Annisa menatap awan yang terlihat gelap, tanda sebentar lagi akan hujan. Belakangan ini cuaca memang sangat buruk. Tapi Annisa membulatkan tekad untuk pergi dari rumah, dia nggak mau kembali ke rumah sebelum mendapatkan uang sebanyak dua puluh juta.
Semalam,
Annisa bertengkar hebat sama orang tuanya lantaran mereka semua baru mengetahu kalau kaka Annisa alias Namira memiliki hutang cukup banyak ke rentenir dan rentenir itu datang untuk meminta bayaran hutang sebanyak dua puluh juta itu. Keseharian orang tua Annia yang hanya berjualan hasil rajutannya nggak bisa apa-apa selain meminta keringanan pada rentenir tersebut.
“Gua nggak peduli! Gua cuman mau uang itu balik! Kalau sampai minggu depan uang itu nggak balik, gua bakal obrak-abrik rumah ini. Atau ... gua bakal lunasin semua utang itu, kalau anak kalian yang sejak tadi ngumpet itu menikah dengan gua!”
Dunia seakan runtuh saat itu juga, umurnya masih sangat belia dan dia nggak menginginkan pernikahan di usianya yang sekarang. Apalagi sama lelaki tua hidung belang yang istrinya di mana-mana. No way! Annisa nggak mau sama sekali.
Akhirnya dengan modal nekat, Annisa kabur dari rumah dan janji bawa uang sebesar dua puluh juta itu beserta seorang suami untuk dia nikahi.
Dan ... sekarang Annisa nggak tahu harus kemana. Dia mau. nyari uang sebanyak itu dari mana? bahkan, Annisa juga gak punya pacar. Rasanya mau menangis aja dirinya.
"Ck ah .. udah tujuh ratus kilometer aku jalan," retorisnya. "Tapi aku nggak mampu melangkah lagi demi mendapatkan calon pangeran di hidupku," lebaynya lagi.
"Aish! emang bajingan si kakak. Dia kabur kemana sih. Enak aja ... dia yang enak-enakan dapet uang terus foya-foya tanpa ngajak keluarga sama sekali. Eh, tapi malah gue yang harus kena imbasnya."
Annisa terus mengumpat kasar dan berakhir duduk karena lelah. Ia menatap sekitaran dan baru sadar, dia nggak tahu ada di mana dirinya.
"Anjir ... di mana gue, duh mana sok-sokan nggak bawa HP lagi. Ya elah, gini amat nasib gue. Udah nggak tau posisi, gak bawa duit, mesti nyari duit dengan nominal banyak, argh nggak ada gunanya elah ..."
"Tapi ... kenapa sepi banget dah di sini?"
Annisa mulai sadar kalau ada yang nggak beres di tempat ini. Tapi yang namanya capek, dia tetep memilih goleran di atas terpal depan sebuah toko. Ia lelah. Benar-benar selelah itu.
"Cewek ..." panggil seseorang dengan nada menggoda
"APA LU!" balasnya dengan tangan yang mengepal di udara
Seorang laki-laki berpenampilan menjijikkan datang dan terus mengedipkan sebelah mata pada Annisa. Perempuan itu bergidik.
"Napa lu? ambeien?" seru Annisa mulai memasang kuda-kuda takut laki-laki itu nekat. "Matanya biasa aja, nggak usah kedip sebelah gitu. Jijik tau nggak sih!" seru Annisa sambil diem-diem mengambil kayu besar dari belakang tubuhnya.
"Berani ya lu sama gue!" marahnya. "Dan ... nggak usah muna, gimana kalau kali ke belakang dan seneng-seneng bareng," ucapnya ambigu. "Gue mainnya aman kok. Walau lu nggak cantik-cantik amat, tapi gue nggak masalah kok. Gue bakal muasin lu, sampai lu jerit keenakan."
Mata Annisa membola dan refleks memelul tubuhnya.
"Apaan sih!" serunya sambil mengambil ancang-ancang untuk kabur, nggak peduli lagi sama kakinya yang lagi sakit. Nyawanya udah di ujung tanduk.
"Ayolah neng ... nggak usah munafik. Semua perempuan pasti suka. Termasuk kamu. Kita seneng-seneng. Kamu lagi butuh duit kan? gue bayar dah. Mau berapa lu?"
Annisa terdiam. Batinnya berperang satu sama lain mendengar kata duit. Tapi akhirnya ia menggeleng. Masih banyak jalan untuk mendapatkan uang sebanyak itu dan salah satunya bukan lewat hal ini.
"Jangan samain perempuan lain sama gue. Gue nggak suka dan sebanyak apa pun uang yang gue butuhin. Gue nggak bakalan mau!"
"ALAH MUNAFIK." serunya sambil menyentuh tangan Annisa
"LARI ..."
Annisa terus berlari tanpa tau arah dan semakin berteriak panik saat laki-laki itu malah mengejarnya.
"Ya Allah ... tolongin hamba. Beri petunjuk untuk masalah hidup hamba dan jauhkan laki-laki itu dari belakang hamba!" doanya.
***
Hampir setengah jam lamanya Annisa berlari. Ia nggak berani menoleh ke belakang untuk melihat laki-laki itu sampai
BRUGH ... HUAAAASS
"Astaghfirullah," serunya langsung berlutut dan melihat kondisi anak kecil yang baru dirinya tabrak. "Duh maafin tante ya. Sakit ya? mana yang sakit?" ucapnya sambil terus mengusap area tubuh anak itu yang sekiranya sakit
"HUAAAAA ... mau ayah, aku mau sama ayah," rengeknya semakin kencang membuat Annisa langsung menggendong anak laki-laki semog itu.
"Dedek kecil ... maafin tante ya, tapi jangan nangis lagi. Kasihan tante nih," ucap Annisa sambil menunduk sopan pada orang yang menatapnya curiga. "Tante dikira penculik nih. Jangan kayak gini."
"Ayah ... aku takut, ada tante gila galak!" pekik anak itu membuat Annisa menatap tak percaya pada wajah polos nan menggemaskan itu.
"Heh ... gue kira lu nangis karena gue tabrak!" cablak Annisa sambil menggeleng kecil. "Jadi ... dari tadi lu ngira gue ini orang gila? et dah buset, perempuan secantik gue masa di kira orang gila sih. Ya elah dek, gue normal. Tante bukan orang gila. Tante masih waras kok. Tapi nggak tau deh kalau sampai nggak ketemu tu duit sama laki. Mungkin tante jadi gila beneran."
"Tante nggak gila?" tanya anak itu dengan polosnya.
Annisa terkekeh, ia tersihir sama mata berbinar yang sangat cantik. "Enggak dek ... tante bukan orang gila. Udahlah, dari pada ngomong gila-gila terus. Tante mau cari bunda kamu. Di mana orang tua kamu?"
"Bunda?" tanya anak itu lalu merengut sambil terisak kecil. "Kata ayah bunda udah di surga. Aku nggak bisa ketemu sama bunda lagi."
DEGH ...
"Dek?" panggil Annisa dengan lembut. "Ya udah .. di mana keluarga kamu?" tanya Annisa berusaha mengalihkan pembicaraan
"Heh penculik!" seru seseorang dari belakang tubuh Annisa
Perempuan itu berdecak. Ini kenapa dari semalam, dia terus sial dah? udah ngomong asal sampai orang tuanya nagih dan nggak mengizinkan dia untuk pulang sebelum dapatin uang sama calon suami. Jalan sampai ratusan meter. Ketemu laki-laki yang mau melecehkannya dan sekarang malah dituduh penculik?
Annisa berbalik dengan kesal dan waw ... ia melihat seorang laki-laki berpenampilan keren dengan pakaian mahalnya sedang menatap dia dengan penuh marah.
"Balikin anak saya dan saya bakalan kasih berapa pun uang yang kamu mau!" ucapnya lagi.
Baru Annisa mau menyerahkan anak itu yang malah memeluknya erat. Sebuah ide cemerlang hinggap di benak nya.
"Gue bakalan ngasih anak ini kalau lu mau bayar dua puluh juta dengan tunai dan nikahin gue!" serunya dengan penuh harapan.
"Okei! saya setuju ..."
Annisa tidak menyangka kalau permintaan asalnya saat itu malah membawa dia ke sebuah pernikahan yang sederhana tapi mampu mengejutkannya. Kini dia sudah sah menjadi seorang istri dari pria bernama Bram.
Entah apa yang terjadi, Annisa hanya ingat saat Bram menyetujui omongannya dan langsung mendatangi rumah dia seraya meminta izin dan memberi nominal uang yang Annisa pinta. Tidak hanya itu, Bram mengatakan kalau semua urusan akan dia tanggung sendiri.
Begitu sat set, sat set sampai Annisa nggak paham sama takdir hidupnya sendiri.
"Tuan! ini tuh beneran," bisik Annisa sambil menginjak kaki Bram yang sedari tadi mengabaikan dirinya.
"Terima kasih sudah datang ke pernikahan kami," ucap Bram membuat Annisa kembali fokus ke depan dan menyalami tamu yang baru datang. Ia terpaksa tersenyum dan berusaha menjadi tuan rumah yang baik.
"TUAN!" panggil Annisa lagi sambil berbisik
"Berisik, ikutin rencananya dulu. Baru nanti kita bicarakan setelah semuanya selesai."
***
Waktu terus berlalu dan kini semua tamu sudah pulang. Annisa termenung, baru sadar kalau semua ini nyata. Kini dia nggak tahu harus melakukan apa untuk ke depannya. Ia sadar kalau dirinya salah, hanya saja Annisa melihat orang tuanya tersenyum sangat lebar.
Ia angkat dress putih panjangnya untuk menghampiri ibu sama bapaknya.
"Bapak nggak nyangka kalau selama ini kamu punya pacar orang kayak, nak. Harusnya bilang dari awal biar kakak kamu nggak perlu pinjem uang atau ketemu rentenir gila itu. Duh, kalau kayak gini. Minta ke suami kamu dong buat benerin rumah kita. Atau nggak beliin rumah baru aja, biar nggak ribet."
"Pak?"
"Bener nak," sambung ibunya. "Ibu nggak nyangka kalau anak ibu bisa menggaet pria kaya. Gimana caranya nak?" tanya sang ibu lalu menggeleng. "Tapi, ibu nggak peduli sama sekali. Yang penting sekarang derajat hidup kita itu bakalan terangkat! Duh ... kenapa pernikahannya juga tiba tiba kayak gini? ibu kan jadi nggak sempet pamer sama semua tetangga."
"Ibu ..."
"Ah sudah ... itu suami kamu lagi jalan ke sini. Ibu sama bapak nggak mau ganggu. Kita masuk ke kamar hotel dulu!" pekiknya sambil menepuk suaminya. "Ya ampun pak ... akhir nya kita bisa merasakan empuknya kasur hotel!" semangat ibunya lalu meninggalkan Annisa dengan tatapan kosong nya.
"Kan ... mereka mah nggak pernah mikirin aku, Dasar Anj—
"ANNISA!" sela Bram menghentikan ucapannya. "Sudah berapa kali saya bilang, tolong berhenti bicara kasar. Anak saya masih kecil. Dia malah ngikutin semua omongan gak bermutu kamu."
Annisa berbalik, "tapi kan— eh Rama!" serunya lalu mengambil alih Rama yang masih membuka mata. "Kok kamu belum tidur sih? ini udah malem loh. Biasanya anak kecil tuh jam segini udah tidur."
"Aku mau tidur sama tante ..."
"Uluululu ... lucu banget sih!" histeris Annisa.
"Sudah-sudah melar pipi anak saya kalah kamu cubit terus kayak gitu. Sekarang kamu masuk ke kamar 562. Tolong tidurkan anak saya di sana sekalian kamu beres-beres. Setelah selesai ... datang ke kamar 563. Kita bicarakan semuanya."
"Baik tuan."
Dengan langkah kesusahan Annisa terus menggendong Rama sambil sesekali tersandung karena gaunnya yang sangat panjang. Bram yang melihat hanya bisa menggeleng dan tersenyum tipis.
"Dasar ceroboh!"
***
"Rama ... kamu udah ngantuk?" tanya Annisa membaringkan tubuh anak tirinya ke kasur. "Masih bisa nunggu nggak? tante mau mandi sambil ganti baju dulu. Gerah nih."
Rama mengangguk. "Mau susu," titahnya.
"Siap tuan muda."
Dengan cekatan Annisa membuatkan susu untuk Rama. Ini bukan masalah besar sama sekali. Soalnya, dulu Annisa suka dititipkan anak kecil sama tetangganya lantaran dia yang menganggur. Jadi, Annisa sedikit tahu gimana caranya menghadapi seorang anak kecil sekaligus mengurusnya. Lumayan ... dulu dia mendapat uang jajan karena ngejaga anak tetangganya.
Ah, kenapa jadi cerita gini?
Dengan buru-buru Annisa menyerahkan botol susu itu ke Rama dan segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.
Selang sepuluh menit perempuan itu baru ingat sesuatu.
"Bentar deh ... ini gue nggak bawa baju ke hotel!" pekik Annisa. Ia mengedarkan pandangan, berharap ada baju yang bisa ia pakai. "Bathrobe? nggak apa-apa deh. Cuman ada bocil doang kan di kamar ini?"
Langsung saja Annisa memakai bathrobe itu. Lumayan untuk menutup tubuhnya. Walau hanya sampai paha saja. Tapi nggak apa-apa, dibanding dirinya masuk angin. Gak lucu amat, baru hari pertama pas pernikahan langsung sakit masuk angin.
Gak elit!
"Belum tidur?" tanya Annisa dengan suara sangat lembut. Perempuan itu tetap memegangi ujung bathrobe di bagian dadanya, biar nggak terbuka.
"Tante ... aku mau nanya deh," ucap Rama dengan serius.
Annisa tersenyum dan ikut merebahkan diri di samping Rama. "Kenapa anak ganteng?"
"Tante bakalan jadi bunda sambung aku ya?"
"Hah?"
"Iya ... ayah bohong kan sama aku? katanya dia cuman ngadain pesta kecil sama tante doang. Tapi ternyata nenek kasih tau kalau kalian menikah. Itu artinya ayah udah gak sayang sama bunda dong? tante juga bakalan jadi orang jahat kan sama aku? soalnya ... kata nenek, tante cuman sayang sama ayah, sama uang ayah, nanti tante bakalan singkirin aku di hidup ayah."
"Rama .." Kaget Annisa.
Kenapa anak seumur gini udah memikirkan hal seberat ini? dan siapa neneknya? kenapa malah mempengaruhi cucunya deh.
Tapi bentar ...
Annisa baru ingat dan baru sadar, kalau pernikahan ini sama sekali nggak ada pihak keluarga dari Bram. Bram hanya berdua sama anaknya. Hanya banyak kolega Bram yang datang. Tapi Annisa nggak bertemu sama keluarga Bram sama sekali.
"Nak ..." Annisa terkejut saat anak itu menangis. Perempuan itu dengan kikuk memeluk Rama, untung nggak ada penolakan sama sekali.
"Bunda pergi dari hidup aku udah lama. Kata ayah, bunda nggak akan pernah kembali. Aku juga nggak inget muka bunda. Aku cuman bisa lihat di foto. Aku mau ketemu sama bunda. Tapi nggak bisa ... aku juga suka iri sama temen aku."
"Iri?" anak itu mengangguk.
"Aku juga mau disayangin sama seorang ibu, tapi kata ayah aku nggak boleh berharap lebih. Dan sekarang ternyata ayah menikah yang artinya tante bakalan jadi bunda aku. Tapi kenapa nenek malah ngomong kayak gitu? apa tante emang nggak sayang sama aku?"
"Nggak ada yang kayak gitu ..."
"Terus? nenek nggak pernah bohong sama aku!" ratau Rama dengan pelan. "Nenek selalu jujur sama aku. Jadi aku takut kalau tante emang jahat sama aku. Padahal ... aku udah sedikit sayang sama tante. Soalnya tante baik banget gitu sama aku. Tapi ... kalau tante jahat sama aku. Aku harus apa?"
Rama semakin mendusel di ceruk leher Annisa.
"Tante ... jangan ambil ayah aku, ya."
"Rama ... dengerin tante ya. Nenek kamu ngomong gitu karena takut tante nggak sayang sama kamu. Tapi di sini tante mau menyangkal omongan nenek kamu, karena tante nggak merasa bakalan jadi ibu yang jahat sama kamu!"
"Beneran? jadi nenek bohong ..."
"Nenek kamu nggak bohong, tante yakin kalau nenek kamu ngomong gitu karena khawatir tante nggak sayang sama kamu. Itu cuman ketakutan nenek kamu aja, makanya nenek kamu minta kamu buat jaga diri gitu. Padahal kenyataannya nggak gitu. Tante memang belum pernah merawat anak kecil secara intens. Ini juga pertama kali tante ngelakuin ini. Tapi tante janji akan terus sayang sama aku."
"Beneran?"
Annisa mengangguk sambil tersenyum sangat lembut.
"Kita sama-sama belajar ya nak ... tante tahu kamu baru umur dua tahun, tapi tante jelas tahu kalau kamu ini pinter banget. Sampai tante dibuat kagum terus sama kamu. Dan tante juga udah banyak belajar dari kamu. Jadi, kalau tante ada salah atau nggak sengaja nyakitin kamu. Kamu langsung bilang aja sama tante. Biar tante belajar dan gak buat kamu sedih lagi."
Annisa melepas pelukan dan tiduran telentang sambil menatap langit kamar hotel. Tangan mereka masih bertaut satu sama lain.
"Ajarin tante ya nak."
"Aku boleh manggil tante dengan sebutan bunda?"
Annisa tertegun dan langsung mengangguk dengan cepat.
"Boleh, nak. Boleh banget. Ya ampun, ini kenapa jadi terharu banget." Annisa mengusap air matanya yang turun. "Udah ah. Aku nggak mau nangis, mendingan sekarang kamu tidur. Udah malem."
"Okei bunda."
***
Bram berdecak kasar. Ia melirik jam yang melingkar di lengannya. Sudah jam sepuluh malam. Tapi Annisa belum ke kamarnya juga. Bram mengendurkan dasi dan memilih untuk bersih-bersih lebih dulu.
Tapi, sampai Bram selesai bersih-bersih juga. Annisa nggak ada tanda-tanda untuk datang.
"Saya paling benci sama orang yang nggak bisa menghargai waktu. Apa dia senggak bisa itu buat nidurin Rama?" ucap Bram memilih mengunjungi kamar anaknya itu.
Tanpa menekan bel, Bram langsung masuk ke dalam dan langkahnya dibuat berhenti saat melihat dua orang di sana yang sedang terlelap. Amarahnya langsung hilang melihat kedua orang itu yang sangat pulas.
"Pantas saja, benar juga ... harusnya saya biarkan Annisa istirahat dulu. Sudahlah, bahas peraturan mah. Masih bisa besok. Nggak usah di pusingkan sekarang," ucapnya lalu berbalik.
Tapi langkah Bram terhenti saat ia sadar kalau pakaian Annisa sangat terbuka terlihat dari pantulan kaca lemari di depannya. Ia menggeleng dan berbalik. Memilih untuk menyelimuti keduanya.
"Tu— tuan?" gumam Annisa yang sadar adanya pergerakan, ia langsung duduk membuat mata Bram terbelalak dan langsung berbalik, membelakangi Annisa.
"Pakai bajumu dengan benar!" panik Bram dengan napas memburu.
Mau bagaimana pun, dia hanya seorang pria yang memiliki nafsu. Siapa yang nggak tergoda melihat bahu perempuan yang polos seperti itu? Nyaris satu tahun Bram nggak pernah menyalurkan nafsunya. Tapi kini ia malah disuguh kan penampilan seperti ini.
"Sepertinya kamu juga sudah sadar," gumamnya lalu melempar jaket yang sejak tadi membalut tubuh Bram
Annisa baru mau protes karena Bram melemparnya asal sampai mengenai wajahnya. Tapi urung karena sadar bathrobe dia terlepas. Langsung saja dia memakai jaket dan merekatkannya sampai atas.
"Maaf tuan ..."
"Sudahlah, kamu kalau tidak lelah. Silahkan datang ke kamar sebelah untuk membicarakan sesuatu yang penting sama saya. Tapi kalau kamu masih lelah, silahkan istirahat. Kita bicarakan semuanya besok pagi, sebelum anak saya bangun."
Bram melangkah pergi dan meninggalkan Annisa sendiri.
"Pergi aja kali ya," gumamnya
Perempuan itu memastikan Rama aman untuk ditinggal sebelum ia meninggalkan kamar itu dan masuk ke kamar yang dimaksud Bram. Di sana Bram sudah duduk di salah satu sofa dengan angkuhnya.
Annisa masih berdiri di balik pintu dan menatap rupa suaminya itu. Tampan sih. Tapi sombong. Wajahnya benar benar sengak. Terkadang Annisa takut sama aura yang di keluarkan suaminya. Sekarang Annisa menyesal karena sudah berbicara adalah seperti itu. Mana sampai di sanggupi lagi.
"Kenapa masih berdiri, cepat duduk!"
Annisa merengut dan langsung duduk. "Tuan jangan marah marah terus dong. Gue nggak suka. Aih ini mah ternyata aslinya galak. Beda banget kayak anaknya," seru Annisa yang nggak ada takut-takutnya sama sekali
"Gue?" pancing Bram
Annisa menatap balik dengan bingung.
"Iya gue?" ucapnya bingung. "Bahasa gaul loh. Eh jangan bilang tuan nggak tau bahasa gaul lagi? karena keseringan ngomong saya-anda, duh formal banget," ucap Annisa sambil mengibaskan tangan di depan Bram. "Nih gue ajarin. Gue-lu ... kece loh kalau udah ngomong pakai kayak gini."
"No ... tentu saja saya paham," jawab Bram dengan maklum. "Tapi ... suami istri mana yang ngomong gue-lu?" tanya Bram sambil menggeleng kecil. "Okei ... saya maklum karena perbedaan umur kita."
"Loh emangnya tuan umur berapa?"
"Tiga puluh lima," jawabnya enteng.
"Woah," seru Annisa yang kaget sampai menutup mulutnya. "Om?" ucapnya tanpa sadar membuat Bram menepuk keningnya. Ada aja ucapan yang dilontarkan sama Annisa yang membuatnya terkejut. "Ternyata aku nikah sama om-om. Ya ampun tuan ... umur kita jauh banget," ucapnya lagi
Annisa memeluk dirinya dambil berteriak kecil dan terus memberontak, padahal nggak ada yang menahannya. Bram yang melihat hanya terpaku. Dia nggak tahu kalau pilihan asalnya ternyata selebay ini.
"Aku nggak mau di nikahin sama om-om. Bawa aku pergi."
"Sorry Annisa, tapi ini cringe banget," ucap Bram membuat Annisa langsung terdiam dan berdeham. Cukup merasa malu juga sama tingkahnya. "Dan ... bukan saya yang mau menikah sama kamu. Tapi kamu sendiri yang langsung menodong suatu pernyataan ke saya," ucap Bram berusaha mengingatkan kejadian pertemuan mereka pertama kali.
"Iya ih! gue inget ... nggak usah di perjelas juga," ucapnya dengan malu
"Dan satu Annisa ... aku-Kamu saja, no gue-lu. Kita bukan temenan yang bisa bebas ngomong kayak gitu. Ada aturan nggak tertulis yang harus bisa sopan satu sama lain. Bukan nya kayak gini," peringat Bram lagi, kali ini dengan tegas.
Annisa menunduk dan mengangguk.
"Maaf tuan ..."
"Panggil saya, mas ... kita suami istri."
"I— iya mas," ucapnya terbata.
Untuk sesaat nggak ada yang mengatakan apa-apa lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Annisa yang berusaha menyangkal kalau dirinya kini udah miliki status yang berbeda dan nggak bisa sesantai dulu dan Bram yang terus memerhatikan gerak gerik Annisa yang sangat kikuk itu.
Sampai Annisa ingat sesuatu dan memandang Bram dengan mata penuh tanya.
"Mas ... tapi apa alasan kamu nerima omong kosong aku pas itu?" tanya dia
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!