"Paaaaa," protes Andra dengan keputusan sepihak sang papa. Bagaimana tidak, Andra yang sudah nyaman dengan posisi Project Manager di perusahaan property sang papa harus dipindah mendadak menjadi kepala sekolah. Jabatan yang tak pernah dipikirkan Andra.
Memang keluarga besarnya memiliki beberapa bisnis, salah satunya yayasan pendidikan. Yayasan pendidikan ini memang dikelola bersama oleh keluarga sang papa, namun setahu Andra pihak keluarga hanya mengontrol manajemennya, tidak masuk ke dalam jabatan struktural sekolah. Tapi ini...
"Pasti keluarga besar gak setuju, Pa. Bukannya di sana (yayasan pendidikan) kita gak boleh menjabat struktural ya, Pa?" tanya Andra sekuat tenaga menolak pemindahan jabatan barunya. Apaan jadi kepala sekolah, dia gak punya basic pendidikan bagaimana bisa mengatur yayasan sebesar itu.
Jenjang pendidikan pada yayasan yang dinamai Global Cendikia ini mulai dari TK hingga SMA. Sedangkan kepala sekolah yang kosong itu pada jenjang SMA karena Pak Ibrahim meninggal karena serangan jantung.
"Besok ada pertemuan keluarga dan komite rapat mengenai pengganti Pak Ibrahim, Ndra. Kalau papa dan Om Yan sudah sepakat kamu yang kami sodorkan, alasannya untuk menyetabilkan kondisi SMA."
"Maksudnya?"
Papa membenarkan posisi kacamatanya, menatap Andra lekat. "Banyak korupsi di SMA, dan sudah terdengar oleh pihak komite. Pak Ibrahim didesak untuk membuka dalang siapa yang terlibat, tapi beliau enggan karena takut ancaman. Oleh sebab itu, mungkin beliau tertekan hingga tekanan darahnya tinggi berakhir kolaps itu. Korupsinya belum lama, terendus sejak semester kemarin. Kita harusnya bersyukur punya tim solid yang masih punya hati dan tidak serakah. Makanya cepat terbongkar, sekarang pun kami sudah tahu siapa saja yang terlibat. Hanya menunggu saja, menunggu rapat akhir tahun. Sekaligus mengumpulkan bukti. Dan meyakinkan komite untuk mendukung kamu sebagai pengganti Pak Ibrahim."
"Why me?"
"Siapa lagi, Ndra. Sepupu kamu sudah pegang bisnis lain, mereka tidak akan mau pegang jabatan ini. Gajinya gak seberapa menjadi kepala sekolah."
"Ck..." Andra berdecak kesal. "Andra juga sama dong, menolak aja. Andra lebih nyaman dengan jabatan sekarang, Pa. Papa dulu memohon Andra pulang dari SG agar mulai mengambil andil di perusahaan, sekarang....ck menyebalkan."
Pak Yusuf hanya tersenyum tipis menanggapi ocehan anak sulungnya. "Alasan kamu menolak karena kepala sekolah bukan sesuai passion kamu atau gajinya kecil?"
Andra melirik sekilas, sembari dongkol ia menjawab, "Bukan passion."
"Sebenarnya ini sesuai passion kamu, kan manajemen bisnis. Anggap aja kamu pegang perusahaan cuma bedanya bidang pendidikan. Cobalah, Nak. Ingat leluhurmu dulu mendirikan yayasan ini untuk amal. Perusahaan yang kita miliki bisa berjaya karena keluarga kita memiliki ladang amal lewat yayasan ini. Percayalah, kamu akan lebih berkah bekerja di yayasan ini. Inovasi kamu pasti luar biasa mengembangkan yayasan ini khususnya jenjang SMA."
Nasehat halus papa sedikit mempengaruhi ego Andra, apa yang diucapkan beliau memang sangat benar. Hanya saja dalam dirinya masih menolak, bayangannya menjadi kepala sekolah itu kuno, karena biasanya yang menjabat kepala sekolah adalah orang berusia di atas 45 tahun. Hufh...menyebalkan.
Andra sudah tak mau protes lagi, ia pun menerimanya dengan syarat hanya setahun atau maksimal tiga tahun ia menjabat. Lagi-lagi papa menyetujui syarat itu, dan memberikan saran agar saat memimpin carilah kader yang cerdas dan berakhlak.
Rapat yayasan dan komite pun dimulai, jajaran keluarga Dewangga turut hadir meski hanya formalitas, dalam grup WA sebagian besar keluarga sepuh ikut keputusan Pak Yusuf dan Pak Yan, dan setuju saja bila Andra yang menggantikan Pak Ibrahim.
"Bagaimana? Ini bukan soal nepotisme atau keluarga Dewangga ingin ikut terlalu dalam urusan sekolah, bukan. Kami hanya ingin mengembalikan citra baik yayasan ini. Perlu kita tahu, penggelapan dana pembangun gedung serba guna SMA sangat menodai kepercayaan keluarga Dewangga terhadap sekolah. Setiap reqruitment tenaga pendidik kami pun menjunjung keprofesionism, sportivitas dan budi pekerti. Oleh sebab itu, untuk sementara kami menunjuk salah satu anggota keluarga Dewangga sebagai kepala sekolah SMA GLOBAL CENDIKIA. Dia adalah Andra Abimanyu Dewangga, putra sulung saya," jelas Pak Yusuf di depan audiens.
Mendapati keputusan Pak Yusuf, pihak sekolah tidak bisa berkutik hanya bisa menerima, karena urusan korupsi sudah ditemukan pelakunya. Mereka tidak bisa menolak, dan merasa bersalah juga kenapa harus membiarkan praktik itu terjadi.
Untuk pihak komite yang terdiri dari beberapa wali murid dan pihak yayasan pun mulai menganggukkan kepala tanda setuju, toh keberadaan keluarga Dewangga memangku jabatan kepala sekolah ini tidak selamanya.
Mereka pun ingin mengetahui profil Andra, asisten Pak Yusuf segera menampilkan profil Andra di layar. Bisik-bisik mulai terdengar dari pihak sekolah dan komite, kebanyakan dari mereka mengamati usia Andra yang dianggap terlalu muda dan semakin ragu apa bisa mengatasi korupsi di dalam intern SMA.
Pak Yusuf mendengar, ia pun meminta Andra menyampaikan sambutan di podium. Andra yang sebenarnya enggan namun tak bisa menolak, ia sudah menyetujui dan harus melaksanakan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh," sapa Andra dengan tegas. Kesempatan berbicara saat ini akan ia gunakan untuk menunjukkan kharisma putra Pak Yusuf yang memang berkompeten dalam memimpin sebuah perusahaan meski baru pertama kali dalam bidang pendidikan. Andra pun dengan jelas mengatakan ia akan selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran untuk kemajuan yayasan. Terkait penggelapan dana pun, ia tidak mau terulang lagi dan meminta semua pihak SMA menggunakan hati nuraninya dalam mengolah sekolah baik pihak akademika maupun struktural, karena bagaimana pun pendidikan tak layak dijadikan bisnis.
Mendengar ketegasan Andra, oramg semula meremehkan kini bertepuk tangan untuknya. Dilihat dari penampilan Andra memang sangat menghipnotis, dan mampu meyakinkan pihak yayasan dan komite bahwa laki-laki muda itu memang patut diperhitungkan sebagai kepala sekolah.
Secara intern, Andra sudah mendapat mandat jabatan itu, namun untuk regulasi administrasi Andra akan mulai resmi memegang jabatan itu saat ajaran baru. Sementara ini yang menjadi Plt kepala sekolah adalah wakil kepala sekolah devisi kurikulum, Bu Maharani.
"Kelihatan killer dan ganteng sekali," puji Bu Karyani, salah satu guru senior SMA yang belum menikah saat usia 42 tahun ini. Beliau begitu setuju saat Andra diminta maju ke podium tadi. Langsung jatuh cinta. "Mungkin dia jodoh saya," lanjut beliau yang ditanggapi anggukan kepala dan senyum canggung beberapa guru yang ikut rapat tadi.
"Pepet terus, Bu. Siapa tahu memang jodoh ibu," sahut Vika, guru bahasa Inggris yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah devisi Humas. Masih muda dan belum menikah.
"Hem ...Bu Vika manis sekali mendukung saya, aduh semoga-semoga jodoh saya. Aamiin," jawab beliau kegirangan.
"Pak Andra juga melek kali pilih istri," sahut Pak Amar setelah Bu Karyani pergi dan disambut tawa oleh sebagian besar guru yang hadir.
Meski Plt kepala sekolah sudah ditunjuk, Andra sudah diminta sang papa untuk langsung terjun ke lapangan. Setidaknya perkenalan dan mengadakan rapat evaluasi serta perencanaan program untuk tahun ajaran baru. Andra juga biss mempelajari ritme bekerja menjadi kepala sekolah. Sungguh Andra semakin dongkol, biasanya ia berangkat jam 8 kurang, kini setengah 7 ia sudah rapi dengan setelan kemeja berdasi. Oh...menyebalkan sekali.
"Yang ikhlas dong Bapak Kepsek, nanti kalau ikhlas bonus istri syantik trulala," ledek Nasya sang adik yang sedang menyeduh susu formula untuk bayinya.
"Ngomong lagi gue sumpel mulut lo pakai roti," ancam Andra pada si bungsu, otomatis ibu satu anak itu tertawa ngakak. Sejak dulu saling ledek menjadi makanan mereka tiap hari, kalau duli Nasya yang menangis baru deh keusilan Andra berhenti. Berbeda dengan sekarang, kalau tanduk amarah Andra muncul baru Nasya berhenti meledek.
"Kalian tuh, ingat umur napa ya Allah. Pagi-pagi udah riweh. Kamu lagi sudah emak-emak masih saja godain kakak kamu," omel mama yang sedang menata sarapan di meja makan, meski ada ART beliau tetap memastikan menu kesukaan anggota keluarganya, bahkan beliau tak segan turun tangan langsung bila menu masakan bibi gak sesuai selera anggota keluarga.
"Habisnya, Kak Andra menggemaskan," ledek Nasya sembari mencubit pipi sang kakak, spontan aja. Lalu lari ke kamar sembari tertawa ngakak. Sebuah hiburan di pagi hari bagi Nasya.
"Kamu itu juga, digodain adik kamu aja sampai mengancam segala."
Andra berdecak, ia mulai menyendokkan oat meal sebagai menu sarapannya. "Nasya tuh kompor banget, Ma. Nyinggung jodoh di sekolah segala, bikin badmood aja."
Nyonya Yusuf, langsung sumringah. "Ouh iya, ya. Kamu kan kepsek, pasti di sekolah banyak guru cantik tuh. Mama dukung Nasya kalau gitu."
Semakin dongkol saja Andra, dirinya saja masih setengah hati menerima jabatan itu eh belum apa-apa sudah disenggol masalah jodoh. Ngenes amat sih.
"Mau sampai kapan kamu menolak perempuan? Gak semuanya seperti Faza, Ndra," sudah keberapa kali sang mama menasehati sang putra agar segera melepas masa lajangnya.
"Kamu juga punya adik perempuan, sudah menikah toh dia juga bisa setia pada suaminya," lanjut sang mama frustasi kalau membahas jodoh untuk si sulung.
Andra hanya diam, lalu menghela nafas pelan. "Mama sabar ya, nanti kalau jodoh Andra sudah datang, pasti Andra juga akan menikah," jawab Andra santai. Kalau sang mama yang mulai menasehati soal jodoh, Andra lebih kalem. Tak mau berlebihan karena bagaimana pun Andra sangat tahu keingingan sang mama agar dirinya segera menikah.
"Padahal mama dan papa gak pernah mematok calon istri kamu harus bagaimana-bagaimana, yang penting perempuan dan baik hati sudah cukup," lanjut mama.
"Beres."
"Beras-beres, sampai sekarang kamu juga belum mencari."
"Mencari, tapi belum ketemu aja, Ma. Tiap hari juga lihat perempuan di kantor atau klien, tapi belum ada yang cocok saja."
Giliran mama yang menghela nafas kasar, mau sengotot apa beliau meminta Andra segera menikah, tapi sang anak santai sekali masalah nikah, Nyonya Yusuf bisa apa. "Nanti di sekolah jangan galak-galak, biar guru perempuan gak takut sama kamu."
"Iya, Ma."
"Nanti kalau ada perempuan yang caper sama kamu, gak usah dihujat berlebihan, kasihan. Nanti kamu kuwalat."
Andra memutar bola matanya malas, kok masalah perempuan sepanjang ini sih kelanjutannya, harusnya sarapan oatmeal tuh menyehatkan, tapi kalau dibumbui dengan nikah malah bikin seret. Sial.
Setelah mendapat nasehat sang mama, akhirnya Andra pamit berangkat. Kebetulan sang papa masih bermain tenis dengan suami Nasya. Andra hanya pamit ala kadarnya pada sang papa, sembari berteriak lagi.
Pa..bapak kepsek berangkat.
Pak Yusuf menghentikan pukulannya, hanya melambaikan jempol dengan tawa tertahan.
****
"Selamat pagi, Pak!" sapa Pak Amar, yang kebetulan sudah pernah bertemu dengan Andra saat rapat dulu. Beruntung dirinya tidak telat, sehingga satu poin plus untuknya. Andra tersenyum, dan mengajak Pak Amar berjalan beriringan sembari mengobrol.
"Pak Amar mengajar apa?" tanya Andra ramah. Kelihatannya saja Andra killer, karena memang dirinya tak suka banyak omong lebih suka kerja saja. Tapi itu dulu, saat menjadi PM. Kalau menjadi kepala sekolah, tentu dia tidak bisa seperti itu. Terpaksa harus banyak omong untuk menjalin interaksi dengan civitas akademika dan murid-murid.
"Saya mengajar matematika, Pak Andra. Kelas X!"
jawab Pak Amar ramah. Andra mengangguk saja. Pak Amar pun mengarahkan Pak Andra ke ruang kepala sekolah.
"Pak Ibrahim bertugas di sekolah ini dibantu berapa wakil kepala sekolah?" tanya Andra saat sudah duduk di sofa ruang kepala sekolah, masih ditemani Amar.
"Ada 4 wakil kepala sekolah. Devisi kurikulum, humas, kesiswaan dan sarana prasarana," jawab Amar serasa asisten Andra untuk menjelaskan lingkup struktural SMA.
"Baik. Kalau Pak Amar, selain mengajar memiliki tugas tambahan apa?"
"Wali kelas dan pembina OSN matematika saja, Pak!"
Andra menganggukkan kepala, kemudian Andra keluar ruangan, para wakil kepala sekolah sudah hadir. Mereka pun menyapa Andra dengan ramah.
"Saya kira Pak Andra datang ke sekolah minggu depan, belum ada acara penyambutan Pak. Maafkan kami," ujar Bu Maharani, selaku plt kepala sekolah saat ini.
Andra tersenyum tipis, "Tidak apa-apa, bersikap biasa saja sama saya, layaknya rekan kerja Anda semua. Kebetulan papa meminta saya segera mempelajari lingkup sekolah, setidaknya ada waktu untuk adaptasi sebelum terjun sebagai kepala sekolah," jawab Andra berusaha sesantai mungkin bicara dengan para guru ini.
Situasi kerja sebagai PM dan kepala sekolah, sangat berbeda. Saat menjadi PM dulu, tiap hari ketegasan Andra selalu muncul, tak peduli dengan situasi kacau atau longgar, Andra terkenal tegas. Tapi kalau menjadi kepala sekolah, sepertinya Andra harus mengubah gaya ketegasannya, khususnya saat berbicara. Jangan sampai mereka takut dan tidak nyaman bekerja dengannya bisa gawat, misi mengembalikan sekolah tanpa korupsi bisa jadi gagal.
"Pengennya sih bersikap biasa saja, tapi setiap ngomong sama Pak Andra kok dag dig dug juga rasanya," jujur Amar yang membuat Andra tertawa pelan.
"Biasa saja, Pak Amar. Meski jadi kepsek, saya sebenarnya hanya anak buah papa saya saja. Sama kayak Pak Amar, tidak ada yang istimewa hanya perkara jabatan saja. Malah kalau bisa jadi kepala sekolah jangan lama-lama."
Amar mengangguk paham, Andra memang masih muda mungkin enggan juga kalau dijadikan kepala sekolah. Jiwa petualangnya masih mendominasi, wajar juga. Nah kalau jadi kepala sekolah memaksanya untuk menjadi good people everytime. Gak mungkin dong kepala sekolah memiliki bad attitude.
"Menurut Pak Amar siapa kandidat terkuat kepala sekolah selanjutnya, kalau di intern SMA?" tanya Andra, sengaja ia melakukan tanya jawab ini karena ingin mengetahui gelagat Amar juga. Siapa tahu baiknya Amar hanya topeng.
Amar sempat gelagapan sepersekian detik ketika ditanya seperti itu, bingung dan pastinya tak menyangka muncul pertanyaan dari pemilik sekolah. Entah mengetes atau memang ingin tahu, yang jelas Amar harus menjawab dengan baik.
"Yang jelas harus memiliki dedikasi tinggi untuk kemajuan sekolah, Pak!" jawab Amar diplomatis. Cari aman saja. Amar tahu dengan kondisi sekolah yang menjadi sorotan yayasan ini sangat rawan dengan pertanyaan soal jabatan kepsek. Amar tak mau terlibat jauh soal intern SMA meski dirinya juga pengajar di sini. Namun, ia harus mengamankan posisinya sebagai guru, tak mungkin ia melepas pekerjaan mulia ini, bukan ada tujuan tertentu, hanya saja usianya sudah di atas 35 tahun tak mau melakukan hal menyimpang, khawatir dipecat, kasihan anak istrinya kalau sampai dirinya kehilangan pekerjaan. Meksi tawaran uang haram pernah menyasar ke arahnya.
"Siapa kira-kira, Pak?" tanya Andra kembali.
Amar tersenyum tipis, "Banyak di sini, Pak. Guru cerdas dan pekerja keras, dan menurut saya mereka baik-baik juga. Hanya saja memang kemarin banyak pihak kecolongan korupsi yang dilakukan oleh salah satu tim sarana prasarana," ujar Amar yang memang mendengar tim sarpras melakukan hal itu.
"Baru pertama kali kah kasus seperti ini?" tanya Andra yang memang alumni SMA ini sekaligus owner yayasan. Tak pernah juga mendengar desas desus baik dari keluarga soal korupsi. Ada rasa bangga karena yayasan pendidikan yang didirikan oleh sang kakek berjalan sesuai keinginan beliau, cerdas berakhlak mulia. Begitu beliau memberikan pesan pada anak dan cucunya. Beliau juga bilang silahkan ambil untung sebanyak-banyaknya pada perusahaan yang kalian dirikan, tapi jangan pernah ambil untung pada yayasan pendidikan yang beliau dirikan.
"Selama bekerja di sini memang baru pertama, mungkin karena niat awal pak Dewangga menjadikan ladang amal di yayasan ini, makanya orang yang kurang baik terseleksi dengan berbagai cara," ucap Amar sesuai kenyataan. Karena memang namanya manusia yang memiliki hati tentu tidak selalu lempeng baik, sehingga ada saja cara Allah menunjukkan orang yang punya niatan tidak baik pada yayasan ini.
Andra mengangguk setuju, oke nilai plus untuk Amar lagi. Kemudian ia berkeliling sekolah, Andra menyapa siapapun petugas di beberapa area mulai dari perpus, tata usaha, maupun petugas kebersihan. Pesan papa harus masuk di segala area agar semua merasa nyaman kalau kepseknya saja low profile.
Ketika melewati lapangan basket, ada beberapa anak yang melihat Andra dan Pak Amar berjalan beriringan. Beberapa siswi mulai berbisik. Andra pun mendengarnya. Ia hanya menggelengkan kepala, anak zaman sekarang tertarik kok sama laki-laki yang berumur.
*Itu siapa, MasyaAllah gantengnya.
Tamu Korea? Apa sekolah kita ada guru tamu dari Korea. Kelas kita dapat kesempatan gak ya.
Byuh....ciptaan Allah memang paling sempurna*.
Berbagai komentar siswi-siswi di lapangan membuat Amar risih juga. Ia melotot pada gerumbulan siswi tersebut. "Maaf ya, Pak. Anak muda," ujarnya tak enak pada Andra. Bagaimana pun citra sekolah sangat baik di luar. Amar tak mau karena keisengan beberapa anak membuat Andra mengambil keputusan berlebih. Jangan sampai, sekolah memiliki aturan semakin ketat karena ketidaksopanan siswi-siswi tersebut.
"Anak remaja," celetuk Andra yang baru tahu kalau kelakuan remaja sekarang begitu. Perasaan dulu teman SMAnya tidak seagresif itu.
"Mereka sebenarnya baik dan sopan, hanya saja kalau bertemu dengan pihak luar yang gantengnya kebangetan sering kelepasan centilnya," lanjut Amar mencoba bercanda. Andra pun tertawa pelan dan mengangguk saja. Mungkin zamannya sudah berubah, perempuan mungkin sekarang lebih agresif.
Mendadak Andra kesal sendiri kalau ada perempuan yang agresif seperti itu. Bayangan Faza mulai muncul. Sungguh ia ditipu habis oleh Faza yang di depannya sangat polos, bisa hamil di luar nikah dengan teman kuliahnya. Lelucon macam apa ini. Hufh....
Andra masih berkeliling kali ini ditemani oleh Pak Wahyu, guru senior teman Pak Ibrahim. Andra sangat salut pada beliau, betapa sabar dan mulia hati beliau ikut mengembangkan sekolah ini meski tak pernah memiliki jabatan penting.
"Papa kelewat mungkin ya, atau bahkan lupa kalau ada guru sebaik bapak untuk menggantikan Pak Ibrahim?" tanya Andra yang ragu akan kejelian sang papa memilih pimpinan untuk SMA.
Pak Wahyu menggeleng dan menepuk pundak Andra, menganggap seperti anak sendiri dengan memberi petuah. "Pak Yusuf tidak lupa atau terlewat, Pak Andra. Hanya saya yang memang menolak."
"Kok?"
"Saya hanya ingin membantu sekolah di balik layar tanpa ada embel-embel jabatan, khawatir tidak ikhlas. Saya ingat pesan guru saya, mengamalkan ilmu kalau diiringi niatan tertentu apalagi menjurus pada duniawi bisa tidak barokah, saya sangat takut."
"Subhanallah, Pak Wahyu."
"Soal masalah dengan tim sarpras itupun, saya sudah berdiskusi dengan Pak Ibrahim, mencoba menyelesaikan secara kekeluargaan, tapi jiwa petualang anak muda terlalu tinggi, tak mau mendengar nasehat kami, alhasil Pak Ibrahim lepas tangan. Kalau ketahuan tak akan dibela," jelas Pak Wahyu menceritakan kronologi citra buruk SMA.
"Bisa begitu ya, berani sekali mereka Pak? Padahal tidak punya backingan orang yayasan?"
Pak Wahyu sekilas melihat Andra, tatapan kedua laki-laki itu bertemu. Sorot mata guru senior itu menyiratkan ada rahasia yang belum terungkap dalam keluarga Pak Dewangga.
"Bisa tolong diceritakan, Pak Wahyu?" tanya Andra memutus tatapan keduanya dan menangkap signal aneh. Beruntung sudah masuk ke area kantin. Andra pun mengajak Pak Wahyu untuk istirahat sembari cerita.
Tampak Pak Wahyu gelisah mendapat permintaan dari Owner, mendadak dirinya gelisah kalau sampai hari ini terbongkar rahasia keluarga kaya ini. "Pak Wahyu?" tegur Andra, sedetik kemudian Andra memilih duduk di salah satu sudut kantin, dan memesan kopi untuk Pak Wahyu dan jus untuk dirinya.
"Sebenarnya ini rahasia Pak Dewangga, mungkin Pak Yusuf sudah tahu saat kasus itu terungkap. Karena beliau ingin diungkap secara jelas dan memutus rantai tindak korupsi."
"Rahasia apa? Apa hanya papa yang tahu? Keluarga besar saya?"
Pak Wahyu menggeleng. "Setahu saya hanya Pak Yusuf dan Pak Ryan."
Andra mengerutkan dahi. Kok hanya dua anggota keluarga yang tahu, kok bisa papa menyembunyikan rahasia tanpa melibatkan keluarga besar. Konspirasi apa ini?
"Tolong beri penjelasan setahu Pak Wahyu, saya berharap kasus ini tidak mengecewakan almarhum kakek saya," pinta Andra penuh dengan kerendahan hati.
Pak Wahyu menimbang, sempat menggaruk kepala yang tak gatal, mulai dari mana?
"Rahasia apa, Pak Wahyu?" tanya Andra sekali lagi, dan kali ini sedikit menuntut. Pak Wahyu beberapa kali menarik nafas berat, tak membayangkan harus berada di situasi seperti ini.
"Pak?"
"Tapi tolong apapun yang Pak Andra dengar harus dikonfirmasi ke Pak Yusuf, siapa tahu saya salah!" Andra mengangguk, salut dengan kehati-hatian Pak Wahyu.
"Pak Hady dan Pak Fikri adalah cucu tuan Dewangga," ujar Wahyu menyebutkan tim Sarpras yang terlibat dalam kasus penggelapan dana pembangunan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!