NovelToon NovelToon

Secret With Bad Boy

Anak kota

Sebuah mobil SUV melaju tenang dijalanan yang beraspal. Di dalamnya ada dua orang penumpang beserta barang bawaan yang cukup banyak.

Lukman, laki-laki paruh baya berkacamata tebal itu, adalah sang pengemudi. Dari kaca spion tengah, Ia memandangi putriya, Kinanti, yang sedang termenung di jok belakang sambil memandangi jalanan ramai ibu kota. Raut wajahnya masih terliihat sedih, sama seperti saat mereka berangkat ke Jakarta, pagi tadi.

“Nak, kita udah masuk Jakarta ini. Tuh, patung selamat datang menyambut kita.” Ujar Lukman pada Kinanti. Ia mencoba mencairkan suasana.

“Iya yah.” Kinanti menyahuti dengan pelan. Seperti tidak ada semangat di tubuhnya.

“Kamu masih marah sama ayah, gara-gara kita pindahan lagi?” Lukman memperhatikan benar putrinya yang terlihat kesal.

“Ngapain marah, orang aku marah juga kita tetep pindahan.”

Kinanti menurunkan sedikit kaca jendelanya, agar bisa menghirup udara bebas. Selama perjalanan ia terus menggunakan AC. Kepalanya terasa pusing dan tengkuknya terasa berat saat udara dingin itu bercampur dengan pewangi mobil berbau jeruk.

“Iyaaa, ayah minta maaf. Ayah janji, ini terakhir kalinya kita pindah kota."

"Sekarang ayah di tempatkan di kantor pusat, mudah-mudahan sampai pensiun sekitar lima tahun lagi. Jadi, kamu juga bisa kuliah di sini. Di sini banyak loh kampus bagus.” Lukman berusaha menghibur putrinya yang murung.

Kinanti tidak menimpali. Ia masih sangat kesal karena hampir setiap tahun ajaran baru ia pasti pindah kota mengikuti ayahnya.

Lukman bekerja di sebuah perusahaan pertambangan batu bara. Hal ini membuat ia harus siap berpindah-pindah tugas kemanapun perusahaan mengirimnya. Kinanti, putri satu-satunya yang ia miliki, sudah dipastikan selalu mengikuti kemanapun ia pergi karena mereka hanya berdua saja. Ibu Kinanti sudah lama meninggal, sekitar enam tahun lalu.

Terakhir Kinanti tinggal di Bandung selama satu tahun. Ia sudah mulai betah karena Bandung adalah kota kelahiran ibunya. Bisa Kinanti yakini, setiap ia sudah merasa betah di satu tempat, pasti Lukman akan pindah.

Seperti sekarang, Lukman mengatakan kalau ia harus pindah ke kantor pusat karena perusahaan tempat ayahnya bekerja, membutuhkan Lukman untuk ditempatkan di Jakarta.

Sebagai pekerja, mana mungkin Lukman menolak. Dan Kinanti harus kembali bersiap untuk adaptasi dengan tempat tinggalnya yang baru.

“Yah, aku kan udah tujuh belas tahun, kenapa sih ayah gak biarin aku tinggal sendiri di Bandung? Di sana juga kan ada Wa neneng, ada Nia yang bisa nemenin aku. Kalau pindah lagi kayak sekarang, aku kesulitan adaptasi lagi. Mana sekarang aku udah kelas tiga SMA, harus persiapan ujian akhir dan semacamnya.”

Kinanti memberanikan diri untuk protes. Ia sudah sangat lelah berpindah-pindah sekolah. Selama SD sampai SMA sekarang, entah berapa kota yang pernah ia tinggali. Mulai dari beberapa kota di ujung barat indonesia yaitu pulau sumatera, hingga pulau Kalimantan dan dua tahun lalu di Sulawesi. Baru satu tahun ini ia kembali ke pulau jawa dan menetap satu tahun di Bandung.

Proses adaptasi yang sangat singkat, membuat Kinanti kesulitan mendapatkan teman. Sampai sekarang ia tidak punya teman dekat selain Nia, anak kakak sepupu mendiang ibunya. Selain itu, ia juga harus beradaptasi dengan mata pelajaran yang cukup membuatnya kerepotan. Beruntung Kinanti anak yang cerdas sehingga ia bisa cepat mengikuti.

“Iya, ayah minta maaf. Nanti deh, kalau kamu usianya udah dua puluh satu tahun, ayah kasih kamu kebebasan. Kalau sekarang, ayah belum bisa. Ayah gak tega ninggalin kamu sendirian di rumah.” Ucap Lukman dengan sungguh.

“Bener ya ayah, saat aku berusia dua puluh satu tahun, aku boleh memutuskan apapun sendiri.” Kinanti menyahuti dengan cepat.

Lukman tersenyum kecil melihat perubahan raut wajah putrinya. Ia tahu benar kesulitan Kinanti dan sangat wajar kalau dia mengeluh. Anak seusia itu harus belajar mandiri tanpa seorang ibu, sementara ia bekerja seharian berangkat pagi pulang malam. Di hari liburpun kadang ia harus lembur.

Sementara kondisi zaman semakin gila, memiliki anak perempuan yang polos dan cantik itu membuat ia memiliki ketakutan tersendiri. Mungkin hal itu yang membuat Lukman akhirnya memaksa Kinanti untuk ikut kemanapun ia pergi.

“Iya, setelah usia Kinan dua puluh satu tahun, ayah akan memberikan beberapa kebebasan sama Kinan. Tapi ingat, kebebasan yang bertanggung jawab.” Janji Lukman.

“Siap ayah! Kinan pasti bertanggung jawab sama apa yang Kinan lakukan dan pikirkan.” Sahut gadis cantik bermata sayu itu dengan semangat.

Lukman ikut tersenyum melihat semangat putrinya.

“Hah, dua puluh satu tahun itu, empat tahun lagi. Kinan harus mulai memikirkan apa yang akan Kinan lakukan untuk mengisi empat tahun ini. Tapi yang jelas, sekarang Kinan udah jadi anak kota. Iya kan ayah?” suara Kinanti mulai terdengar ceria.

“Hahahaha ... iyaa, sekarang Kinan anak kota. Ingat selalu kalau dimanapun Kinan berada, Kinan harus selalu menjaga diri baik-baik ya nak.”

“Okey ayah.” Kinanti menunjukkan tanda okeynya pada Lukman.

Lukman menghembuskan nafasnya lega, akhirnya Kinanti bisa ia bujuk juga.

****

Jakarta, kota yang padat dengan hilir mudik kendaraan yang jarang lenggang. Kemacetan seolah menjadi teman paling akrab bagi pengguna jalanan. Kinanti mulai gelisah, karena sedari tadi ia menahan keinginannya untuk miksi.

“Ayah ini kita masih jauh gak sih?” tanya Kinanti sambil menghentak-hentakan kakinya. Urinenya terasa sudah sampai di ujung dan hampir menetes.

“Sebentar lagi kita sampai. Setelah lampu merah ini, nanti ada bunderan. Kita akan belok ke kanan. Sekitar tiga kilo dari jalan utama, kita sampai di rumah baru kita.” Terang Lukman dengan detail.

“Aduuhh masih lama yaa. Aku pengen pipis ini.” Kinanti semakin merapatkan kakinya.

“Sabar yaaa, ayah matiin dulu ac-nya. Buka dulu aja jendelanya, biar gak pengap.” Lukman memutar modul pengontrol ac dan mematikannya.

Kinanti pun segera menurunkan kaca jendela mobilnya lebih rendah lagi. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menahan keinginan miksinya.

“Wah, di depan agak macet.” Gumam Lukman yang memutar stir ke kanan hendak berbelok di bunderan.

Tapi baru beberapa derajat stir berputar, tiba-tiba saja dua buah motor sport yang melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah mereka. Pengendara yang satu berusaha menendang pengendara motor lainnya hingga oleng lalu ia kabur dengan menggunakan jalur lain.

Sementara motor yang oleng tadi, terus melaju ke arah mobil Kinanti yang berada di tengah-tengah jalanan hendak masuk ke jalur kanan.

Motor itupun oleng dan berputar di dekat mobil yang refleks berhenti karena Lukman menginjak pedal rem. Pengendara motor sport berwarna hitam itupun segera menarik rem tangannya. Ban motornya terdengar berdecit karena dipaksa berhenti saat melaju dengan kecepatan tinggi. Bagian belakang motor sampai terangkat keudara seperti tengah beratraksi di surkuit.

“Ayaaahhh!!! Motttooorr!!!” teriak Kinanti dengan panik.

Kinanti kaget bukan main saat jarak Kinanti dengan motor itu hanya beberapa senti. Matanya membulat sempurna menatap pengendara motor yang juga menatapnya kaget. Tidak terlihat jelas seperti apa wajahnya yang tertutup helm. Hanya mata tajamnya saja yang seperti menghujam jantung Kinanti dan membuatnya berhenti berdetak beberapa saat.

Dalam benak Kinanti, bumi seolah berhenti berputar. Dalam perlihatannya, seperti hanya ada mereka berdua di jalanan yang sepi dan tengah saling bertatapan.

Kinanti melihat bulu mata laki-laki itu begitu lentik dengan tulang hidungnya yang tinggi dan alisnya yang tebal. Hal lain tidak Kinanti perhatikan, ia terlalu terkejut pada apa yang dilihatnya.

“Kamu gak apa-apa nak?” suara Lukman membuyarkan lamunan Kinanti yang terdiam di pikirannya.

“I-iya ayah.” Hanya itu jawaban Kinanti.

Tiba-tiba saja, laki-laki itu memutar posisi motornya sembilan puluh derajat hingga sejajar dengan posisi mobil dan saling bersisian.

Ia menepuk pintu mobil beberapa kali dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam berbahan dasar kulit.

“Sorry.” Suara laki-laki itu terdengar bergema di rongga telinga Kinanti, seperti menghipnotisnya.

“I-Iya.” Sahut Kinanti. Tidak bisa berkata lebih. Jantungnya masih berdebar sangat kencang.

Laki-laki itu juga mengangguk sopan pada Lukman sebelum kemudian pergi meninggalkan Kinanti dan Lukman yang masih terkejut.

Hanya kepulan asap yang kemudian ia tinggalkan. Motornya melesat cepat dan sudah tidak terlihat dalam waktu beberapa detik ke depan.

*****

Rahasia ayah

Setelah terjebak kemacetan beberapa lama, akhirnya Lukman dan Kinanti tiba di halaman sebuah rumah sederhana di salah satu sudut kota Jakarta. Rumah ini akan menjadi tempat tinggal bersama Lukman selama mereka tinggal di Jakarta. Rumahnya memang tidak terlalu besar tapi cukup untuk ditinggali oleh ayah dan anak tersebut.

Menahan keinginan miksinya, membuat Kinanti kesakitan. Saat mobil berhenti, ia segera turun dan berlari ke pintu.

“Ayah, kuncinya mana?” teriak Kinanti yang sudah tidak kuat menahan kandung kemihnya yang penuh.

“Sebentar Kinan.” Lukman segera turun dan menyusul putrinya.

Kinanti sudah tidak bisa menahannya. Ia berjinjit-jinjit kecil sambil memegangi perutnya saat Lukman membuka pintu rumah. Ia sudah berkeringat dingin.

“Toiletnya di sebelah dapur.” Teriak Lukman saat pintu berhasil terbuka.

Kinanti tidak menyahuti, ia segera berlari masuk kemudian hanya suara pintu tertutup saja yang di dengar Lukman.

“Dasar anak kecil. Ckckckck....” Ujar Lukman sambil tersenyum kecil melihat tingkah putrinya.

“Hah ....” Kinanti menghembuskan nafasnya lega setelah akhirnya bisa membuang cairan dari dalam kandung kemihnya ini. Rasanya lega sekali.

Setelah selesai, ia baru sadar kalau kamar mandi yang ia tuju sangatlah lucu. Warna keramiknya merah muda, seperti warna kesayangan gadis pada umumnya. Kamar mandinya juga sangat bersih. Sepertinya pemilik rumah sebelumnya merawat rumah ini dengan baik.

“Ayah, kamar mandinya bersih banget.” Cicit Kinanti setelah keluar dari kamar mandi dan menemui Lukman.

Laki-laki itu sedang menurunkan barang-barang mereka dan Kinanti segera ikut membantu.

“Iya, pemilik sebelumnya sangat menjaga rumah ini, jadi semua ruangannya sangat bersih.” Sahut Lukman, mengoper tas tenteng berisi makanan bekal mereka, pada Kinanti.

“Pantesan. Ini kita ngontrak berapa lama ayah?” Kinanti menaruh tas berisi makanan itu di atas meja yang ada di teras rumah.

“Kita gak ngontrak, ayah dapet rumah ini over credit dari temen ayah. Kita tinggal lunasin sisa cicilan rumah ini selama satu tahun ke depan.” Terang Lukman. Ia menurunkan koper yang berukuran cukup besar dan menaruhnya di dekat pintu.

“Hah, beneran ayah? Jadi nanti rumah ini akan jadi rumah kita?” seru Kinanti dengan mata berbinar.

Lukman berhenti sejenak untuk tersenyum dan mengiyakan pertanyaan putrinya.

“Iyaaa. Ayah kan udah pernah bilang, nanti kita akan menetap di ibu kota, supaya kalau kamu mau mengakses apapun lebih mudah. Gak tertinggal seperti waktu kamu tinggal di daerah.”

“Untungnya, uang tabungan ayah cukup untuk over credit rumah ini. Jadi rumah ini akan menjadi rumah kita selamanya.” Ungkap Lukman.

“Akhirnyaaaaa, kita benar-benar punya rumah ayah. Gak tinggal di mes karyawan atau kontrakan lagi. Makasih banyak ayah ....” Kinanti berhambur memeluk Lukman yang berkeringat.

“Hahahaha iyaa... maaf yaa, karena kamu cukup lama harus tinggal di rumah kontrakan yang jauh dari kata layak. Ayah harap, walaupun rumah ini sederhana, kamu bisa kerasan tinggal di sini.” Ungkap Lukman sambil mengusap pucuk kepala putrinya lalu mengecupnya.

“Eeemmm ... kenapa ayah minta maaf segala. Ayah udah berusaha keras untuk Kinan, Kinan akan merawat rumah ini dengan baik."

"Selain itu, dengan rumah yang nyaman, Kinan akan semakin giat belajar untuk mengejar cita-cita Kinan, supaya kelak ayah hanya perlu duduk manis dan Kinan yang akan memenuhi semua kebutuhan ayah. Ayah harus bahagia dan tenang di masa tua ayah nantinya.” Ungkap Kinanti penuh kesungguhan.

“Iya nak.” Mata Lukman berkaca-kaca mendengar penuturan ayahnya. Ia sampai tidak bisa berkata-kata. Kalimat Kinanti yang manis seperti ini selalu berhasil membuat hatinya meleleh sekaligus memberinya asupan semangat.

“Syukurlah kalau Kinan mau merawat rumah ini. Kita beruntung karena mendapatkan rumah yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur dan furnitur penting lainnya. Kamar Kinan bahkan sudah siap di lantai atas. Pergilah untuk melihat.”

“Eeemmm terima kasih banyak, ayah." Kinanti mengeratkan pelukannya beberapa saat.

"Kalau gitu, Kinan mau liat-liat dulu ya ayah. Beberapa barang, Kinan bawa masuk." Ujarnya dengan semangat.

"Iya, pergilah."

Dengan tangannya yang kurus, Kinanti mengangkut satu per satu barang yang bisa ia bawa masuk. Mengumpulkannya di ruang tamu, agar mudah untuk ia rapikan.

"Ayah, yang ini kamar ayah kan?” teriak Kinanti dari pintu. Ia menunjuk satu kamar paling besar di lantai satu.

“Iya. Ayah menjelang tua, kalau kamar ayah di atas, nanti repot naik turun tangganya.”

“Nggak lah, ayah selalu muda. Dan harus selalu muda serta penuh semangat. Karena, ayah harus selalu ada di samping Kinan, sampai kapanpun.” Tegas Kinanti.

Lukman hanya tersenyum kelu, lantas menganggukkan kepalanya pada Kinanti. Ia selalu suka melihat senyum ceria yang terbit dari bibir putrinya.

“Kinan bawa barang ayah masuk yah.” Kinanti menarik koper Lukman yang lumayan besar.

“Gak usah nak, itu berat. Nanti aja sama ayah.” Tolak Lukman.

“Berat apanya, ini kan ada rodanya.” Kilah Kinanti.

Ia tetap menarik koper besar itu menuju kamar Lukman. Menempatkan baju-baju Lukman di dalam lemari berdasarkan jenis pakaian yang biasa Lukman pakai hingga menaruh koper kosong di salah satu sudut kamar.

"Okey, jendelanya di buka dulu, supaya ada udara segar yang masuk." Kinanti beralih ke jendela kamar Lukman. Ia membukanya lebar-lebar dan dari tempatnya ia bisa melihat punggung sang ayah yang masih berada di dekat mobil.

"Kinan sayang ayah. Sehat selalu ayah." Gumam Kinanti, menatap bangga pada Lukman.

Puas memandangi punggung Lukman yang sudah tidak setegap dulu, Kinanti melanjutkan pekerjaannya dengan merapikan barang-barang lain. Tidak banyak yang ia rapikan karena barang mereka hanya sedikit. Sebelum ke lantai atas, Kinanti mengambilkan satu mug air minum dan menaruhnya di atas meja. Air minum itu untuk ayahnya.

Beberapa saat Kinanti termenung, memandangi sosok laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu. Sebagian rambutnya bahkan sudah memutih dengan kulit yang hitam legam terpapar sinar matahari. Seringnya Lukman bekerja di lapangan, membuat ia harus berhadapan langsung dengan teriknya matahari.

“Terima kasih ayah, ayah udah ngasih banyak hal buat Kinan. Ayah selalu bekerja keras untuk Kinan. Ayah adalah laki-laki terhebat di Kinan.” Batin Kinanti. Ia mengarahkan tangannya ke arah Lukman lantas membuat bentuk hati khas idol Korea Selatan dengan ibu jari dan jari telunjuknya.

"Saranghaeyo ayah?" ucapnya sambil tersenyum kecil.

Setelah puas memandangi Lukman, Kinantipun pergi ke lantai atas untuk merapikan barang-barang miliknya.

Baru beberapa saat Kinanti pergi, tiba-tiba saja Lukman terbatuk. Cepat-cepat ia masuk ke dalam mobil dan menutup pintu serta jendela mobil.

“Uhuk! Uhuk!” batuk Lukman semakin keras saja. Ia menekan hidungnya yang selalu terasa sakit saat batuk atau bersin. Ia buru-buru mencari tissue dan lagi, darah segar ikut termuntahkan bersamaan dengan air liurnya dari dalam mulut.

Lukman menatap darah di tissue itu dengan khawatir. Cepat-cepat ia membuang tisue itu ke selokan di depan rumahnya agar tidak di lihat Kinanti.

Ya, ia tidak mau Kinanti tahu apa yang terjadi padanya. Anaknya hanya harus tahu kalau ia baik-baik saja.

*****

Dua malam yang berbeda

"Dari mana kamu?" tanya sebuah suara tegas yang menjeda langkah seorang remaja yang baru turun dari motor sportnya. Ia memarkir motornya beberapa saat sebelum bersiap menghadapi laki-laki itu.

Remaja itu menoleh dan melihat sosok laki-laki yang terduduk di kursi tunggu teras rumahnya.

Laki-laki bangkit dan mendekat padanya. Cahaya lampu taman membuat ia bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki berkumis tipis dengan mata yang melotot menatapnya.

"Rupanya, kamu masih sama saja, keluyuran setiap hari dan melakukan hal-hal yang tidak berguna!" laki-laki itu mengibaskan ujung jaket remaja tersebut dengan kasar.

Ia menatap tajam sepasang mata yang membalas tatapannya.

"Mas, biarkan Kala masuk dulu. Dia kan baru pulang. Mas bahkan tidak bertanya kabarnya, padahal kalian jarang bertemu." Ucap seorang wanita cantik berusia pertengahan empat puluhan yang menghampiri laki-laki bernama Yudhistira.

Remaja bernama Kala itu terlihat acuh saja saja. Dengan santai Ia melepas helmnya dan menaruhnya di atas motor.

"Melihat penampilannya yang seperti ini, sudah pasti dia baik-baik saja. Dia pasti habis melakukan hal-hal tidak penting yang sangat dia sukai. Darimana kamu, balapan liar lagi?" tanya Yudhistira seraya menepuk wajah Kala.

Kala tidak menimpali, ia membiarkan sang ayah mengatakan dan melakukan apa yang dia inginkan.

"Heh, jawab pertanyaan saya." Laki-laki itu berkacak pinggang di depan Kala yang menatapnya dengan malas.

"Apa yang mau papah tau dan sejak kapan papah peduli dengan yang aku lakukan?" baru kali ini remaja itu menimpali.

"Jangan kurang ajar kamu Kala!" seru Yudhistira.

"Mas, cukup mas. Malu di dengar tetangga. Masa tiap ketemu kalian selalu ribut dan ribut terus." Ucap wanita yang bernama Wilda yang berusaha melerai mantan suami dan anaknya ini.

"Gak perlu ikut campur! Diam kamu di sana!" tunjuk Yudhistira pada kursi yang ada di teras rumah. Ia maish belum puas memarahi putra semata wayangnya.

Wilda tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menurut dan duduk di teras, memperhatikan Yudhistira dari kejauhan. Ia juga melihat tangan Kala yang sudah mengepal mendengar perkataan kasar sang ayah pada ibunya.

"Sudah berapa kali papah bilang agar kamu datang ke rumah dan temui ibu sambungmu. Kenapa kamu masih belum datang juga hah, kenapa?! Ini sudah hampir satu tahun Kala dan kamu masih tidak bisa menunjukkan rasa hormat kamu pada istri saya." Yudhistira berseru dengan keras di depan wajah Kala.

Remaja itu tidak menimpali, ia balas menatap wajah sang ayah yang begtu ia benci. Laki-laki yang pergi meninggalkan keluarganya dan memilih menikahi wanita lain.

Hah, kalau mengingat hal itu rasanya ia ingin memukul wajah Yudhistira yang sangat ia benci.

Tapi demi tidak menyulitkan ibunya, Kala lebih memilih pergi dari hadapan Yudhistira. Ia pergi tanpa berkata apapun, meninggalkan Yudhistira yang sedang melotot tidak percaya melihat tingkahnya.

"KALANTARA!!!!" seru Yudhistira dengan suara lantang.

Tapi Kala tidak menghentikan langkahnya apalagi menoleh pada laki-laki yang berkacak pinggang itu.

"Kalantara, kamu menantang papah hah?!" Yudhistira masih tidak terima.

Tapi Kala tetap dengan pilihannya, pergi dari hadapan Yudhistira dengan dada bergemuruh dan tangan yang mengepal erat. Marah, hanya itu yang ia rasakan saat ini hingga tidak ingin melihat wajah laki-laki yang begitu mengecewakannya.

****

Di tempat berbeda, Kinanti masih memandangi salah satu sisi dinding kamarnya yang ia rapikan dan ia hias untuk menghidupkan suasana. Beberapa aksesoris ia pasang dan begitu menggambarkan nuansa kamar seorang gadis.

“Wah, kereeenn ....” Kinanti bergumam sendiri sambil tersenyum. Ia tengah memandangi deretan medali dan piala yang pernah ia dapatkan dari berbagai kompetisi yang diikutinya.

Akhirnya, barang-barang kebanggannya ini bisa ia pajang dan ia pandangi dengan penuh rasa bangga.

Kamarnya kali ini cukup luas di banding kamar-kamar sebelumnya. Sehingga Kinanti bisa menyimpan banyak barang di kamarnya, termasuk berbagai aksesoris serta medali dan piala.

Kinanti memang anak yang cerdas. Walaupun ia sering berpindah-pindah sekolah tapi prestasinya tidak pernah terganggu. Ia rajin mengikuti olimpiade science di sekolahnya. Karena selain berhadiah uang dan medali, ia juga ingin meningkatkan kualitas dirinya melalui berbagai macam perlombaan.

Urusan menang kalah tidak masalah. Ya untungnya selama ini Kinanti selalu menang walau pun tidak selalu ada di urutan pertama. Tapi paling tidak, ia bisa mengukur kemampuannya dan membanggakan sang ayah yang telah bekerja keras demi bisa memberikan pendidikan yang layak untuk Kinanti. Ia ingin membalas rasa lelah ayahnya yang telah mengurus Kinanti seorang diri, dengan banyak prestasi yang ia dapatkan. Untuk saat ini, hanya ini yang bisa ia lakukan.

“Gimana, suka kamarnya?”

Suara Lukman kembali terdengar saat laki-laki berusia setengah abad itu masuk ke dalam kamar Kinanti.

“Suka banget ayah. Aku bisa majang semua penghargaanku.” Seru Kinanti dengan bangga.

“Baguslah!” Lukman mengusap kepala Kinanti dengan sayang.

Ia berjalan menghampiri deretan medali milik Kinanti. Ia tersenyum bangga pada pencapaian putrinya. Di ambilnya satu foto yang sudah Kinanti buat menjadi kolase.

“Foto ini, boleh di pajang di kamar ayah?” pinta Lukman.

Kinanti mendekat. Rupanya yang dimaksud Lukman adalah foto saat menjadi juara oliimpiade science di SMP saat ia tinggal di Sulawesi dulu.

“Kenapa foto yang ini ayah? Yang ini background-nya agak blur.”

“Emmm, soalnya di foto ini ada ayah sama Kinanti. Ayah suka liat senyum kita di foto ini.” Lukman beralasan.

Ia memang sangat menyukai foto ini, karena hanya di foto ini ia mendampingi Kinanti mendapatkan tropy dan medali juara. Di setiap perlombaan, biasanya, Kinanti hanya ditemani oleh gurunya karena Lukman memiliki kesibukan yang mengharuskannya mengutamakan pekerjaan. Namun saat olimpiade itu, Lukman mendapat izin dari atasannya untuk menemani Kinanti mengikuti olimpiade.

Nyatanya, foto ini menjadi satu-satunya foto yang mengabadikan moment saat ia ikut merayakan kemenangan putrinya dalam suatu kejuaraan. Rasa bangga saat mendengar nama Kinanti di sebut sebagai juara pertama pun begitu membekas dipikirannya.

“Okey, boleh.” Kinanti akhirnya setuju.

“Terima kasih.” Satu kecupan diberikan Lukman di pucuk kepala Kinanti.

“Sekarang, kamu istirahat ya. Besok kamu harus ke sekolah baru kamu. Jaraknya lumayan jauh jadi bangun pagi-pagi. Jakarta juga macet, jangan sampai kita kesiangan.”

“Siap ayah!” Kinanti melakukan hormat singkat pada Lukman sebelum laki-laki itu pergi meninggalkannya.

"Selamat malam, Kinan. Mimpi indah."

"Malam ayah, tidur yang nyenyak di kamar baru ayah."

Laki-laki itu tersenyum sebelum kemudian meninggalkan Kinanti di kamarnya.

“Ayah!” panggil Kinanti, saat Lukman sudah ada di depan pintu kamarnya.

“Iya?” Lukman kembali berbalik. Ia melihat senyum Kinanti yang mengembang dengan cantik.

“Terima kasih banyak. Kinan sayang ayah.” Ungkap Kinanti dengan tulus.

“Ayah juga sayang Kinan. Selamat malam nak.” Lukman balas tersenyum. Lambaian tangan Kinanti menjadi akhir perbincangan mereka.

Kinanti menutup pintu kamarnya. Ia berputar-putar melihat sekeliling kamarnya yang cukup luas. Ia segera menghampiri jendela kecil yang langsung terhubung dengan dunia luar. Terdiam di sana beberapa saat sambil menikmati udara malam Jakarta yang tetap terasa hangat.

Beberapa bintang di atas sana berkedip menyapanya membuat Kinanti lantas tersenyum kecil.

“Tolong sampaikan pada ibu, kalau aku dan ayah baik-baik saja. Kami tinggal di tempat yang baru dan rasanya lebih nyaman.” Ungkap Kinanti pada satu bintang yang bersinar paling terang.

Setelah puas memandangi langit malam, ia pun menutup jendela kamarnya. Tirai tipis dan tebal ia tutupkan dan lampu utamapun di padamkan. Hanya ada cahaya kekuningan dari lampu tidur yang menerangi kamarnya.

Kinanti membaringkan tubuhnya telentang di atas Kasur. Ia tersenyum penuh arti membayangkan hari baru besok akan ia jelang.

“Bersiaplah Kinan, kamu harus beradaptasi dengan tempat baru. Jangan sampai ayah memindahkan sekolahmu lagi. Semangaaattt!!!” Kinanti mengusap-usap pucuk kepalanya sendiri lalu menepuk bahunya. Ini cara yang selalu ia lakukan untuk menyemangati dirinya sendiri.

Ia memejamkan matanya menyambut mimpi yang indah.

Sementara itu, Kala masih terdiam di atap kamarnya, Ia melihat hingarnya cahaya kota Jakarta. Ia masih enggan untuk kembali ke kamarnya karena rasa sesak dan pengap yang masih ia rasakan setelah tadi menahan marahnya dalam-dalam.

Ia tertunduk lesu. Tidak memahami keadaan yang selalu menyebalkan baginya. Seringkali ia berpikir, Jika saja ia tidak terlahir di keluarga ini, apa ia akan lebih bahagia?

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!