NovelToon NovelToon

Berandalan Vs Gadis Berhijab

Sang Raja Jalanan

Selamat datang calon pembaca setia, terima kasih buat siapapun yang sudah mampir ke karya saya yang berjudul 'BERANDALAN Vs GADIS BERHIJAB' semoga dengan membaca novel ini bisa menghibur.

Semoga novel ini bisa memberikan pelajaran, dan bisa memberikan pengaruh yang positif, terlepas ada kata atau alur cerita yang mungkin kurang pantas, mohon dimaklumi.

Bijaklah dalam membaca karya, apabila ada yang kurang berkenan, bisa tinggalkan saran, dengan senang hati saya akan perbaiki kesalahan sekecil apapun.

Selamat membaca....

...****************...

"Masih ingat pulang rumah kamu, Jati?" tanya Thomy, dengan suara yang dingin dan tegas.

"Bukankah Papah yang meminta Jati pulang, andai Papah tidak meminta Jati untuk pulang maka Jati juga tidak akan pulang ke rumah ini lagi," balas laki-laki berpenampilan acak-acakan tidak kalah dingin dari sang Papah.

"Apa seperti ini jawaban dari seorang anak, pada orang tuanya ketika ditanya? Papah meminta kamu pulang tidak lain karena ingin kamu tobat dan mulai memikirkan masa depan kamu, saat ini usia kamu sudah beranjak dewasa bukan anak-anak lagi. Mau sampai kapan kamu seperti ini terus, hidup urakan seperti tidak pernah dididik dan di sekolahkan." Thomy terus berusaha menasihati sang putra yang hidupnya sudah sangat sulit diarahkan, bahkan sekolah pun sudah tidak mau memiliki murid seperti Jati. Bukan karena apa anak muda itu, di sekolah bukanya belajar malah godain murid cewek, udah gitu ia hampir tidak pernah mengerjakan tugas. Ia datang sekolah hanya untuk tidur dan mengajak teman-teman yang lain ikut bolos. Pengaruh Jati untuk teman-temanya sangat buruk.

Pihak sekolah bahkan sudah berusaha menasihati Jati dengan lembut, hati-hati dan mencoba menggali bagaimana cara membuat Jati mau belajar tanpa ada kata malas. Bahkan pihak sekolah sudah memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dengan tetap bersekolah hingga dua tahun.

Namun, Jati bukanya memanfaatkan kebijakan dari sekolah, laki-laki itu justru semakin menjadi, dan semakin berusaha membuat geng-geng motor, yang bertujuan untuk mencari kesenangan dan perhatian, apa yang akan terjadi di luar rumah nantinya dia tidak pernah memperdulikannya. Yang terpenting dalam hidupnya dia bisa bahagia, hidup bebas tanpa aturan, baik di sekolah maupun di rumah. Hingga di tahun ketiga di mana seharusnya dia masuk kelas tiga dan segera lulus dari sekolahan. Namun, pihak sekolah yang sudah tidak bisa lagi menasihati Jati pun langsung mengeluarkannya. Kesempatan sudah diberikan selama dua tahun, tetapi laki-laki itu tidak mau memanfaatkanya dengan baik.

Bahkan ketika pihak sekolah mengeluarkan dirinya, bukanya sedih, justru laki-laki itu senang, dan kehidupan liarnya semakin menjadi. Hingga sekarang usianya sudah beranjak dewasa justru seolah ia tidak ada keinginan untuk hidup normal, dan membantu perusahaan sang papah, dia justru semakin jarang ada di rumah, dan apabila ditegur maka laki-laki itu punya seribu balasan untuk membuat lawan bicaranya tidak bisa memaksanya untuk hidup normal, sekalipun itu ke-dua orang tuanya. Seperti saat ini dia selalu saja ada cara untuk menyampaikan pemikirannya yang menurut ia paling benar.

Jati mengangkat wajahnya dengan percaya diri, dan menatap sang papah yang sangat jelas dari tatapan matanya kalau laki-laki paruh baya itu sedang menahan kemarahannya.

"Bukanya memang Jati selama ini tidak pernah mendapatkan pelajaran di rumah maupun di sekolahan. Di sekolah mereka hanya menjalankan tugasnya, dan Papah serta Mamah bukanya selama ini juga sibuk dengan pekerjaan?" tanya Jati dengan bibir sebelah terangkat, menunjukan senyum kepuasan, terutama setelah melihat wajah sang papah kembali memerah.

Plakkk... Thomy yang sudah habis kesabaran menghadapi anak sulungnya pun memberikan tamparan yang keras tepat di pipi sebelah kiri sang putra.

"Pah, sudah jangan kaya gini, bagaimana Jati mau betah di rumah kalau Papah selalu memarahi Jati." Iren berusaha menahan sang suami agar tidak berbuat yang justru akan menjadikan Jati semakin keras lagi.

"Kurang ajar kamu, sudah benar memang aku biarkan kamu hidup di luar rumah. Berandalan seperti kamu tidak pantas di rumah ini." Thomy justru mengabaikan ucapan sang istri dan justru kembali mengusir anaknya.

Kembali Jati tersenyum dengan sinis. "Jati pun sebenarnya tidak mau pulang ke rumah ini, kalau bukan karena masih menghormati Papah dan Mamah, Jati pasti tidak akan ada di sini saat ini. Terima kasih sudah buat rumah ini tidak pernah nyaman."

Sesuai yang diinginkan oleh Thomy, sang putra pun kembali pergi lagi. Hampir dua tahun, dia hidup mandiri dengan berpindah-pindah tempat, cari makan dengan balapan liar dan juga pekerjaan apapun asal menghasilkan uang, membuat Jati tidak takut maupun sedih ketika harus kembali pergi dari rumah mewah sang orang tua.

"Jati, kamu mau ke mana lagi. Ayolah Jati kamu sudah beranjak dewasa, masa masih mau bermain-main terus. Kamu juga anak pertama sudah seharusnya kamu memikirkan masa depan kamu, dan membantu bisnis keluarga. Maafkan Papah kamu, Papah tidak akan berbuat seperti itu kalau kamu nurut." Iren mencoba mengikuti sang putra hingga ke halaman depan rumahnya. Berharap agar sang putra tidak pergi lagi dari rumah mewahnya. Dan memberikan contoh yang baik untuk ke dua adiknya.

"Maafkan Jati, Mah. Jati bukan anak baik seperti yang Mamah dan Papah harapkan, Jati hanya seorang berandalan yang ingin hidup bebas tanpa aturan ini dan itu. Jati pamit dulu, salam buat Nara dan Noah." Tanpa menunggu jawaban dari wanita yang telah melahirkannya. Jati pun langsung menarik gas sepeda motor sport-nya yang dia dapat dari hasil taruhan balapan liar.

Seharusnya laki-laki itu sedih karena ia sudah diusir dari rumahnya. Namun, justru yang dia rasakan adalah sebaliknya dalam hatinya dia justru merasakan bahagia, seperti tubuh yang terlepas dari lilitan tambang, sesak yang ia rasakan kembali hilang. Sebenarnya ia kangen dengan dua adiknya, tapi dia harus kembali pergi sebelum bertemu dengan dua adiknya yang usil.

Jalanan Ibukota menjadi tempat untuk dia melampiaskan rasa bersalah, dan kesal pada kedua orang tuanya. Hari ini menurut jadwal, ia ada balapan liar dengan ketua geng motor lainya. Namun, laki-laki itu bukanya segera datang ke lokasi balapan yang hadiahnya selalu tidak sedikit. Jati justru terus menarik gas motornya hingga kecepatan tinggi, entah berapa orang yang mengumpatnya karena dia yang bawa motor seperti punya nyawa cadangan sembilan saja.

Ia terus memacu motornya hingga entah di mana. Yang penting dia mengikuti jalan, soal dia ada di mana saat ini bukan masalah bagi pemilik nama lengkap Alfa Jati Prayoga yang sudah menjadi raja jalanan sejak tiga tahun yang lalu.

"Loh... ini motor kenapa?" gumam Jati yang sedang asik-asiknya menikmati semilir jalanan yang asri tiba-tiba kuda besi yang dia tunggangi justru perlahan melambat-melambat dan mati.

Pandangan mata legamnya tertuju pada jarum penunjuk bahan bakar yang ternyata dia lupa isi bensin.

"Sial, kenapa aku bisa lupa isi bensin sih?" umpat laki-laki tampan itu, tangannya segera merogoh saku celana dan jaketnya.

"Apes gue, kenapa juga dompet tidak gue bawa. Gimana coba cara untuk isi bensin, mana malam-malam seperti ini jalanan sepi dan bensin abis udah gitu tidak bawa dompet dan ponsel juga entah di mana."

Jati menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal, dan berpikir keras bagaimana caranya agar dia bisa mengisi bensin, meskipun tidak bawa dompet dan barang berharga lainya, yang bisa dia jual  untuk dapat uang, yang bisa dia gunakan untuk mengisi bensin. Tidak mungkin kan jual motor untuk beli bensin.

"Ini semua gara-gara Papah dan Mamah."

Bersambung....

Hai ketemu lagi dengan karya baru othor, semoga degan karya baru ini banyak yang terhibur dan juga jangan lupa dukungannya yah. Selamat Membaca, dan semoga suka.

Yang mau kenal dengan othor boleh Follow Ig : Onasih_Aenta

Add Fb : Cy_Osyih Onasih Aenta

Tiktok : @OcyAenta

Bantuan Datang

Jati beberapa kali mengedarkan pandanganya ke jalanan yang sepi. "Gila nih jalanan apa kuburan sepi bener," gerutu Jati. Mungkin laki-laki itu sudah ada satu jam berdiri di pinggir jalan, tetapi belum ada yang mau bantu, jangan bantu baru melambai minta tolong orang-orang malah pada makin tancap gas.

Memang beberapa kali ada pengendara motor yang melintas, tetapi hanya hitungan jari. Udah itu jalanya kaya kilat cepat banget setiap Jati mencoba menghentikan kendaraan yang lewat tidak ada yang mau berhenti.

"Apa gue seserem itu, sampai beberapa kali menghentikan motor tidak juga ada yang mau berhenti," umpat Jati setelah ia  mencoba meminta bantuan pada pengendara jalan yang lewat, sama seperti sebelumnya kalau pengendara motor itu tidak juga berhenti. Malah menarik gas lebih kencang.

"Apa ini yang dinamakan kualat, gara-gara gue membuat kecewa orang tua," gumam Jati lagi. "Ah, tapi bukanya gue nggak kenal kata kualat. Yah, kalau mau kualat pastinya udah sejak dulu-dulu. Kan gue ngelawan ke bokap sama nyokap bukan sekarang-sekarang ajah, udah dari jaman baheula." Laki-laki itu kembali mengedarkan pandanganya kali aja ada yang bisa dimintai tolong.

Pandangan Jati pun langsung tertuju pada lampu remang-remang yang jalan dengan pelan ke arahnya yang tengah berdiri. Ia terus menatap sinar lampu itu untuk memastikan kira-kira cahaya apa yang di tengah jalan yang sepi dan sudah malam pula berjalan seperti seorang yang sedang naik sepeda.

"Gila, ini manusia apa jurig," gumam Jati setelah kedua bola matanya menatap sesosok perempuan berhijab yang sedang menggoes sepeda butut dengan anak kecil di belakangnya dan lampu senter seadanya diikat di setang sepedanya.

"Mbak... Tolong...." Jati langsung berjalan dan merentangkan tanganya ketika pengedara sepeda itu sudah berjarak kurang lebih tiga meter lagi. Wanita berhijab itu pun langsung menggunakan kedua kakinya untuk menahan agar dia tidak jatuh saat berhenti.

"Ma...maaf Anda siapa?" tanya wanita berhijab itu setelah melihat ada sesosok laki-laki tampan sedang berdiri menghadangnya. Dari cara berbicara wanita itu sedang menahan rasa ketakutanya. Belum anak laki-laki kecil yang duduk di belakang langsung merangkul pinggang sang wanita di depanya.

"Jangan takut Mbak, saya orang baik kok. Saya mau minta tolong. Motor saya kehabisn bensin dan saya kesasar. Mana tidak bawa ponsel dan dompet," ucap Jati dengan kedua tangan yang masih maju ke depan, untuk menenangkan wanita berhijab itu dan adik kecil yang sedang ketakutan. Meskipun dalam batinya Jati menertawakan diri sendiri. Sejak kapan dirinya jadi orang baik. Bukanya ia adalah berandalan yang cukup sering membuat onar, tapi kali ini ia malah mengaku orang baik, demi mendapatkan bantuan.

Wanita berjilbab itu menatap tidak percaya laki-laki yang mengaku orang baik itu. Apalagi mengaku kehabisan bensin, tidak membawa ponsel dan dompet. Pasti dia sedang nipu. Itu yang sedang wanita itu pikirkan.

"Mbak, kita balik lagi aja, Deva takut. Nanti kalau kakak itu jahat bagaimana?" bisik anak kecil yang duduk di belakang wanita berhijab itu. Ya, meskipun berbisik, tapi Jati bisa mendengarnya, tidak lain karena memang dia yang jaraknya tidak terlalu jauh dari wanita itu.

"Kamu tenang saja yah, lagiaan kita tidak punya apa-apa. Tidak mungkin Kakak itu mau ambil sepeda kita yang tidak ada harganya," balas wanita itu dengan  setengah berbisik juga.

"Kalian tidak usah takut. Kakak bukan orang jahat. Kakak orang baik." Jati pun kembali meyakinkan wanita itu kalau dia baik. "Mbak tolonglah, saya benar-benar tidak bawa apa-apa. Silahkan Anda cek tubuh saya tidak ada apa-apa." Jati merentangkan tanganya yang mungkin wanita itu akan memeriksa dirinya.

"Maaf Mas, tidak usah. Saya percaya kalau Anda orang baik. Tapi kenapa motor Anda bagus dan tentunya harganya tidak murah, tapi malah Anda tidak bisa membeli bensin, sampai kehabisan bensin di sini? Memangnya Anda dari mana dan mau ke mana?" tanya wanita itu lagi yang saat ini sudah turun dari sepeda sedangkan anak kecil yang duduk di belakang masih tetap duduk, tetapi kali ini sudah tidak se-takut tadi, yang tandanya Jati berhasil meyakinkan adik kecil itu kalau dirinya orang baik.

"Nah, itu dia Mbak. Saya sangat teledor, karena sedang banyak masalah di rumah saya langsung keluar saja, tanpa ngecek saku, dompet, ponsel dan benda berharga lainya tertinggal di rumah. Rumah saya ada di Jakarta dan kalau boleh tahu ini di mana yah?" tanya Jati lagi.

Pasti yang mendengar ucapan laki-laki itu sangat heran kenapa dia bisa terjebak di kota yang dia sendiri tidak tahu tempatnya.

"Ja... Jakarta Mas?" Yang benar saja. Itu jauh sekali loh Mas. Ini namanya desa Jonggol tepatnya sudah masuk kota Bogor. Kenapa Mas bisa sampai sini?" tanya wanita itu lagi, padahal sebelumnya Jati sudah jelaskan kalau dia nyasar asal jalan saja.

"Hah Jonggol, kenapa saya baru dengar Mbak ada kota namanya Jonggol. Masalah saya bisa sampai sini ceritanya panjang. Kalau saya cerita sekarang bisa-bisa kita akan berdiri di sini sampai besok pagi. Bagaimana kalau Mbaknya tolong saya pinjamkan uang untuk beli bensin, saya pasti akan ganti. Saya janji, kalau saya berbohong biarkan petir menyambar pohon kelapa," ucap Jati dengan setengah  berkelakar agar mereka terlihat akrab dan tidak canggung.

"Aduh Mas, maaf banget bukanya saya tidak mau bantu, tapi kondsi saya juga tidak punya uang. Apalagi dari motor Anda saja sudah kelihatan bukan motor murah, pasti bensinya tidak sedikit. Ditambah untuk jarak dari sini smpai Jakarta pasti tidak cukup satu liter. Kalau hanya butuh satu liter saya bisa bantu, tapi kalau untuk sampai ke rumah Anda, saya tidak bisa bantu. Kondisi keuangan kami tidak seberuntung orang lain," balas wanita berhijab itu dengan sangat sopan.

"Yah, benar juga yang Mbak katakan sih. Terus kira-kira solusinya bagaimana yah. Tidak mungkin saya berdiri terus di pinggir jalan sampai ada yang mau bantu? Mana ini malam, dingin, ngantuk, lapar, banyak nyamuk, belum nanti kalau ada jurig ngajak bercanda, kan nggak lucu ganteng-ganteng gini ngompol."

Jati pun pasrah saja dengan nasibnya. Dan dia juga tidak bisa memaksa agar orang lain membantunya. Apalagi dari cara berbicara dan keadaan yang terlihat dengan kasat mata. Wanita berhijab dan anak kecil itu memang ekonominya kurang.

"Mungkin saya bisa bantu hanya untuk Mas boleh nginap di rumah kami. Nanti saya akan bilang sama Abah, dan mudah-mudahan Abah mengizinkan Mas untuk nginap di rumah kami sampai besok, dan untuk urusan bensin besok bisa dipikirkan lagi," tawar wanita itu dengan sopan, dia juga tidak mungkin tega membiarkan laki-laki yang kelihatanya baik semalaman duduk di pinggir jalan dengan kondisi jalan yang gelap dan bukan tidak mungkin takut ada orang yang jahat dan mencelakakan laki-laki itu.

Negeri juga kan kalau tiba-tiba, keesokan harinya ada berita. Telah di temukan sesosok mayat laki-laki tampan tergeletak di jalan, karena korban be-gal....

Wanita itu pun bergidik ngeri, dengan pikiran jeleknya sendiri. Yah, kalau itu terjadi pasti ia akan sangat menyesal karena tidak menolong laki-laki itu.

"Wah boleh tuh. Saya ucapkan terima kasih banyak loh Mbak'nya mau bantu saya, meskipun hanya sebuah tumpangan untuk nginap, tapi itu sudah sangat berarti untuk saya. Dari pada di pinggir jalan semalaman," ucap Jati yang langsung bersemangat  karena dapat bantuan dari wanita cantik yang bagi Jati baru pertama kali bertemu, tapi sudah bikin hati meleleh.

Jati sendiri sebenarnya sangat amat sadar diri kalau dia bukanlah laki-laki yang baik, tapi setiap bertemu dengan wanita yang baik, dalam hatinya ia berdoa agar dipertemukaan wanita yang baik dan mampu menerima ia dengan seribu kekuranganya dan sedikit kelebihan yang dia miliki. Egois memang, tetapi itulah yang Jati inginkan.

Bersambung...

...****************...

Jati, Tak Se-kuat Namanya.

"Ngomong-ngomong rumahnya masih jauh Mbak?" tanya Jati yang jalanya mulai ngos-ngosan. Mungkin mereka sudah berjalan hampir setengah jam, dengan Jati menuntun motor dan wanita berhijab itu menuntun sepedanya dengan sang adik yang naik di boncengan. Memang perjalanan mereka tidak terlalu berasa karena mereka berdua terus mengobrol. Namun, Jati yang tidak biasa berjalan cukup jauh pun merasakan ngos-ngosan juga.

"Mungkin setengan jam lagi A."

"Hah, setengah jam lagi? Sejauh itu kah rumahnya Mbak?" tanya Jati yang langsung menghentikan jalanya, kaget dan ingin pingsan tentunya. Mana jalanan ternyata nanjak lagi beban jalannya pun bertambah.

"Hehehe tidak kok A, paling seratus meter lagi, itu sudah mulai kelihatan lampu-lampu  nyala, itu desa kami. Dan dari situ sudah tidak jauh lagi." Wanita berhijab itu menunjuk arah kampung tempat tinggalnya.

"Huh, akhirnya. Aku pikir serius setengah jam lagi. Ini aja berasa mau copot kaki. Besok pasti badan pada pegel, jalan jauh banget dan nuntun motor lagi." Jati terus merancau dan wanita berhijab itu pun hanya terkekeh samar.

"Masa jalan segitu sudah menyerah sih bukanya namanya Jati, dan kalau nama Jati biasanya identik dengan kuat loh," ledek wanita berhijab itu.

"Loh kok tau namanya Jati?" tanya Jati heran. Pasalnya mereka belum juga kenalan. Memang Jati itu sangat payah sudah ngobrol ngalor ngidul, tapi dia belum juga menanyakan nama wanita yang menolongnya.

"Kan tadi Aa yang bilang Jati, berati namanya Jati kan?" ucapnya, sembari mengingatkan kalau laki-laki itu sempat menyebut namanya tanpa sadar.

"Emang iyah, perasaan aku tidak bilang kalau namaku Jati, tapi ngomong-ngomong kamu namanya siapa? Masa kamu sudah tahu namaku Jati, tapi aku belum tahu nama kamu, itu namanya tidak adil," balas Jati, akhirnya kenalan juga kan.

"Aa-nya nggak sadar kayaknya, kalau sempat nyebut nama, dan kalau saya namanya Qara," balas wanita itu akhirnya Jati tahu namanya yang hampir sama dengan merek santan siap pakai.

"Kara, kaya nama santan," kelakar Jati.

"Itu Kara, kalau nama saya pakai Q jadi Qara," balas Qara menekankan sekali lagi namanya tidak diawali huruf K.

Mereka pun melanjutkan perjalanan lagi yang tandanya tidak lama lagi kalau hanya seratus meter. Namun, tenaga Jati yang sudah terkuras pun tidak bisa berjalan dengan kencang.

"Tapi nanti jangan kaget yah A, rumah kami itu hanya gubug jadi sangat jauh dari nyaman," ucap Qara yang sudah mulai memasuki perkampungan. Bahkan rasanya wanita itu entah berapa kali mengatakan hal itu.

"Tidak apa-apa Mbak, yang penting Jati bisa tidur, dan tidak bermalam di pinggir jalan. Santai saja, biar kaya gini aku sering tidur di emper toko ko," akunya dengan sombong. Yah, sebagai berandalan tidur itu di mana saja yang penting bisa merem dan aman.

"Masa sih, motornya aja mahal gini, masa tidur di emper toko, ngapain?"  tanya Qara, mana percaya wanita itu kalau Jati yang tampan, dan motornya sport, di mana motor seperti yang Jati pakai meskipun Qara tidak begitu paham dengan harganya, tetapi Qara tahu kalau harganya motor itu tidaklah semurah motor beat.

"Dih masa nggak percaya, namanya anak muda pastinya cari yang beda Mbak," balas Jati lagi memang mungkin bagi orang lain anak seperti Jati hanya membuat keributan dan bikin malu orang tua, tetapi ada kepuasan tersendiri yang laki-laki itu rasakan. Pengalaman yang tidak akan bisa terulang kembali, berpetualang. Namun, yang awalnya hanya coba-coba dan ikut-ikutan teman malah dia kini terjebak dengan pergaulan yang bebas, dan makin sulit untuk diarahkan. Bahkan kedua orang tuanya bingung mau menasihatinya seperti apa lagi. Mungkin orang tuanya hany mengandalkan keajaiban kalau sang anak akan sadar hidup tidak selamanya tentang kesenangan. Ada banyak tanggung jawab yang kadang mau tidak mau harus dijalani.

"Percaya sih," balas Qara pasrah aja, toh mereka nggak terlalu kenal juga.

"Ngomong-ngomong malam-malam gini Mbak Qara dari mana sama anaknya?" tanya Jati dengan percaya diri.

"Oh, saya abis beli obat untuk Abah. Emang saya setua itu yah. Sampai adik saya disangka anak," jawab Qara, hanya bercanda sih. Yah tidak aneh juga kalau dia dianggap tua, apalagi dirinya sering ke kebon, kerja keras dan kalau di suku sunda kebanyakan menikah muda. Sedangkan dirinya boro-boro memikirkan nikah, memikirkan kesehatan abahnya dan juga biaya adik-adiknya sekolah bisa tercukupi saja bersyukur.

"Oh, adik yah, maaf aku pikir anak. Abisan gelap nggak begitu kelihatan wajahnya. Udah gitu nunduk terus si teteh mah. Kenapa malu atau kenapa. Aku nggak jahat kok, nggak usah malu ataupun takut, kalau mau jahat udah dari tadi," ucap Jati yang nyerocos terus.

"Bukan malu Aa Jati, tapi dalam agama saya tidak dianjurkan lawan jenis untuk saling bertatapan, sebaiknya dihindari hal yang seperti itu," jawab Qara yang langsung membuat Jati salah tingkah, padahal dari tadi dia menatap Qara terus, belum pergaulan dia juga bukan pergaulan yang suci. Pacaran atau hal yang lain dalam dunianya bukan hal yang tabu.

"Alhamdulilah, akhirnya sampai juga. Ini Mas rumah kami..." ucap Qara sembari menunjukan rumahnya yang terbuat dari papah dan jauh dari kata mewah.

"Ini rumahnya...?" tanya Jati sembari menatap kaget. Mungkin ekspekstasinya terlalu tinggi sehingga ketika melihat rumah yang ada di hadapannya cukup terkejut.

Ini gambaran rumah Qara, di mana di dalamnya ia tinggal dengan Abah, dan ke dua adiknya. Sang ibu sudah berpulang ke Pangkuan Sang Pencipta. Itu sebabnya ia tidak kunjungan menikah sedangkan usianya sudah dua puluh empat tahun. Kalau di suku Sunda kebanyakan umur segitu udah gendong anak dua..., tapi tergantung jodohnya juga yah.

"Iya, kenapa jelek yah?" Qara sih sudah tidak kaget, karena memang mereka hidup dengan serba pas-pasan.

"Oh tidak, aku kaget saja terlihat sangat nyaman. Ngomong-ngomong nanti orang tua kamu tidak marah kan kalau aku nginap di sini?" tanya Jati lagi.

"Loh siapa yang bilang kalau Mas Jati akan tinggal satu rumah dengan kami. Mas Jati nanti tidurnya di situ." Qara menunjuk rumah kecil yang berada di samping rumah utama mereka.

"Hah, kamu serius? Bukannya itu kandang kambing?"

#Nah loh Jat, kamu suruh tidur sama. kambing....

Bersambung....

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!