Sebuah kamar pengantin bernuansa bunga mawar merah terlihat sangat indah. Harum semerbak dari bunga itu sendiri menguar pekat di berbagai penjuru ruangan. Di dalamnya, jelas terdapat sepasang pengantin baru yang tengah asyik memadu kasih seakan dunia hanya milik mereka berdua.
"Aku mencintaimu, Namira!" Saga mengecup lembut wajah gadis itu.
"Aku juga mencintaimu, Mas Saga!" Namira berusaha menjawab ucapan Saga di tengah-tengah pergulatan mereka. Alunan demi Alunan indah saling bersahutan seiring dengan ayunan yang terjadi di tengah ranjang.
Ini adalah hari bahagia Sagara dan Namira. Karena setelah dua tahun berpacaran, akhirnya mereka berhasil mencapai jenjang yang diimpi-impikan semua orang. Kamar pengantin yang baru dimasuki mereka setengah jam lalu adalah saksi atas perjuangan cinta kedua selama ini.
"Ah, aku sudah tidak tahan lagi. Apa kau sudah siap menerimanya, Namira?"
Gadis itu mengangguk di sela napasnya yang berantakan. Kedua matanya terpejam, seolah bersiap menerima sesuatu yang sebentar lagi akan meledak di dalam sana.
"Arghhh!"
Tiba-tiba Namira menjerit tanpa alasan di saat Saga sedikit lagi hendak mencapai puncaknya. Saga yang merasa takut dan khawatir segera menghentikan kegiatan itu. Ia usap titik-titik keringat yang memenuhi seisi wajah Namira dengan gerakan panik.
"Apa yang terjadi, Namira? Apa kau baik-baik saja?" Saga bergerak ke samping nakas untuk menghidupkan pencahayaan. Begitu menoleh pada Namira lagi ia sangat terkejut. Tepat pada area pangkal pahanya mengeluarkan darah yang cukup banyak, dan itu jelas membuat Saga semakin panik luar biasa.
"Darah Apa ini? Apakah darah keperawanan sebanyak ini?" Dia berguman. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Namun, Saga sadar bicara dengan diri sendiri tak akan menyelesaikan masalah.
Sementara itu Namira makin terlihat kesakitan. Jeritan yang terus keluar dari mulutnya menandakan bahwa gadis itu sangat menderita.
Buru-buru Saga memakai bajunya. Ia segera keluar untuk mencari bantuan. Beruntung saat ia keluar kamar, keluarganya masih bersantai-santai di ruang tamu.
"Siapa saja tolong siapkan mobil untuk membawa Namira ke rumah sakit!"
Spontan, teriakan itu berhasil membuat semua orang yang ada di ruang tamu membulatkan matanya lebar-lebar. Kontan mereka kompak menoleh kaget ke arah Saga.
"Apa yang terjadi Saga?" Nora, ibu kandung Saga berseru mewakili pertanyaan semuanya.
"Menjelaskannya nanti saja, Mah! Sekarang cepat bantu aku siapkan mobil," ucap Saga dengan napas ngos-ngosan, matanya tertuju pada sang ayah yang masih terbengong tanpa melakukan apa-apa.
Dia kembali masuk ke kamar untuk membopong Namira ke mobil. Tak lupa Saga membalut tubuh polos Namira dengan pakain seadanya sebelum mereka keluar kamar.
"Sakit sekali, Mas!" Namira terus menjerit dengan keadaan menekuk tubuh. Sementara dua tangannya memegangi perut bagian bawah.
"Bertahanlah, Sayang! Kita ke rumah sakit sekarang!" seru Saga. Ia mengalungkan tangan Namira di lehernya. Dibantu para keluarganya Saga melesat cepat menuju rumah sakit terdekat.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Sakit Saga terus berusaha membangunkan Namira agar tidak terpejam. Saga tampak begitu takut. Dia terus menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi kepada Namira.
"Maafkan aku Sayang. Aku salah. Aku telah menyakitimu …." Saga melirih tepat di telinga Namira. Gadis yang tengah kesakitan itu tentu saja hanya diam sambil memegangi perutnya yang bergejolak.
Sesampainya di rumah Sakit, Namira langsung dibawah ke UGD. Saga kemudian menjelaskan di depan dokter dan keluarganya, kalau Namira tiba-tiba mengalami pendarahan di saat mereka sedang berhubungan badan.
Tentu saja semuanya terkejut dan menyalahkan kebodohan Saga. Dokter kemudian membawa Namira ke ruang pemeriksaan. Seketika itu juga Saga menjadi bualan dan tatapan heran para keluarganya.
Tatapan sang Papa mengatakan bahwa Saga itu bodoh. Mamanya menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya semua itu bisa terjadi. Sementara ayah mertua Saga, dia hanya diam, tapi terlihat sekali aura membunuh tergambar di wajahnya yang keriput.
Saga mendesahkan napasnya. Beberapa kali dia tampak menjambak rambutnya sendiri karena terlalu diliputi perasaan bersalah.
"Mama, Papa, dan Ayah mertua! Aku sungguh minta maaf atas kejadian ini. Aku benar-benar tidak bermaksud membuat Namira seperti itu," ucap Saga sendu.
"Lain kali hati-hati Saga! Istrimu itu bukan lubang tikus yang bisa sembarangan kamu sruduk-sruduk!" Nora membalas cepat. Sang suami hanya diam tanpa berkomentar.
"Sudahlah, sekarang kita berdoa saja tidak terjadi sesuatu pada Namira." Ayah mertua Saga menengahi. Meskipun ia kesal pada Saga, lelaki itu tetap pilihan terbaik yang disukai putrinya.
Sekitar lima belas menit kemudian dokter keluar dari ruangan pemeriksaan. Orang pertama yang ditatap si dokteri itu adalah Saga. Dia tersenyum hangat dan menghampiri Saga yang tengah berdiri cemas di depan pintu.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Pertanyaan Saga mewakili tiga manusia di belakangnya.
"Istri Anda mengalami kontraksi akibat tekanan yang berlebihan. Beruntung pendarahannya bisa diatasi segera." Beliau kemudian menarik napas panjang. Dari reaksi Namira yang tampak ketakutan di dalam sana, dokter itu langsung paham bahwa berita yang sedang dibawanya ini belum diketahui oleh siapa pun.
"Mulai sekarang jaga baik-baik kandungan istri Anda, Pak. Dia sedang hamil 8 Minggu."
"Ha …hamil?" Saga menjadi orang pertama yang paling terkejut mendengarnya.
"Bagaimana bisa hamil, kalian baru saja menikah Saga!" Ayah Namira yang kedua. Tentunya ia tidak terima mendengar berita putrinya hamil di luar nikah.
Kedua orang tua Saga terdiam. Mereka merasa malu atas kejadian ini. Bagaimana bisa putranya yang tampak polos itu menghamili perempuan di luar nikah? Mereka berdua terbengong saling pandang.
Padahal saat di rumah Saga sangat pendiam. Dia juga jarang dekat dengan wanita. Selama ini Saga hanya mengenalkan satu wanita ke rumah, yaitu Namira wanita yang akan ia nikahi.
"Apa Anda tidak salah periksa, Dokter?" Saga bertanya seolah meragukan kemampuan si dokter. Hal yang sudah biasa dokter alami. Dan beliau nantinya berniat menyuruh Saga beserta keluarga masuk ke dalam untuk melihatnya sendiri.
Melihat Saga yang tampak begitu, Nora ikut maju mendampingi putranya. "Coba diperiksa ulang lagi, Dok! Barangkali salah," ucap Nora. Dokter itu hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis.
Nora kemudian menarik lengan Saga lalu berbisik pelan.
"Jangan membuat Mama malu di depan Ayah Namira Saga! Jika kau merasa melakukan itu tolong aku saja. Entah itu di luar, cuma nempel, semua itu tetap beresiko," lirihya penuh penegasan. Pipi Saga langsung merona mendengar itu.
"Kalau begitu mari kita masuk," kata si dokter sambil mengisyaratkan dengan gerakan tangan.
Di dalam dokter itu mulai menjelaskan ulang tentang kondisi kehamilan Namira. Dia juga menjelaskan kalau kandungan Namira masih dalam kategori baik. Tapi sebaiknya kurangi berhubungan badan sampai usianya menginjak trimester kedua.
Jadi dia benar, hamil?
Saga seperti tidak menapaki bumi saat mendengar penjelasan dokter barusan. Tatapannya mengarah pada Namira yang sejak tadi menunduk ketakutan.
Hamil dengan siapa kau Namira?
"Saga, apa itu kau yang melakukannya?"
Nora menatap tajam pada putranya. Saga tak menjawab. Dia terus menatap Namira dengan pandangan marah luar biasa.
Namira yang ketakutan hanya berani menunduk sambil memperhatikan tangan Saga mengepal kuat di bawah sana.
"Saga! Jawab Mama!"
Teriakan Nora berikutnya baru berhasil membuat Saga tersadar dari kemarahan. Dia masih diam dan belum mau mengatakan apa-apa.
"Jujur saja Saga. Jika itu bukan anakmu, maka aku akan membawa pulang Namira! Dia tidak layak untukmu," timpal Ayah Namira. Dia juga terus menatap sang putri dengan raut wajah kecewa.
Cukup lama Saga terdiam. Setelah berhasil menetralkan pikiran Saga menoleh. Dia menatap Papa, Mama, dan juga ayah mertuanya.
"Dia anakku!"
Saga berseru lantang. Namira kontan mendongak dengan tatapan tidak percaya. Kedua mata mereka saling bertemu satu sama lain. Namira begitu terkejut. Ia tidak menyangka Saga akan menumbalkan diri untuk hal yang tidak dia lakukan sama sekali.
Plak!
Belum hilang keterkejutan Namira, tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi Saga. Itu adalah tamparan sang Papa yang sedari tadi diam menahan malu.
"Kurang ngajar kamu Saga! Bisa-bisanya kamu menghamili calon istrimu di luar nikah. Mau ditaruh dimana muka Papa di hadapan Ayah Namira?"
"Aku khilaf," jawab Saga dengan entengnya. Tentunya jawaban itu hanya memancing kemarahan Tuan Indra selaku sang Ayah.
"Apakah kamu pikir alasan khilaf saja cukup bagi Ayah Namira? Dia pasti sangat kecewa padamu Saga! Kamu taruh di mana otak kamu itu," maki Indra kesal.
"Maafkan aku Ayah!" Saga kemudian menatap wajah Ayah Namira. Lalu berbalik menatap Namira kembali.
"Aku akui aku adalah pria murahan yang tidak bisa menahan hawa nafsuu," lanjut Saga kemudian. Kalimat itu sengaja ia torehkan agar terdengar seperti sindiran di telinga Namira.
Ya, manusia yang sesungguhnya layak dikatakan murahan adalah Namira. Sayangnya Namira tidak tahu kalau dirinya sedang hamil. Andai sejak awal Namira tahu dirinya hamil, mungkin Namira tidak akan mau dinikahi oleh Saga. Pria sebaik Saga tidak layak mendapatkan manusia hina seperti dirinya.
"Sekali lagi aku mohon maaf Ayah. Jika Ayah ingin menghukumku silakan saja. Aku pantas mendapatkan itu karena telah mencoreng nama baik keluarga. Teruntuk Mama dan Papa, kalian juga boleh menghukumku," ucap Saga.
Mendengar itu Namira memelas iba pada Ayahnya. "Ayah, tolong jangan lakukan apa-apa pada Mas Saga. Semua ini salahku, akulah yang menggoda Mas saga duluan sampai akhirnya kita berbuat hal yang tidak semestinya!" seru Namira.
Dua bola mata Saga membulat. Ia mengutuk wanita itu dalam hati. Bisa-bisanya wanita itu menjalankan sandiwaranya begitu cepat. Apakah selama ini cintanya kepada Saga juga hanya sandiwara?
Sekarang Saga sungguh kehilangan kepercayaannya terhadap Namira.
Tanpa menghiraukan pipinya yang masih panas akibat tamparan sang Papa, Saga terus menatap wanita itu. Tatapan itu jelas mengandung arti yang tidak biasa.
"Sudahlah. Semua sudah terlanjur terjadi. Toh mereka juga sudah menikah. Jadi kita cukup tutup mulut. Biarlah Saga dan Namira menjalani pernikahannya dengan tenang," ujar Ayah Namira berusaha mengerti. "Berdebat juga tidak ada gunanya. Aku tidak ingin kandungan yang ada di perut Namira kenapa-napa lagi."
"Tolong maafkan putra kami, Pak Aksan! Semua itu benar-benar di luar dugaan kami." Nora menunduk malu. Rasanya ia ingin sekali menguliti anak habis-habisan karena sudah mempermalukan orang tua di hadapan sang besan.
Tanpa mereka tahu, posisi Saga sekarang hanyalah korban. Jangankan menitipkan benih sebelum menikah, menyentuh bagian tubuh dalam Namira saja ia tidak pernah.
Selama ini Saga benar-bener menghormati Namira sebagai calon wanitanya. Ia ingin mereka berdua sama-sama melakukan itu tepat di malam pertama.
Tetapi? Kenyataan yang Saga dapat di luar perkiraannya. Gadis yang selama ini Saga anggap wanita paling baik adalah gadis yang menghancurkan semua harapannya.
Saga benar-benar kecewa pada Namira.
***
Setelah perdebatan antar keluarga itu mereda, dokter kembali masuk ke ruangan. Beliau berkata bahwa Namira sudah diperbolehkan pulang. Dia tidak harus di opname, hanya perlu istirahat dan menenangkan diri.
Saga kemudian meminta izin pada kedua orang tuanya untuk membawa Namira ke rumah baru mereka. Tentunya Nora tidak setuju, tapi Saga terus memaksa dengan alasan ingin menjaga Namira lebih intens lagi.
Saga berjanji akan memastikan Namira dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi semua itu jelas hanya omong kosong. Karena sekarang, hati Namira jauh dari kata baik-baik saja. Namira sudah bisa menebak apa yang akan Saga lakukan kepadanya ketika mereka sampai di rumah baru nanti.
Sepanjang perjalanan mereka menuju rumah baru Saga tak bicara sepatah kata pun. Tatapannya terlalu fokus mengemudi dan membelah jalan raya. Namira juga terlalu takut untuk bertanya kepada lelaki itu. Jadi dia memilih untuk menunduk sambil meredakan pikiran yang berkecamuk.
Sekitar setengah jam kemudian mobil Saga berhenti di depan pelataran rumah. Namira hendak bicara, tapi Saga langsung turun tanpa menghiraukan perempuan itu.
"Mas Saga!" Namira berusaha mengejar Saga sampai masuk ke dalam rumah. "Maafkan aku Mas! Aku sungguh tidak tahu kalau aku sedang ham—"
Plakk!
Saga menampar Namira hingga tubuh lemahnya terjatuh ke lantai. Dia menangis, tapi kemarahan Saga jauh lebih besar dari rasa belas kasihnya.
"Bangunlah! Apa kau sedang berpura-pura menjadi manusia lemah supaya aku memaafkanmu? Cih!" Saga meludah ke sembarang arah.
Perempuan itu tidak habis akal. Namira berlutut di kaki Saga sambil memeganginya. "Tolong maafkan aku Mas! Aku tahu aku salah," lirihnya.
Saga semakin disulut oleh emosi. Dia bangunkan Namira dengan kasar lalu ia dorong tubuhnya ke permukaan tembok.
"Dengan siapa kau melakukan itu?" desak Saga. Hanya itulah yang ia butuhkan saat ini.
"Mas, tolong maafkan aku. Aku sungguh tidak tahu kalau aku hamil? Kalau aku tahu sejak awal juga aku tidak mungkin mau menikah denganmu."
"Memangnya sekarang itu penting?" Saga menaikkan sebelah alisnya. Ia cengkram wajah wanita itu sambil menatapnya dengan muka garang. Sementara tangan satunya lagi bergerak ke arah perut. Saga menekan perut Namira dengan satu tangan.
"Siapa ayah dari bayi ini?" tanya Saga penuh penekanan. Seketika itu juga Namira sangat panik. Kepalanya dipenuhi tanda tanya besar. Apa yang akan Saga lakukan jika ia sampai mengaku.
"Maaf aku tidak bisa memberitahumu," lirih Namira pada akhirnya. Tentunya Saga tak bisa menerima hal itu. Ia angkat tangannya tinggi-tinggi bersiap menampar Namira kembali.
"Jangan membuatku semakin emosi Namira!"
Gadis yang sudah tidak perawan itu langsung menunduk ketakutan. Namira berusaha menutupi wajahnya dengan kedua tangan supaya tidak ditampar lagi.
Saga perlahan mundur. Dia menjambak rambutnya untuk menetralkan pikiran yang semakin kacau. Dia tatap perempuan yang sedang ketakutan itu menggunakan hati. Terus terang sampai detik ini saga masih tidak percaya kalau darah yang keluar dari pangkal paha Namira ternyata ….
BUKAN DARAH PERAWAN.
Namira yang tidak tahu harus bagaimana langsung berlari menuju kamar. Saga terpuruk lemah setelah itu.
"Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Namira?" Dia menatap pintu yang baru saja tertutup dengan mata berkaca-kaca. Rasanya Saga ingin menjerit. Menangis sampai ia puas dan tertidur. Setelah itu Saga akan bangun di pagi hari dengan harapan semua kejadian gila malam ini hanyalah mimpi.
Sayangnya … suara tangisan Namira di dalam sana menyadarkan Saga bahwa semua kegilaan ini nyata adanya. Saga segera bangkit dari keterpurukan dan menyusul Namira ke kamar. Dia butuh jawaban. Dengan apa pun caranya dia harus membuat Namira mengaku.
Saga perlahan mendekati Namira. Berbeda dengan yang tadi, pria itu berusaha mendapatkan jawaban dengan cara yang lembut. Ia peluk tubuh Namira tanpa mengatakan apa-apa. Ia biarkan tangisnya mereda di dalam pelukannya.
"Maafkan aku Namira. Aku yakin kau tahu bagaimana hancurnya perasaanku saat ini." Saga merangkum wajah Namira lalu membuatnya mendongak. Sejenak pandangan mereka saling bertemu. Di titik ini Namira bisa merasakan luka perih yang terpancar dari wajah Saga.
"Kau adalah perempuan yang sangat aku cintai. Melihatmu dalam keadaan seperti ini tentu saja aku tidak bisa tinggal diam. Sekarang katakan padaku …."
"Apa kau diperkosa?"
"Kau dilecehkan?"
"Diancam?"
"Aku yakin itu bukan murni kemauanmu 'kan, Namira?"
"Kau pasti diperkosa. Ya, aku yakin kau diperkosa."
Deretan pertanyaan Saga lontarkan bahkan tebak sendiri jawabannya. Namira semakin tak kuasa melihatnya. Gadis itu meraung lalu memeluk Saga kembali. Dia tenggelam dalam tangisan juga tubuh Saga yang basah oleh keringat.
"Jangan takut Namira! Katakanlah siapa pria itu. Siapa ayah dari bayi yang kau kandung?" lirih Saga.
Namira menggeleng di pelukan Saga. Tubuhnya tampak gemetar dan takut sekali.
"Ayolah Namira. Kau sayang kepadaku, bukan?"
Saga memeluk Namira semakin dalam. Ia yakin Namira pasti dilecehkan oleh pria jahat. Sejenak Saga menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa Namira. Mungkin ia kurang menjaga Namira selama ini, pikirnya.
"Kau masih tidak mau mengaku Namira?" Untuk kesekian kali Saga mengulang kembali pertanyaannya.
"Baiklah!"
"Jika kau masih tidak mau mengaku, dengan terpaksa aku tidak akan bicara padamu lagi!"
Saga melepas pelukan itu. Namira meraung, tapi Saga bergerak semakin jauh darinya. Dia memutuskan untuk tidur di sofa. Sementara Namira menangis di ranjang seorang diri.
Bahkan di saat aku sudah memelas dan memohon pun kau masih belum mengaku. Siapa sebenarnya pria itu, Namira?
Kepala Saga berdenyut ngilu memikirkannya. Perang dingin pun dimulai sejak Saga melepas pelukan. Ia bertekad untuk terus bersikap dingin sampai Namira mau mengaku.
***
Pagi-pagi sekali Namira bangun, tetapi Saga tak ada lagi di kamar. Namira lalu keluar kamar untuk mencari keberadaan lelaki itu. Ia melihat Saga sudah rapi dan hendak berangkat ke kantor. Buru-buru Namira ke dapur untuk membuatkan susu.
Ia kemudian menyodorkan segelas susu itu, tapi Saga tiba-tiba melempar gelas itu hingga pecah berantakan.
"Mulai saat ini tidak usah sok baik kepadaku! Ketimbang susu itu, kau jauh lebih tahu apa yang aku inginkan saat ini!"
"Mas …." Namira menatap Saga tak berdaya. "Setidaknya aku harap kau mau meminum susu itu bukan karena aku. Tapi demi perutmu sendiri," ujar Namira.
Saga melempar senyum kecut. "Aku tidak butuh belas kasihan dari perempuan sepertimu Namira. Jika kau masih belum mau mengaku juga, jangan pernah bicara padaku!"
Saga berlalu ke arah dapur. Dia membuka kulkas lalu meminum air putih yang ada di botol kaca. Setelah itu Saga mengambil tas kerja, tapi Namira menghadang tiba-tiba.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi jika kau tidak mau sarapan!" tegas Namira. Dua tangannya merentang kuat.
Saga mendesahkan napas berat. "Sebenarnya maumu apa, si Namira? Tolong jangan membuat hidupku semakin sulit. Semalam aku sudah berusaha bersikap baik padamu! Tapi kau terus membuatku emosi … emosi dan emosi! Sebenarnya di antara kita siapa yang tidak bisa diajak kerja sama. Aku atau dirimu?" pungkas Saga.
Namira terlihat menelan Saliva. Dia menatap sendu ke arah Saga.
"Aku mau kita cerai," lirihnya. Namira tidak menyangka mulutnya akan seberani itu melontarkan kata cerai.
Kontan Saga tertawa. Ia membalas Namira dengan seringai jahat. "Apa kau pikir dengan bercerai urusan kita jadi selesai?" Saga mendekat perlahan. Ia cengkram mulut Namira dengan gerakan kasar. "Jangan terlalu banyak bermimpi Namira. Aku tidak akan menceraikanmu sebelum tahu siapa ayah dari bayi ini."
"Memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku mengaku? Bukankah bercerai jauh lebih mudah? Kau tidak perlu repot-repot mengurusi hidupku atau mencari tahu siapa ayah dari bayi ini!"
"Kau!"
Ucapan Namira membuat emosi Saga tersulut. Dia tidak menyangka kata jahat itu keluar dari seorang Namira yang polos dan lemah lembut.Tetapi, Saga belum sepenuhnya hilang kesadaran. Dia memilih berbalik ke arah pintu keluar agar segera lenyap dari hadapan Namira.
"Mantanku!"
Namira tiba-tiba berseru penuh keberanian. Ia sendiri juga tidak tahu dari mana keberanian itu berasal.
Mungkin saja semua itu berasal dari sikap Saga yang tiba-tiba berubah sekian derajat karena kebodohan yang Namira lakukan.
"Pria yang melakukan ini adalah mantanku. Kami melakukan tanpa keterpaksaan!" Namira berhenti bicara. Sejenak ia menarik napas sebelum bicara kembali.
"Apa kau tahu istilah jatah mantan? Itu adalah istilah yang dipakai anak jaman sekarang!"
Tubuh Saga berbalik secara spontan. Dia masih belum paham arah bicara Namira. Saga memilih diam sambil menunggu kalimat berikutnya keluar dari bibir perempuan itu.
"Jatah mantan itu semacam membuat kenang-kenangan dengan mantan di atas ranjang! Itu biasa dilakukan oleh anak jaman sekarang sebelum mereka menikah," ucap Namira.
Saga tertegun. Tubuhnya serasa tidak menapaki bumi begitu Namira menjelaskan artinya. Jadi dia tidur dengan mantan? Kegilaan macam apa ini?
Lelaki itu masih membeku. Ia tidak yakin seorang Namira berani melakukan hal gila seperti itu.
"Maafkan aku harus mengatakan ini, Mas. Aku tahu kejujuranku menyakitimu … itu sebabnya aku tidak mau mengaku sejak awal," ucap Namira lagi.
Saga kembali mendekat. Entah sudah ke berapa kalinya mereka dalam posisi bersitegang seperti ini. "Aku bukan perempuan baik seperti yang kamu bayangkan selama ini. Jadi jika kau merasa dipermainkan, lebih baik kau sudahi hubungan ini sebelum masalahnya semakin panjang."
Saga kemudian menarik tangan Namira.
"Kau mau apa?" tanya perempuan itu.
"Keluar … kita cari mantanmu itu jika kau menginginkan perceraian!"
Glek.
Namira menelan ludahnya ketakutan.
"Mas …." Sambil berteriak panik Namira berusaha menahan diri agar tidak dibawa Saga. Sayang tenaga wanita tidak sebanding dengan laki-laki. Langkah marah Saga berhasil membawa Namira keluar rumah, lalu menjebloskannya ke dalam mobil secara kasar.
"Mas … aku tidak mau!" Namira memekik dipenuhi wajah ketakutan. Tanpa peduli Saga segera memutari mobil dan masuk ke kursi dengan tergesa-gesa. Ia menyalakan mobil hingga roda empat itu perlahan meninggalkan halaman rumah dan berakhir membelah jalan raya tanpa tujuan.
"Sekarang tunjukkan padaku dimana rumah mantanmu itu!"
"Tidak mau, Mas! Aku tidak tahu dimana dia berada. Dia langsung meninggalkanku sejak malam itu," ucap Namira. Kepanikan mulai terjadi karena Saga mulai ngebut dan menyalip beberapa mobil. Dia tidak terkendali. Mobilnya melesat cepat tanpa arah tujuan pasti.
"Mas … hentikan mobilnya! Aku takut!"
Setelah mengatakan itu Namira pingsan tak sadarkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!