"Kau harus bahagia, nak. Buktikan kalau jerih lelah mamakmu ini di kampung ada gunanya, tunjukkan ke orang di sini kalau anak mamak sudah kawin, sudah dapat pasangan yang pantas."
"Kalau aku tidak bahagia,mak?"
"Maka mamak akan gelisah tidur di sini."
Butiran keringat berceceran sebesar biji jagung di kening Yuma. Dia baru saja mimpi, dan mimpi itu tentang mamaknya di kampung. Masalahnya bukan itu, tapi mamaknya sudah lama meninggal. Dan dia teringat betul kalau sebelum kepergian mamaknya untuk selamanya, keinginannya adalah melihat putri semata wayangnya itu menikah.
Yuma bukan anak orang kaya, keluarganya sejak dulu hanya mengandalkan sepetak kebun yang di sulap bapaknya menjadi mata pencaharian. Mereka menanami sayur-mayur disitu dan menjualinya ke pasar atau ke tukang-tukang sayur langganan. Terkadang mamaknya juga ikut menambah penghasilan dengan membuka jasa panggilan menyetrika ke rumah-rumah dan mendapat seadanya dari situ.
Dulu mamaknya sempat bercerita, kalau bapaknya sebenarnya anak orang berada. Tapi, karena memilih menikahi mamaknya, bapaknya pun di buang dari keluarga dan tidak mendapatkan warisan sepeserpun. Mamaknya di tolak mentah-mentah karena statusnya yang adalah seorang janda tanpa anak.
"Kau jangan seperti mamak, dua kali kawin. Masih untung dapat bapakmu."
Begitu ucap mamaknya suatu kali ketika Yuma masih duduk di kelas empat SD. Sejak saat itulah Yuma tahu kalau mamaknya ternyata pernah menikah sebelum dengan bapaknya.
"Mbak, mau stop di mana?" Sebuah panggilan membuyarkan lamunan Yuma yang memang melamun mengingat mimpinya semalam. Dia memandangi sekelilingnya sudah kosong. Supir angkot yang sudah tampak lelah itu menegur Yuma yang sedari tadi tidak memberi kode untuk berhenti.
"Lho? Ini di mana?" Tanya Yuma bingung ketika melihat keluar jendela angkot karena merasa tidak kenal dengan sekitarnya.
"Daerah TPS ini mbak, dekat rumah saya. Sudah paling ujung, mbaknya melamun terus, saya tidak di stop-stop juga dari tadi." Kata sang supir kepada Yuma.
"Aduhhh...." Yuma menggeleng-gelengkan kepalanya karena menyadari dia sudah jauh dari tempat tujuannya. Dia lalu melirik jam tangannya.
"Masih sempat." Gumamnya pelan saat menyadari kalau dia belum terlambat ke restoran tempatnya bekerja sebagai seorang waitress.
"Antar saya ya pak. Nanti saya bayar mobil bapak. Saya udah telanjur nyasar,nih, pak. " Pinta Yuma dengan wajah memelas kepada sang supir angkot.
"Lho... Gak bilang dari tadi. Mbaknya melamun,ya?" Ucap supir sambil geleng-geleng kepala tidak habis pikir.
Yuma hanya mengangguk dengan masih memasang wajah memelas, minta di kasihani. Setelah berpikir sebentar, sang supir pun akhirnya meng-iyakan dan mau menghantar Yuma dengan syarat harus membayar mobilnya seperti ongkos angkotnya ketika semua penuh. Yuma yang awalnya keberatan akhirnya tidak punya pilihan lain dan akhirnya setuju.
Di tempat kerja, Yuma sulit sekali berkonsentrasi, beberapa kali orderan pelanggan salah antar. Bos nya yang lumayan garang dan bertubuh gemuk berkali-kali menangkap kesalahan Yuma dengan lirikan ekor matanya.
"Yuma, selepas kerja temui saya dulu baru pulang!" Perintah bos nya tegas. Yuma menghela nafas, dia tahu sepertinya akan kena marahi.
Suasana restoran sudah sepi, para pegawai yang bekerja di situ sudah berpulangan. Yuma melangkah masuk ke dalam ruangan bosnya.
"Kau sudah tahu kesalahanmu, kan?" Kata Bosnya sambil memenceti kalkulator menghitung jumlah omsetnya hari ini.
"Iya pak."Jawab Yuma. Bos nya kemudian berhenti memencetu tombol di kalkulator. Dia berdiri dari duduknya dan mendekati Yuma.
"Kinerjamu buruk, Yuma. Sebaiknya kau hati-hatilah dengan kebiasaan itu. Tapi, jika memang kau masih ingin kinerjamu bagus di mataku, bisa ku pertimbangkan..."Ucap si bos penuh arti. Dia melirik Yuma dari atas sampai bawah dengan kedua mata nakalnya. Bahkan bos nya itu sengaja mendorong tubuhnya lebih dekat lagi ke Yuma.
Yuma mundur selangkah, sengaja menghindar.
"Em...Maaf pak." Yuma memberi kode dengan menghalang tubuh gemuk bos nya itu dengan tangannya agar tidak mendekatinya.
Bosnya memandangi Yuma dengan kecewa dan menjadi lebih sinis setelahnya.
"Kalau begitu kerjalah dengan benar! Kau itu babu di sini."Ucap bosnya dengan mulut pedas, lalu kembali sibuk memenceti kalkulatornya.
Yuma masih terdiam di hadapan bosnya itu. Ekor mata bosnya melirik Yuma.
"Kau kenapa masih di sini? Keluar!"Ucap bos nya ketus. Yuma kemudian gelagapan dan lekas keluar secepat mungkin dari situ.
***
"Dasar bos aneh!" Gerutu Yuma di luar pintu ruangan bosnya tadi. Dia lalu melirik jam di tangannya lalu lekas buru-buru pergi meninggalkan restoran.
Yuma memang sudah berkali-kali berniat untuk pergi dari situ, tapi dia selalu mengurungkan niatnya. Dia masih butuh banyak uang, dia belum punya apa-apa. Rumah di kampungnya juga sudah sangat reyot. Kadang bapaknya menelpon dan minta di kirimi duit, padahal Yuma pun hidup serba pas-pasan di kota. Kata bapaknya, sejak mamaknya meninggal dia jadi sakit-sakitan dan sulit bekerja. Atap rumah juga sudah pada bocor, sementara WC di rumahnya juga nyaris hancur karena dindingnya yang dari papan sudah lapukan.
Mendengar semua keluhan dari kampung, Yuma cuma bisa sesekali menjawab 'Iya' saja, dia bingung apa jawaban yang lebih pas selain itu. Manalah mungkin dia balik mengeluh kepada bapaknya yang tinggal sebatang kara itu. Ah, biarlah dia menahan sendiri pedihnya kehidupan yang dia jalani demi bapaknya.
"Kau harus bilang ke bapakmu kalau kau pun susah di sini Yuma, manalah cukup gajimu itu kalau kau kirimi terus ke kampung sana. Kau saja masih kerja kontrak di restoran." Saran seorang rekan kerja Yuma sesama waitress kala itu.
"Mana mungkinlah, kasihan bapakku." Yuma menggeleng, tidak ingin menambah pikiran bapaknya.
Temannya itu ikut-ikutan geleng kepala.
"Ck...ck...ck... Ya sudahlah, sabarlah Yum, semoga saja nanti kita naik gaji." Begitu kata temannya itu kemudian.
Yuma menatapi sejumlah uang yang barusan di pinjamnya dari temannya itu. Kata temannya dia cuma punya dua ratus ribu rupiah, sementara hutang Yuma kepada ibu kost lima ratus ribu rupiah. Tapi itupun tetap dia syukuri, hanya temannya yang bernama Della itulah yang biasa sudi membantu Yuma kalau dia dalam kesulitan keuangan. Della bilang kalau dulu keluarganya juga kacau balau sejak bapaknya punya hutang judi di mana-mana, tapi setelah bapaknya meninggal, mereka tidak lagi sesulit sewaktu dulu.
Yuma sudah kembali ke kost-kostannya yang hanya sepetak. Sebuah kasur single yang seprainya sudah kusam karena tidak pernah diganti itu membuat ruangan kamarnya penuh, sehingga semua baju-bajunya dia susun saja di keranjang karena tidak mungkin lagi menambah lemari di dalam kamar itu.
Tok...Tok...Tok...
Pintu terdengar di ketok dari luar, Yuma membukanya.
"Mana uangnya." Tanpa basa-basi ibu kost menjulurkan tangannya ke depan Yuma meminta uang bulanan kost.
"Bu, maaf ini baru ada segini..." Kata Yuma tidak enak hati. Ibu kostnya memandang Yuma sinis, tapi kemudian dia lekas menyambar uang itu.
"Saya tidak mau tahu, ya, lekas usahakan lunasi, kalau tidak saya terpaksa usir kamu. Kamar ini sudah banyak yang mengantri." Kata ibu kostnya ketus lalu pergi dari hadapan Yuma dengan segera.
Yuma sudah tahu sebelumnya, kalau ibu kost sudah siap-siap mengintainya kalau-kalau dia macet lagi membayar kost. Karena hal itu pagi-pagi sekali, Yuma sering bangun lebih awal dan rela membersihkan seluruh lantai kost, mulai dari lantai satu hingga lantai dua. Yuma juga sengaja menyapu halaman kost yang biasanya penuh dengan dedaunan yang berjatuhan.
"Kau ini pintar cari muka! Tak perlu lah kau sapu, kau pel kost-kostan ku ini, kan sudah ada petugas yang bisa ku upah." Ujar ibu kost begitu pagi-pagi sudah melihat Yuma berkeringat karena baru selesai membersihkan kost.
"Ah... Gak apa bu... Hitung-hitung olahraga." Jawab Yuma pura-pura.
"Bayar kost mu segera, sekarang masih saya toleransi, lain kali tidak!" Kata ibu kost masih dengan nada ketus.
Yuma mengangguk, dia mengerti dan tahu betul kalau memang kewajibannya harus segera dia selesaikan.
" Kau ada lowongan part time?" Tanya Yuma suatu kali pada Della saat mereka tengah duduk di jam istirahat.
"Gak ada, emang kenapa?" Jawab Della sambil makan permen karet.
"Aku harus segera bayar utang kost, lagian utangku ke kamu juga belum ku bayar, kan? Aku lagi butuh uang." Terang Yuma sambil ikut makan permen karet yang di tawarkan Della kepadanya.
"Hhmmm... Eh tapi tunggu dulu, sepertinya aku ada kerjaan yang bisa membantumu." Ucap Della sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Nahhh.... Ini! Ini nomornya!" Della girang karena berhasil mengingat sesuatu setelah mencari-cari nomor seseorang di kontak hapenya.
"Siapa?" Yuma mengerutkan dahinya. Belum paham betul apa yang di maksud Della temannya itu.
"Ini, kemaren aku sempat ketemu sama seorang kenalan di kafe, dia lagi cari seorang perempuan untuk mengurus mamanya yang lagi sakit. Kayaknya orang kaya, deh Yum... Berjas gitu, lumayan ganteng." Jelas Della panjang lebar.
"Beneran? Lha, kamu gimana bisa ngomong sama dia?" Tanya Yuma penasaran.
" Aku gak sengaja nemu dompet dia jatuh di dekat toilet pria, jadi pas dia baru melintas, aku kasih. Disitu kita kenalan dan cerita-cerita sedikit, tapi dasarnya orang kaya, gak mau lama-lama bicara. Dia langsung kasi nomornya mana tahu aku punya orang yang bisa kerja jagain mamanya. Gitu sih katanya Yum." Kata Della dengan wajah serius.
Mendengar hal itu, Yuma merasa itu adalah sebuah kesempatan. Yang penting baginya sekarang adalah menghasilkan lebih banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemaren dari kampung bapaknya juga sempat menelpon beberapa kali, bapaknya bilang asam uratnya kambuh, sendi-sendi lututnya pada sakit dan linu, beliau mau cek ke dokter tapi takut akan mahal. Yuma sudah menyuruh bapaknya itu ke puskesmas saja, biar tidak memakan biaya yang besar, tapi kata bapaknya obat puskesmas tidak terlalu cocok untuknya. Takutnya, penyakitnya itu bukan cuma asam urat yang menahun tapi juga ada penyakit lain, karena sudah tua.
Yuma yang mendengar itu cuma bisa menghela nafas saja. Kini urusan bapaknya jadi merembet-rembet. Mulai dari rumah yang sudah tidak layak huni, ditambah lagi penyakit bapaknya yang tidak kunjung sembuh.
"Ah.... Sakit kepalaku." Begitu gumam Yuma dalam hati. Dia sangat berharap siapa tahu lowongan yang di tawarkan Della barusan adalah jawaban atas segala masalah yang kini tengah dia hadapi.
"Yuma, bos memanggilmu." Tegur seorang temannya sesama pekerja saat melihat Yuma tengah berbincang dengan Della di jam istirahat.
"Kenapa?" Tanya Yuma penasaran.
"Entah."Balas temannya tadi sambil mengangkat bahunya tanda dia tidak tahu.
Yuma bergegas masuk ke ruangan bosnya itu, di dalam ruangan dia sudah melihat bosnya duduk dan seperti biasa sibuk memenceti kalkulator menghitung-hitung uang yang sudah masuk.
"Siang pak, apa bapak panggil saya?" Tanya Yuma setelah berada di dalam. Bos nya langsung menatap Yuma lalu menyingkirkan kalkulatornya ke samping.
"Iya. Saya mau tanya, apa minggu ini kau banyak kepentingan?" Tanya si bos mengkode. Yuma mengerutkan kedua alisnya belum mengerti entah apa maksud bosnya itu bertanya tentang urusannya.
"Gak juga pak, kenapa ya?" Tanya Yuma langsung.
"Saya mau ajak kamu jalan. Siapa tahu kamu sempat." Ucap Bos nya itu tanpa pikir panjang.
Yuma menghela nafas, dia kini bingung harus jawab apa. Jika dia bilang tidak, bosnya itu akan siap-siap menekannya dan mengintimidasi dirinya. Tapi, jika dia jawab iya maka bosnya pasti sudah berpikir kalau dia tertarik pada bosnya itu dan akan lebih sering mengambil kesempatan lain kali.
"Gimana?" Tanya bosnya sedikit mendesak. Yuma risih, dia memandangi mata genit bosnya itu yang tak lepas memandangi tubuhnya lekat-lekat. Dia merasa sangat tidak nyaman dan takut.
"Maaf pak, saya kebetulan mau ketemu bapak saya yang dari kampung." Jawab Yuma cepat-cepat. Bos nya itu langsung melotot geram, dari wajahnya sudah kelihatan kalau dia menahan emosi kepada Yuma.
"Oh, terserahmu-lah. Ada anak baru yang melamar ke tempat ini. Saya lihat kinerja kamu juga semakin kesini semakin buruk, siap-siaplah mentalmu siapa tahu kamu saya ganti." Ancam bosnya itu tidak tanggung-tanggung. Yuma tidak bisa menjawab apa-apa lagi, dia pasrah saja.
Dia akhirnya pamit keluar ruangan dengan lesu. Di luar Della sudah menunggu Yuma yang keluar dengan wajah sangat tertekan.
"Apa katanya?" Tanya Della penasaran. Yuma menghela nafas panjang.
"Aku mau di ganti katanya, ada pelamar baru. Dia ajak aku jalan, manalah aku mau Dell." Sahut Yuma masih murung.
"Ck...ck...ck... Tidak tahu diri! Iya kalau dia baik budinya, ini sudahlah gemuk, tua, gigi kuning-kuning, jahat lagi. Paket komplit itu, kesal aku!" Della jadi kesal sendiri melihat Yuma di perlakukan seperti itu oleh bos mereka.
"Jadi gimana rencanamu? Aduh Yum, sudah bingung aku dengan nasibmu ini. Kenapa kau selalu sulit begini..." Nada suara Della ikut tertekan dan sedih menyimak kehidupan Yuma yang tak kunjung lepas dari masalah.
"Entahlah, aku masih pikir-pikir dulu lah, mungkin tawaranmu tadi ada baiknya untukku. Siapa tahu orang kaya kemaren masih butuh seseorang untuk menjaga mamanya, ya kan? Mana tahu gajinya lumayan Dell, lagian kalau terus menerus di ancam begini, bagus aku duluan yang resign lah dari sini. Bos kita itu intimidatif sekali sekarang." Ujar Yuma meyakinkan dirinya.
"Semoga ya Yum, lagian aku juga sempat sih mikir hal yang sama. Gak betah aku lama-lama kerja di sini, tempat ini gak sehat ih. Bos nya aja model begitu, muka mesum, sesukanya menekan anak buah, belum lagi pelit minta ampun. Masih aku ingat Yum, waktu kita rapat dulu minta kenaikan gaji, ehh dia malah melengos pergi menyudahi rapat. Gila dia itu!" Della berapi-api ketika menceritakan tabiat jelek atasan sekaligus pemilik resto tempat mereka bekerja itu.
" Iya, benar." Yuma mengangguk sependapat.
Sudah dua hari sejak kejadian bos nya mengultimatum Yuma. Sejak hari itu pula, dia gelisah. Kadang jika Della mengajaknya jalan-jalan atau sekedar belanja di luar, dia enggan untuk ikut. Pikirannya suntuk, dia sedang berpikir keras bagaimana supaya lekas dapat uang.
"Nanti rencananya aku mau nelpon kontak orang kaya yang kau kasi ke aku, siapa tahu dia mau menerima aku jadi pengasuh orangtuanya." Kata Yuma kepada Della.
"Telponlah beliau, namanya Mr Gerry Louise. rejeki kan gak ada yang tahu." Balas Della.
Setelah tekadnya bulat, Yuma menelpon nomor tadi.
Y : Hallo...
G : Hallo, saya bicara dengan siapa?
Y: Em... Maaf tuan, saya Yumaira, saya dapat nomor tuan dari teman saya Della, yang waktu itu sempat mengembalikan dompet tuan yang jatuh.
G :Oh... Iyaa, saya ingat. Ada apa?
Y: Teman saya bilang, tuan butuh pengasuh untuk orangtua tuan. Saya berminat tuan.
G: Anda sudah pengalaman belum? Sebab mama saya ini sudah tidak bisa jalan. Jadi semua kebutuhannya memang anda yang akan layani. Termasuk mandi dan buang airnya.
Y: Saya pernah dulu mengurus nenek mamak saya di kampung sebelum meninggal, beliau sakit juga. Saya harap itu bisa jadi pertimbangan.
G: Oh, baiklah. Soal gaji?
Y : Saya ikut arahan tuan saja dulu.
G: Saya gaji kamu 9 juta. Kamu mau?
Y : Siap tuan. Saya mau.
G: Besok kamu ke sini. Biar saya kirim alamat
Y: Baik tuan.
Deg...
Jantung Yuma berdebar kencang, jujur saja dia kaget mendengar penawaran barusan yang dia dengar dari tuan tersebut. Gajinya ternyata lumayan. Dengan senyum yang merekah dan semangat yang tinggi, Yuma berniat besok akan langsung kesana, ke alamat yang sudah di kirim oleh calon majikannya itu kepadanya.
"Della, aku besok ke sana, lumayan gajinya. Mau ikut?" Kata Yuma kepada Della selepas pulang kerja.
"Gak deh Yum, besok aku ada janji, semangat yaa...!" Kata Della kemudian sambil ikut senang karena temannya itu bersemangat.
☆☆☆☆
Yuma hari ini ijin tidak masuk, setelah mendengar ocehan bos nya selama sejam lebih karena dia mendadak meninta ijin tidak bisa kerja, akhirnya telpon di matikan juga oleh bosnya itu. Tapi Yuma sudah tidak mau tahu dan tidak mau ambil pusing lagi. Niatnya cuma satu, lekas berhenti dari restoran itu dan memulai pekerjaan barunya sebagai seorang pengasuh orang tua.
Angkot yang Yuma tumpangi sudah berhenti di depan sebuah rumah berpagar tinggi yang mewah. Bahkan tembok pagarnya penuh dengan ukir-ukiran yang indah. Dari luar, rumah bagian dalam tidak dapat di lihat sangking tingginya pagar itu dan luasnya halaman rumah.
Yuma berdiri saja di depan pagar rumah dekat dengan pos penjaga.
Seseorang keluar ketika menyadari ada yang berdiri di dekat pos penjagaan.
"Maaf anda cari siapa?" Kata sang penjaga yang menghampiri Yuma.
"Saya mau ketemu tuan Gerry Louise. Benar ini rumahnya?" Yuma balik bertanya. Sang penjaga melirik penjaga yang lain lagi dan memandangi Yuma seperti sedang menyelidiki sesuatu.
" Anda dari mana?" Tanya penjaga yang satunya lagi.
"Saya mau melamar jadi pengasuh orangtua tuan Gerry." Balas Yuma.
Kemudian tak selang berapa lama, seorang penjaga masuk lagi ke dalam pos jaganya dan menelpon ke dalam rumah. Setelah menutup telpon, dia kembali menghampiri Yuma.
"Oh.... Iya mbak, silahkan masuk." Kata penjaga itu kemudian. Yuma akhirnya di giring masuk ke dalam setelah pintu pagar di buka sedikit.
Mata Yuma terbelalak, sunggu kaya raya! Yuma sampai berkali-kali menggosok kedua matanya seolah tak yakin dengana apa yang dia lihat di depan matanya itu. Rumah itu tampak sangat mewah, air mancur besar sangat indah terletak di sentral halaman rumah dengan banyak ikan hias warna-warni. Bahkan lampu-lampu tamannya pun terbuat daru besi ukiran yang sangat mewah. Tidak ada rerumputan yang tinggi atau bergelombang, semua rata, terurus dengan baik dan hijau.
Yuma bahkan merasa capek juga berjalan di halaman yang luas itu, padahal dia baru saja berjalan sebentar mengikuti arahan sang penjaga. Sesampainya di gedung rumah, masih lagi dia di bawa berputar-putar sangking besarnya rumah itu.
Setelah memasuki beberapa pintu dan melewati beberapa jendela, akhirnya Yuma dan penjaga sudah sampai di sebuah pintu.
"Ini ruang kerja tuan Gerry. Silahkan masuk, mbak sudah di tunggu." Ucap sang penjaga, Yuma mengangguk lalu masuk ke dalam setelah pintu di buka.
Seorang pria berdiri sambil menghadap ke belakang dan sibuk memberi makan ikan di akuarium yang sangat besar. Pria itu kemudian menyadari keberadaan Yuma di tempat itu lalu menoleh ke depan.
"Ah.... Selamat datang, silahkan duduk." Kata pria itu begitu melihat Yuma di depannya. Yuma segan juga untuk memulai perbincangan lebih lanjut sampai akhirnya keheningan pecah juga oleh suara pria yang di sebut sebagai tuan Gerry itu.
"Berapa usiamu?" Tanya pria itu sambil melirik Yuma dengan kedua matanya yang indah.
"Dua puluh lima tahun, pak." Jawab Yuma dengan pandangan menunduk, enggan untuk menatap mata lawan bicaranya.
Sang tuan mengitari sofa panjang tempat Yuma duduk, mungkin sedang menyelidikinya atau menimbang-nimbang penampilannya apakah menyakinkan atau tidak untuk dia rekrut kerja.
"Anda yakin untuk kerja di sini mengurus mama ku?" Tanya tuan Gerry belum puas dengan kesungguhan niat Yuma.
"Yakin pak, kebetulan tempat kerja saya yang lama kurang cocok dengan saya." Jawab Yuma lebih menggebu.
"Kurang cocok? Hmmm? Jadi kalau ternyata di sini nantinya Anda kurang cocok dengan kerjaannya, bagaimana?" Tanya pria itu.
"Saya yakin, pak, saya pasti cocok." Jawab Yuma optimis, dalam hatinya uang yang di tawarkan sangatlah menggiurkan, kalau pun ternyata kerjaannya tidak enak, dia rela menahan hati demi uang segitu pikirnya.
"Oke, oke baiklah. Besok kamu sudah bisa langsung kerja. Ayo saya antar ke kamar mamaku."Kata tuan Gerry dan mendahului melangkah di depan Yuma.
Yuma mengikuti langkah kaki majikannya itu sambil sesekali curi pandang ke sekeliling rumah yang luar biasa mewahnya. Hampir setiap sudut nampak berkilau sangking bersihnya. Nuansa eropa sangat kental di setiap sisi dalam rumah. Yuma takjub, dia baru kali itu masuk ke dalam rumah seorang milyarder.
Mereka berdua tiba di sebuah kamar yang berpintu sangat besar. Begitu pintu di buka, nampaklah seorang wanita tua yang hanya terduduk saja bersandarkan bantal di tempat tidurnya yang mewah.
"Kau datang, nak?" Wanita itu menyambut kedatangan putera satu-satunya itu dengan senyum tipis.
"Iya mama, ini adalah pengasuh mama yang baru. Namanya Yumaira. Besok sudah bekerja." Kata Gerry yang langsung mendekati pinggir tempat tidur dan meraih jemari mamanya itu.
"Cantik sekali kamu. Semoga kamu kuat menjagaku." Kata mama Gerry sambil memandangi Yuma dengan lembut.
"Iya, nyonya." Jawab Yuma.
"Jangan panggil aku nyonya, panggil saja ibu." Kata wanita yang masih sangat cantik itu.
"Iya, ibu." Ucap Yuma pelan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!