NovelToon NovelToon

My Boyfriend Is A Bad Guy

Kabar Mengejutkan

Raungan suara deru laju kendaraan mesin beroda dua disertai dengan hiruk pikuk dan sorak sorai terdengar memenuhi langit malam. Asap putih yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor itu membumbung tinggi dan menghiasi suasana malam hari itu.

"Speedy! Speedy! Speedy!" riuh rendah suara dukungan terdengar dari beberapa kelompok pria memakai jaket kulit hitam. Mereka bersorak memberikan dukungan kepada seseorang yang tampak sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

Di sisi lain, suara sorak sorai dukungan terdengar tak kalah membahana. "Hunter! Hunter! Hunter!"

"Wuuuuuu! Go, Speedy!" tukas yang lain.

Seperti sebuah paduan suara yang menyanyikan lagu secara bersahutan, sisi di seberang para pendukung Speedy tak mau kalah. Mereka ikut menyerukan dukungan untuk idola mereka.

Tak lama, terdengar suara deru motor mendekat dan sorak sorai pun semakin ramai. Pembawa acara yang terdiri dari dua orang pria memberikan komentarnya kepada pengendara motor.

"Kita lihat, Speedy dengan kecepatan tinggi berhasil mendahului Hunter yang unggul di babak awal. Apakah itu semacam trik dari Speedy? Tidak tau juga, yang jelas saat ini Speedy berhasil mengungguli lawannya! Yes, Speedy!" ujar pria komentator itu.

Pria yang satu lagi tertawa mencemooh. "Sayang sekali menurutku itu bukan trik atau strategi. Itu kata lain dari ketertinggalan, Bung Liam,"

"Kita lihat saja, siapa yang akan memenangi adu balap ini, Bung Davis! Huh!" ujar pria bernama Liam itu.

Adu balap motor liar atau biasa dikenal dengan istilah ngetreck memang sedang digemari oleh anak-anak muda masa kini. Mereka yang berasal dari golongan keluarga menengah ke atas, tentu akan memilih motor dengan cc besar serta tenaga yang sama besarnya.

Tak terkecuali, Rainhard Luther dengan nama samaran Speedy. Seorang pria muda yang berasal dari keluarga berada, sangat senang berada di arena balap motor ini. Dia akan bertanding hanya untuk mendapatkan penggemar yang akan mendukung dan menyoraki namanya.

Begitu pula dengan lawannya, Archie Warren. Dia dijuluki Hunter bukan tanpa sebab. Keberhasilannya dalam mendahului lawannya membuat dia mendapatkan gelar kehormatan tersebut.

Pada malam ini, mereka berdua harus beradu di titik panas sebuah perlombaan. Ini pertama kalinya mereka bertemu dan saling beradu di jalanan. Sang pemimpin melawan sang pemimpin yang lain. Siapakah yang akan menjadi pemenangnya?

Posisi Hunter memang tertinggal cukup jauh dan saat itu, Speedy memimpin balapan tersebut. Kendaraannya sudah hampir sampai di garis finish.

"Speedy! Speedy! Speedy!" pekik para penggemarnya.

Dan, akhirnya sampailah Speedy di garis finish. Dia menghentikan motornya dan berlari menuju ke para penggemarnya, kemudian melakukan high five bersama mereka.

Pria itu tersenyum dengan penuh kemenangan ke arah lawannya. "Sekarang, lo tau siapa yang paling hebat di sini?"

"Huh! Belum final!" tukas Hunter dengan wajah kesal. Kemudian dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi dan meninggalkan keriuhan yang ada di jalanan yang disulap menjadi sebuah track itu.

Keesokan harinya di sebuah bengkel tempat geng motor itu berkumpul atau kopdar, seorang pria bertubuh kurus dan kecil berlari memasuki bengkel tersebut.

"Rain! Mana Rain?" tanya pria kurus itu dengan napas tersengal-sengal.

Pria yang dipanggil Rain kemudian muncul sambil membawa secangkir kopi. "Ngapain lo teriak-teriak, Max?"

"Hunter nyariin lo, Rain! Kayaknya dia ngga terima kalah dari lo! Rame-rame pula datengnya," jawab Max, wajahnya tampak panik dan sedikit ketakutan.

"Shiit! Dia mau balas dendam, gitu? Gila aja! Lo siap-siap hadang dia di depan!" titah Rain. Seperti hendak pergi berperang, Rain membawa peralatan berat dan beberapa benda tajam untuk dia bagi-bagikan kepada teman-temannya. Pria gondrong itu sendiri mengantongi pisau lipat kesayangannya. "Dengerin gue! Ini kita pake kalo udah mepet banget dan kalo mereka nyerang. Jangan ada yang ngeluarin apa pun selama mereka main aman! Ngerti!"

Teman-temannya mengangguk dengan serentak. Mereka semua sudah siap di atas motor masing-masing. Dari kejauhan terdengar suara deru motor yang semakin lama semakin dekat.

"Bersiaplah!" tukas Rain.

Tak sampai semenit, rombongan motor besar sudah memasuki markas Rain dan teman-temannya. Pemimpin mereka membuang salivanya tepat di bawah Rain. "Kita tanding ulang, anggap aja final!"

Rain tersenyum dan mendengus mencemooh. "Lo ngimpi atau gimana, sih? Ini siang dan jalanan tuh rame banget, gimana nanti kalo nabrak orang? Ngotak ngga sih, lo!"

"Boohoooo! Ada yang kayak pengecut! Anggap orang-orang itu halang rintang! Kalo lo ngga ikut, kemenangan kemarin gue anggap ngga sah!" ancam Hunter sambil memberikan pandangan meremehkan pada Rain.

"Gue ngga takut, cuma mikir! Otak gue lebih luas daripada otak lo dan itu gue pake buat mikir! Gue main aman, mau lo bilang kemenangan gue kemarin ngga sah, suka-suka lo aja! Kita bisa tanding ulang, tapi ngga siang bolong gini!" tukas Rain bijak.

Bukan tanpa alasan dia menolak ajakan Hunter, ayahnya adalah seorang pengusaha terkenal dari perusahaan ternama di ibu kota. Belum lagi kakaknya, mahasiswa teladan. Dia tidak ingin membuat mereka bertindak berlebihan dengan menarik motor kesayangannya atau melarangnya untuk hidup bebas.

Semenjak kematian ibunya, dunia Rain tampak kacau. Segalanya tidak teratur dan tiba-tiba saja ayah dan kakaknya menjauhinya begitu saja. Karena itu, Rain jarang pulang ke rumahnya.

Namun desakan teman-temannya membuat Rain tergoda. Apalagi pandangan mencemooh dari musuh bebuyutannya. Rain berusaha mengendalikan dirinya sendiri dan tidak menanggapi sorak sorai dari kawan-kawan satu gengnya.

"Siap, Anak Mami kali ini mau pulang dan tidur cepat! Oh, mau dibacain dongeng malam dulu sama mami, hahahaha!" ejek Hunter lagi sambil menghisap ibu jarinya seperti seorang anak kecil sedang mengempeng.

Mendengar ibunya terseret, kemarahan Rain semakin tersulut. "Tutup mulut lo, Brengsek! Ngga usah bawa nyokap gue!"

"Ups, emang kenapa? Mau ngaduin kita ke Mami? Uluh-uluh, kacian. Balik aja ke nyokap lo terus ngumpet di bawah lengannya! Hahaha!" Hunter tertawa puas diikuti oleh kawanannya.

Tak tahan mendengar ejekan Hunter, Rain turun dari motornya dan meninju wajah Hunter dan membuat pria berwajah keji itu terjatuh dari motornya. "Gue bilang, tutup mulut lo, Sialan!"

Dengan garang, Rain menarik kerah jaket Hunter dan bersiap memukulnya lagi. Namun, teman-teman Hunter sudah memegangi kedua tangan Rain dan menahannya.

Melihat ketua geng mereka terdesak, Max dan rombongannya, memberikan perlawanan pada gerombolan Hunter dan menarik Rain untuk menjauh.

"Kita terima tantangan lo!" tukas Max lagi. "Di mana titik akhirnya?"

"Di sini!" jawab Hunter puas.

Rain melepaskan diri dari cengkeraman teman-temannya dan bersiap naik ke atas motor besarnya. Balapan di siang hari itu tak bisa terelakkan. Suara bising motor menambah keramaian di jalanan ibu kota.

Para pengendara motor itu terus memacu laju motornya dengan kencang. Tak mereka pedulikan lagi lampu lalu lintas atau marka jalan. Yang mereka pedulikan saat ini hanyalah, siapa di antara mereka yang sampai di garis finish lebih dulu.

Mereka saling mendahului dan susul menyusul, sampai pada di persimpangan jalan, motor yang dikendarai Rain yang merupakan salah satu motor tercepat di dunia itu, menabrak sebuah mobil yang melintas di depannya tanpa sempat melakukan pengereman mendadak.

Suara tumbukan yang cukup kencang membuat beberapa kendaraan di belakang mereka terpaksa berhenti. Tubuh Rain terpelanting ke depan, beruntunglah dia memakai helm full face dan perlindungan diri lengkap. Namun, dia tak sadarkan diri. Semua cahaya seolah memudar dan suara orang-orang di sekitarnya mulai menghilang.

Sementara itu di sebuah kampus elite, seorang gadis yang sedang mengerjakan ujian terkejut karena kalung pemberian orangtuanya tiba-tiba terputus dan jatuh.

"Kenapa, Re?" tanya gadis lain yang duduk di meja sebelahnya.

Gadis itu menundukkan kepalanya. "Zy, feeling gue ngga enak banget. Udah gitu, kalung dari bokap nyokap gue tiba-tiba putus. Mustahil banget ini bisa putus!"

"Tenang, Rea. Positif aja, kali emang udah waktunya putus. Sambil doa dalam hati biar tenang," jawab temannya.

Gadis bernama Rea itu mengangguk dan berusaha menuruti perkataan sahabatnya. "Gue coba deh, mana soal gue masih banyak yang belum dikerjain lagi! Aargh, kenapa, sih dengan gue hari ini?"

Sahabatnya itu menepuk punggung tangan Rea dan berusaha menyemangatinya. Mereka berdua pun kembali fokus pada ujian mereka sampai ketakutan Rea menjadi kenyataan.

"Mahasiswi Marea Johnson, diminta ke ruangan dosen penanggung jawab," ucap suara dari ruang siaran.

Sontak saja, seisi kelas menoleh ke arahnya. Jantung Rea semakin berpacu dengan cepat. "Lizzy, doain gue yah. Sumpah, ngga nyaman banget perasaan gue,"

Lizzy mengangguk. "Pasti. Good luck, Re,"

Rea pun keluar dari kelas dan menuju ke ruang dosen penanggung jawab kelas. Setibanya di sana, Rea mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu dan membukanya. "Permisi,"

Di dalam ruangan itu ada seorang wanita berwajah tegas yang dikenali Rea sebagai dosen penanggung jawabnya dan seorang pria dengan rambut putih dan berkacamata.

"Rea, ini Tuan Timothy. Dia asisten teman ayahmu. Oh, duduklah dulu," ucap wanita yang bernama Mandy Wright itu.

Rea tersenyum dan menyapa Tuan Timothy dengan sopan. Setelah itu, Miss Mandy berbicara lagi, "Rea, hari ini saya anggap kamu izin dan akan mendapatkan jadwal ujian susulan. Selebihnya Tuan Timothy akan menjelaskan apa yang terjadi,"

Timothy berdeham. "Ehem! Saya mendapatkan kabar kalau orang tua Nona, Tuan dan Nyonya Johnson meninggal dunia siang tadi dalam kecelakaan,"

"Ngga mungkin! Orang tua saya berada di luar negri dan baru akan kembali malam nanti! Anda pasti salah orang!" ucap Rea sambil menggelengkan kepalanya. Suaranya bergetar ketakutan.

Miss Mandy memeluk Rea, berusaha menenangkannya dengan menggenggam tangan gadis itu. Timothy bertanya kembali, "Vivian Johnson dan Alex Johnson? Itu orang tua Nona, 'kan?"

Rea masih menggelengkan kepalanya, tetapi raut wajahnya sudah seperti ingin menangis. "Ngga! I-, itu salah! Bukan! Pasti salah! Ngga ada polisi atau apa yang memberitahu saya! Saya juga ngga kenal dengan Anda! Salah! Bukan! Anda penipu!"

Timothy mengeluarkan sebuah foto yang diambil dari TKP langsung dan memperlihatkan kepada Rea. Dengan tangan bergetar, Rea mengambil foto tersebut dan tangisannya pun pecah seketika. "Ini pasti bukan mama atau papa! Mereka pasti selamat! Mereka pasti masih hidup! Mereka sudah janji untuk datang ke wisuda saya! Ini pasti mimpi!"

Miss Mandy semakin mengeratkan pelukannya pada gadis itu. "Rea, sabar ya, Sayang,"

Ruangan itu penuh dengan tangis pilu dari seorang gadis yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan tragis. Mobil yang dikendarai oleh orang tuanya tertabrak motor dan kehilangan kendali sehingga mobil itu menabrak mobil lain dan pembatas jalan.

Gadis itu terus menangis sambil terus menyangkal kematian orang tuanya. "Ngga mungkin! Mereka pasti masih hidup! Mama! Papa!"

...----------------...

Wasiat

Pagi itu, cuaca di ibu kota mendung dan berawan seolah-olah ikut bersedih dengan kepergian Alex dan Vivian Johnson. Para pelayat yang mengantarkan Alex dan Vivian terlihat begitu sedih dan berusaha menegarkan putri tunggal keluarga Johnson yang setiap beberapa menit tak sadarkan diri.

"Rea! Bangun, Rea! Kamu harus kuat!" kata seorang pelayat wanita yang ternyata teman ayah dan ibunya tersebut.

Rea benar-benar tidak sanggup menopang tubuhnya, air matanya bahkan sudah habis dan mengering. Dia menangis nyaris 24 jam penuh. Kedua matanya membengkak dan wajahnya sangat pucat.

Hanya ada satu orang yang sanggup menenangkan Rea, Zayn. Seorang pria yang sudah mengenal Rea cukup lama. "Kalo lo nangis terus, bokap nyokap lo hidup lagi gitu? Ngga, 'kan? Mereka juga ngga mau ngeliat lo depresi kayak gini! Ayolah, Re! Boleh sedih tapi please, jangan lama-lama,"

Rea mengusap air matanya dan menerima segelas air hangat dari Lizzy, sahabatnya. "Thank's,"

Kedua sahabatnya itu kini duduk mengapit Rea. Lizzy terus mengusap-usap lengannya sedangkan Zayn meminjamkan bahunya untuk Rea bersandar.

Setelah acara pemakaman selesai, Timothy datang. Kali ini dia datang bersama seorang pria berkepala botak di tengah dan berparas wajah ramah.

"Marea Skylar Johnson?" tanya pria itu.

Rea mengangguk, walaupun ingin sekali dia mengusir kedua pria dewasa itu. Dia lelah dan ingin istirahat. Dua hari ini rasanya sangat panjang dan melelahkan.

"Jacob Luther," kata pria itu.

Rea memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Halo, Tuan Luther,"

Pria bernama Jacob itu menanyakan kabar Rea dan bagaimana kehidupan gadis itu. Rea menjawab dengan sopan setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Jacob, walaupun dia masih belum tau siapa sesungguhnya pria itu.

"Maaf, kalau boleh saya tau. Anda sebenarnya siapa?" tanya Rea.

Jacob dan Timothy saling beradu pandang dan menganggukan kepala mereka. "Bisa kami bicara bertiga saja dengan Nona Johnson?"

Kali ini, Lizzy dan Zayn yang saling berpandangan. Kemudian, mereka keluar dari ruangan itu dan menunggu sahabat mereka di depan pintu.

"Begini, Nona Johnson-,"

"Rea saja," jawab Rea. Dia meluruskan posisi duduknya karena dia menganggap pembicaraan ini akan serius, terlihat jelas dari raut wajah Jacob maupun Timothy.

Tim mengangguk. "Nona Rea. Kita akan menunggu kuasa hukum keluarga Johnson yang sudah disiapkan oleh Tuan Alex Johnson sendiri,"

Mereka menunggu dalam diam. Hanya sesekali terdengar suara Jacob dan asistennya itu berbisik-bisik. Tak lama, datanglah seorang pria lain lagi ke dalam ruangan itu. Dia menenteng koper besar berwarna cokelat.

"Halo, turut berdukacita untuk Anda, Nona Johnson," sahut pria itu sambil menjabat tangan Rea. "Ferguson, panggil saja Fergie,"

"Terima kasih, Tuan Fergie," balas Rea.

Gadis itu bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi setelah ketiga pria dewasa ini berkumpul? Kalau dia sudah memiliki tim kuasa hukum, kenapa dia harus ikut menyimak dan mendengarkan apa pun yang akan dibahas oleh ketiga orang ini?

Fergie mengeluarkan beberapa dokumen serta laptopnya. Setelah itu, dia merogoh kantung koper bagian luarnya untuk mengeluarkan sebuah benda kecil yang kemudian dia masukan ke dalam salah satu lubang di laptopnya.

"Baik, Nona John-,"

"Rea saja, Tuan Fergie," potong Rea tetap sopan.

Tak sabar, Fergie kembali melanjutkan kalimatnya. "Nona Rea, seperti yang telah anda ketahui, kalau Anda adalah satu-satunya pewaris tunggal dari kepemilikan saham yang dimiliki oleh Tuan dan Nyonya Johnson. Tuan Jacob Luther adalah pemilik perusahaan tempat orang tua Anda bekerja. Mereka telah membuat sebuah ikatan kontrak yang menyebutkan, kalau Anda sudah ditunangkan dengan putra dari Tuan Jacob Luther sejak usia anda 5 tahun dan kontrak itu berlaku saat ulang tahun Anda yang ke-20 tahun nanti,"

"Tunggu! Berarti, bulan depan status saya sudah bertunangan dengan seorang pria yang tidak saya kenal bahkan saya belum pernah melihat wajahnya! Gila! Ini gila!" tukas Rea, memegangi keningnya dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya demi mendapatkan tambahan udara.

Ferguson tersenyum seakan memuji kecepatan berpikir Rea. "Anak Pintar! Ya, seperti itu. Anda bisa tinggal di rumah ini karena rumah ini juga diwariskan atas nama Anda atau Anda bisa berkenalan dengan kedua putra Jacob Luther karena salah satu dari mereka akan menikah dengan Anda,"

Rea terhenyak di kursi tempat dia duduk sambil terus menggelengkan kepalanya dan mengoceh tak jelas. "Gila! Ini gila! Gila! Ngga mungkin! Gue pasti mimpi! Salah! Ini salah!"

Namun sayangnya, Rea tidak bermimpi. Karena keesokan harinya, Jacob menjemput dia untuk ke rumahnya. "Tuan Luther?"

"Mulai sekarang panggil saya dengan Papa. Oke, Sayang?" sahut Jacob tersenyum. Dia segera meminta beberapa pelayan yang sudah dia bawa untuk membantu memindahkan barang-barang pribadi milik Rea. "Bawa sedikit pakaian saja, nanti kita akan berbelanja,"

Rea sama sekali tidak dapat berkutik. Dia hanya bisa pasrah melihat semua barang dan buku-buku kuliahnya dimasukkan ke dalam koper.

Setelah sebagian barangnya masuk ke dalam koper, Jacob menuntun Rea untuk masuk ke dalam mobil bersamanya. Di dalam mobil pun, Rea masih terdiam. Dia tidak tau apa yang harus dia katakan, dia juga tidak dapat menolak permintaan Jacob karena dia belum mencerna wasiat yang diberikan kepadanya.

"Nah, ini rumahku. Mari masuk, Rea," kata Jacob ramah.

Rea masih dalam keadaan autopilot sampai mereka tiba di kediaman Jacob Luther. Lagi-lagi, Jacob terpaksa menyeret Rea untuk masuk ke dalam rumahnya.

Pria setengah botak itu menunjukkan Rea, di mana kamarnya. "Kamar ini sudah Papa dan ayahmu siapkan sejak lama. Kami berdua berharap ini akan menjadi sebuah kejutan untukmu,"

"Ke-, kenapa semua terlalu mendadak? Maksud saya, Papa saya, maksud saya, Papa Alex tidak pernah memberitahu saya tentang ini," tanya Rea yang akhirnya dapat mengatur kata-katanya.

"Kejadian orang tuamu ini juga mendadak, Rea. Tidak ada yang menginginkan kejadian seperti ini terjadi," jawab Jacob. "Tadinya, bulan depan kami akan memberitahukan berita ini kepadamu, tapi segalanya terjadi,"

Kembali Rea terdiam tanpa kata. Dia menghembuskan napasnya. Segalanya begitu sulit dia terima. Kejadian yang datang di hidupnya dari kemarin datang bertubi-tubi dan bahkan masalah-masalah itu tidak menyisakan ruang bernapas untuknya.

"Kalau kau mau berangkat kuliah, kau bisa meminta supir kami untuk mengantarmu," ucap Jacob lagi.

Rea lupa kalau dia harus kuliah. Dia mengangguk dan meminta Jacob untuk keluar dari kamarnya. Setelah Jacob keluar kamar, Rea mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Lizzy.

"Zy, temenin gue ke makam. Ada kuliah ngga?" tanya Rea dalam pesan.

Seolah menanti pesan dari sahabatnya, Lizzy pun membalas pesan Rea dengan cepat. ("Ngga ada, Re. Gue temenin lo. Abis itu lo mau ke manapun, gue ngikut,")

Air mata Rea menetes dan mengalir dengan cepat membasahi kedua pipinya. "Thank you, Zy,"

...----------------...

Ego

Rea memandang batu nisan yang bertuliskan Alex dan Vivian Johnson. Di sana dia hanya duduk terdiam. Tak peduli teriknya panas matahari siang itu, dia hanya duduk sambil menyandarkan kepalanya di lengan. Sesekali dia membelai batu nisan dan memegangi bunga-bunga yang menghiasi rumah terakhir kedua orang tuanya itu.

"Re, lo ngga kepanasan. Niy, pake topi," ucap Lizzy sambil memberikan topi jerami hitam dengan pita berwarna putih menjuntai di pinggirannya.

Dengan sabar, Lizzy memakaikan topi itu di kepala sahabatnya. Karena sepertinya Rea tidak tau apa fungsi dan kegunaan topi anyaman itu. "Lo mau minum dulu, ngga? Bisa dehidrasi duduk di sini terus. Sinar mataharinya lagi sombong banget,"

Rea menggelengkan kepalanya lemah. "Lo aja deh, gue masih mau di sini. Kali aja nyokap gue dateng terus ngajak gue masuk ke sana bareng-bareng,"

"Ih, amit-amit, Re! Eling! Eling! Semuanya tuh pasti ada maksudnya! Nyokap bokap lo juga pasti sedih ngeliat anak gadisnya yang cantik jadi depresi begini! Ngga usah ngomong aneh-aneh, apalagi di tempat beginian! Serem ah, Re!" tukas Lizzy sedikit kesal. "Gue ngga tau masalah lo ap-,"

Sontak saja, air mata Rea tumpah seperti air hujan yang turun dengan deras. "Lo ngga tau, Zy! Bulan depan, status gue udah berubah jadi calon istri orang! Dan gue ngga tau apa-apa! Gue ngga tau siapa calon gue, gue ngga tau siapa duluan yang ngerencanain perjanjian kontrak yang super stupid ini, dan yang paling parah, bulan depan gue jadi salah satu jajaran direksi perusahaan bokap nyokap gue kerja! Gila ngga tuh, Zy!"

Lizzy tercengang mendengar penjelasan dari sahabatnya itu. "Lo mau kawin, Re?"

"Nikah! Bukan kawin!" tukas Rea kesal, masih menangis.

"I-, itu bokap lo yang ngomong? Eh, gimana sih?" Lizzy ikut bingung. Gadis berwajah jenaka itu belum mencerna sepenuhnya cerita Rea.

Rea mencubit kedua pipi Lizzy dengan gemas. "Lizzy, come on! Bokap gue, 'kan disitu, gimana ngomongnya? Panjang deh ceritanya!"

Lizzy mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh iya, benar juga. Ya udahlah, lo tenang dulu, gue cari something yang bikin kita waras! Oke, stay here!"

Tak lama, Lizzy pun sudah naik ke atas mobil mini semacam trem yang mengantarkan mereka dari satu blok ke blok yang lain pemakaman itu.

"Ma, Pa, denger, 'kan tadi? Lizzy aja mendadak ngga waras cuma karena dengerin cerita Rea. Gimana Rea bisa jalananin semuanya tanpa kehilangan kewarasan? Berat banget, Ma. Rea sendirian sekarang. Kalo Rea di suruh milih, Rea mau ikut aja sama kalian," kata Rea sesenggukan.

"Gimana Rea jalanin hidup Rea ke depannya?" tanya Rea lagi sambil memeluk batu nisan kedua orang tuanya.

Beberapa menit kemudian, Lizzy datang dengan membawa dua cup cokelat dingin dan dua botol air putih. "Re, di atas sana ada kayak restoran gitu. Lo mau ke sana? Maksud gue, kalo lo udah selesai curhat,"

Rea terdiam dan menatap batu nisan yang terbuat dari marmer berwarna hitam. "Ma, Pa, Rea pulang dulu. Nanti Rea ke sini lagi. Doain Rea ya, supaya Rea kuat,"

"Yuk," ucap Rea lagi sambil bangkit berdiri dan menggandeng tangan Lizzy.

Mereka menaiki mobil kecil itu lagi untuk sampai ke atas bukit. Mereka melewati beberapa blok pemakaman, taman bunga, air mancur, dan beberapa komplek pemakaman yang masih berupa tanah.

Setibanya di restoran, Lizzy dan Rea segera memesan orderan mereka dan mencari tempat yang cukup tenang untuk dapat lebih leluasa saat mereka berbicara.

"So, tell me tentang cerita lo tadi," tuntut Lizzy.

Rea pun menceritakan tentang Timothy, kedatangan Jacob Luther yang memberitahukan kepadanya kalau dia sudah terikat kontrak pertunangan dengan salah satu putra Jacob sejak usianya 5 tahun, dan di ulang tahunnya yang ke 20 nanti, dia akan menentukan siapa yang akan menjadi calon suaminya. Di umur 20 tahun itu juga, dia akan tercatat sebagai anggota dewan direksi di perusahaan milik Jacob Luther, tempat kedua orang tuanya bekerja.

"Lo udah kayak Cinderella, yah. Bedanya Cinderella pake labu dan tikus, lo pake orang beneran. Ngeri sih, sumpah. I mean, ngebayangin kita tiba-tiba udah tunangan dan bulan depan harus milih siapa yang akan jadi calon suami kita dan kita cuma punya waktu kurang dari 3 minggu, Re! Wah, so? Lo pilih siapa?" tanya Lizzy, ekspresi wajahnya sangat terkesima sekaligus senang sekaligus bingung mendengar cerita Rea.

Rea mengangkat kedua bahunya. "Gue belum pernah ketemu satu pun dari mereka,"

"What! That's insane!" timpal Lizzy lagi.

Sementara itu di sebuah kamar rumah sakit, seorang pria berteriak marah dan suaranya memenuhi lorong rumah sakit. Untung saja, pria itu berada di ruang VVIP. Namun tetap saja, para perawat yang berjaga di pos VVIP tersebut dapat mendengar suara pria tersebut.

"Tidak! Aku tidak mau pulang!" pekik pria itu.

Dua pria lainnya menunggu sampai pria yang sedang diinfus itu tenang dan membiarkannya berteriak sambil terkadang melemparkan apa saja yang ada di dekatnya.

"Papa tidak boleh mengambil motorku! Begitu motor itu keluar dari bengkel, aku akan mendapatkannya kembali! Aku tidak peduli dengan larangan kalian!" tukas pria itu lagi. Wajahnya sudah memerah karena emosi yang bergejolak.

Satu pria bertubuh tinggi dan tampan menghampirinya dan menahan pundaknya. "Kau bisa tenang? Ini rumah sakit, Rain,"

"Bodo amat! Aku tidak peduli, mau di kuburan sekali pun, aku tidak peduli!" balas pria bernama Rain itu sambil menyentak pundaknya.

Seorang pria yang lebih dewasa meminta pria bertubuh tinggi itu untuk tenang. "Ken, biarkan dia sendiri dulu. Setelah itu, kita harus bicara, Rain. Ini menyangkut masa depan seorang gadis, kau tidak bisa berkata tidak peduli,"

Rain terdiam. Sekelebat ingatannya tiba-tiba muncul, suara klakson, cahaya menyilaukan, suara orang-orang berteriak, dan suara bising yang membuat kepalanya pusing. Rain memegangi kepalanya. "Aarrghh! Sialan!"

Tak beberapa lama kemudian, Rain mulai tenang. Ken dan pria dewasa itu menghampiri ranjang tempat Rain berbaring dan duduk di sisi kiri dan kanan ranjang.

Pria dewasa itu memegang tangan Rain. "Dengar, Papa cuma mau kamu bertanggung jawab atas apa yang telah kamu perbuat, Rain,"

"Apa yang telah kulakukan? Mobil itu yang memotong jalanku!" tuntut Rain membela diri.

"Kau telah menyebabkan seorang gadis kehilangan kedua orang tuanya," ucap Ken.

Rain menggelengkan kepalanya. "Ngga mungkin! Aku yang terjatuh, mobil itu selamat!"

"Tidak, Rain. Mobil itu berusaha menghindari motormu dan kehilangan kendalinya, kemudian menabrak beberapa kendaraan lain, sebelum akhirnya menghantam pembatas jalan," jawab Jacob tenang. Dia tidak ingin membuat putranya histeris seketika, dia hanya ingin Rain bertanggung jawab atas perbuatannya. "Kebetulan, Papa kenal sama kedua korban. Mereka sahabat lama Papa yang masih berhubungan baik dan kami sudah terikat sebuah perjanjian lama, yaitu akan menikahkan anak gadisnya dengan salah satu di antara kalian. Saat ini, gadis itu masih berduka dan sebisa mungkin, tragedi ini akan menjadi rahasia keluarga kita. Polisi sudah Papa amankan, karena itu, Papa memintamu untuk belajar mengenal gadis itu,"

"Tak hanya Rain. Tapi, kamu juga memiliki kesempatan yang sama seperti adikmu, Ken. Mulai hari ini, gadis itu akan tinggal bersama kita. Pulanglah, Rain. Paling tidak, ungkapkan rasa menyesalmu dengan berkenalan dengannya bahkan kalau kamu bersedia, lakukan pendekatan dengannya dan jadilah calon suaminya," sambung Jacob lagi.

Ken mengangguk, pria muda itu memang sudah dikabarkan akan menjadi penerus usaha ayahnya. Berbeda dengan Rain yang mendengus kesal, berusaha menyangkal kabar itu. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku menolak!"

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!