Pagi hari di desa Sugihdadi, terdengar suara pengumuman di masjid desa, suara itu menyebar ke seluruh kampung.
Seorang wanita yang berumur lima puluhan tahun sedang membersihkan kebun belakang rumah miliknya yang memang terletak di ujung desa.
"Assalamualaikum Mak Ijah, saya ingin menjemput Mak karena ada yang meninggal dunia Mak," kata seorang pria yang nampak tergesa-gesa.
"Wa'alaikumussalam le,memang siapa yang meninggal dunia, maaf tadi Mak tidak dengar suaran di masjid karena kurang jelas," kata Mak Ijah.
"Anu Mak, itu ibu Maya, tolong ya mak, saya tunggu," kata Agus dengan suara panik.
"Iya le iya, tunggu Mak ganti baju dulu ya," kata Mak Ijah dengan suara lembut.
Wanita itu pun kembali keluar dengan penampilan yang sopan dengan jilbab panjang yang di sampaikan di bahu seperti wanita Jawa pada umumnya.
Tak lupa dia membawa tas yang biasa berisi semua perlengkapan yang mungkin di butuhkan untuk mengurus jenazah.
"Ayo le, tapi jangan ugal-ugalan ya," kata Mak Ijah yang naik ke jok sepeda motor merk Honda legenda.
Sepeda motor itu menuju ke rumah Shohibul musibah yang terlihat bendera kuning di pasang di depan rumah.
Saat nak Ijah turun dari sepeda motor, semua warga langsung menyalami wanita itu dengan hormat.
"Mak," panggil salah seorang wanita yang biasa membantu Mak Ijah.
"Loh Nur, kamu sudah di sini ternyata, sudah minta beberapa saudara jenazah untuk mempersiapkan memandikan jenazah," kata Mak Ijah.
"Itu Mak masalahnya," kata Nur yang langsung mendekat ke arah nak Ijah dan membisikkan sesuatu.
Raut wajah Mak Ijah pun berubah dan seperti orang kaget, "kenapa baru bilang, ya Allah panggil suami adik laki-lakinya untuk membantu Mak,"
Wanita itu bergegas masuk dan melarang semua orang mendekat, ternyata kondisi wanita itu sudah membiru dengan mata melotot dan mulut menggangga.
"Nur tadi kamu sudah menyentuhnya?" tanya Mak Ijah.
"Belum atuh Mak, saya tidak berani orang kondisi ibu Maya begini," kata Nur yang bahkan hampir ingin menangis.
pak Jono dan Farid datang, keduanya adalah suami dan adik dari ibu Maya.
"Sebenarnya kenapa bisa begini, dan tolong jika ada belum selesai di selesaikan,kasihan jenazah dan kenapa tidak bisa di angkat dari ranjang," tanya Mak Ijah.
"Saya harus mulai dari mana Mak, istri saya ini ya Allah...." suara pak Jono dengan gemetar.
Bu Maya bisa di kenal sebagai seorang wanita yang sangat baik di desa dengan sering meminjamkan uang pada penduduk.
Tapi yang para warga tak tau dan mengerti, wanita ini memiliki sebuah yayasan palsu yang dia dirikan atas nama anak yatim.
Dia menghimpun dana dan kekayaan dari yayasan itu, bahkan demi meyakinkan para donatur.
Wanita itu memiliki anak asuh sebanyak sepuluh orang tapi tak ada yang di perlakukan layak.
Semuanya di perlakukan dengan kejam, pak Jono sudah mengingatkan istrinya tapi wanita itu tak mau mendengarnya.
"Cukup Bu, jangan lakukan ini lagi, ibu tau jika perbuatan ini salah dan nanti ibu bisa dapat hukuman dari
Gusti Allah Bu,ileng..." kata pak Jono yang merasa sedih.
"Halah... bapak Ini ngomong apa, kayak kamu bisa memenuhi kebutuhan ibu saja, sudah gak usah ganggu usaha ibu," kata Bu Maya yang meninggalkan suaminya begitu saja.
Pak Jono hanya bisa mengeleng pelan menyaksikan semuanya, tapi tanpa terduga siang itu semua anak yatim yang ada di yayasan itu di bantu kabur oleh Farid.
Pasalnya mereka sering kelaparan dan di minta untuk bekerja serabutan.
Bu Maya yang baru sampai di tempat panti miliknya marah besar, karena semua anak lari.
"Dasar penjaga bodoh,kenapa bisa lari," kata Bu Maya pada kedua centeng yang dia minta untuk berjaga di tempat itu.
"Maafkan saya Bu, sebenarnya ini juga bukan sepenuhnya kesalahan saya, karena mereka kabur di bantu pria yang mengenakan topeng Cepot Bu," kata salah satu pria yang kesakitan.
"Halah omong kosong, kalian berdua itu tak berguna," marah Bu Maya yang memutuskan untuk pergi.
Tapi tanpa terduga batu juga keluar dari panti bodong itu, dia kejatuhan sebuah pohon mangga yang tumbang tiba-tiba.
Dan setelah itu kondisi Bu Maya lumpuh dan tak bisa melakukan apapun lagi.
Hingga akhirnya meninggal dunia di atas ranjang dan meski awalnya sakaratul mautnya sangat sulit.
Mak Ijah hanya bisa mengangguk dan mulai membaca doa dan mulai menutup mata Bu Maya yang melotot.
Dan kemudian Mak Ijah juga menutup mulut Bu Maya agar tak terbuka lagu, "tutup ya Bu, biar terlihat cantik,"
Akhirnya kondisi jenazah Bu Maya bisa sedikit lebih baik, "sudah di buatkan tempat pemandian jenazah yang tertutup, dan minta salah satu keluarga untuk ikut membantu tapi pastikan dia tak mengumbar aib jenazah," kata Mak Ijah.
"Iya Mak," jawab Nur yang menemukan anaj Bu Maya yang paling besar adalah seorang gadis.
Akhirnya jenazah Bu Maya di bawa ke tempat permandian untuk di suci kan, tapi baru juga di taruh di tempat yang sudah di alasi gedebong pisang itu.
Tiba-tiba terdengar suara sapi yang begitu keras,Mak Ijah pun langsung mendekati kedua pria itu.
"Tolong ya pelan-pelan," kata Mak Ijah.
Akhirnya pak Jono menunggui dan menyaksikan istrinya di mandikan, sedang Farid mencari adik Bu Maya yang lain.
"Pak kalau mau menyentuh dan pamitan Monggo, sebelum jenazah di wudhukan," kata Mak Ijah.
Sebenarnya tadi saat Mak Ijah menuang air sabun tiba-tiba terlihat ada beberapa belatung yang jatuh.
Tapi wanita sepuh itu tak bereaksi dan tampak diam saja, karena tak baik membicarakan tentang hal yang seperti itu.
Pak Jono mendekat dan memberikan ciuman terakhir untuk istrinya, dan membisikkan sesuatu.
Setelah itu maka Ijah mewudhukan jenazah dengan perlahan, dan kemudian tiga orang adik laki-laki dari Bu Maya datang untuk mengangkat jenazah wanita itu.
Kini saat akan di kafani juga begitu, Mak Ijah hanya bisa menghela nafas karena kain kafannya kependekan
"Nur sudah berapa kali nak bilang,tolong lebihi cukup banyak, Kenapa sekarang malah gak muat," kata Mak Ijah.
"Loh Mak ini bukan Nur yang potong, tapi ini kain kafan dari keluarga jenazah,"
"Ya Allah... ya sudah tolong ambilkan yang baru karena tak baik seperti ini,"
"Maaf ya Mak, sepertinya ini kesalahan saya, nanti biar saya ganti kain kafan milik Mak," kata pak Jono yang dari tadi duduk memperhatikan jenazah istrinya.
Karena pria itu tak mau jauh-jauh dari Bu Maya, tapi tiba-tiba sebuah teriakan mengejutkan semua orang.
"Ibu di bunuh ayah!! ibu di bunuh ayah,ibu minum susu yang di campur ayah dengan bubuk putih!!" teriak seorang anak yang berusia sepuluh tahun di luar rumah.
"Ada apa, kenapa Andi berulah lagi," kata pak Jono yang langsung mendekati putranya itu.
Semua orang tak ada yang menganggapnya karena bocah itu memiliki gangguan syaraf hingga sering di anggap bocah aneh.
Akhirnya jenazah sudah selesai dan langsung di berangkatkan ke makam desa.
Mak Ijah dan nur menghela nafas karena hati ini cukup sulit memandikan satu jenazah,tapi mau bagaimana pun itu sudah menjadi pekerjaan Mak Ijah yang sudah di tekuni dari dulu.
Mdk Ijah memilih pulang kaki bersama Nur, mereka juga mendapatkan dalam tempel yang di berikan oleh pak Jono.
Meski nominalnya tak besar, itu cukup untuk membeli beras, "aku masih merinding Mak, gimana ini kalau aku gak bisa lupa," kata Nur yang ketakutan.
"Sudah jangan terus di ingat, ini minum air putihnya dan jangan lupa bismilah dulu," kata mak Ijah.
"Terima kasih mak, padahal dku sudah sering menerima dan membantu Mak ya, tapi kenapa aku masih sering ketakutan," kata Nur
"Ya namanya juga bekerja seperti ini nduk, kan Mak sudah sering bilang, kerja ikhlas nduk, ya sudah Mak duluan ya kamu sudah sampai di rumah begitu," kata Mak Ijah.
"Iya Mak, tidak mampir dulu," kata Nur yang merasa tak enak jika tak menawari wanita itu.
"Sudah, Mak mau pulang itu di Mbah pasti ngomel kalau Mak tak ada di rumah,maklum sekarang dia makin cerewet," kata Mak Ijah.
"Aduh tak ku sangka istriku ini suka menjelek-jelekkan suaminya, sedihnya hatiku," kata Mbah Tejo yang berhenti di samping istrinya itu.
"Aduh bapak ini ngomong apa, sudah ayo pulang pak, permisi ya Nur," pamit kedua orang tua itu.
Mbah Tejo pun membonceng istrinya itu dengan penuh perasaan, dia tak mau jika istri tercintanya itu terluka.
"Aduh aku kok iri ya melihat mereka, meski sudah tua tapi tetap mesra, sedang aku, huh..." kata Nur yang masuk kedalam pekarangan rumah
Kebetulan suaminya dari samping rumah dan tak sengaja mendengar ucapan istrinya.
"Ibu menyesal menikah dengan bapak?"tanya pak Hudi suami Nur.
"Bapak ini ngomong apa, kok ya aneh sudah ibu mau masuk dan masak," ketus Nur.
"Idih, sekarang kamu ketus gitu sih," kata pak Hudi.
Sedang di jalan, Mak Ijah berpegangan erat pada pinggang suaminya yang sedang menggowes sepeda ontel nya.
Sesampainya di rumah, terlihat ada seorang gadis cantik yang sedang berdiri di sana, "Mbah dok .. Mbah kung!!" teriak gadis itu yang langsung lari dan memeluk Mak Ijah.
"Astagfirullah Sekar, kenapa kok bisa kesini, bukannya tak ada omongan mau pulang ya," kata Mak Ijah.
"Sebenarnya itu Mbah dok, aku di marahin ayah, katanya anak gadis kelakuan preman, jadi aku di suruh pulang kesini untuk tinggal dengan Mbah dok, karena ayah harus mengurus usaha di tambah ibu tak bisa membantu karena harus mengurus adikku," kata gadis cantik itu yang memang penampilannya seperti preman.
"ya sudah masuk dulu, Mbah mau ambil singkong buat makan malam," kata Mbah Tejo.
"Apa, ih... Mbah kung,kan ayah setiap bulan kirim uang begitupun dengan anak Mbah yang lain, kenapa malah milih makan singkong," protes Sekar.
"Ya Mbah lebih suka makanan alami begini, sudah tak usah protes nanti kamu rasain dulu,oh ya selama di desa, bantuin Mbah uti saja, lumayan nanti bisa dapat uang," kata Mbah Tejo.
"Gak mau, ngeri tapi ya sudah deh aku belajar, itung-itung jagain Mbah dok juga," kata Sekar yang membuat Mbah Tejo merasa aman.
Akhirnya mereka semua masuk ke dalam rumah, saat masuk sekar merasakan hawa yang begitu adem dan nyaman.
Dia tak bisa merasakan kenyamanan ini selama tinggal di rumah orang tuanya.
"Ada apa nduk?" tanya Mak ijah.
"Tidak apa-apa Mbah dok, aku mau gunakan kamar yang tengah ya, boleh," jawab Sekar yang langsung mengalihkan perhatian dari neneknya itu.
"Boleh saja, oh ya ini kartu ATM yang di kasih om mu, kamu pegang ya, Mbah gak tau cara pakainya, jadi kamu yang bawa, nanti kalau butuh Mbah pasti minta," kata Mbah Tejo.
"Iya Mbah," jawab Sekar
Saat gadis itu mulai menata semua pakaian yang dia bawa, dia tak menyangka akan kabur begitu saja dari rumah.
Sebab dia tak tahan lagi karena aura dari rumah orang tuanya yang panas dan mengerikan.
Di tambah usaha yang semakin hati semakin laris tapi membuat kedua orang tuanya semakin kehilangan hati nurani mereka.
Tiba-tiba hujan deras turun membasahi bumi, Sekar melihat ada sedikit hal yang aneh karena kondisi saat ini sedang panas.
Dia pun buru-buru keluar dari kamarnya, "Mbah dok, itu kenapa di luar panas tapi terdengar suara petir dan hujan dengan deras sih, aneh banget?"
"Itu namanya hujan panas, orang dulu percaya jika ada hujan seperti ini ada hantu yang melahirkan, tapi entah itu mitos dari mana," kata wanita itu dengan senyum.
"Lah kok gitu, aku taunya hujan dengan mendung putih, itu pasti sudah bisa di kira-kira akan hujan sangat lama," kata Sekar yang membantu mengupas singkong.
"Ya mau bagaimana lagi, namanya juga di kampung, sudah ini sudah Mbah cuci, tolong di rebus terus buatkan sambal ya," kata Mbah Tejo yang memberikan daun singkong muda.
"Wah ini kita makan singkong sambel ya Mbah?"
"Iya nduk, Mbah lagi kepingin makan itu," jawab pria sepuh itu.
Dengan segera Sekar mulai memasak daun singkong itu, dan membuatkan sambel dadak.
Setelah semuanya matang, mereka bertiga makan dengan sangat lahap, bahkan Sekar yang awalnya protes, kini malah paling lahap.
Setelah itu mereka semua beristirahat, Sekar tertidur setelah membaca tata cara untuk mengurus jenazah.
Sedang Mak Ijah dan Mbah Tejo baru akan bersiap untuk tidur saat mereka mendengar suara kaca di ketuk.
Pasti seperti ini, dan setelah tiga kali ketukan akhirnya tak terdengar lagi, dan mereka pun tidur.
Keesokan harinya, Sekar yang terbiasa lari pagi pun tetap melakukan aktifitasnya.
Dia berkeliling desa untuk berolahraga, sedang Mak Ijah bersih-bersih rumah.
"Bu ne, bapak kok gak lihat Sekar, mana gadis itu?" tanya Mbah Tejo yang baru selesai mencari rambanan untuk kambing.
"Lah ibu tidak tau, mungkin sedang olahraga, bapak kan kata tau jika cucu mu itu suka lari," kata Mak Ijah tersenyum.
Tanpa terduga sekar kembali sambil mengendong rambanan di belang tubuhnya.
"Mbah... aku bawa pakan dari rumah pak haji Dardak,"
"Ya Allah gadis ini," kaget Mak Ijah.
Karena cucunya itu membawa ikatan rambanan berukuran besar, Mbah Tejo kaget melihat cucu perempuannya itu.
Dia pun segera mengambil rambanan itu dari punggung Sekar, setelah itu mereka pun sarapan.
Pagi ini mereka makan nasi tiwul dan lagi-lagi Sekar menerima keadaan di desa.
Karena dia tak mau merepotkan kakek dan neneknya, "Mbah kalau sedang senggang begini, Mbah dok biasanya ngapain,gak mungkin dong berharap ada yang mati setiap hari," kata Sekar dengan lancar.
"Mbah dok itu biasanya memilih untuk bantu-bantu di sawah milik kami,meski kecil tapi Alhamdulillah loh nduk," kata Mak Ijah dengan lembut.
"Oke Sekar bantu,"
Setelah kematian bu baya kemati pagi, beberapa warga masih membicarakannya.
Ya bagaimana tidak, orang yang terkenal baik meninggal begitu mendadak, di tambah ada yang sempat melihat mayat Bu Maya.
Pagi ini Mak Ijah dan Sekar berjalan menuju sawah untuk membantu Mbah Tejo dadak.
Ya sekarang musim tanam padi, dan mereka akan membantu mencabut rumput.
"Permisi Bu," sapa Sekar dengan sopan.
"Iya neng, Mak Ijah... aduh tunggu sebentar," kata Bu Lastri menghentikan wanita itu.
"Ada apa Bu, kok sepertinya ada yang gawat?" tanya Mak Ijah yang pura-pura.
"Aduh emak ini jangan pura-pura deh, saya dengar-dengar sekarang pak Jono menikah setelah kematian istrinya, ya Allah belum juga dua hari," kata wanita itu.
"Ya saya tidak tau Bu, karena saya hanya sekedar membantu, dan lagi laki-laki itu tidak memiliki masa Iddah, beda dengan perempuan," jawab Mak Ijah.
"Ya bukan begitu nak, ya kali istrinya baru meninggal, dan yang aku dengar juga Bu Maya ini matinya serem ya, ngeri gitu bener gak di Mak, kan Mak yang mandikan," tanya wanita lain.
"Biasa saja, sudah sekarang Mak mau ke sawah dulu, karena takut itu suami nak marah, permisi ya," pamit Mak Ijah yang langsung pergi.
Para ibu-ibu ini hanya melihat Mak Ijah yang menarik cucu perempuannya itu agar menjauh.
Pasalnya Mak Ijah ini selalu saja berusaha untuk menutup semua yang dia lihat saat memandikan jenazah.
"Ada apa to Mbah dok, kenapa kok kayaknya ada yang Mak tutupi?" tanya Sekar penasaran.
"Tidak ada nduk, tapi ya selalu saja begini setelah mengurus jenazah, pasti ada saja orang yang ingin tau kondisi jenazah, dan sebagai orang yang mengurus terakhir kali kita wajib untuk merahasiakan apapun, terutama keburukan yang terjadi pada jenazah," terang Mak Ijah.
"Iya Mbah," jawab Sekar yang mengerti sekarang.
Dia dan Mak Ijah sampai di sawah, dan ternyata Mbah tejo ini banyak mendapatkan keong yang berukuran besar
Melihat itu Sekar sangat senang karena dia bisa menikmati tumis keong nanti malam.
Akhirnya dia membantu di sawah, Mak Ijah sempat melihat ke arah pemakaman umum di tengah sawah yang memang jaraknya tak jauh dari sawah milik suaminya.
Terlihat seperti ada anjing yang menuju ke arah makam desa, padahal di desa itu tak ada yang memelihara hewan itu.
"Ada apa buk?" tegur Mbah Tejo yang melihat istrinya terus menerus menatap pemakaman.
"Itu loh pak, ibu sepertinya melihat ada anjing yang sepertinya masuk ke dalam pemakaman," kata wanita itu
"Astagfirullah Bu,sadar Bu ileng," kata Mbah Tejo yang mengguncang istrinya itu.
"Sudah Mbah dok, mungkin itu cuma anak kambing kan kaldu dari jauh mirip," kata Sekar yang sebenarnya masih takut jika di ajak main ke tempat pemakaman itu.
"Mungkin Sekar benar, ya sudah kura pulang yuk sudah selesai juga," ajak Mak Ijah.
Mereka semua berjalan kaki menuju rumah, ternyata saat melewati rumah Bu Maya ternyata benar.
Ada pak lurah dan pak Mudin serta seorang penghulu, nak Ijah pun hanya bisa mengeleng pelan, bagaimana bisa pria itu menikah setelah dua hari istrinya meninggal dunia.
Padahal saat kemarin saat melihat pak Jono yang begitu terpukul atas kematian istrinya, Mak Ijah mengira jika pria itu cinta mati.
Ternyata cintanya sedangkal itu, tapi ini sudah bukan menjadi urusannya, dan kini dia tak memiliki sangkut pautnya dengan apa yang terjadi.
Sedang Sekar merinding karena bisa melihat sosok yang berdiri di samping rumah itu.
Itu adalah sosok wanita dengan baju putih robek-robek dan penampilan buruk dengan tubuh biru lebam dan mulut yang tak bisa menutup .
"La Haula Wala Quwwata Illa Billahil Aliyil Adzim," lirih Sekar yang langsung mengikuti neneknya itu.
Sesampainya di rumah Sekar langsung mandi dan mengambil wudhu, dia tak menyangka tinggal di kampung seperti ini.
Malah membuat nata batinnya terbuka, padahal dia tak mau melihat hal seperti itu.
Tapi ini seperti dua hal yang membuatnya bimbang, kadang menguntungkan jika di gunakan untuk membantu para arwah tenang.
Tapi dia juga ketakutan karena harus terus di teror oleh makhluk yang ingin memiliki tubuhnya untuk di rasuki.
Mbah Tejo sadar jika ada yang tak beres dengan cucu perempuannya itu, di tambah gadis itu terus ketakutan setelah pulang dari sawah tadi.
"Sekar, kemari nduk..." panggil pria sepuh itu.
"Inggeh Mbah," jawab gadis itu yang duduk di sebelah kakeknya.
"Kamu pasti bisa melihat barang tak kasat mata ya, kandang takut kedudukan kita lebih tinggi, dan lagi itu adalah berkat yang di wariskan turun temurun, sekarang kamu pakai kalung ini dan jangan di lepas ya, insyaallah ini bisa melindungi mu dari mereka yang berniat jahat," kata Mbah Tejo yang memang terkenal sebagai orang yang bisa menyembuhkan hal ghaib meski beliau sendiri bukan dukun.
Sekar langsung memakai kalung itu dan perlahan dia mulai merasakan tenang, terlebih Mbah Tejo juga memberikan air yang sudah di doakan.
"Sudah-sudah ini di makan dulu, Mak sudah membuatkan oseng-oseng keong kesukaan Sekar,"
"Terima kasih ya Mak, bolehkan aku panggil begitu karena aku ingin seperti orang-orang saja," kata Sekar.
"Ya gak papa, orang kamu mau panggil ibu juga gak papa," jawab wanita itu dengan senyum yang merekah.
Di sisi lain teror terhadap keluarga pak Jono mulai terjadi karena pria itu telah berbuat buruk pada putra kesayangan dari Bu Maya.
Dan bisa bebas begitu saja dari semua yang telah dia lakukan dengan buruk.
Hujan kembali mengguyur desa, meski tak deras tapi suasananya sangat sunyi.
Bahkan hewan malam dan kodok saja tak ada yang berbunyi, padahal jika hujan seperti itu kosong pasti ajan bersahutan dalam berbunyi.
"Kok malam ini terasa sangat sunyi ya Mak, Mbah Tejo kemana sih?" tanya Sekar yang memang tak melihat kakeknya itu setelah sholat magrib tadi.
"Mbah mu itu tadi di panggil pak RT, mungkin ada yang butuh bantuan, memang kenapa nduk,"
"Sebenarnya Sekar takut Mak,setiap merasakan suasana seperti ini, pasti akan muncul rasa was-was karena saat di rumah dulu, tiba-tiba akan terdengar suara langkah derap kuda dan suara ringikan juga, itu selalu membuat ku takut Mak,"
"Apa, bagaimana bisa di kota ada kuda yang lepas, kamu yakin nduk," tanya Mak Ijah memastikan.
"Iya Mak, karena dulu jika mulai dengar itu, aku akan lari dan bersembunyi bersama mbak yang bekerja di rumah, dan setelah suara kuda itu maka akan terdengar suara seperti rantai yang bergoyang dan sayup lirih terdengar suara Gending-gending," kata Sekar.
"Innalilahi wa inna ilaihi Raji'un... semoga semua yang tinggal di rumah orang tua mu di jauhkan dari mara bahaya ya," kata Mak Ijah.
Tiba-tiba saat keduanya masih duduk berbincang,seorang pria datang dengan basah kuyup menembus hujan deras itu.
"Assalamualaikum Mak Ijah,"suaranya yang panik dan terdengar tergesa-gesa.
"Wa'alaikumussalam, ada apa," panik Mak Ijah
"Tolong Mak, itu ada orang yang sakaratul mautnya sulit Mak,itu ibu Kokom desa sebelah Mak,kasihan Mak sudah tiga hari tiga malam,"kata pria itu yang berhasil membuat Mak Ijah kasihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!