"Tunggu, jangan dulu dibuka!" Suara seorang gadis dengan nada begitu manja terdengar dari sebuah kamar kost.
"Kenapa, hem?" tanya seorang lelaki dengan suara berat.
"Kamu yakin, Ara gak tau soal hubungan kita?" tanya gadis itu dengan nada yang sama.
"Ck! Dia cuma gadis manja yang gak tau apa-apa. Jangankan melakukan ini, memegang tangan aja, dia menolak!" Suara tawa sejoli itu menggelegar diruangan sempit tersebut.
"Tunggu dulu! Kamu udah janji lho, mau beliin aku tas keluaran baru itu."
"Kamu tenang aja, sore ini Ara udah janji buat transfer uangnya. Jadi, kamu bisa belanja sepuasnya, hem?"
"Aahh ... Vino! Kamu baik banget sih, makin cinta deh," rengek wanita itu yang diakhiri canda tawa keduanya.
Suara itu terdengar jelas oleh seorang gadis berseragam putih abu, yang kini mematung di depan pintu kamar tersebut. Wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca. Kekasih yang selama ini ia percaya, tengah tertawa mesum dengan gadis lain di dalam kamar tersebut.
"Brengs*k!" umpatnya kesal.
"Nih! Gue bawain ini," bisik seorang gadis dengan seragam sama, membawa ember kecil berisi air ditangannya. "Udah buruan sikat, Ra! Gedor aja udah pintunya!"
Belum sempat gadis yang biasa disapa Ara itu mengetuk pintu tersebut, datang seorang pria menghampiri. Seorang kurir paket yang juga hendak mengirim pesanan untuk kamar tersebut.
"Tunggu, Mas!" cegat Ara pelan, ia merampas benda dari tangan pria itu.
Pria itu hendak protes, namun Dea gadis disamping Ara memberi tanda diam pada pria itu, yang langsung dimengerti olehnya. Hingga Ara membelakak kaget, saat melihat siapa yang memesan dan apa yang dipesan penghuni kamar tersebut. Dea yang penasaran, ikut melongokan wajah melihat paket tersebut. Hingga ia pun tak kalah syok seperti Ara.
Ara memberikan kembali barang tersebut pada kang kurir itu. Lalu, memberikan kode padanya untuk memanggil si penghuni kamar yang masih terdengar bercanda ria. Pria itu mengerti dan segera mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi, paket!" teriak kang kurir.
Terdengar seseorang menyahuti dari dalam. Tak membutuhkan waktu lama, kunci pintu pun terputar, hingga pintu itu terbuka.
Byurrr!!!
Dea dengan semangat mengguyurkan air dari ember ke wajah lelaki dari dalam kamar itu. Hingga ia terkejut, begitu pun si kang kurir.
"Apa-apaan ini?" kesal lelaki yang bertelanjang dada dan hanya menyisakan celana abu saja yang melekat ditubuhnya.
"Setan emang dasar!" umpat Dea kesal.
Sontak ia mendongak setelah mengusap wajahnya. Hingga ia syok saat sadar sang kekasih berada di hadapannya. "A-Ara!" cicitnya dengan wajah memucat.
Ara melipat tangan didada dengan wajah datar. Ia berjalan maju membuka pintu itu hingga terbuka lebar. Hingga terlihat seorang gadis diatas kasur yang juga tak kalah syok, menutupi diri dengan selimut. Bukan itu saja yang menjadi perhatian Ara, kemeja sepasang sejoli itu sudah bertebaran dilantai. Dan dapat dipastikan, gadis itu bertelanjang dada. Atau mungkin lebih.
Ara tertawa remeh melihat kondisi kamar lelaki yang harus ia akui kekasihnya itu. Ia mendekat pada gadis yang tentu saja ia kenal. Dea mengikuti sahabatnya masuk ke dalam seraya merekam momen tersebut. Sementara Vino, lelaki itu masih mematung di dekat pintu.
"Jadi kayak gini cara lu bergaya hidup? Ngakang di hadapan pacar orang? Cih, menyedihkan!" ledek Ara.
Gadis yang masih meringkuk itu hanya tertunduk malu. Sintia yang terkenal dengan gaya hidup mewah dan arogan, tentu tidak ada yang mengira kelakuannya seperti itu. Semua orang berpikir ia terlahir dari seorang konglomerat yang berwibawa.
"Ra, Ra, tenang dulu, aku bisa jelasin!" Vino mendekat hendak menggapai tangan Ara, namun ditepis kasar gadis itu.
Ara membuka tas gendongnya, mengambil dompet dari dalam tas itu. Lalu, mengambil beberapa lembar uang pecahan ratusan ribu. Dengan kasar, ia melempar uang tersebut ke hadapan wajah Sintia.
"Makan tuh duit!"
Semua orang yang menyaksikan hal itu semakin membelakak kaget. Ara menghadapkan diri pada Vino dengan senyum sinis. "Gue udah bayarin, l*nte lu! Selamat bersenang-senang!" ucapnya penuh penekanan.
Ara hendak pergi, namun tangan Vino mencegatnya. "Tunggu, Ra! Ini gak seperti yang kamu pikirin. Kamu salah paham," elak Vino membela diri.
Kembali Ara menepis kasar tangan lelaki itu. "Jangan sentuh! Tangan lu terlalu kotor untuk nyentuh gue!"
"Ra, aku mohon, Ra. Aku gak mau ada kesalah pahaman diantara kita. Aku sayang sama kamu, Ra!" rengek Vino, masih mencoba untuk membujuk, mencekal tangan Ara kembali.
Ara memicing dengan senyum sinis. "Sayang? Sayang duit gue maksud lu?" tanyanya. Bahasanya yang biasa aku-kamu berubah menjadi kasar.
"Denger baik-baik, Alvino. Gue Arabella Diazmara, tidak memiliki hubungan lagi dengan lu. Mulai detik ini, kita ... Putus!" final Ara menghempas kasar tangan Vino. Lalu, gegas berlalu dari ruangan itu, yang kemudian diikuti Dea.
"Dasar lu pada, pasangan gak tau diri!" umpat Dea lagi kesal, sebelum meninggalkan tempat itu.
Vino terpaku sejenak mencerna ucapan Ara. Hingga ia tersadar dan segera ingin mengejar kekasihnya itu. Namun, tercegat oleh kang kurir yang menunggu dan menyaksikan drama mereka.
"Tunggu! Ini bayar dulu," cegatnya, mencekal tangan Vino.
"Tapi, Mas! Saya harus kejar dulu pacar saya," balas Vino yang hendak pergi.
"Saya gak mau tau, pokoknya bayar dulu!" Kang kurir yang sudah lelah menunggu, tak membiarkan Vino pergi.
Dengan berdecak kesal, ia pun meraih uang dari saku celananya dan memberikan uang tersebut pada kang kurir.
"Nah gitu dong! Makanya, kecil-kecil jang sok sok an, nyewa l*nte. Belajar aja yang benar dulu! Diputusin pacar 'kan?" ledek kang kurir menyerahkan pesanan Vino. Kemudian, berlalu meninggalkan tempat itu.
Hal itu membuat Vino semakin kesal, selain mendapat ledekan, ia juga tidak bisa mengejar kekasihnya itu.
"Ahhh, sial!" erangnya frustasi.
**
Di sebuah taman, Ara tengah mendudukkan diri diatas sebuah bangku panjang. Air matanya jatuh berdesakan, merasakan sakit yang menyesakkan dadanya. Ia masih tidak percaya Vino yang menurutnya baik, bisa setega itu padanya.
"Udah, Ra! Nih, minum dulu!" Dea mendudukkan diri disamping sahabatnya itu, seraya menyerahkan sebotol air mineral yang barusan ia beli.
Bukan menerima botol tersebut, Ara justru kembali memeluk sahabatnya itu. Menumpahkan perasaan sakit yang tidak dapat ia sembunyikan.
"Sakit banget, De! Kenapa Vino jahat banget sih sama gue?" isaknya.
Sikapnya dikost tadi, hanya kedok untuk tidak menunjukan kelemahannya pada para penghianat itu. Ia ingin menunjukan jika ia tidak serapuh itu disakiti. Namun, nyatanya tidaklah demikian.
Dea merangkul sahabatnya itu. Selain ikut sedih ia juga ikut kesal dengan kelakuan pria itu. "Emang sih, Tuhan itu kadang gak adil. Sampai butuh waktu setahun dulu buat lu tau, kalo lu dibegoin sama dua anak setan itu," kesalnya.
"Udah sekarang lupain dia! Masih banyak cowok yang ngejar lu, Ra. Bahkan mereka lebih segalanya dari Vino," saran Dea.
"Nggak, De! Gue gak bisa," tolak Ara melerai pelukan mereka.
"Terus lu mau tetap pertahanin b*jingan itu?" tanya Dea tak percaya. Namun dibalas gelengan gadis itu.
Sontak Dea menautkan alis tidak mengerti maksud dari ucapan sahabatnya. Ara menarik napas dalam, sebelum membuangnya pelan. Lalu, ia menghapus kasar jejak kebasahan dikedua pipinya.
"Mulai sekarang, gue bersumpah. Gak akan pernah pacaran sama cowok seumuran lagi. Gue akan pacaran sama cowok yang lebih dewasa, yang akan menjadi suami gue kelak!"
******
Hai gaisss! Maaf mak othor baru siuman🙈 Yuk ikuti kisah Ara, putri dari Om Reihan dan Kia ... Jangan lupa kasih dukungannya yaa, subcribe, like, komen, dan jangan lupa kasih rate bintang 5 dan ulasan menarik juga! Mak othor tunggu yaa🤗
Tiga tahun berlalu dari kejadian itu. Seperti yang dikatakan Ara, gadis itu benar-benar tidak tertarik atau pacaran dengan lelaki manapun. Beberapa lelaki mendekat pun, terus diabaikan olehnya.
"Ra, serius lu gak terima Zidan? Dia ganteng banget lho, Ra ...." tanya Dea tak percaya. Kini kedua sahabat itu tengah berada dikantin kampus menunggu pesanan mereka.
"Kalo lu mau, comot aja!" balas Ara enteng.
Sontak pernyataan Ara membuat Dea yang tengah heboh membayangkan wajah tampan pun ambyar seketika. "Eh buset, cowok ini Ra. Bukan gorengan Mbak Nani!"
Ara terkekeh. Namun, tatapannya terus terfokus pada benda pipih ditangannya. Tentu saja hal itu mengundang pertanyaan dikepala Dea.
"Lu lagi ngapain sih, sibuk amat? Sampai-sampai gue dikacangin," kesal Dea, namun tidak ditanggapi sahabatnya itu.
Merasa terus diabaikan, Dea merampas benda pipih dari tangan gadis itu. "Eh, eh, eh! Apaan sih lu?" protes Ara.
Mata Dea membola, saat sadar Ara tengah memperhatikan potret seseorang dilayar tersebut. "Dari tadi lu cuekin gue, cuma gara-gara om-om ini?" tanyanya menatap tak percaya pada Ara.
Ara tersenyum senang seraya merampas kembali ponsel dari tangan sahabatnya. "Ganteng banget gak sih? Ahh ... Melting gue," pujinya cekikikan.
Dea menjatuhkan dagu mendengar celetukan sahabatnya itu. Mungkinkah mata Ara bermasalah? Atau otaknya geser, karena lamanya tidak berpacaran? Pikirnya. Ia mendaratkan punggung tangan didahi Ara untuk memastikan gadis itu baik-baik saja, namun masih juga tidak dihiraukan olehnya.
"Wah, parah! Lu bener-bener kudu dibawa ke psikiater atau paling nggak ke tempat ruqiyah ini mah," celetuk Dea. "Gak bisa lama-lama lagi," lanjutnya menangkup kedua pipi Ara.
"Isshh apaan sih lu?" Ara menepis tangan Dea dari wajahnya. "Gue masih waras. Sangat-sangat waras," protesnya.
"Kalo lu waras, gak mungkin lu suka sama hot uncle. Bener sih om ini ganteng. Tapi, ya lu masa iya suka sama pria seumuran bokap lu. Gila aja!" bantah Dea tak habis pikir.
"Gue emang udah gila," celetuk Ara. "Gue bener tergila-gila sama hot uncle ini. Coba lu lihat! Ganteng banget, berkharismatik, mapan, yang jelas dia paling setia. Lima tahun ditinggal sama istrinya, dia gak mau nikah lagi. Ah ... Kurang apa coba?" jelasnya penuh semangat seraya memperlihatkan kembali ponsel yang terdapat potret pria bersetelan jas rapi tersebut ke hadapan Dea.
Gadis itu hanya menghembuskan napas panjang dengan wajah malas. Entah apa yang membuat sahabatnya berubah selera. Apa benar sumpah serapah Ara tiga tahun lalu, sekarang dikabulkan Tuhan? Ia hanya mampu menggelengkan kepala seraya meminum jus dihadapannya.
'Ya Tuhan, lindungi sahabatku ini dari godaan si hot Uncle!' batin Dea berdoa.
**
"Mikum!" teriak Ara memasuki rumah. Mengalihkan atensi sang Mami yang tengah duduk santai di atas sofa.
"Assalamualaikum, Ra! Assalamualaikum," peringat Kia, sang Mami.
Wanita yang tengah maskeran itu dengan terpaksa menggerakan bibir, kala putrinya selalu saja memberi salam tidak lengkap. "Ya ampun, maskerku!" keluhnya meraba-raba wajah.
Ara tergelak seraya mendaratkan bokong disamping sang Mami yang selalu ingin terlihat perfeksionis itu. Kesal, Kia mendaratkan cubitan maut dipipi putrinya.
"Aww, aww Mi!" rengek Ara berusaha menepis tangan sang Mami.
"Lagian kamu, durhakim banget sama Mami," ledek Kia.
Ara hanya berdecak memegang pipinya yang kemungkinan memerah. "Habis ini ke chubby an ku, di comot Mami," protesnya yang hanya dibalas kekehan oleh wanita paruh baya itu, yang kemudian segera memeluknya gemas dari samping.
"Isshh putri siapa sih, gemesin banget?"
"Ihh, Mami ...." rengek Ara berontak. "Lepasin ... Aku bukan anak kecil lagi!"
"Gak mau. Buat Mami, kamu tetap putri kecilnya, Mami!" balas Kia enggan melepaskan. Hingga pergulatan dan canda tawa terus terlontar dari pasangan ibu dan anak itu.
Ditengah ke gaduhan keduanya, datang seorang pria memasuki rumah. "Wah, pantesan salam Papi gak dijawab. Lagi rame ternyata," ucapnya.
"Papi!" panggil keduanya serempak.
Reihan sang Papi, menghampiri dua wanita tercintanya. Segera keduanya menyalimi takzim pria itu, dan diakhiri kecupan hangat dipucuk kepala masing-masing. Seperti itulah mereka, sebuah keluarga harmonis yang diidamkan siapapun.
"Ya udah, aku ke kamar dulu! Aku mau pensiun jadi obat nyamuk," celetuk Ara bangkit dari posisi dan hanya di balas tawa kedua orang tuanya.
Gadis itu bergegas menaiki anak tangga, meninggalkan sepasang suami istri itu diruang tamu. Seperti perkataannya, ia tidak ingin menjadi obat nyamuk yang sering sekali harus menyaksikan adegan romantis kedua orang tuanya tersebut.
"Putri kita udah gede ya, Kiy?" celetuk Rei menatap arah dimana Ara menghilang.
"Hem, iya Om. Gak kerasa, ya?" balas Kia memeluk tubuh suaminya itu.
Rei tersenyum, lalu menatap wajah sang istri yang masih berantakan dengan masker. "Terus kamu masih gak mau ngilangin panggilan itu?" sindirnya.
Kia membalas senyum itu tak kalah manis. Menggelengkan kepala menolak permintaan suaminya. "Enggak! Panggilan itu dari hatiku yang sudah nempel dari orok."
Rei terkekeh seraya mengacak rambut sang istri, yang kemudian mengecupnya. "Baiklah, terserah kamu aja!" finalnya.
Berpuluh tahun menikah, panggilan 'Om' selalu menjadi panggilan sayang dari Kia kepada Rei. Dan hal itu tidak membuat keromantisan mereka luntur. Rei sama sekali tidak mempersalahkan hal itu. Meski, sering sekali dianggap aneh oleh orang lain. Namun, seperti itulah mereka.
Sementara itu di dalam kamar, Ara merebahkan diri di atas ranjang. Ia meraih ponsel dari saku celananya. Melihat potret pria tampan yang ia jadikan wallpaper. Senyum terus terpancar dari wajah cantik itu.
"Smoga, aku bisa dekat dengamu, Uncle!" gumamnya berdo'a.
**
Ditempat lain, di kota yang berbeda. Seorang pria masih berkutat di depan meja kerja. Pria berumur, namun masih terlihat tampan dan segar itu, masih sibuk dengan layar laptopnya.
Tok! Tok!
"Permisi, Pak!" sapa seseorang dari balik pintu.
"Iya, masuk!" titahnya.
Seorang wanita menghampiri dengan membawa berkas ditangannya. "Ini, Pak! Data mahasiswa magang yang akan training di Resto kita," ucapnya. Lalu menyerahkan berkas tersebut ke atas meja.
"Hem, oke! Nanti saya cek," balas pria itu.
Namun, wanita itu masih memperhatikan kesibukan bossnya tersebut. Tentu saja sang pria sadar akan sekretarisnya yang masih stay di samping.
"Ngapain kamu masih disini?" tanyanya heran.
Sontak wanita itu sedikit gelagapan mendapat teguran itu. "Ah iya, Pak. Ini sudah terlalu sore. Apa gak sebaiknya Bapak pulang?" sarannya.
"Kamu bisa pulang duluan. Saya akan kerjakan ini sedikit lagi!"
"Emm ... Tapi, Pak—"
"Udah sana pulang! Jangan ganggu saya!" pungkas pria itu. Akhirnya, wanita itu hanya bisa pasrah meninggalkan sang boss sendirian.
Lagi-lagi usahanya gagal untuk membujuk pria duda itu pulang bersama. Dengan wajah cemberut dan langkah gontai ia pun keluar dari ruangan itu.
"Pak Rizky ini benar-benar! Aku harus ekstra sabar menghadapinya. Aku akan hubungi Bu Feby, untuk mendapat dukungannya lagi!" ucap Sarah. Wanita itu meyakinkan diri untuk bisa mendapatkan perhatian dari boss tampannya.
Rizky Algibran, pria dewasa yang sudah memasuki kepala empat itu, memanglah terlalu sulit untuk dijamah wanita manapun. Pria beranak kembar, berusia setengah dari usianya tersebut, masih saja enggan membuka hati untuk siapapun. Ia hanya sibuk bekerja, tanpa ingin terikat hubungan asmara dengan makhluk bernama wanita.
"Ternyata masih banyak yang minat menjadi Chef?" gumamnya memperhatikan satu persatu lembar data mahasiswa jurusan Culannary. Hingga pergerakannya terhenti, saat ia menemukan satu data gadis pada lembaran itu.
"Arabella Diazmara? Apa ini Ara?"
******
"Selamat pagi, Mi, Pi!" sapa Ara riang, menyapa kedua orang tuanya yang sudah mulai melakukan sarapan di meja makan.
"Pagi, Sayang!" balas Kia yang tengah mengoles roti dengan selai.
"Cerah bener. Kayaknya lagi seneng nih?" celetuk Rei.
Tentu hal itu dilihat dari raut wajah Ara yang nampak bersinar, dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya.
"Iya, dong! Aku dapat kabar gembira pagi ini," balas Ara.
"Hem?" Sepasang suami istri itu menautkan alis heran seraya bertukar pandang. Bahkan, Kia menghentikan aktifitasnya, saat ia penasaran kabar apa yang membuat putrinya begitu bahagia.
Ara berdehem sebentar untuk memberitahukan kabar yang dimaksud pada kedua orang tuanya. "Dua hari lagi aku udah siap magang," ucapnya senang.
"Dimana?" tanya Rei.
"Di resto uncle Iky," balas Ara. "Aku akan tinggal sama Oma dan Opa, boleh ya?" lanjutnya meminta pendapat.
Bukan ikut bahagia kedua orang tua Ara justru nampak muram. Terutama Kia, ibu satu anak itu melepaskan pisau dan roti mendengar hal tersebut. Ara yang mengerti segera berpindah mendekat dan mendudukkan diri disamping sang Mami.
"Mi!" Ara menggenggam tangan sang Mami. Namun, Kia memalingkan wajah dan enggan bersitatap.
"Aku tau Mami gak mau jauh sama aku. Tapi, 'kan ini kesempatan aku buat bisa mengejar cita-citaku," jelas Ara memberikan pengertian. Namun, tidak ditanggapi wanita yang masih saja manja diusianya itu.
Rei yang mengerti menghembuskan napas pelan. "Kenapa harus jauh-jauh di resto uncle Iky? Di kota ini 'kan masih banyak resto berbintang yang tak kalah bagus?" tanyanya.
"Mana aku tau, Pi. Ini 'kan pihak kampus yang ngajuin. Lagian resto uncle Iky ini paling terkenal. Hanya chef-chef handal yang bisa bekerja disana," balas Ara beralasan.
"Mi ...!!!" rengek Ara membujuk.
Kia menghembuskan napas kasar. "Kenapa sih, kamu harus jauh? Kamu gak sayang sama Mami? Apakah Mami kurang memberikan apapun yang kamu mau?" tanyanya dengan mata sudah berkaca-kaca.
"Ya ampun bukan gitu, Mi!" Ara memeluk tubuh sang Mami yang mulai menangis. "Aku sayang, sayang ... Banget, sama Mami sama Papi. Apa yang kalian berikan udah lebih dari cukup," jelasnya.
"Tapi ... Ini mimpiku, Mi. Aku pengen mandiri dan bisa menjadi kebanggaan kalian," lanjutnya.
Kia ikut memeluk putri satu-satunya itu. Tentu saja kepergian Ara tidak dapat ia terima begitu saja. Tidak pernah terpikir dalam benaknya untuk jauh dari sang putri yang selama ini selalu ia manja. "Kamu udah jadi kebanggaan kita. Jadi ... Gak usah pergi jauh-jauh ninggalin Mami. Mami gak mau jauh dari kamu," pungkasnya.
"Mi ...!!!" rengek Ara melepaskan pelukannya, dengan wajah memberenggut. "Ayolah, kali ini ... Aja! Biarin aku mandiri, ya, ya!" bujuknya.
Kia menggelengkan kepala sebagai jawaban. Wanita itu masih bersikukuh enggan memberi izin. Ara berdecak mendapati tanggapan itu. Sementara Rei hanya mampu memijit pelipis. Ia tidak bisa menjadi penengah diantara keduanya. Jika sudah seperti itu, perannya akan menjadi serba salah.
Pria itu memilih untuk menghindar dan segera berangkat ke kantor. "Papi berangkat dulu, ada meeting pagi! Nanti kita omongin lagi," pamitnya segera mengecup kedua pucuk kepala istri dan putrinya bergantian. Kemudian, bergegas pergi.
Sementara dua wanita berbeda generasi itu masih terdiam dengan pikiran masing-masing, setelah kepergian Rei. Rasanya percuma, Ara terus membujuk sang Mami. Namun, ia harus melakukannya.
"Mi ...!!!" rengek Ara, yang tidak ditanggapi oleh Kia.
"Mi ... Aku tuh magang disana cuma ngikutin peraturan, semacam masa percobaan selama enam bulan. Selanjutnya 'kan aku bisa aja pindah atau bikin resto sendiri. Bener gak?" bujuk Ara. Kia masih terdiam, enggan menanggapi.
Ara tak putus asa, ia terus membujuk sang Mami, untuk menyetujuinya. "Mami kayaknya gak sayang lagi deh sama aku. Gak mau dukung cita-citaku," lanjutnya sendu.
"Ya udah, kalo gitu. Selamanya, aku akan jadi boneka Mami," pungkasnya. Gadis itu hendak pergi, namun Kia segera mencegatnya.
"Jangan pernah bilang kayak gitu. Mami gak pernah kok, ngekang kamu!" ucap Kia yang akhirnya bersuara, meski tatapannya masih tak juga menatap padanya.
Ara menarik satu sudut bibirnya. Jurus pamungkasnya, ternyata berjalan lancar. Kembali ia memasang wajah memelas untuk meyakinkan wanita yang masih cantik diusianya itu.
"Tapi ... Aku merasa—"
"Iya, iya, baiklah!" sela Kia. "Mami izinin kamu buat magang diresto uncle Iky," finalnya mengalah.
Ara melipat bibir. Namun, ia tak mau terlihat gembira dulu. "Mami serius?" tanyanya memastikan.
"Hem," hanya deheman yang digumamkan sang Mami sebagai jawaban.
"Aaa!!! Mami, makasih!" Ara memeluk kembali tubuh sang Mami dari samping. "Aku sayang Mami. Sangat! Mami adalah yang terbaik," lanjutnya.
Kia menghembuskan nafas berat. Meski sebenarnya, sangat berat untuk melepas sang putri jauh darinya. Namun, ia tidak boleh egois. Mengingat ia sendiri juga meninggalkan sang Timom yang jauh disana demi cinta dan cita-citanya. Mungkin sekarang giliran ia pula melakukan hal yang sama. Ia menyunggingkan sedikit senyum, seraya mengelus punggung tangan Ara.
"Tapi ... Kamu harus janji satu hal!" pintanya.
"Apa?" tanya Ara mencoba melihat wajah sang Mami.
Kia ikut melihat wajah putrinya, sebelum mengungkapkan kalimatnya. "Kamu hanya magang. Gak boleh selamanya kerja disana. Nanti setelah lulus, kamu bisa bangun resto sendiri disini. Paham?"
Ara tersenyum manis seraya menganggukkan kepala. "Oke, Mi!"
Kia ikut tersenyum seraya mengusek rambut putrinya itu dengan mendaratkan kecupan hangatnya disana.
Ara kembali memeluk tubuh sang Mami dengan perasaan teramat senang. Tentu bukan hanya karena bisa merasakan kerja di resto ternama. Namun, ia akan mendapat kesempatan untuk dekat dengan pemiliknya.
"Enam bulan. Aku pasti bisa menaklukanmu, uncle!"
**
Flash back on~
Beberapa bulan sebelumnya ....
Semilir angin malam tidak membuat Ara merasakan dingin sama sekali. Sebaliknya, wajahnya terasa memanas, kala bisa berjalan berdampingan dengan pria dewasa di sampingnya.
Entah bagaimana itu bisa terjadi? Pertemuannya dengan pria dewasa itu, membuat gadis itu merasakan debaran aneh dalam dadanya. Mungkinkah itu yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
"Emm, Ra!" Suara bass yang begitu tegas terdengar merdu ditelinga Ara. Gadis itu menoleh setelah sesaat mentralkan dirinya.
"Iya, uncle?"
"Kamu mau makan apa? Kayaknya disini gak ada makanan siap saji," tanya pria dewasa itu, yang tak lain adalah Rizky.
"Emm, apa ya?" tanya balik Ara menimang. "Padahal perutku lapar banget," celetuknya keceplosan. Segera ia menutup mulutnya yang tidak dapat melihat sikon tersebut.
Rizky terkekeh. Ia tak memgira, Ara bisa bicara nyablak seperti itu. "Emm, gimana kalo kita cari resto cepat saji aja? Uncle anter kamu, deh!" sarannya.
"Serius, Uncle?" tanya Ara berbinar dan diangguki pria itu.
"Aahhh, mau banget!" balas Ara kegirangan. Bahkan ia tak segan menganggandeng dan menyeret tangan Rizky.
"Yuk, buruan Uncle!" ajaknya.
Rizky hanya terdiam mengikuti, saat tangannya diseret gadis itu. Entah kenapa ada sesuatu yang tiba-tiba aneh pada dirinya.
"Ada apa denganku?"
\*\*\*\*\*\*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!