NovelToon NovelToon

RAHASIA CINTA

Bab 1 - Salah

'Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini?' Batin seorang wanita berambut panjang, saat seorang pria menggandengnya memasuki sebuah hotel.

Wanita itu tampak gugup dan takut. Terlihat dari wajahnya yang sangat pucat pasih. Bahkan kakinya ikut gemetaran.

"Jangan takut! Kita akan menginap semalam dan besok aku akan menemui keluargamu untuk melamarmu lalu menikahimu. Aku janji!" Ucap pria itu dengan senyum melebar.

"Tapi, sebelum itu... malam ini aku harus memastikan kamu masih perawan atau tidak?" Ucap pria itu kembali mengingatkan.

Glek

Wanita itu menelan salivanya mendengar ucapan pria itu. Tubuhnya mendadak panas dingin.

Yura Safira, wanita yang saat ini berusia 30 tahun. Diusianya sekarang seharusnya dia sudah menikah.

Tapi diusianya itu belum ada juga pria yang serius untuk membangun rumah tangga dengannya. Menjadikan ia seorang istri.

Yura yang merasa sedikit frustasi, sering mencari teman kencan dari aplikasi pencari jodoh. Berharap bertemu dengan pria yang ingin menikahinya.

Tapi tidak ada yang berniat serius padanya.

Hanya pria ini, yang terlihat sedikit menunjukkan keseriusan padanya. Pria itu katanya berniat ingin menikahinya. Tapi, pria itu harus memastikan terlebih dahulu bahwa Yura masih suci atau tidak. Agar tidak ada penyesalan nantinya. Begitulah kata pria itu meyakinkan Yura.

Meski Yura telah mengatakan ia masih suci dan belum tersentuh. Tapi pria itu tidak percaya begitu saja. Dan tetap ingin adanya sebuah pembuktian, yang akan meyakinkannya.

Jadi untuk membuktikan suci tidaknya dia, di sinilah Yura sekarang. Di sebuah hotel berbintang di tengah kota.

'Banyak orang yang kebobolan saat pacaran, tapi menikah juga...'

'Dan mereka baik-baik saja dengan pernikahannya...'

'Bahkan pestanya besar. Tidak ada rasa malu...'

'Tapi... Kalau nanti hamil gimana?'

'Tadi katanya dia akan pakai pengaman...'

Yura bergelut dengan pikirannya. Sungguh dia mendadak dilema.

Selama ini, selama pacaran Yura selalu menolak untuk melakukan hubungan se&sual sebelum menikah. Dan pria-pria itu malah meninggalkannya. Dengan alasan Yura tidak mencintainya.

Semenjak itu selalu ada pikiran dalam hati Yura, apa mungkin harus melakukan hal tersebut baru bisa menikah?

Meski hati Yura ingin menikah, tapi Yura merasa apa yang akan mereka lakukan ini bertentangan dengan hati nuraninya. Duh... Yura benar-benar bingung.

'Tuhan, jika caraku untuk menikah ini salah. Tunjukkanlah!' Harap Yura memohon petunjuk. Ia tidak bisa berpikir apa yang sekarang akan dikerjakannya benar atau salah?

Duar!!!

Tiba-tiba suara petir menyambar, membuat Yura tersentak kaget.

'Apa ini?' batin Yura.

Pria yang menggandeng Yura berjalan menuju kamar yang sudah di bookingnya juga kaget.

"Sepertinya mau hujan. Enaknya dingin-dingin berdua sama kamu." Ucap pria itu mengeratkan gandengannya. Ia menggandeng Yura berjalan menyusuri lorong yang sepi. Dan...

Tiba-tiba lampu padam.

"Ada apa ini?" Tanya pria itu bingung. Kenapa di hotel berbintang bisa mati lampu?

'Apa ini...?' Yura mulai menutup mulutnya tidak percaya. Sepertinya Tuhan memberinya petunjuk.

Tidak boleh melakukan hubungan se&sual sebelum pernikahan. Sebagai wanita harus bisa menjaga dirinya.

Tiba-tiba pikiran Yura jadi jernih. Ia pun menepis tangan pria itu.

"Ada apa?" tanya pria itu yang mencengkam tangan Yura.

"Lepaskan aku!" Yura berusaha melepaskan tangannya.

"Ayo, sebentar lagi kita sampai kamar. Kamu takut ya!" ucapnya seraya meraih ponsel, menyalakan senter. Agar ada cahaya untuk berjalan ke kamarnya.

"Lepaskan aku! Aku tidak mau!"

"Tidak bisa!" pria itu memegangi Yura. Ia tahu wanita itu sepertinya berubah pikiran.

"Aku tidak mau melakukan itu!" tolak Yura kembali.

"Aku akan menikahimu. Ayolah!" pria itu memaksa merangkul Yura. Berjalan menuju ke kamarnya.

Yura pun menepis tangan pria itu, hingga ponsel itu jatuh dan kembali gelap.

"Yura, kamu!" ucap pria itu marah. Yura menjatuhkan ponselnya. Tah di mana ponselnya, ia tidak bisa melihatnya.

Yura tidak peduli lagi, ia menggigit tangan yang masih memeganginya.

"Awhh!" pria itu kesakitan dan jadi melepas pegangannya.

"Yura!!!" Panggil pria dalam kegelapan. Ia tidak bisa melihat Yura, tapi dari langkah kakinya sepertinya wanita itu berlari pergi menjauh.

Entah keberanian dari mana yang datang, Yura berlari di tengah kegelapan. Seolah tidak ada ketakutan yang menghinggapinya.

Tiba di depan lift, tapi sepertinya lift itu mati dan tidak berfungsi. Yura terpaksa menuruni anak tangga.

Tak tak tak...

Yura menghidupkan senter dari ponselnya. Dengan cahaya itu ia pun menuruni anak tangga.

Turun dan semakin menuruni anak tangga, ia sangat takut pria itu akan mengejarnya. Saat ini Yura ingin segera keluar dari hotel itu.

Yura tidak akan mau melakukan hal seperti itu. Apa jaminannya?

Bagaimana setelah menyerahkan keperawanannya pria itu menghilang?

Kalau ia hamil tanpa suami?

'Astaga!!! Kenapa aku begitu bodoh!!!' Yura mengutuk dirinya yang tidak berpikiran panjang kali lebar.

Lantaran ucapan dan gosipan orang-orang yang menyebutnya perawan tua, ia sampai tidak memakai akal sehatnya lagi.

"Huft!" Yura bernafas lega. Lampu telah hidup kembali. Tapi perasaannya mulai tidak tenang. Pria itu bisa dengan mudah mengejarnya, lift sudah berfungsi kembali.

Yura tetap terpaksa menuruni tangga, ia takut jika menunggu lift dan malah ketemu pria itu. Ia pasti akan dibawa ke kamar hotel.

Yura mengusap air matanya yang berjatuhan. Kakinya sangat sakit sekali. Tapi ia harus menahannya, agar segera keluar dari hotel ini. Dengan begitu ia akan aman.

Ponsel Yura berdering, pria itu meneleponnya. Yura pun menonaktifkan segera. Sungguh, ia sudah tidak mau berhubungan dengan pria itu. Mungkin nanti akan diblokirnya nomor pria itu, setelah keluar dari tempat ini.

Akhirnya Yura sampai di lobi hotel, ia berlari sambil masih melihat ke belakang. Sungguh, Yura takut pria itu mengejarnya.

Karena tidak fokus pada jalan, Yura malah menabrak seorang pria.

Kaki Yura yang sangat pegal, tidak sanggup menopang tubuhnya. Membuat Yura jatuh ke depan dan menubruk seorang pria.

Karena lantai agak berjarak membuat pria itu pun jadi terjungkal ditubruk seseorang dari depannya.

"Awhh..." ucap suara bariton sambil memegangi kepalanya yang jadi terantuk lantai. Dan...

Cup

Yura jatuh menimpa tubuh pria itu. Bibirnya pun mendarat tepat di bibir pria itu.

Mata Yura terbelalak melihat apa yang terjadi.

"Astaga!!! Maafkan aku!" Yura akan bangkit dan sikunya menekan perut pria itu.

"Aduh!" Pria itu kembali meringis. Tenaga wanita itu sangat kuat saat menekan perutnya.

"Ma-maafkan aku, Om!" Yura menundukkan kepala merasa bersalah. Lalu ia segera pergi.

Yura harus segera pergi, sebelum pria teman kencannya turun dan mengejarnya.

"Hei!" Ucap pria itu yang ditinggalkan begitu saja. Bukannya ditolong untuk berdiri, malah kabur begitu saja.

"Pak Brian, anda tidak apa?" tanya seorang pria yang baru datang dan segera membantu pria itu untuk berdiri.

"Astaga!" Brian memegang bibirnya yang berdarah. Wanita itu sudah jatuh menimpa tubuhnya, menekan perutnya bahkan membuat bibirnya berdarah dan hanya meminta maaf begitu saja...

'Dasar wanita tidak tahu aturan!!!'

.

.

.

Bab 2 - Bukan Beban

Yura bernafas lega bisa keluar dari hotel itu. Ia kini turun dari ojek dan akan memasuki rumah. Tapi langkah kakinya berhenti, saat mendengar suara pertengkaran dari dalam.

"Mau sampai kapan kakakmu kita urus?" Tanya Sisi, adik iparnya Yura.

"Apa maksudmu?" Tanya balik Didi, adiknya Yura.

"Aku tidak masalah kita mengurusi Bunda. Tapi, kalau kak Yura juga, aku tidak bisa!" Ucap Sisi lagi menolak.

Mengurusi ibunya Didi, Sisi tidak ada masalah. Karena ia tahu berapa lama lagilah Bunda akan bertahan hidup. Tapi Yura? Mau sampai kapan? Masa sampai tua Yura terus bersama mereka?

"Si, jangan seperti itu pada kakakku!" Senggak Didi tidak terima.

"Lihatlah, kakakmu sangat pemalas. Sudah tidak bekerja dan sudah malam begini tidak pulang. Seharusnya ia segera menikah, bukan malah menyusahkan adiknya!" Balas Sisi kembali.

"Sisi, tutup mulutmu! Kak Yura baru dua bulan berhenti bekerja!" Didi mengingatkan.

"Jangan seperti itu pada kak Yura. Dia kakakku!" Timpal Didi kembali. Yura tidak pernah menyusahkan mereka, istrinya itu saja yang selalu beranggapan seperti itu.

"Teruslah... teruslah kamu berhutang budi padanya!" Cecar Sisi kesal.

"Apa kamu mau mengatakan, jika sekarang kamu bisa sukses karena berkat jasanya itu? Maka dari itu kamu jadi mempunyai tanggung jawab untuk membalas apa yang telah dilakukannya? Ingat Didi, kamu sudah menikah sekarang. Kamu harus lebih mengutamakan istrimu! Mengutamakan aku, bukan dia!!!" Jelas Sisi pada apa yang dirasakannya. Ia menikah dengan Didi dan tidak mau Yura ada di tengah-tengah mereka. Karena bagi Sisi Yura seperti beban nyata dalam rumah tangganya.

Yura itu hanya menjadi beban buat adiknya. Seharusnya Yura memiliki sedikit hati nurani. Karena bundanya Didi masih hidup, maka Yura ikut ke mana pun bunda tinggal.

Bagaimana jika bunda sudah tiada?

Apa selamanya Yura akan menumpang hidup dengan mereka?

"Aku ngantuk!" Didi tidak mau berdebat lagi. Percuma ia menjelaskan, Sisi tidak mau mengerti.

Didi masuk ke kamar, ia mengusap wajahnya dengan kesal.

Saat menikah dulu, ia sudah menjelaskan secara detil perihal keluarganya. Dan Sisi mau menerima semua. Menerima hidup dengan bundanya dan menerima hidup dengan Yura sampai kakaknya itu menikah.

Karena Didi mempunyai tangung jawab menjaga kakaknya sampai ada pria yang menikahi Yura.

Sisi menyanggupi semua itu. Tapi sekarang baru 3 bulan pernikahan mereka berjalan, kenapa Sisi tidak bisa menerima kakaknya?

Didi ingat kala itu. Saat Yura tamat SMA, ayah mereka meninggal dunia. Meninggalkan Yura dengan bunda dan dirinya yang masih sekolah duduk di kelas 3 SMP.

Saat ayah, sang tulang punggung itu telah tiada, Yura lah yang mengambil bagian itu. Karena bunda mereka sering sakit-sakitan semenjak ayah meninggal. Dan Didi masih sekolah, Yura tidak mau adiknya putus sekolah.

Yura pun bekerja untuk mencukupi kebutuhan bunda dan adiknya itu. Untuk makan, tempat tinggal bahkan untuk berobat bundanya.

Yura menjalani pekerjaan di dua tempat. Pagi sampai sore menjadi buruh di pabrik. Dan saat sore menjelang ia bekerja menjadi pelayan di rumah makan.

Didi yang melihat sang kakak selalu pulang di tengah malam, merasa sedih. Ia berniat ingin berhenti sekolah saja dan membantu kakaknya dengan mencari kerja. Tapi Yura malah menahannya.

"Sudah, kamu sekolah yang rajin. Biar nanti bisa dapat pekerjaan yang bagus. Nanti kita bisa beli rumah, biar bunda nyaman!" Yura mengelus kepala sang adik dengan sayang. Seolah merasa apa yang ia lakukan sekarang adalah bentuk tanggung jawabnya kepada keluarga.

Ayah telah tiada, bunda juga sedang sakit. Tidak mungkin bunda bekerja mencukupi kebutuhan mereka. Didi juga harus tetap sekolah.

Didi terpaksa mengangguk. Saat ini mereka hanya bisa menyewa kontrakan satu kamar. Karena uang yang dicari kakaknya habis untuk berobat sang bunda.

Saat telah tamat SMA, Didi ingin bekerja saja dan tidak mau meneruskan kuliah. Tapi tetap Yura tidak mengizinkan. Bundanya kini juga sudah sehat. Yura jadi menyuruh Didi berkuliah, adiknya itu mendapat beasiswa.

Meski dapat beasiswa, tapi Didi merasa untuk kebutuhan sehari-harinya pasti kakaknya yang banting tulang. Ia tidak ingin terus menyusahkan Yura.

"Kamu kuliah saja, kan dapat beasiswa. Sudah yang lain nggak usah dipikirkan. Nanti kalau kamu sudah selesai kuliah, terus kerja, gajinya kan besar. Kita bisa beli rumah." Ucap Yura membujuk adiknya.

Yura kini mengangsur sebuah sepeda motor untuk kaki mereka. Agar lebih mengirit ongkos.

Saat pagi, Didi yang mengantar Yura ke tempat kerja. Lalu ia baru pergi kuliah. Saat sore Didi kembali menjemput kakaknya dan begitulah setiap hari.

Yura itu juga tidak ada capeknya. Begitu pulang kerja, ia menggunakan sepeda motornya untuk mencari uang. Ya, menjadi pengemudi ojek online. Ia tidak bekerja di dua tempat lagi. Hanya di pabrik saja.

Didi juga ikut menjadi pengemudi ojek untuk membantu kakaknya juga. Jadi mereka sering berganti-gantian menjadi pengemudi ojek.

Meski kehidupan yang mereka jalani berat, tapi mereka selalu tertawa dan tersenyum bersama. Mensyukuri apapun yang diberikan.

"Kak, aku kan sekarang sudah bekerja. Sudah kak nggak usah kerja lagi. Biar aku saja!" Ucap Didi ketika ia diterima bekerja di sebuah perusahaan.

"Sudah, biar kakak tetap bekerja saja. Nanti uang gajian kamu kumpul-kumpul untuk beli rumah, jadi biar cepat." Saran Yura kembali. Biar saja untuk kebutuhan sehari-hari, pakai gajinya.

"Tapi kak-" Didi merasa tidak enak. Ia sudah bisa bekerja dan berpenghasilan sekarang. Ingin kakaknya tidak usah bekerja lagi. Biar ia yang bekerja dan pelan-pelan mengumpulkan uang untuk membeli rumah.

"Sudah, kamu kerja yang rajin saja. Biar cepat beli rumahnya." Yura menyemangati adiknya itu. Dengan membeli rumah, bunda tidak akan kesusahan pindah-pindah terus. Bunda sudah semakin tua, kasihan jika pindah-pindah terus. Harus ada tempat menetap.

"Atau kak Yura kuliah saja." Saran Didi kembali.

Saat itu Didi tidak sengaja melihat berkas beasiswa kuliah kakaknya, saat membersihkan kamar. Yura mendapat itu. Tapi, karena ayah mereka meninggal. Yura pasti mengubur keinginannya untuk berkuliah. Ya, karena untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, dirinya dan bunda yang saat itu sakit-sakitan.

"Nggak usah, dek. Kakak kerja saja!" Yura sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuliah lagi. Ia juga tidak mau menyusahkan adiknya yang sedang merintis itu.

Didi menghembuskan nafas berkali-kali. Ia kesal dengan sikap istrinya itu. Yang seolah menganggap kakaknya beban. Padahal Yura baru 2 bulanan ini tidak bekerja lagi. Selama ini juga, untuk kebutuhan Yura sendiri, tidak pernah meminta padanya. Pesangon kakaknya itu juga masih ada. Bahkan Yura memberikan uang bulanan dengan pesangonnya itu, padahal Didi sudah menolaknya. Tapi Yura tetap memaksa.

Didi mengusap wajahnya. Lalu melihat jam dinding. Sudah pukul 11 malam.

'Kak Yura kenapa belum pulang?' Batinnya bertanya-tanya. Ia pun meraih ponsel dan menghubungi sang kakak.

"Kak Yura, di mana?"

.

.

.

Bab 3 - Teman Terbaik

"... iya, kakak menginap di rumah kak Ani." Ucap Yura ketika menjawab telepon dari sang adik. Tadi setelah mendengar perdebatan adik dan adik iparnya, Yura memilih pergi saja. Ia malas kembali pulang.

Yura pergi ke rumah temannya yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumahnya itu.

"Iya, di rumah kak Ani loh dek!" Ucap Yura meyakinkan kembali. Adiknya sepertinya tidak percaya padanya. Ini sudah tengah malam, mana mungkin ia masih keluyuran di jalan.

"Sini, biar aku bicara saja!" Ani meraih ponsel Yura. "Halo, Didi... kak Yuramu menginap di sini."

"Oh, ya sudah kak kalau begitu." Didi jadi bernafas lega. Ia mengira Yura masih di jalanan. Ini juga sudah malam. Akan sangat bahaya.

"Sudah tenang saja. Kakakmu aman sama kak loh." Ucap Ani sambil tertawa-tawa. Ia meyakinkan adik temannya itu.

"Maaf ya, kak. Jadi ngerepotin. Titip kak Yura ya." Ucap Didi kembali. Ia juga tidak enak hati dengan Ani. Yura keseringan menginap di sana.

"Ok... Aman!" Ani pun mengakhiri panggilannya. Lalu menatap temannya yang sedang merendamkan kaki di air hangat.

"Kenapa?" Tanya Ani melihat wajah sedih temannya itu.

"Ni, kenali aku sama temanmu. Sepertinya aku harus segera menikah." Ucap Yura dengan memasang wajah melas.

"Pria seperti apapun terserahlah. Yang penting tidak minta keperawanan duluan!" Yura masih takut jika nanti seperti teman kencannya itu.

Kini Yura berpikir. Dengan menikah, ia tidak akan menyusahkan adiknya lagi. Yura pasti akan ikut suaminya. Dan bundanya akan tinggal dengan Didi. Karena adik iparnya itu tidak mempermasalahkan bunda.

Yang jadi masalah dirinya.

"Yura... menikah itu bukan harus tergesa-gesa begitu. Biarkan berjalan seharusnya. Tidak ada yang menjamin menikah cepat bisa bahagia. Contohnya aku." Tunjuk Ani pada dirinya sendiri. Ia akan menjadikan perbandingan dengan cerita dirinya.

Ani menikah muda. Tapi setahun pernikahan malah berpisah. Ia menjadi janda di usia yang sangat muda. Bahkan saat menjadi janda, usianya belum sampai 20 tahun.

"Memang kau mau, baru menikah langsung bercerai? Jangan asal comot lah, Ra!" Ani mengingatkan kembali. Pernikahan adalah komitmen ingin hidup bersama selamanya. Dengan segala susah dan senangnya. Bukan karena paksaan atau gunjingan tetangga. Atau lomba-berlomba menuju pernikahan.

Yura menggelengkan kepala. Ia ingin menikah sekali dan menjalani rumah tangga yang langgeng selamanya. Menua bersama dengan suaminya. Hidup bahagia penuh cinta.

"Ya, sudah sekarang. Nggak usah dengari orang-orang yang bicara kenapa belum menikah juga. Aku saja yang sudah menjanda 10 tahun santai saja. Nikmati saja hidupmu, Ra. Masalah jodoh pasti datang di saat yang tepat. Tidak perlu terburu-buru, baru kenal langsung mau menikah. Kita kan tidak tahu dia bagaimana?" Ani menasehati temannya itu. Ia mengerti apa yang dirasakan Yura. Tapi walaupun begitu, Yura tidak boleh sembarangan juga memilih suami.

Yura mengangguk. Ia pun sadar, teman kencannya itu mengajak melakukan se&s malah hampir diturutinya. Seharusnya kan tidak seperti itu.

"Kalau begitu carikan aku kerjaan lah, Ni." Ucap Yura kembali. Ia harus segera bekerja. Dua bulan menganggur bosan juga. Belum lagi nyinyiran adik iparnya.

"Aku sudah memasukkan banyak lamaran, tapi tidak ada yang manggil." Cerita Yura kembali. Ia sudah memasukkan banyaknya lamaran, tapi tidak ada panggilan. Pasti ditolak karena usia. Usia yang dianggap sudah tidak fresh dan menarik.

"Hmm." Ani tampak berpikir. Ia bisa memasukkan Yura ke tempat kerjanya, tapi ada usia maksimal juga bekerja di kantor tempatnya bekerja.

"Di kantorku, usia maksimal 28 tahun, Ra!" Ucap Ani pelan memberitahu. Ia ingin sekali membantu temannya, tapi ia juga tidak berdaya.

"Coba-coba saja masukkan lamaran lagi. Pasti ada satu yang nerima." Saran Ani tidak mau Yura berkecil hati. Di mana ada usaha di situ ada jalan.

Yura mengangguk. Memang hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini.

Yura berhenti bekerja di kantor yang lama, karena bos mereka melakukan pelecehan terhadapnya.

Yura setelah tamat SMA, pertama kali bekerja jadi buruh pabrik. Karena rajin dan disiplin. Lalu perlahan ia mulai naik jabatan di sana.

Pelan dan perlahan, karirnya menanjak. Hingga ia ditempatkan di kantornya, bukan di pabrik lagi.

Yura sangat senang dengan posisinya. Kerjanya tidak terlalu capek. Dan ia juga mulai menyesuaikan diri.

Tapi, atasan mereka sangat genit dan Yura mulai tidak nyaman bekerja di kantor.

Atasannya itu suka menghampiri karyawan wanita saat bekerja. Malah juga sengaja menempel dan terlalu dekat memeriksa pekerjaan mereka.

Setiap hari juga Yura selalu disuruh lembur dan jadinya harus pulang malam.

Dan malam itu, Yura yang sendirian lembur. Didatangi atasan mereka yang belum pulang.

Pria tua itu sengaja mendekat pada Yura untuk melihat pekerjaannya. Saat Yura akan bangkit, pria itu malah memeluknya.

Yura memberontak dan malah atasannya itu makin memeganginya.

"Layani aku malam ini. Aku akan menaikkan jabatanmu!" ucap pria itu itu sambil menjilat lidahnya. Seolah melihat Yura adalah hidangan yang sangat lezat.

"Lepaskan aku!" Yura berusaha melepaskan diri.

Tapi pak tua itu tenaganya kuat sekali. Ia menarik paksa pakaian Yura.

Yura terus membela diri sambil berteriak minta tolong. Tapi sepertinya sudah tidak ada orang di sekitar situ.

Wanita itu berusaha untuk melawan. Atasannya ingin memperk&sa dirinya.

Pria tua itu memegangi tangan Yura sambil memajukan bibirnya.

Sungguh Yura merasa jijik dan juga marah. Ia dilecehkan seperti itu.

Tangan Yura masih dipegangnya. Dan kaki Yura pun beraksi. Ia sengaja menendang tepat ke arah intim pak tua itu.

"Awwhh... kurang ajar kamu!" maki pria tua itu kesakitan memegangi asetnya.

Yura tidak peduli dan segera berlari, melihat itu pak tua akan mengejar Yura kembali. Dan Yura melempari atasannya itu dengan apapun yang ada di sekitarnya. Lalu ia berlari sekencang-kencangnya keluar kantor tersebut.

Setelah kejadian malam itu, Yura tidak mau masuk kerja lagi di sana. Ia seperti trauma dan ia juga tidak mau mengatakan apa yang sudah terjadi pada keluarganya. Karena tidak mau membuat mereka khawatir juga.

Yura mengatakan jika ia sudah capek bekerja dan ingin liburan sejenak.

Bunda dan Didi tidak mempermasalahkannya. Yura sudah terlalu lama bekerja, pasti sudah jenuh dan bosan.

Jadilah Yura sekarang pengangguran. Dan karena itulah adik iparnya selalu mengatakan bahwa dia pelamas. Padahal sudah memiliki pekerjaan yang bagus di kantoran, malah memilih resign karena sudah muak dan jenuh.

'Yura Yura..  kok begini banget nasibmu?' Yura cuma bisa menghembuskan nafas kasar.

"Ra, semangat dong!" Ani tidak ingin Yura bersedih. Temannya ini sudah menjalani kehidupan yang berat dan tidak pernah mengeluh.

"Ayo, kita tidur dan melupakan apa yang terjadi di hari ini." Saran Ani mengelus pundak Yura.

"Ani, terima kasih sudah menjadi temanku!" Yura jadi mewek.

"Aku yang seharusnya berterima kasih, Ra. Kau selalu ada di saat aku kesulitan!"

"Ani, jangan dibahas lagi!" Yura jadi bergetar mengatakannya.

Ani mengusap air matanya. Yura adalah teman terbaiknya.

Mereka pun seperti teletabis.

Berpelukan...

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!