NovelToon NovelToon

Ayo Nikah

Bab 1. Pertemuan.

"Woy, kalau jalan pakai mata! Jangan pakai kaki!" teriak Cessi kesal.

Seorang pemuda tampan, turun dari mobilnya dan menatap ke arah gadis yang berteriak tersebut. Derap langkahnya berhenti didepan Cessi, ada perasaan aneh ketika dia melihat seorang bocah yang mengenakan seragam putih abu-abu berani membalas tatapan–nya, seolah menantang.

"Kamu bilang apa tadi?"

"Siapa!" teriak Cessi.

"Kamu!" balasnya dengan nyaring.

"Tanya!" ejek Cessi seraya menulurkan lidahnya.

Kali ini Raka dibuat benar-benar kesal, ia mengepalkan kedua tanggan–nya. Namun, belum sempat ia membalas. Gadis itu telah berlalu begitu saja dengan sepeda motornya.

"Hey! Anak kecil!" teriak Raka kesal. Akan tetapi, tidak digubris oleh gadis itu.

"Sialan! Baru kali ini gue dikacangin! Awas! Gue utangin tu anak!" umpat Raka kesal. Belum reda amarahnya, ia melihat mobilnya.

"Astaga!" pekik Raka dengan wajah yang memerah. "Dobel sial gue!" tambahnya lagi seraya mengusap wajahnya.

Mobil yang ia bawa tergores, siapa lagi pelakunya jika bukan Cessi dengan sepeda motornya. Ketika Raka yang ingin keluar dari halaman minimarket dan tidak sengaja menyenggol seorang gadis yang menegangkan pakaian sekolah.

"Gue hutangin tu anak! Awas aja sampai ketemu!" umpat Raka kesal.

***

Sedangkan Cessi terus melajukan motornya menuju sekolah, ia tidak ambil pusing dengan kejadian pagi ini. Terpenting motor kesayangan ayahnya selamat, maka hidupnya pun selamat.

"Cess… lembot baget sih. Ini dah jam berapa?" cerca Amara ketika melihat sahabatnya itu datang.

Belum juga Cessi bisa bernapas dengan tenang, ia sudah dihadapkan oleh Amara yang seperti reporter lapangan.

"Mar! Loe mau gue tabok gak?" teriak Cessi kesal. Setelah memarkirkan motornya dengan cantik, ia mendekati Amara.

"Mau banget, tapi … duit ya?" gelak Amara dengan tawa yang renyah. Sedangkan Cessi hanya tersenyum kecut akan ucapan sahabatnya itu.

Keadaan lingkungan sekolah yang sepi, membuat Cessi merasa curiga dan menatap Amara yang berjalan beriringan dengannya.

"Mar … 'ko sepi ya?"

Amara menarik tangan Cessi dan membisikan sesuatu yang membuat gadis itu memekik keras.

"Dasar! Saus tartar!"

Cessi segera berlari dengan kencang, menuju ke ruangan kelasnya. Sedangkan sahabatnya itu hanya cengengesan.

"Biar kena batunya," gumam Amara seraya berjalan pelan menuju ruangan lain. Sedangkan Cessi dengan nafas yang ngos-ngosan, memasuki ruangan kelas yang dimana sudah ada Pak Martin.

"Celisiaoliv! Kamu tahu ini sudah jam berapa?" Suara sang guru menggelegar, mengisi ruangan tersebut. Membuat Cessi hanya mampu menundukkan kepalanya, merasa kesal dan juga jengkel dengan Amara. Sahabatnya itu tidak memberitahukan, jika Pak Martin sudah ada di dalam kelas.

"Cessi! Kamu dengar! Tidak?" bentak Martin mesal akan anak didiknya yang satu ini. Tukang buat onar, sering membolos, tidak kenal aturan. Akan tetapi, otaknya cerdas. Hal itu poin yang sulit untuk dirinya bantah, sekalipun ia tidak menyukai kekurangan Cessi.

"Maaf, Pak. Tadi, di jalan… saya terkena musibah." Suara Cessi dibuat-buat sedih. Ia tidak berbohong, memang benar adanya. Jika, Cessi mendapatkan musibah sebelum ke sekolah. Walaupun, hanya sepele. Tetap saja, itu musibah. Pikirnya.

Martin membuang nafas panjang, lalu menatap murid-murid yang lain. Jika, ia memarahi Cessi di depan murid yang lain. Maka, ini adalah contoh yang tidak baik. Akhirnya, ia memutuskan untuk menundanya.

"Baik 'lah! Silahkan duduk! Tapi … setelah pelajaran selesai? Kamu ke ruangan Bapak!"

Baru saja Cessi ingin bersorak–sorai, akan tetapi dipatahkan oleh kata-kata terakhir sang guru. Dengan langkah gontai, ia duduk di bangkunya. Membuka tas dan mengambil buku pelajaran hari ini dengan wajah yang lesu.

"Sut … sut … komando kehilangan kendali."

"Kendalinya hilang dibawa tikus," balas Cessi pelan, tanpa menatap lawan bicaranya. Ia fokus pada buku yang dibaca, hingga kode morse kembali berbunyi.

"Sut… sut… kendali pada komando."

"Komandonya lagi logout," balas Cessi yang masih tidak mau menatap lawan bicaranya. Hingga kursi yang diduduki oleh Cessi didorong pelan dari belakang, hal itu membuatnya kesal dan menatap pemuda yang duduk di belakangnya dengan tajam.

"Apa, Go! Gue lagi gak mood! Jangan, diganggu," balas Cessi dengan menekankan setiap kata-katanya.

Tanpa merasa bersalah, Bargon bertanya, "Lo gak pa–pa? Gue kira tadi, lo baka—"

"Ehem … ."

Suara Pak Martin terdengar, kode keras yang berbunyi. Jika, mereka tidak boleh saling berbicara lagi. Sebab, sang guru dalam mode tempur. Cessi kembali menatap papan tulis dan tidak menanggapi, apapun yang dikatakan oleh Bargo. Ia hanya fokus pada materi yang disampaikan oleh wali kelasnya tersebut. Hingga bel istirahat berbunyi.

Kring

"Baik 'lah anak-anak! Pelajaran hari ini Bapak akhiri, jika ada yang masih belum dimengerti? Tolong simpan pertanyaan tersebut untuk pertemuan selanjutnya."

Apa yang dikeluarkan oleh Pak Martin adalah sebuah pekerjaan rumah bagi anak didiknya, hal yang luar biasa dilakukan oleh guru tersebut. Dimana dia mengajak muridnya untuk berpikir cerdas, sebab mottonya mengajar. 'Sedikit bertanya, perbanyak belajar'.

Sehingga, setiap pertemuan. Para pelajar harus menyiapkan coretan lain, guna mencatat. Poin-poin penting apa yang diucapkan oleh sang guru. Bahkan, Cessi biasanya yang paling aktif dalam memprovokasi teman-temannya untuk menyerang Pak Martin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit.

Namun, bukannya marah. Pak Martin malahan senang, sebab ia bisa melihat potensi anak didiknya satu–persatu. Tanpa, harus melakukan seleksi masal atau memberikan ujian tertulis. Karena, hal yang paling mudah untuknya membedakan anak yang mendengarkan apa yang disampaikan adalah dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajarkan.

"Cessi! Ke ruangan Bapak!" perintah Martin sebelum keluar ruangan kelas. Mengingatkan gadis itu untuk tidak kabur kemana-mana, sedangkan Cessi. Hanya mampu membuang nafas panjang.

"Dasar! Guru killer!" gumam Cessi, saking kesalnya. Akan tetapi, ia tidak menyadari. Jika, Bargo mendengar gumamnya itu.

"Killer–killer? Nanti, ke–iler. Baru nyaho!"

Cessi tidak menggubris ucapan Bagro, ia memilih untuk keluar. Menemui Pak Martin, bahkan. Teman-temannya yang lain telah berhamburan dari kelas, ada yang ke kantin, ada yang ke toilet, ada ke taman dan entah ke mana-mana.

Namun, satu yang pasti. Mereka berada di area sekolah, ditambah sekolahan tersebut yang di pagar beton. Sehingga, tidak ada pelajar yang bisa keluar. Kecuali, ke gerbang utama. Itu Pun dijaga oleh satpam. Nasib baik, ketika Cessi datang. Sang satpam sedang tidak ada di tempatnya, hingga Cessi bisa masuk dengan aman. Disebabkan, bel yang kebetulan baru saja berbunyi sebelum kedatangannya.

"Oliv!" panggil Bargo seraya menarik tangan Cessi. Gadis itu langsung menatap nyalang Bargo, membuat pemuda tersebut mengangkat tangannya. Paham, akan kesalahan yang telah ia lakukan.

"Sorry! Gue cuma mau ikut loe," jelasnya.

Cessi membuang wajahnya, seraya melanjutkan langkahnya. Ia enggan meladeni Bargo yang terkenal jahil bin ajaib.

"Oliv"

Kali ini, Cessi benar-benar geram. Ia menatap Bargo dan mendorong tubuh pemuda itu, hingga menabrak dinding. Tatapan mereka bertemu, seraya Cessi berkata, "Nama gue Cessi! Bukan Oliv!

Bargo menelan silvernya dan menjawab pernyataan gadis yang disukainya, "Iya, gue tahu… nama loe Cessi. Tapi, Oliv itu—"

"Apa!" bentak Cessi mangeretak Bargo.

"Nama kesayangan gue buat loe!" teriak Bargo nyaring dan membuat Cessi semakin geram.

"Dasar Narsis!"

Bab 2 Taruhan

"Dasar Narsis!" pekik Cessi kesal.

Namun, seolah tidak bersalah. Bargo hanya cengengesan dan dia menyukai posisi mereka saat ini. Sebab, sangat sulit baginya mendekati Cessi. Jika, tidak membuat gadis itu marah terlebih dahulu.

"Woy! Jangan pacaran! Area terlarang ini!" teriak Amara membuat Cessi mengendus kesal dan menghampiri sahabatnya itu.

"Gara-gara loe! Gue dipanggil sama Pak Martin!" ucap Cessi kesal dan berlalu seraya menyenggol bahu Amara. Membuat sahabatnya itu emosi.

"Cessi! Loe yang salah! Kenapa gue yang jadi sasarannya!" teriak Amara kesal akan sikap Cessi yang menyalahkannya. Padahal, itu kesalahan Cessi sendiri yang datang selalu terlambat.

Namun, Cessi tidak menanggapi teriakan sahabatnya itu. Dia memilih mempercepat langkahnya menuju ruangan Pak Martin.

Dia menarik dan membuang nafas secara perlahan, kemudian mengetuk pintu ruangan wali kelasnya itu.

Tok

Tok

Tok

"Masuk!"

Cessi mendorong pelan daun pintu, setelah mendengar perintah dari dalam. Dilihatnya guru lelaki itu tengah duduk dan membuka beberapa berkas, lalu memintanya untuk duduk.

"Ceslisiaoliv, kamu tahu kenapa saya panggil kesini?" tanya Martin tanpa mengalihkan perhatiannya pada lembaran demi lembaran kertas yang dipegang olehnya.

Sedangkan, Cessi menelan silvernya. Dia gugup setengah mati, jika Pak Martin memanggil orang tua angkatnya dan hal itu akan membuatnya dalam masalah besar.

"Maafkan saya, Pak. Lain kali tidak akan saya ulangi," jelas Cessi menggibah.

Apa yang dikatakan oleh Cessi membuat Pak Martin menghentikan aktivitas dan menatap muridnya itu dengan mengerutkan dahinya.

"Memang, kamu tahu alasan kamu? Bapak panggil ke sini?" tanya Martin dan langsung dijawab oleh Cessi.

"Karena saya terlambat masuk kelas?" jelasnya dengan nada rendah.

Martin hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Cessi, dia sudah lelah mengurusi rutinitas muridnya yang satu ini. Bagaikan, terlambat adalah ciri khas Cessi. Bahkan, akan terasa aneh jika gadis itu datang tepat waktu menurutnya.

"Bapak, ingin kamu mewakili sekolah kita untuk melakukan publik speaking di sebuah perusahan tekstil. Kamu bisa tidak?" jelas Pak Martin yang menginginkan Cessi sebagai pemandu dalam kunjungan ke perusahan yang menawarkan diri untuk dipublikasikan hal-hal yang mereka kerjakan di kantor. Ditambah, sekolah mereka yang memang jurusan. Hal ini merupakan peluang yang besar dan mampu menaikan nama sekolah mereka.

Dengan mata yang berbinar, Cessi memastikan apa yang dikatakan oleh sang guru, " Serius nih, Pak? Gak lagi nge–prank saya, 'kan?"

Martin tersenyum smirk mendengar, apa yang dikatakan oleh Cessi dan berniat untuk mengerjai anak muridnya itu.

"Iya, Bapak mau buat konten nge–prank kamu dan menaikan jumlah followers saya."

Kali ini, Cessi tersenyum kecut. Setelah mendengar ucapan Pak Martin, "Gak jadi, deh … Pak. Saya lebih baik ikut belajar di sekolah aja," tolak Cessi. Membuat Martin kelagapan.

"Eh, jangan gitu! Bapak serius, meminta kamu untuk menjadi memando kakak seniormu dan tentu ada komisinya," jelas Martin seraya mengedipkan matanya dan mampu meluluh-lantahkan hati Cessi. Tentu, dia tidak akan menolak sesuatu yang berbau duit.

"Oke, nanti Bapak kirim ke materinya dan akan saya pelajari," jelas Cessi dengan semangat membara.

Setelah perbincangan tersebut, atau bisa disebut proses kerja sama antara Pak Martin dan juga Cessi. Walaupun berlangsung dengan alot, sebab Cessi yang selalu meminta bayaran yang tinggi.

Namun, Pak Martin tidak kalah dari muridnya itu. Dia juga tarik–ulur, hingga Cessi menyerah dan mau bekerjasama dengan baik.

Kata pepatah lama, 'Guru kencing berdiri, murid kencing berlari'. Tidak masalah jika, sang murid mengalahkan gurunya. Namun, semua ilmu yang dimiliki berasal dari sang guru atau suhu.

Wajah Cessi pun berseri-seri, seperti bunga matahari yang kembang di waktu pagi. Hingga jam pulang sekolah pun, senyuman manis gadis itu tidak mau luntur. Membuat Amara yang memperhatikan kebahagiaan sahabatnya itu pun bertanya-tanya, gerangan apa yang membuat Cessi sampai konsleting.

"Cess, loe kenapa sih? Senyam-senyum sendiri? Bikin horor tau!" ujarnya. Ketika mereka di area parkir sekolah.

Namun, bukannya memberi tahu. Cessi malah membuat Amara panas–dingin penasaran.

"Mau tau… aja." Setelah mengatakan hal itu, Cessi mengenakan helm dan tancap gas. Meninggalkan umpatan kekesalan Amara yang bagaikan kaset rusak yang tidak memiliki intonasi naik lagi.

"Dasar! Cessi!" teriak Amara kepada Cessi yang telah menjauh.

Cessi membawa laju motornya dengan santai, seperti dipantai. Keadaan jalan raya yang mulai ramai dipenuhi oleh anak-anak yang pulang sekolah seperti dirinya. Membuat Cessi harus eksara hati-hati, bisa dicabut SIM miliknya. Jika, terjadi kecelakaan dijalan.

Bahkan, motor kesayangannya akan disita oleh orang tua angkatnya. Padahal, motor yang digunakan oleh Cessi dari hasil jerih payahnya selama ini. Terasa tidak adil, jika orang tua angkatnya mengambil yang bukan hak mereka

Namun, Cessi tahu diri. Siapa dirinya dan apa yang ia miliki selama ini. Mungkin, tidak akan bisa membalas pengorbanan Pak Broto dan Ibu Indri.

Hingga, tidak terasa. Motor yang dikendarai oleh Cessi sampai di sebuah halaman rumah yang tidak luas dan ditumbuhi beberapa pohon rindang. Gadis itu memarkirkan motor kesayangannya dan masuk ke dalam rumah. Dia melihat Ibu Indri yang tengah duduk didepan televisi yang ada di ruangan tamu.

"Cess, kamu baru pulang?" tanya wanita itu. "Tolong sekalian cuci piring dan angkat jemuran, oh iya… sekalian ambil kue Ibu yang dititipkan ke warung," tambah Ibu Indri memberi tugas kepada Cessi.

Belum juga Cessi melepaskan seragam sekolahnya, bahkan perut gadis itu belum diisi nasi. Sudah mendapatkan pekerjaan yang banyak dari sang ibu angkat.

Jika, di dalam cerita dongeng. Ibu tiri lebih kejam dari ibu kota. Maka, bagi Cessi ibu angkat. Lebih kejam dari ibu tiri, sebab tidak ada perlakuan baik dari ibu angkat. Berbeda dengan ibu tiri yang akan baik kepada anaknya, jika sang ayah ada didekatnya.

Seperti biasanya, Cessi tidak menjawab atau menolak permintaan ibu angkatnya. Dia hanya mengerjakan apa yang ditugaskan, sebab dia tahu diri. Telah ditampung dan dibesarkan, itu sudah cukup bagi Cessi. Didunia yang keras seperti sekarang, banyak orang munafik dan bermuka dua. Didepan baik dan busuk dibelakang, Cessi masih beruntung. Sebab, dirawat dengan baik. Hingga, sekarang. Walaupun harus jadi babu.

Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, Cessi berjalan keluar. Kemudian mengendarai motornya, menuju warung langganan. Tempat Ibu Indri menitipkan kue, sebagai pendapatan tambahan.

Tidak butuh waktu yang lama, sebab jaraknya yang sangat dekat. Cessi langsung memanggil seorang wanita. Pemilik warung tersebut.

"Ibu! Ibu! Ibu!" panggil Cessi berkali-kali dengan suara yang keras. Hingga, wanita paruh baya keluar dan tersenyum kepadanya.

"Mau mengambil, barang dagangan … ibumu?" tanya wanita itu yang mendapatkan anggukan kecil Cessi.

Dengan sabar, Cessi menunggu diluar. Dia berani taruhan, jika kue buatan ibu angkatnya tidak laku.

"Cess, maaf, ya… ini. Tempatnya," jelas ibu pemilik warung yang membuat mata Cessi melotot.

"Ko' bisa?"

Bab 3 Janji

Cessi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, wadah kue milik ibu angkatnya. Bersih, tanpa sisa. Bagaikan mimpi disiang bolong. Semuanya tampak, fatamorgana.

"Ini beneran, Bu? Habis ... kuenya?" tanya–nya masih tidak percaya.

"Iya, Neng. Tadi ada pemuda yang lewat pakai mobil dan memborong semuanya, lalu berjanji akan kembali untuk membeli lagi," jelas ibu warung membuat Cessi melogo. Haruskah ia senang, mendengar penuturan wanita tersebut atau merasa kasihan kepada orang yang telah membeli kue ibu angkatnya yang ia rasa tidak enak.

"Neng."

"Ah… iya, Bu! Maksih, ya," jelas Cessi terkejut dan langsung menerima wadah dan uang hasil penjualan kue tersebut, lalu bergegas untuk pulang.

Cessi melajukan motornya, seraya berpikir. Mengira-ngira, siapakah pemuda yang dimaksud oleh ibu pemilik warung yang mau membeli habis kue buatan ibu angkatnya dan berjanji ingin membeli kembali.

"Mungkin, orang itu tengah kerasukan," gumam Cessi yang mengira jika orang tersebut sudah kehilangan kesadaran.

Motor yang Cessi kendaraan, kini telah sampai di rumah. Belum juga, Cessi memarkirkan motor kesayangannya. Dia telah dicerna dengan berbagai pertanyaan dari ibu angkatnya.

"Cessi, bagaimana kue Ibu? Habis, atau banyak sisa? Besok, bantu Ibu beli bahan, ya."

Ingin sekali Cessi menyumpal mulut ibunya itu dengan wadah yang ia pegang, belum tentu juga kuenya laku. Ibunya telah memikirkan untuk membeli bahan, Cessi tidak habis pikir. Dimana-mana orang ingin untung, ini ibunya malah menjadi buntung.

Tanpa, berbicara. Cessi langsung menyerahkan wadah kue kepada Ibu Indri dan berlalu masuk.

Namun, belum juga ia berlalu. Wanita itu mencegah tangannya, lalu bertanya," Duitnya mana?"

Dengan perasaan kesal Cessi menyerahkan sejumlah uang kepada Ibu angkatnya tersebut. Lalu berlalu begitu saja, tanpa mendengarkan ocehan-ocehan dari wanita tersebut.

Cessi segera menuju kamarnya, melepaskan pakaian sekolah yang masih melekat. Lelah hati dan badannya, Kini dia ingin membersihkan diri karena telah sore.

"Semoga saja Masih sempat, " gumam Cessi segera mempercepat gerak tangannya.

***

Malam harinya Cessi telah siap dengan setelan celana jeans dan jaket kesayangannya. Rencananya dia ingin bertemu dengan Amara, sebab mereka telah memiliki janji.

Ketika, Cessi ingin keluar rumah. Bapak Broto menegur putrinya dan bertanya, "Cessi! Kamu mau ke mana?"

Dengan nafas kasar, Cessi menjawab pertanyaan bapaknya tersebut, "Cessi ada janji dengan Amrah, Pak. Tidak lama kok'! Cessi akan segera pulang."

Setelah mengatakan hal tersebut, Cessi berlalu begitu saja tidak menghiraukan ocehan dari sang Bapak yang tidak menyukai jika dirinya keluar malam.

Cessi paham akan kekhawatiran sang bapak, walaupun dirinya hanya seorang anak angkat. Mau bagaimana lagi, Cessi memiliki kerjasama dengan Amara.

Mereka adalah seorang youtuber dan ingin membuat konten, inilah cara untuk mendapatkan uang. Orang tua angkatnya, hanya tahu jika Cessi pergi malam bersama Amara tanpa menjelaskan apapun.

Hal tersebut, membuat kecurigaan dan tanda tanya besar di dalam benak kedua orang tua angkatnya. Namun, jika ia pulang membawa makanan atau uang.

Orang tua angkatnya tidak lagi banyak bertanya dan akan mendukung apapun yang ia lakukan. Hal tersebut telah Ia jalani bertahun-tahun lamanya semenjak, Cessi masuk ke bangku sekolah menengah atas

Tahun ini adalah tahun ketiga, dirinya tidak terasa akan keluar dari rumah tersebut. Keluar dari lingkungan kedua orang tua angkatnya dan ingin menempuh kehidupan yang lebih baik.

Setelah lulus banyak hal yang dia impikan dan ingin dilakukan. Namun ia bingung bagaimana cara melepaskan diri dari orang tua angkatnya.

Bukan Cessi tidak tahu diri atau kacang lupa kulitnya, namun Cessi juga memiliki keinginan dan cita-cita.

Dia ingin memiliki pekerjaan, serta hidup mandiri dan tentu saja lepas dari belenggu orang tua angkatnya.

Hal yang selalu dia inginkan, sebab sudah cukup perasaan sakit dan deritanya selama ini.

Walaupun, Cessi tahu jika kedua orang tua angkatnya sangat menyayanginya.

Akan tetapi, ada masa di mana ia harus melepaskan semua itu. Sama seperti pohon, dia juga ingin terus tumbuh dan berkembang.

Lalu meninggalkan tempat dirinya berasal dan tumbuh di tempat yang baru.

"Mar! Loe udah di tempat biasa? Gue baru berangkat, " ucap Desi lewat sambungan telepon.

"Gue tunggu, nih! Awas loe! Sampai lambat!" balas Amara. Setelah itu, Cessi mematikan sambungan teleponnya dan mulai mengendarai motor.

Menembus jalan malam yang dingin, andaikan saja orang tuanya masih hidup. Dia tidak mungkin seperti ini, Cessi bisa bermanja-manja dan merasakan indahnya masa remaja.

Namun, Tuhan lebih sayang kepada orang tuanya dan memilih mengambil orang yang amat Cessi sayangi.

Hal yang tidak pernah akan Cessi sesali, sebab hidup telah memiliki ketentuannya dan ia hanya mampu menjalani semua itu dengan ikhlas. Serta percaya, jika Tuhan Yang Maha Tahu akan segalanya.

Tidak diperlukan waktu lama motor Cessi telah sampai di tempat biasa dia dan Amara nongkrong. Walaupun, hanya tempat recehan di daerah dekat taman kota. Di sana banyak sekali pemuda dan pemudi

"Mer! Sorry telat," jelas Cessi. Ketika telah sampai di depan Amara.

Gadis itu sedikit kesal, lalu berkacak pinggang dan menyemprot Cessi sahabatnya dengan kata-kata yang nyeleneh.

"Loe, tau 'kan? Ini lapak nggak mungkin jalan! Loe, lambat!" pekik i Amera membuat Cessi cengengesan.

"Sorry … terus kita ingin buat konten apa?" tanya Cessi mengalihkan pembicaraan dan memainkan ponselnya.

Sedangkan Amara memikirkan ide yang terlintas begitu saja di dalam otaknya, "Gimana kalau kita cari cowok-cowok kece! Lalu kita ada frank?"

Cessi memikirkan sesuatu, setiap ide Amrah. Sahabatnya itu pasti berujung pada derita untuknya.

"Gue nggak ikut, yang kayak gituan! Lo aja, gue monitorin," usul Cessi membuat wajah sahabatnya itu menjadi masam.

"loh! Nggak bisa gitu dong! Loe yang harus eksekusi! Gue yang monitorin," minta Amara yang membuat Cessi menggelengkan kepalanya.

"Nggak pa–pa deh ... yang penting bayaran gue? Lebih mahal dari, Loe!" jelas Cessi seraya mengedipkan matanya.

Inilah keseharian mereka ketika malam, seperti kelelawar yang keluar di malam hari untuk mencari makan. Begitulah Cessi dan Amara lakukan, di era yang sebelah digital seperti saat ini. Banyak sekali pekerjaan online yang bisa dilakukan anak remaja seperti mereka, ada yang berdampak positif, dan ada pula yang negatif.

Semuanya tergantung kepada mereka, kemana arah dan tujuan yang harus mereka jalani. Cessi melakukan semua ini, karena himpitan ekonomi. Sedangkan Ameara, hanya untuk sekedar eksis di dunia maya.

Karena kedua orang tua Amara, yang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Hingga melupakan dirinya. Hanya Cessi partner yang tepat untuk Amara mengekspresikan diri, setidaknya dia bisa menjadi artis.

Walaupun, hanya lewat dunia maya. Padahal, di dalam hatinya, berharap jika suatu saat nanti bisa mewujudkan cita-cita dan mimpinya tersebut. Menjadi modeling ataupun menjadi artis, yang penting bisa eksis. Itulah motto hidup Amara.

"Lihat, tu' cowok!" pekik Amara kegirangan. Ketika, melihat seorang pemuda tampan yang duduk di kursi taman.

Sedangkan, Cessi mengerutkan dahinya. Seolah mengingat-ingat, siapakah pemuda tersebut.

"Ah ... itu dia! Tidak salah lagi."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!