NovelToon NovelToon

Perjaka Tampan Dari Hutan

Di Mana Aku

Maksud hati ingin berlibur melepas penat. Namun, sebuah ombak besar menabrak kapal pribadi yang di tumpangi Ana hingga ia terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni.

Ana berbaring lemah di tempat asing tanpa satu pun teman. Badannya terasa ngilu dan kaku sampai sulit sekali untuk digerakan.

"Di mana aku?"

Ia membuka matanya pelan-pelan, mencoba membangun kesadarannya secepat mungkin agar dapat memahami situasi saat ini.

Ya Tuhan!

Gadis itu sangat tekejut saat mendapati seekor gajah yang sedang menatapnya dengan muka lapar dan mata menukik tajam. Jarak mereka sangat dekat, hanya tiga meter dari batu tempat Ana bersandar saat ini.

Apa yang harus aku lakukan? Aku memang bisa bela diri dan melawan dua musuh sekaligus, tapi kalau sama gajah mana mungkin.

Gadis itu bergerak mundur pelan-pelan hingga tubuhnya membentur pohon besar yang tak jauh dari batu tempatnya menyandar tadi. Ana berusaha menghela dan mengembuskan napasnya hati-hati agar tidak mengusik ketenangan gajah di depannya.

Tenang An, gajah makannya rumput, 'kan, ya? Nggak usah takut. Dia tidak napsu dengan gadis bucin sepertimu, batinnya dalam hati.

Entah kenapa di saat pikitan buntu seperti ini, Ana mendadak bodoh. Ia parno berat melihat wajah si gajah yang terus menatapi gerak-geriknya dengan muka sengit. Entah marah atau apa, yang jelas ekspresi gajah itu terlihat datar dan menakutkan.

"Ini aku sebenarnya di mana, si? Apa aku tersesat di kebun binatang privat milik orang kaya?" gumam gadis itu lirih sekali.

Ia coba mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari bantuan. Bukannya menemukan solusi, ia malah dibuat terkejut saat matanya tak sengaja menangkap netra killer yang berdiri di belakang pohon sambil menunggunya.

"Akhp!" Dia menutup mulutnya tidak percaya.

Ya Tuhan, ternyata ada macan juga di sini. Tamat sudah riwayatku!

Satu, dua, tiga. Ana menghitung dan menatapi semua hewan-hewan buas yang sedang diam mengelilinginya dengan tubuh gemetar hebat.

Jelas ini bukan di kebun binatang karena Ana tidak melihat penampakan kandang satu biji pun. Ini juga bukan di dunia fantasi atau kartun yang menghadirkan tokoh fabel.

Lalu, di mana dia berada? Masih di bumi, 'kan? Apa aku sudah mati?

"Kenapa mereka semua mengelilingiku. Apakah hewan-hewan ini mau memperebutkan tubuhku yang seksie bohay ini? Tau gitu aku tidak usah liburan saja." Ia masih sempat menyesali niatnya dalam siatuasi begini.

Ana memejamkan matanya tiga menit. Kemudian membuka lagi dengan harapan penuh bahwa ini cuma mimpi.

Ia berdecak, "Sialan, ternyata ini nyata, MEN. Kenapa aku so-so'an ingin menyatu dengan alam, sih? Jadi gini, kan! Tahu begini lebih baik aku mencari cowok bayaran di tempat hiburan malam. Terus bergulung di dalam selimut yang sama dengan berondong tampan. Walau pecah perawan, setidaknya itu lebih aman," gumam Ana lagi.

Pikirannya sekarang terbayang hiruk pikuk perkotaan yang ramai, dan tentunya tak ada hewan-hewan sialan ini.

*

*

Satu jam berlalu.

Hewan-hewan buas itu terus menatap Ana tanpa bergerak sedikit pun. Mungkinkan mereka sedang berdiskusi siapa yang kebagian jatah untuk menyantap Ana. Karena tubuh kecil itu jelas tidak mungkin bisa di bagi-bagi. Harus ada yang mengalah di antara para hewan buas tersebut.

Srakkk .... Srakkk .... Srakk.

Dari arah matahari terbenam, Ana mendengar langkah cepat sedang berjalan ke arahnya. Tidak, secepat ini bukan berjalan namanya! Mungkin dia sedang berlari kesetanan.

"Kali ini hewan apa lagi? Dinosauruskah? Atau T-Rex?"

Gadis yang nyawanya sedang terancam itu terus meracau pasrah, menunggu kemunculan dari suara mengganggu tersebut, dan ... sosok mahluk aneh yang tingginya diperkirakan lebih dari dua meter datang melompat tepat ke arahnya.

"Monsteeeeeeeeer!"

Ana berteriak dengan jantung yang berdetak secara ubnormal. Tidak terlalu jelas wajahnya seperti apa, karena seketika itu juga ia pingsan tak sadarkan diri.

Itunya Besar Syekali

Setelah sempat pingsan tadi, Ana dibawa ke sebuah gubuk kayu beratapkan daun jerami kering yang letaknya tak jauh dari pantai.

Keadaan gadis itu sangat lemah dan memprihatinkan. Ia kekurangan cairan, tidak kemasukan nutrisi sama sekali selama dua hari.

Sebenarnya sosok pria yang dianggap monster oleh Ana adalah orang yang menolongnya.

Pria itu sengaja menyuruh hewan-hewan sahabatnya untuk menjaga Ana selagi ia mencari makanan dan obat-obatan herbal untuk menyembuhkan luka gadis itu. Sayang penampilan pria itu terlalu asing dan mengerikan, jadi Ana langsung pingsan sebelum pria itu berkata anyonghaseyo.

Kini keadaan gadis itu jauh lebih mendingan karena sudah ditetesi cairan. Dia mulai terbangun perlahan, dan mendapati tempat yang jauh lebih asing dari sebelumnya.

"Apakah aku sedang berada di dunia Isekai? Rumah macam apa ini?" Gumam-gumam pelan keluar dari bibir Ana bersama mata yang terasa silau. Cahaya rembulan malam ini bersinar keperakkan, masuk melalui celah bilik kayu lapuk dan menerpa wajah Ana yang tidak pernah dicuci beberapa hari.

"Kamu sudah bangun?"

Eh!

Ana sontak mendelik dan memaksa tubuhnya untuk duduk dengan susah payah.

Ia menatap laki-laki yang penampilannya mirip seperti tarzan lumutan dari jaman purba. Pandangannya mengintimidasi dan penuh kewaspadaan.

"Siapa kamu?" lontar Ana terheran-heran. Baru kali ini dia melihat manusia yang penampilannya aneh sekali. Bahkan jauh sekali dari bayangan tarzan yang ada di teve.

Pria itu masih terdiam sambil memperhatikan tubuh Ana seperti baru pertama kali melihat seorang wanita. Dia juga mengamati dengan seksama. Terutama membandingkan tubuhnya dengan tubuh Ana yang jauh berbeda.

"Nama saya Naki, saya bukan monster seperti yang kamu katakan itu!" Dia bergerak mendekat. Lalu berjongkok menghampiri Ana yang tengah duduk di atas tikar berbahan kulit hewan.

Ana segera memundurkan tubuhnya sampai mentok ke tembok kayu.

Mahluk aneh dari jaman apa ini kenapa dia bisa menggunakan bahasa manusia?

Sedangkan yang Naki yang sudah lupa dengan rupa seorang wanita juga merasakan hal yang sama seperti Ana. Ia masih terus terheran-heran melihat bentuk tubuh Ana yang tidak sama dengannya. Namun terasa menarik untuk dipandangi.

"Saya manusia juga," ucap Naki menyakinkan sekali lagi. Tangannya mencoba meraih Ana, namun segera ditepis dengan sigap oleh gadis itu.

"Ja-jangan mendekat, aku beneran takut padamu!"

Tentu saja ia terkejut bukan main melihat sosok yang menyerupai manusia berjenis kelamin laki-laki tersebut, karena badannya terlampau tinggi dan tidak normal. Mungkin sekitar 215 sentimeter dengan berat kisaran 100 kilogram. Memiliki tubuh besar, kekar, dan ....

ASTAGA! Apa lagi ini?

Itunya kelihatan! Besar sekali ya Tuhan!"

Ana refleks memalingkan wajahnya, malu. Pipinya bersemu merah sambil membayangkan pedang kegelapan yang ukurannya oversize.

Kenapa dia memakai sejenis rok mini sih? Kecanggungan setan macam apa ini? Kok dia bisa santai begitu memamerkan pedang kegelapannya pada wanita polos seperti aku, batinnya berteriak.

Pria aneh itu berbicara kembali. "Jangan takut, saya bukan monster pemakan manusia. Saya adalah manusia normal, sama seperti kamu juga."

Normal kepalamu, mana ada pria normal pakai rok mini! Ketus Ana dalam hati.

"Kayaknya dia manusia purba yang ketinggalan. Mungkin gak sih ada manusia purba yang belum punah sampai saat ini?" gumam gadis itu.

Ana menoleh kembali ke arah pria itu. Kemudian memandangi tubuh Naki dari atas kepala sampai ujung kaki. Rambutnya gondrong, tapi tidak terlalu kusut, kulitnya hitam, tapi tidak terlalu legam. Badannya sudah jelas tidak wajar. Dan yang paling menyebalkan adalah, dia tidak memakai baju, sehingga Ana harus waspada seratus persen pada sosok aneh dan mengerikan tersebut.

"Apa kamu sejenis manusia purba? Kenapa penampilanmu aneh begitu?" tanya Ana bingung.

Di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa ditanya selain pria itu. Mau tidak mau Ana harus berkomunikasi dengan pria aneh itu demi sebuah informasi.

"Manusia purba itu apa?" lelaki itu malah balik bertanya. Ana kontan menepuk jidat.

Oh, iya. Manusia purbah mana tahu tahu kalau dia adalah manusia purba. Itu 'kan cuma julukan yang diberikan para ilmuwan di masa kini, batin Ana lagi.

"Manusia purba ya kayak kamu itu? Gak normal bentukannya."

Kamu Tidak Enak

***

"Sudah dibilang saya manusia biasa. Bukan manusia purba! Apa itu manusia purba? Saya juga tidak tahu," balasnya ketus juga.

Tak mau kalah, Ana makin tambah jutek. "Kok kamu nyolot, siapa suruh penampilanmu aneh begitu! Tinggi besar seperti tarzan," ujarnya.

"Dari dulu saya memang seperti ini. Kamu juga aneh. Kecil dan berisik," jawab Naki logis disertai nada ejekkan.

"Eh, malah ngatain aku ya? Dasar manusia purba jelek. Gak pake celana!" sungut Ana.

Naki melengos malas. Hal itu membuat Ana terdiam seraya memasang wajah tidak nyaman.

"Tidak. Aku Nggak boleh galak-galak sama dia. Sekarang cuma dia satu-satunya orang yang bisa aku tanya," batin perempuan itu.

"Jadi kamu adalah penduduk yang tinggal di tempat ini?"

"Iya." Naki menoleh lagi. Karena suara Ana melembut, Naki pun kembali memasang ekspresi teduh.

"Bisakah kamu menolongku? Bantu aku keluar dari tempat aneh ini, aku ingin pulang!"

Langsung saja Ana meminta bantuan tanpa basa-basi agar urusannya cepat selesai. Dan tentunya tidak berhadapan dengan orang aneh seperti Naki.

Naki malah menunduk dengan wajah sedih. "Maaf, saya tidak bisa menolongmu. Saya juga sama sepertimu. Saya terdampar di tempat ini sendirian sejak umur delapan tahun, dan tidak pernah bisa keluar sampai saya jadi sebesar ini."

"Hah?"

"Kamu seriusan! Tolong jangan membohongiku. Kamu tidak sedang bercanda, 'kan?" Ana mulai panik. Keringat sebesar biji jagung berjatuhan dari sekujur tubuhnya.

"Saya serius. Untuk apa saya membohongimu?"

"Ya Tuhan. Kesialan macam apa yang sedang menimpa hidupku?" Ana berteriak frustrasi. Ia sungguh bingung sejadi-jadinya.

Ana mencoba tidak percaya pada Naki. Namun, melihat tampangnya yang seperti perjaka lumutan membuat Ana yakin bahwa pria itu juga sama-sama terjebak seperti Ana.

"Aku harus keluar dari sini bagaimanapun caranya! Aku tidak mau tinggal di hutan belantara seperti ini!"

Ana memaksa tubuh lemahnya untuk berdiri. Ia berpegangan pada tembok kayu untuk menopang tubuh lemahnya.

Naki yang melihat tingkah histeris Ana mencoba menghalau. "Tubuhmu masih lemah, mau ke mana? Di sini banyak sekali hewan buas. Mereka pasti akan memakanmu jika kamu pergi sendirian," ujar lelaki itu.

Ana menepis tangan Naki sebelum sempat pria itu menyentuhnya. "Kemana kek, yang jelas tidak di sini. Aku akan mencari jalan keluar biar bisa pulang."

"Kamu masih sakit, setidaknya istirahatlah dulu sampai besok pagi," larang Naki sambil menghadang di depan Ana agar gadis itu tidak kabur.

Ana menatap Naki dengan penuh kebencian. "Jangan pura-pura baik padaku. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ada di balik otak licikmu. Kamu bisa saja menjahatiku dengan mudah," tandas Ana penuh penekanan.

Naki merasa bingung. Ia tidak mengerti arah bicara Ana yang terlalu berat. Padahal Naki hanya ingin menolong Ana. Tidak bermaksud menyakiti atau apa lah yang gadis itu maksud.

"Tapi malam hari sangat berbahaya. Saya tidak yakin kamu bisa bertahan dalam keadaan seperti ini di luar sana." Naki berkata sambil memandangi tubuh mungil Ana yang tampak ringkih tak berdaya. Tubuh sekecil itu, baru berjalan satu langkah saja pasti sudah dikunyah macan, pikir Naki.

"Di sini juga aku tidak yakin bisa bertahan. Bagaimana kalau kamu memakanku?"

"Makan?" Naki memandangi tubuh Ana dari ujung kaki ke ujung kepala. Tentunya hal itu membuat Ana bereaksi ketakutan.

"Jangan macam-macam ya? Ngapain kamu memandangku seperti itu?"

Naki menggeleng polos. "Sepertinya kamu bukan mahluk yang enak untuk dimakan. Kamu cerewet," ujar anak itu.

Ana mendelik, tetapi ia tidak mau mempermasalahkan ucapan Naki.

Persetan dengan ucapan lelaki itu. Ana benar-bener tidak peduli sama sekali. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah jalan pulang agar ia bisa kembali ke tempat Asal.

"Minggir, jangan menghalangi atau mendekatiku!" bentak Ana galak.

Naki membuang napasnya kasar. Pada akhirnya ia lebih milih mengalah. Membiarkan Ana pergi sesuai keinginannya.

"Ya sudah, silakan pergi jika itu keinginanmu." Naki menyingkir dari hadapan Ana. Mata hitamnya memandang Ana dengan teduh dan berat.

Sebenarnya dia jenis manusia seperti apa? Kenapa selalu marah-marah? Padahal saya sudah berbuat baik padanya, batin Naki lagi.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!