NovelToon NovelToon

Gairah Ketua Geng Motor

Pandawa Lima

BRAKKK!!!

Orang-orang yang sedang berkerumun langsung berdiri karena seseorang melempar sepatu boot kulit tepat mengenai tengah-tengah meja.

Untungnya tidak mengenai kepala salah satu dari mereka, dan dipastikan itu sudah diperhitungkan dengan matang.

Darren, melihat ke arah asal lemparan. Di sana ada Axel Azriel Gabram yang menatap ke arahnya dengan tatapan tajam, berjalan hanya dengan menggunakan kaos kakinya. Ia menenteng satu sepatu boot-nya.

"Kalian kayak emak-emak kompleks! Pada ghibah gue, ya!" teriaknya kencang, membuat Darren dan temannya yang lain terdiam.

Tapi bukan terdiam karena takut, melainkan malas berdebat dengan Alex sang ketua geng mereka yang terkenal arogan.

Padahal mereka semua juga arogan, sih.

Perkenalkan nama-nama mereka, yang tergabung dalam kelompok Pandawa.

Pertama, Axel Azriel Gabram, ketua geng Pandawa yang jago basket dan digandrungi para siswi-siswi sok cantik yang haus belaian dan perhatian. Anak tunggal dari seorang pejabat negara dan juga pengusaha sukses sedari kakek buyutnya. Jadi hartanya tidak akan habis dimakan sepuluh keturunan sekalipun.

Kedua, Evan Bandores. Ketua tim basket yang tak kalah coll dari Axel. Dia juga anak seorang pengusaha sukses, dengan mamanya yang seorang aktris terkenal. Jadi, tampangnya tentu saja tidak diragukan. Dia juga menjadi banyak incaran para cewek-cewek setelah Axel, tapi Evan lebih memilih untuk tidak peduli dengan mereka semua karena sudah memiliki kekasih yang dia cintai.

Ketiga, Kai Layson. Cowok keturunan Brazil ini tentu saja tidak diragukan lagi kualitasnya sebagai seorang cowok idola. Dia juga bergabung di tim basket sekolah, sama seperti teman-teman saru geng-nya. Tapi Kai adalah siswa yang cerdas dan kreatif, meskipun otaknya sama saja seperti temannya yang lain.

Yang keempat adalah Varro Gaulam. Cowok blesteran Jawa India ini tak kalah tampan, meskipun kulitnya coklat eksotis. Dia punya kembaran cewek yang juga sekolah di tempat ini, yang bernama Iris Gaulam. Varro memiliki daya khayal yang tinggi dan bersikap sok suci, meskipun sebenarnya tetap saja sama seperti yang lainnya juga.

Untuk yang terakhir, atau yang kelima adalah Darren Ezra. Kulitnya putih pucat, meskipun bukan keturunan orang China atau daerah Asia timur. Dia memakai kacamata tebal, dan hanya dia seorang yang tidak ikut bergabung dengan tim basket. Tapi dia lebih sering memberikan trik dan strategi dalam permainan, karena seringnya mengamati permainan dan pertandingan. Dia juga ahli dalam bidang teknologi meskipun tidak pernah belajar. Dia belajar secara otodidak, sebab orang tuanya adalah seorang profesor yang memiliki laboratorium sendiri untuk berbagai penelitian dan inovasinya.

Sebutan untuk geng Pandawa sendiri sebenarnya bukan mereka yang memberikan julukan. Tapi cewek-cewek yang mengagumi merekalah yang memberikan julukan tersebut karena ketampanan dan ketenaran mereka berlima yang seperti tokoh pewayangan yang sangat terkenal, yaitu Pandawa Lima.

Kembali ke persoalan yang tadi, saat Axel melempar sepatu boot-nya ke arah teman-temannya, itu karena dia mendengar pembicaraan mereka yang menyangkut-pautkan namanya.

Axel menghampiri mereka berempat, kemudian duduk di atas meja. "Kalian beraninya gosip dan ngibahin gue! Mau nantang gue rupanya!"

"Ck! percuma gosipin loe, Xel! Enggak guna sama sekali!" Varro yang memberikan jawaban, sedangkan yang lain hanya mengangguk saja.

"Oh ya!"

Axel menarik kerah baju Varro, matanya melotot. "Sekali lagi gue dengar loe pada gosipin gue, kalian ga akan aman sampai di rumah! Mengerti?" Gertaknya.

Varro hanya berdecak kesal, sedangkan yang lain hanya melengos, membuang muka secara bersamaan karena paham dengan maksud perkataan Axel.

Axel langsung menyentak kerah baju Varro dan mendorongnya hingga jatuh. "Kalian pergi dari sini! Sebelum gue berubah pikiran! Kalian tau gue kagak takut ama siapa pun!" Mendengar kalimat ancaman itu, mereka berempat justru menahan tawa.

"Pfffttt..."

"Hahaha..."

Sayangnya Kai tidak bisa menahan diri untuk tertawa, sehingga tawanya pecah diikuti yang lainnya.

"Hahaha..."

"Wkwkwk..."

"Huwa huwa huwaaa..."

Axel justru diam saja, kemudian memungut sepatunya dan memakainya kembali tanpa memperhatikan keempat temannya yang masih tertawa.

"Gue suka kesel ma orang-orang kayak loe-loe pada, tapi sayangnya loe semua sohib gue!" ucapnya sembari duduk kembali di atas meja.

"Loe kagak usah dengerin gosip ya, Xel. Gosip itu kan digoyang makin hot. Wkwkwk..."

Evan, justru membuat candaan yang tidak nyambung sama sekali dengan topik pembicaraan mereka.

"Apa begitu, Xel? Atau loe memang kagak bahagia jika ada rumah?" tanya Darren dengan membenarkan letak kacamatanya.

"Apa? Hahaha..."

Axel spontan tertawa mendengar pertanyaan Darren, yang sebenarnya tidak salah sama sekali. Itu adalah sebuah kebenaran dan mereka-mereka tahu itu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi. Apalagi bertanya dan mencari jawabannya dari Axel.

"Loe ngomong apa sih, Ren? Ngaco! Meskipun gue anak kandung ataupun pungut sekalian, keluarga gue itu tetap saja tidak ada yang peduli!"

Darren merasa bersalah sehingga menyunggingkan senyuman canggung dengan dua jari membetuk huruf V.

"Di rumah, gue justru diperlakukan seperti anak pungut. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Makanya gue lebih nyaman jika kalian ngajak gue kumpul, atau pergi ke mana gitu bareng-bareng."

Kali ini Evan yang bicara. Dia justru mengutarakan isi hatinya yang merasa sepi meskipun memiliki segalanya di rumah.

"Lah, sama aja!" sahut Kai, yang diangguki oleh Darren juga.

"Gue bosen liat tabung-tabung ekperimen bokap, bahkan nyokap gue aja, udah nggak tahu kemana saking malasnya di rumah."

Ya, mamanya Darren pergi dari rumah dengan laki-laki lain karena suaminya, papanya Darren, terlalu sibuk dan asyik sendiri di laboratorium miliknya dengan berbagai percobaan dan eksperimen yang dilakukannya.

"Udah-udah. Gak perlu asal ngomong atau curhat ke kita-kita. Toh kita semua juga udah tahu, bagaimana keadaan keluarga kita. Dan sepertinya yang paling bahagia di sini hanya Varro doang."

Kini mereka berempat melihat ke arah Varro, yang hanya bisa nyengir kuda.

Dari kelima geng Pandawa, hanya Varro yang tampak memiliki keluarga harmonis. Papa dan mamanya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul saat makan malam ataupun mengajak anak-anak mereka, Varro dan Iris untuk berlibur jika ada liburan ataupun momen bahagia seperti pulang tahun atau acara spesial lainnya.

"Syukurlah kalau begitu. Setidaknya ada yang bahagia bersama dengan keluarganya sehingga bisa dijadikan contoh. Tapi, untuk urusan otaknya sama aja kayak kita-kita!" Axel tersenyum sinis melihat ke arah Varro yang kembali nyengir kuda.

"Oh ya, katanya loe lapar, cepat ke kantin yuk!"

Kai mengajak Darren, yang tadi mengeluh lapar. Padahal ini baru jam sembilan pagi, dan jam pelajaran sedang kosong.

"Kantin masih tutup gaesss!" seru Varro memperingatkan.

"Siapa yang mau makan di kantin? Gue mau ke warung mang Nurdin nooo!"

Mendengar warung mang Nurdin, mereka semua langsung berdiri.

"Mo ngapain?" tanya Darren heran dengan tingkah laku temannya.

"Ikutlah! Loe kan ga bisa makan sendirian! Gue juga belum makan!" Axel tersenyum lebar melihat Darren tersenyum masam.

"Gue yang traktir!"

Tidak Perlu Takut

SMA Higs Shool gempar dengan kedatangan seorang siswi pindahan dari Australia. Seorang siswi perempuan dengan kulitnya yang putih bersih, rambut sebahu dan dibiarkan tergerai begitu saja. Hanya dirapikan dengan sebuah bandana warna merah yang tampak sederhana, tapi pas untuk ukuran wajahnya yang tidak menguntungkan polesan make up sama sekali seperti siswi-siswi lainnya.

Sederhana tapi tetap modis, dan ini yang membuatnya berbeda dari siswi-siswi lain. Apalagi dia siswi baru yang akhirnya jadi pusat perhatian semua tertuju padanya.

Siswi baru tersebut sedang berjalan melewati lorong-lorong kelas dengan anggun. Pipinya sedikit chubby, menambah kesan cantik, lucu dan imut dari gadis tersebut.

"Cewek..."

Suittt... suittt...

"Cantik banget sih, mau nggak jadi pacar Abang."

"Ehek ehek..."

"Krik krik krik..."

"Huuuuu..."

"Serius duarius, cantik bener oii!"

"Iya, anyir... cantik banget! Eh tunggu, itu bukannya cewek yang kemarin barusan datang?"

"Iya. Mungkin kemarin datang untuk mendaftar dan saat ini sudah mulai masuk."

"Dek a jatuh cinta kepada kecantikan mu, lho!"

"Dih! masih cantik dan pintaran gue kali."

"Ya, cantikan juga gue!"

"Alaaah paling cuma tebal di meka up doang."

Begitulah kira-kira ucapan-ucapan siswa-siswi yang kebetulan melihat keberadaan Alena. Siswi pindahan yang sedang mereka bicarakan.

Ada yang merasa kagum dan ada juga yang iri padanya. Namun gadis tersebut tidak menghiraukan semuanya, sebab tujuannya saat ini ialah ruangan kepala sekolah.

Gadis dengan rambut sebahu yang hanya di hiasi sebuah bandana merah tersebut terus berjalan dan mengabaikan ucapan para siswa-siswi saat melihatnya melangkah dengan santai. Dia juga melihat-lihat pekarangan sekolah SMA Higs Shool yang selalu di bilang Wow oleh sebagian masyarakat, termasuk Alena sendiri yang sekarang ini sudah membuktikannya.

Sangking kagumnya, Alena sampai tidak melihat jalanan dan menabrak seseorang hingga terjatuh.

Bruk

"Aw, sakit."

"Ck, jalan tuh pakai mata!" umpat seseorang sambil berlalu pergi tampa membantu gadis tersebut untuk berdiri

"Dih, mana ada orang jalan pakai mata? Yang ada, dimana-mana orang jalan pakai kaki!" teriak Alena sambil berusaha untuk berdiri.

"Siapa sih tuh orang, songong banget. Nggak pernah belajar kali dia, udah jelas-jelas jalan pakai kaki. Mana ada orang jalan pakai mata."

"Hisss, malah main pergi gitu aja. Bantuin kek!" gerutunya sambil menepuk-nepuk telapak tangannya yang kotor tapi sedikit perih karena tergores lantai.

"Ih, gini amat pertama masuk sekolah di sini." Alena kembali mengeluh tentang keadaannya.

Tanpa membuang banyak waktu, Alena kembali melanjutkan jalannya yang ingin pergi keruangan kepala sekolah.

Setelah hampir sepuluh menit mengitari SMA Higs Shool, akhirnya Alena menemukan ruangan kepala sekolah.

Tok tok tok

"Permisi, pak."

"Ya, masuk."

Seseorang yang ada di dalam ruangan tersebut memintanya untuk masuk.

"Maaf, pak. Saya mengganggu sebentar."

"Kamu Alena, ya?" tanya kepala sekolah menebak.

Alena tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. "Iya pak, saya Alena."

Alena Wardani, siswi pindahan dari Australia. Tapi tidak ada yang tahu, bagaimana latar belakang keluarga dan kehidupannya secara detail sebagaimana kebanyakan para siswa-siswi yang memiliki biodata lengkap dan cepat diketahui oleh siapapun yang menjadi warga di sekolah SMA Higs Shool ini.

***

Brukk!

''Heh anak baru!'' Seorang siswi menepuk meja dengan keras.

Anak-anak di kelas berpaling melihat tingkah siswi tersebut, yang sepertinya sedang menggunakan jurus untuk mengerjai siswi baru seperti Alena ini.

''Kenalin, gue Clara Eddyln. Cewek paling berkuasa di kelas ini, bahkan satu sekolah. Dan kau sebagai anak baru harus nurut sama perintah ge!'' gertak Clara, yang ditemani oleh dua temannya yang lain di belakangnya.

''Hahaha...''

Bukannya takut, Alena malah tertawa geli mendengar perkataan Clara yang baru saja memperkenalkan dirinya.

Semua orang di buat bingung dengan siswi baru tersebut.

''Beraninya loe ketawa di depan gue!'' Clara geram karena Alena tidak takut dengan ancamannya.

''Diam! Atau ku robek mulut kalian satu persatu! Berisik!'' teriak seorang cowok dari bangkunya.

Semua siswa-siswi di kelas langsung menoleh dan kembali duduk ke tempatnya masing-masing, termasuk Clara dan kedua temannya yang tadi.

'Siapa cowok itu? Tampaknya dia sangat berkuasa hingga semua siswa-siswi takut padanya,' tanya Alena dalam hati.

Kring... kring... kring...

Bel berbunyi tanda berakhirnya jam pelajaran dan sekarang waktunya untuk istirahat. Semua siswa-siswi berhamburan keluar menuju ke kantin di sekolah.

Kelas Alena memang sedang kosong, dan hanya mengerjakan tugas saja. Jadi pada saat dia hampir dikerjai Clara, memang sedang tidak di guru.

''Hey! Gue duduk di sini ya!''

Saat sedang asik-asiknya makan bekal di kelas sendirian, tiba-tiba satu siswi duduk di dekatnya Alena.

''Ehh kenalin, gue Iris. Kamu Alena, kan? Kita harus temenan mulai sekarang," ucap gadis itu ramah.

Iris Gaulam, adik kembarnya Varro Gaulam.

''Kenapa kamu mau temenan sama aku?'' tanya Alena ramah. Dia bahkan tidak mengunakan bahasa "gue loe" untuk menyebutkan dirinya dan Iris.

''Kamu itu berani, lagian aku juga gak punya temen. Aku juga anak baru. Baru dua bulan, dan itu karena aku mengikuti kakakku yang juga sekolah di sini."

''Oo...''

Mulut Alena membola, tapi dia tidak bisa mempercayai orang baru seperti Iris yang tiba-tiba baik padanya. Dia selalu memiliki pemikiran jika akan ada banyak sekali orang-orang yang akan membully dirinya sebagai siswi baru di sekolah ini.

Dari banyaknya berita dan cerita yang dia tahu, SMA Higs Shool ini tidak ramah untuk anak baru atau pindahan seperti dirinya.

Kini Alena dan Iris terlihat sangat canggung dan tidak bisa langsung akrab. Tampak ada jarak diantara keduanya.

''Ehh... tau gak tentang sekolah ini?''

Akhirnya Iris bertanya terlebih dahulu untuk memecah keheningan diantara mereka berdua.

''Ga tau tuh, emangnya apa?'' tanya Alena yang memang tidak tahu apa-apa.

''Jadi di sekolah ini sering ada pembullyan, salah satu geng pem-bully, ya tadi itu, Clara cs." Iris memberitahu pada Alena.

''Mereka? Yang tadi orangnya?" tanya Alena memastikan bahwa semua yang dikatakan oleh Iris benar.

''Pokoknya mereka selalu jalan bertiga dan terlihat mencolok, selain pem-bully mereke bertiga itu sangat over protective pada geng Pandawa Lima. Tim inti dari basket di sekolah ini, dan geng motor yang disegani dari sekolah ini juga."

Iris justru membocorkan banyak informasi yang seharusnya tidak dia katakan pada anak baru seperti Alena. Dia sendiri tidak mendapatkan bully-an, karena pengaruh kakak kembarnya, Varro Gaulam.

''Oh."

Alena tidak memberikan tanggapan yang lebih, dan hanya datar saja. Dia memang tidak mau terlihat lemah, supaya tidak mendapatkan bully-an. Dia sudah sering mendengar tentang cerita seperti ini jika menjadi anak baru. Itulah sebabnya dia berusaha untuk untuk terlihat biasa saja menanggapi segala sesuatu di hari pertama masuk sekolah ini.

''Yeee, malah oh doang tanggapannya. Ehh... bentar ya, gue mau ambil minum dulu."

Hanya Kambing Hitam

Ciiittt...

Suara dari rem motor Varro, karena motornya berhenti mendadak di depan adik kembarnya, Iris Gaulam.

"Ris! Woiii, Urus budeg!"

"Abanggg" teriak, Iris kepada Abangnya.

Ya, meskipun mereka anak-anak Borjuis, tetap saja mereka mengunakan panggilan biasa yang kadang kala membuat kuping anak-anak lain merasa gatal.

"Apaan sih, Ris?" jawab Varro bingung dengan teriakan adiknya, padahal dia yang berteriak memanggil untuk segera naik karena ingin segera pulang.

"Gak apa-apa. Itu, ada anak kucing bang, kayaknya lagi kesakitan," Iris menunjuk seekor anak kucing di balik pohon.

"Eh, iya kasian banget," jawab Varro jadi hello Kitty. Tidak garang seperti tadi.

Miauw... miauw...

Anak kucing itu bersuara.

"E-eh, ututu cini cini umh..." Iris sangat gemas melihat kucing itu, dan menggendongnya.

"Jadi?" tanya Varro bingung.

Di samping Iris, ada Alena yang hanya bisa memperhatikan interaksi mereka berdua. Dia tidak tahu jika Varro adalah kembarannya Iris, dan dia justru mengira mereka berdua adalah sepasang kekasih.

"Jadi, apa?" tanya Iris kebingungan.

"Gak mungkin kita bawa kucing ini ke rumah, Iris!" ketus Varro kesal..

"Bentar, gue titipin dulu," sahut Iris cepat.

"E-eh, bu... bu!"

"Iya nak, ada apa?" tanya ibu-ibu yang sedang lewat dengan membawa kantong belanjaan.

"Saya mau titip kucing ini boleh gak, bu?" tanya Iris memelas.

"Emh..."

"Ayolah, bu..."

Iris mulai memasang wajah imutnya, memperlihatkan pupil eyes-nya yang membuat banyak orang kagum.

"Ya udah deh, tapi nanti kalian ambil lagi kucing ini ya!"

"Oke bu, makasih banyak ya bu. Saya permisi dulu," ucap Iris kegirangan.

"Yuk, Len!"

"A-ku?"

Alena justru bingung karena dia tidak mungkin membonceng Varro juga. Lagipula boncengan motor Varro hanya cukup untuk satu orang saja.

"Itu, ada Abang Axel!"

"Bang!"

Varro hanya diam saja, membiarkan adiknya memanggil Axel yang memang berada tak jauh dari tempat mereka.

Axel hanya melihat sekilas ke arah mereka, kemudian kembali sibuk dengan ketiga temannya yang lain.

"Gak usah, Ris. Aku bisa kok naik ojek atau taksi, nanti." Alena merasa tidak enak dipandang Axel hanya sekilas, kemudian tidak memperdulikan lagi.

Alena juga tidak mengenal siapa mereka, karena tadi Iris hanya mengajaknya menunggu seseorang tanpa memberitahu siapa yang sedang ditunggu oleh teman barunya.

***

Di tempat Axel dan ketiga temannya.

"Anj4i, itu anak baru ga sih?" tanya Evan, tapi pura-pura tidak melihat ke arah Alena yang sedang berbicara dengan Iris.

"Gila, cakep beneerr!" Darren kagum dengan memperbaiki letak kacamatanya.

"Makkk, mantu mu dah ada mak!" teriak Kai dengan menaik-turunkan alisnya genit.

"Cakepan juga gue!"

Evan bercanda kelewatan aneh, tinggal mendapatkan toyoran dari Kai dan Darren di kepalanya. Sedangkan Axel hanya diam memperhatikan layar ponsel tanpa peduli dengan mereka yang sedang bercanda.

Begitulah kira-kira komentar ketiga anggota geng Pandawa yang melihat Alena. Anak baru yang sedang diperbincangkan oleh beberapa siswa-siswi karena pindahan dari Australia.

"Eh, lou gak penasaran, Xel?" tanya Evan pada ketua geng mereka.

"Eh, itu calon mantu mak gue, kan?" ucap Kai cengengesan, ia tidak peduli dengan pelototan dari mereka berdua.

"Hai, aku Alena."

Tiba-tiba Alena datang dan memperkenalkan dirinya. Dia datang bersama dengan Iris dan juga Varro, dan keempat cowok tersebut tidak menyadari kedatangannya tadi.

"Gue Kai, sahabat abangnya Iris."

Kai langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Alena. Tentu saja Alena senang dan menyambut uluran tangan tersebut untuk berkenalan.

Akhirnya semuanya melakukan hal yang sama, yaitu berkenalan dengan Alena.

Sebenarnya ini adalah ide Iris. Dia ingin Alena juga akrab dengan teman-teman abangnya, supaya dia pada teman jika pergi bersama dengan geng abangnya.

"Gue Evan, cowok teruwuw di sekolah SMA Higs Shool. Hehehe..."

"Darren." ucap Darren memperkenalkan dirinya dengan lembut, sambil memperbaiki letak kacamatanya yang sepertinya selalu melorot. Menurutnya saja.

Sekarang semuanya melihat ke arah Axel yang sedari tadi diam dan tidak merespon kedatangan Alena.

Evan menyikut Axel, supaya mengalihkan perhatiannya dari layar ponselnya. "Xel."

"Gue jodoh loe!" ucap Kai dengan alis naik turun, tidak memperhatikan alena yang sedang melihat ke arah Axel.

"Ck! Apa sih?" ketus Axel merasa terganggu.

"Itu," Evan menunjuk ke arah Alena dengan sorot matanya.

"Iya, salam kenal kakak semua. Maaf ya, saya permisi dulu."

Alena tidak enak hati dengan tanggapan salah satu dari mereka yang tidak hangat. Meskipun dia sudah mempersiapkan segala sesuatu yang akan terjadi untuk menjadi anak baru, tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman.

***

"Makasih, kak. Kakak sudah anterin aku pulang," ucap Alena saat turun dari motor milik Axel

"Iya," jawab Axel pendek dan tidak peduli.

"Bye!"

Axel tidak peduli dan pergi dari hadapan Alena. Dia terpaksa mengantarkan murid baru tersebut karena hanya dia yang motornya tidak ada yang membonceng, sedangkan Darren tidak langsung pulang karena ada kegiatan lain di sekolah.

Dia juga terpaksa karena rengekan Iris, adik kembarnya Varro yang memang manja dan selalu bisa membuat kakaknya itu memenuhi keinginannya, meskipun mengorbankan orang lain. Termasuk Axel, yang terpaksa mengantarkan Alena kali ini.

Breummm...

Baru saja ia ingin masuk, terdapat mamanya yang tengah berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang.

"Bagus, magrib baru pulang. Dari mana aja kamu?! Balapan lagi sama geng motor gak jelas itu!" Bentak mamanya dengan suara melengking.

'Gue baru aja pulang set4n!' batin Axel geram sambil mengepal tangannya dengan kuat.

Tapi tentu saja dia tidak peduli dan hanya melewati mamanya tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan tadi.

"Ma, sudah. Axel tuh capek baru pulang, masa kamu udah marah-marah sih. Kasian dia," ujar papanya sok bijak, dengan berusaha menenangkan emosi istrinya.

"Tawuran aja terus di dalam pikirannya itu, pa! Dia tidak pernah memperhatikan nilai-nilai sekolahnya yang jelek."

"Axel!"

"Ma, sudah-sudah. Apa sih, malah melebar ke mana-mana?" papanya Axel ikutan kesal dengan sikap istrinya yang seperti memberikan tekanan pada anaknya.

"Pa, Axel gak bisa berubah sama sekali. Bagaimana caranya nanti jika perusahaan ada di tangannya?"

"Itu masih lama, Ma. Masih ada banyak waktu untuk Axel belajar dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab."

Kini keduanya justru berdebat dan bertengkar karena permasalahan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan saat ini. Mereka tidak sadar apa yang menjadi penyebab anaknya seperti ini.

"Perusahaan kita masih bisa mama urus dengan baik. Axel masih muda, jadi dia juga perlu menikmati masa mudanya. Biarkan saja, ma." Papanya membela Axel, karena dia memposisikan dirinya seperti anaknya juga di masa lalunya dulu.

"Ck! Gak gitu juga, pa!"

Mamanya Axel tetap kesal sehingga keduanya kini bertengkar.

Di dalam kamar, Axel menutup kedua telinganya.bDia tahu jika pertengkaran mereka berdua yang sedang membicarakannya, hanya sebuah kambing hitam dari permasalahan mereka yang sesungguhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!