Setelah itu Amy sedikit mencondongkan tubuh ke arah Jordan.

"Kamu bisa jalan? Ayo masuk dulu ke dalam!"

Jordan berusaha bangun dan mulai berdiri meski tidak tegap. Amy membantu Jordan berjalan hingga ke ruang tengah. Dia pun menidurkan lelaki tersebut ke atas sofa.

"Kamu di sini dulu. Aku buatkan sup."

Jordan tidak menjawab. Dia kembali memejamkan mata karena merasa pandangannya berputar setiap membuka indra penglihatannya tersebut. Tubuhnya pun menggigil karena semalaman merasakan dingin luar biasa.

Sementara Jordan tidur kembali, Amy menyiapkan makanan untuk dirinya dan Jordan. Setelah semua selesai, Amy menyajikan hasil masakannya kepada Jordan. Amy membangunkannya untuk segera memakan sup buatannya, lalu langsung pergi ke meja makan.

Setelah selesai makan, Amy kembali lagi ke ruang tengah. Sup di atas meja sudah dingin, dan masih utuh todak berkurang sedikit pun. Amy menghela napas kasar kemudian kembali menggoyangkan tubuh Jordan agar lelaki tersebut bangun.

"Hei, bangunlah! Kamu harus makan supaya cepat sembuh tan pergi dari sini!"

Alangkah paniknya Amy ketika Jordan sama sekali tidak merespons. Lelaki itu hanya mengigau dan mengaduh, tanpa mau membuka mata. Namun, suatu ketika tiba-tiba Jordan bangun dengan mata terbelalak.

Lelaki tersebut langsung menatap nyalang ke arah Amy dan mendekati gadis tersebut. Matanya merah dan rahang Jordan mengeras. Perlahan Jordan mengangkat tangan dan melingkarkannya ke leher Amy.

"Kamu harus mati!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!