NovelToon NovelToon

Dilema Ditinggal Nikah

Bab 1

Perempuan berambut panjang itu sedang duduk di depan cermin sambil merias wajahnya sedemikian rupa supaya terlihat lebih cantik. Polesan demi polesan make up dia aplikasikan di area wajah sesuai pada tempatnya. Mulai dari moisturizer, poundation, countor, shading, bedak tabur, eyes shadow, lipstik, pensil alis, mascara dan terakhir disemprotkan face mist guna mengunci make up supaya tidak mudah luntur. Dia tampak sangat pandai, padahal aslinya dia baru saja belajar dari media sosial sedari masih berada di kantor tadi siang.

"Huh, lumayan juga ya make up begini. Kaku banget tanganku pas waktu mengaplikasikannya. Untungnya berhasil." Dia mendekatkan wajahnya lagi ke cermin. "Emang kelihatan beda banget sih," pungkasnya kemudian memundurkan wajahnya kembali.

Tanpa terasa sudah satu jam dia di depan meja rias. Sebab dia ingin penampilannya malam ini harus sesempurna mungkin. Dalam hatinya berdoa, semoga apa yang dia harapkan selama ini bisa segera terwujud.

Namanya, Nila Anastasya. Perempuan berusia genap 26 tahun itu akan berkencan bersama kekasih yang sudah delapan tahun bersama dengannya. Lelaki yang mampu membuatnya bertahan selama ini adalah Bayu Guntara.

.

.

.

.

Nila kemudian berdiri untuk melihat keseluruhan tampilannya di depan cermin dari ujung kepala hingga kaki. Kedua sudut bibirnya terus mengembang, tersenyum dengan penuh kekaguman.

"Ternyata aku cantik juga ya pakai dress kayak gini. Aku yakin, Bayu pasti suka!" ucap Nila dengan percaya diri.

Dia kemudian berjalan menghampiri tas yang sebelumnya diletakkan di atas tempat tidur. Setelah itu diraih dan dikaitkan pada bahunya. Tak lupa juga ponsel yang ada disebelah tasnya tadi dibawa dan di masukkan ke dalam tas. Nila berjalan keluar dari kamarnya.

"Rapi banget Kak, jadi kencan sama cowok Kakak? Orangnya juga belum datang," kata Lativa, adik perempuan Nila satu-satunya.

"Masa sih? Kirain Kakak tadi itu suara mobilnya Bayu!" tukas Nila sambil mengerutkan kedua alisnya dan menatap sang adik tidak percaya.

"Silahkan, lihat aja langsung di depan rumah. Gak ada siapa-siapa dari tadi. Perasaan Kakak aja kali!" Lativa merasa kesal karena kakaknya tidak mempercayainya. Ia pun memilih pergi dari hadapan Nila.

Sementara itu, Nila hanya menghela napas panjang sambil memutar malas bola matanya, lalu membuka layar ponsel untuk menghubungi Bayu kembali. Pasalnya sebelum Nila merias wajah, ia sempat menghubungi lelaki itu untuk menanyakan kepastian acara malam ini. Sebab tepat di hari ini adalah hari jadian mereka yang kedelapan tahun dan Nila tidak mau acaranya dibatalkan begitu saja.

Berkali-kali Nila menghubungi Bayu tetap tidak ada jawaban.

"Bayu, kemana sih kamu? Kenapa tiba-tiba susah dihubungi gini?" Nila menggerutu. Ia mulai kesal. Tidak biasanya Bayu tiba-tiba menghilang seperti ini.

Pada akhirnya perempuan itu pergi ke ruang tamu guna mencari tempat duduk, karena tumitnya mulai terasa sakit jika terus berdiri menggunakan heels setinggi tujuh centimeters. Dengan perasaan yang masih kesal, karena Bayu tetap sulit sekali di hubungi, Nila membuka panggilan terakhir yang dihubungi olehnya lalu mulai memanggil lelaki itu lagi.

Sampai setengah jam lamanya, Bayu tetap tidak menjawab telepon darinya. Bahkan tidak ada tanda-tanda kedatangan lelaki itu di depan rumahnya. Nila hampir putus asa, perasaannya mendadak gundah gulana karena acara malam ini kemungkinan besar bisa gagal total, kalau Bayu tidak menjawab panggillannya.

"Masa iya Bayu ingkar janji sih? Padahal rencana anniversary ini udah dari tiga bulan yang lalu. Kemana sih sebenernya si Bayu? Malah udah makin malam," keluh Nila bermonolog.

Ia pun menaruh ponselnya ke atas meja, lalu melepas heels yang dipakainya satu persatu. Benar saja, tumitnya memerah dan terasa perih karena ada kulit yang sedikit mengelupas.

"Kayaknya ini gara-gara tergoda diskon di mall deh. Heels murah tapi bikin lecet tumit!" gerutu Nila merasa menyesal. Namun ia tidak langsung berdiri ataupun pergi dari sana, melainkan mencoba menghubungi Bayu lagi.

"Ih! Bayu angkat dong! Tidur kali ya ini anak!" ujar Nila semakin geram. Ia memijat keningnya lalu mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

Ditengah perasaan kesal, tiba-tiba ada sebuah notifikasi pesan masuk. Nila menegakkan tubuhnya lagi kemudian meraih ponselnya yang sempat ditaruh ke atas meja tadi. Mata Nila seketika membulat dengan sempurna ketika melihat nama yang tertera pada pengirim pesan itu. Bayu, lelaki yang sejak tadi Nila panggil tapi tak kunjung ada jawaban.

Dengan perasaan yang semakin risau, Nila membukanya.

"Nila, kita harus putus. Lusa, aku akan menikah dengan perempuan lain. Terima kasih atas delapan tahun yang telah dilalui bersamaku dari nol hingga aku bisa sukses seperti sekarang ini."

Begitulah isi pesan dari Bayu. Perempuan berambut panjang itu terdiam beberapa saat. Entah kenapa Nila mendadak seperti orang bodoh. Batinnya reflek menolak keras!

"Aku salah apa? Kok jadi begini sih? Siapa perempuan yang dimaksud Bayu?" Nila bertanya-tanya dengan tatapan kosong. Ia masih tidak percaya dan menganggap Bayu itu hanya sebuah candaan.

Karena kesabarannya sudah semakin setipis tisu, Nila pun menelepon Bayu untuk memastikan. Cukup lama berdering, akhirnya di jawab oleh lelaki itu.

"Hallo, Nila ... "

Suara Bayu yang tiba-tiba mengubah panggilan kesayangan itu, membuat hati Nila semakin ketar-ketir. Bisa-bisanya dia menyebut nama, karena biasanya lelaki itu selalu menyebut Nila dengan panggilan Bebeb. Tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan, Nila pun segera menepis dan mencoba tidak mempersalahkan hal itu. Bayu masih tetap menjadi lelaki yang Nila cintai sampai detik ini.

"Beb, kamu dimana? Acara kita malam ini jadi 'kan?" tanya Nila mencoba bersuara biasa saja. Berharap mendapat jawaban 'aku berangkat sekarang, tungguin aku ya!' , walaupun saat ini ia begitu pesimis.

"Maaf Nila ... Apa kamu belum paham tentang isi pesanku tadi? Mulai sekarang, kita gak ada hubungan apa-apa lagi. Kita putus."

Bayu terdengar sangat yakin sekali dengan keputusannya. Seketika bibir Nila bergetar dan bergerak seperti ingin mengutarakan sesuatu, tapi rasanya sulit sekali. Sebelah tangannya refleks menyentuh bibir dan air matanya pun jatuh menetes tanpa permisi. Tidak biasanya Nila selemah ini hanya karena diputuskan hubungannya oleh laki-laki yang sudah menemaninya selama ini.

"Tap-tapi ... Aku salah apa?" lirih Nila masih belum percaya. "Apa hubungan kita ada masalah? Aku salah apa Beb? Bilang sama aku!" ujarnya. Sebab baginya Bayu telah menggores hatinya sangat dalam.

"Maaf Nila, ini bukan salahmu. Hubungan kita sama sekali sangat baik selama ini. Hanya saja ... Aku yang salah."

"Kenapa? Selama ini kamu selingkuh di belakangku? Siapa perempuan yang mau jadi selingkuhan kamu? Siapa?!" Nila semakin menekan. Namun suaranya sebisa mungkin ditahan olehnya supaya ibu dan adiknya tidak sampai mendengarnya. "Jawab Bayu-"

" ......... " Telepon langsung terputus begitu saja. Emosi Nila semakin tak tertahankan. Rasanya ia ingin meluapkannya saat ini juga. Ia pun langsung beranjak dari tempat duduknya kemudian berlari menuju kamar. Rasa sakit pada tumitnya itu tidak seberapa dengan rasa sakit pada hatinya.

BRAK! Pintu kamar ditutup sangat kencang. Lativa dan ibunya yang sedang berada di dapur sangat terkejut.

"Tiv, siapa yang nutup pintu? Kencang sekali!" pekik ibunya. Dia menoleh ke arah Lativa yang berada di sampingnya.

"Sebentar Bu, Tiva lihat dulu ya." Lativa keluar dari dapur lalu pergi ke depan. Karena setahunya Nila yang tadi keluar dari kamar dan hendak pergi. Saat berada di ruang tamu, Lativa terkejut melihat sepasang heels milik Nila ada di sana. "Loh, ini bukannya punya Kak Nila ya?" gumamnya.

Lativa pun punya inisiatif untuk pergi ke kamar Nila, guna memastikan kalau kakaknya itu benar masih ada di rumah.

TOK TOK TOK. "Kak ... Kakak ada di dalam?" tanya Lativa.

Sementara di dalam kamar, Nila merebahkan tubuhnya dengan posisi tengkurap di atas kasur sambil menenggelamkan wajahnya ke bantal. Perempuan itu sedang meluapkan emosi dan kesedihannya, tapi tidak ingin didengar oleh siapapun dari luar kamar.

"Lo jahat Bay! Lo udah duain gue! Kenapa lo malah nikah sama orang lain? Padahal delapan tahun hubungan kita, gue yang berharap banget bisa nikah sama lo! Jahat banget!" omel Nila ditengah tangisannya.

Riasan pada wajahnya sudah basah dan mulai terhapus serta menempel pada sprei yang membungkus bantal. Nila tidak peduli bagaimana bentu riasan wajahnya setelah ini. Sebab yang ia rasakan hanya kecewa dan seakan tidak ada harapan hidup lagi. Selama ini, separuh waktunya hanya untuk Bayu. Nila sangat mencintai lelaki itu.

Tiba-tiba suara notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Nila mengangkat wajahnya lalu mencari keberadaan ponsel miliknya. Tak lama kemudian, ia pun menemukannya. Dengan rasa penasaran, Nila membuka pesan itu. Ternyata dari Bayu lagi, tapi lelaki itu tidak mengirimkan kata-kata lagi melainkan sebuah gambar kartu undangan pernikahan pada Nila.

"Ternyata bener, selama ini gue jagain jodoh orang!" Nila membenamkan kembali wajahnya ke bantal. Ia melanjutkan tangisanya sampai terguguk dan menghiraukan Lativa yang masih terus mengetuk pintu kamarnya.

Bab 2

Perasaan Lativa mendadak tidak enak karena sedari tadi kakaknya itu tidak kunjung membukakan pintu. Akhirnya perempuan berusia 16 tahun itu kembali ke dapur untuk membantu ibunya menyiapkan makan malam.

"Siapa Tiv? Kakakmu?" tanya sang ibu.

"Mungkin, Bu. Tiva juga ngiranya kakak. Soalnya tadi di ruang tamu ada sepatu kakak. Gak tahu baru dilepas atau gak ... baru mau dipakai sama dia." Lativa mengangkat kedua bahunya seraya duduk di kursi. "Oh iya tadi kak Nila sempat pamit gak sama Ibu kalau dia mau pergi?" tanyanya kemudian.

"Gak ada kok. Ibu aja dari sepulang dia dari kantor belum lihat lagi. Bukannya kakakmu masih di kamar?" Seingat ibunya Nila sama tidak bilang apapun. Sebab biasanya anak sulungnya itu selalu bilang dari pagi kalau mau pergi keluar rumah.

"Nah itu Bu ... Tadi tuh Tiva sempat lihat kak Nila keluar kamar. Rapi Bu! Pakai dress sama make up. Gak biasanya dia begitu. Katanya sih mau jalan sama cowoknya," kata Lativa jujur.

"Ya wajar sih, mungkin kakakmu mau ke tempat acara bareng Bayu," sahut sang ibu berpikir positif. Padahal sejak Nila berusia 25 tahun, ia sangat ingin melihat Nila menikah. Sekarang sudah 26 tahun, belum juga terwujud. Kendati demikian, ia tidak mungkin memaksakan anak sulungnya itu.

"Bisa jadi sih Bu." Lativa akhirnya diam dan tidak melanjutkan pembicaraannya lagi. Sebab tak lama berselang ayahnya pulang dari tempat kerja dan mereka pun makan malam bersama, kecuali Nila.

.

.

.

.

Selepas makan malam, sang ayah memilih beristirahat di kamar dan Lativa kembali ke kamarnya untuk belajar menghadapi ulangan semester esok hari. Sementara ibu dengan membawa nampan berisi sepiring nasi beserta lauk pauk dan air minum pergi ke kamar Nila. Sang ibu khawatir takut asam lambung Nila kumat karena tidak makan malam.

Tok Tok Tok!

"Nila, buka pintunya Nak. Ini Ibu."

Beberapa detik berlalu, belum ada jawaban dari Nila.

"Nila ... " Pintu kamar perlahan terbuka saat sang ibu hendak mengetuknya lagi.

Wajah Nila menunduk dengan rambut yang sudah berantakan. Persis seperti orang yang tengah frustasi dan depresi berat. Seakan tidak ada harapan hidup lagi.

"Kamu kenapa gak makan malam?" tanya sang ibu bersikap lemah lembut. Namun Nila hanya menggelengkan kepala. "Ini ibu bawain makanannya," kata ibunya sambil menyodorkan nampan itu ke hadapan anak bungsunya.

Wajah Nila pun terangkat, "Nila gak laper, Bu."

"Hah!" Seketika sang ibu terkejut dengan penampilannya. "Astaga Nila kamu kenapa? Ada sesuatu yang terjadi sama kamu? Bukannya Tiva bilang kalau kamu mau pergi sama Bayu?" pekik ibunya terlihat sangat khawatir.

Nila semakin berat untuk menjawab. Manik matanya pun sudah berkaca-kaca entah sejak kapan. Tatapannya pun terlihat kosong, sebab ia tidak ingin kisahnya dengan Bayu usai begitu saja tanpa ada jawaban yang pasti.

Sang ibu mengikutinya dari belakang lalu menutup pintu kamarnya. "Nila, cerita sama Ibu. Kamu kenapa?" Sang ibu menaruh nampan ke atas meja yang berada di kamar Nila.

Hati Nila semakin teriris. Ia teringat akan ucapan yang dilontarkan oleh Bayu beberapa saat yang lalu. "Bayu, Bu ... " Bibirnya bergetar. Air matanya pun menetes lagi.

"Bayu kenapa, Nak? Dia nyakitin kamu? Atau apa?" cecar ibunya semakin penasaran. Sebab ibu mana yang tidak ikut sedih saat melihat keadaan anaknya yang kacau seperti ini?

"Bayu mau nikah sama orang lain." Tangis Nila pecah kembali. Kali ini wajahnya hanya menunduk. Nila menangis sampai terguguk. Ia kesal, sedih, marah, semua menjadi satu.

"Astaga. Kamu tahu darimana? Bukannya kamu sudah lama sama Bayu? Kok bisa dia malah nikah sama orang lain?" Tangan lembut ibunya berkali-kali mengusap punggung Nila guna mendapat sebuah ketenangan.

Sementara itu, Nila hanya menggelengkan kepalanya dan terus menangis sampai terguguk. Ibunya jadi ikut sedih melihat anak sulungnya menangis terdengar begitu pilu.

"Kalau aja Bayu bilang dari awal, Nila gak bakal mau nunggu dia selama ini, Bu. Delapan tahun Nila sama dia, Nila sama sekali gak tahu kalau Bayu bisa punya perempuan idaman lain dibelakang Nila, Bu."

"Sabar ya, Nak. Mungkin dengan Tuhan memberikan ujian seperti ini, supaya kamu bisa sadar kalau Bayu itu memang bukan jodohmu. Bisa saja jodohmu itu adalah orang lain yang pastinya jauh lebih baik dari Bayu ... " Nila terdiam mendengar nasihat dari ibunya. "Memang selama ini Bayu sangat baik sama keluarga kita. Tetapi, perubahan seseorang siapa yang tahu? Bahkan dirinya sendiri pun gak tahu takdirnya setelah ini akan seperti apa ... " sambung sang ibu menghela napas panjang.

Perempuan itu membiarkan sejenak supaya Nila bisa meluapkan kesedihannya. Namun dia tidak membiarkannya terlalu lama karena takut Nila menjadi kelelahan dan jatuh sakit.

"Sudah, lebih baik kamu relakan Bayu. Selama apapun kamu bersamanya, dengan begini kamu pun gak nyesel karena belum sampai ke jenjang pernikahan sama dia," ucap sang ibu mencoba membangkitkan semangat hidup lagi untuk Nila. Meskipun dia tahu yang namanya perasaan tidak bisa dihilangkan begitu saja.

"Tapi Bu ... Nila masih penasaran perempuannya itu kayak gimana!" bantah Nila yang masih tidak terima.

"Nila, dengar Ibu! Lelaki di dunia ini tuh banyak. Bukan cuma Bayu. Kalau kamu masih bersikukuh ingin dia, ingat harga dirimu, Nak. Ibu gak pernah mengajarkanmu jadi anak yang mudah mengemis cinta sama laki-laki. Sebagai perempuan, kita tuh harus bisa balas dendam dengan cara positif."

Nila mengerutkan alisnya, merasa belum paham dengan apa yang ucapkan di akhir kalimat oleh ibunya. "Balas dendam dengan cara positif?" tanyanya dan ibunya pun menganggukkan kepala seraya tersenyum. "Caranya, Bu?"

"Tunjukkin sama dia, kalau rasa sakit hatimu itu bisa dibayar dengan kesuksesan pada karirmu."

Nila menarik napas sangat dalam. Perkataan ibunya bagai sebuah perisai yang membuat sedihnya seketika hilang.

"Tapi ... Enaknya usaha apa ya, Bu? Nila punya tabungan, tapi gak banyak." Setelah mendengar ucapan sang ibu, tiba-tiba saja Nila terbesit ingin jadi seorang wirausahawan.

"Gimana kalau kita bikin kedai? Ya ... Gak harus besar dulu. Kita mulai yang kecil-kecil aja."

"Contohnya Bu?"

"Kita bisa buat minuman sehat, seperti jus buah, sop buah, es campur tapi dalam kemasan dan keunggulannya kita buat fresh alias dadakan. Terus soal promosi dan penjualan bisa kita serahin ke Lativa, adikmu itu kan punya bakat percaya diri yang tinggi tuh. Atau kamu sendiri juga bisa promosi di kantor."

"Terus yang bikinnya siapa Bu?"

"Nanti Ibu yang buat. Kamu duduk manis aja."

"Loh Bu gak bisa gitu dong. Selama ini 'kan Nila kerja buat Ibu sama ayah. Masa sekarang Ibu harus kerja keras sih. Enggak, enggak. Nila gak setuju!"

"Tapi Nila ... "

"Gak, Bu. Lagi pula denger-denger gak lama lagi bakal ada promosi jabatan, terus yang dapat harus pindah ke perusahaan cabang. Karena kabarnya akan ada CEO baru yang akan menjabat di sana dan butuh bimbingan juga," jelas Nila tetap bersikukuh tidak ingin membuat ibunya menjadi kelelahan.

Bagi Nila, membangun sebuah bisnis dari benar-benar nol itu tidak semudah ketika sudah terlihat sukses. Pada umumnya, setiap bisnis pasti ingin menjadi besar dan memiliki nama supaya bisa melebarkan sayap kesuksesan. Nantinya pun tidak hanya memiliki pegawai satu sampai dua orang saja, melainkan bisa jadi ribuan.

Sang ibu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia juga paham kalau saat ini anak sulungnya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Rasa sangat kejam sekali jika terus mendesak Nila untuk tetap membuka usaha sesuai usulnya itu.

"Ya sudah kalau gitu, jangan lupa dimakan makan malammu ya! Ibu mau menemui ayahmu dulu, katanya dia lagi gak enak badan minta dikerikin," pamit ibunya seraya beranjak dari tempat duduk.

"Iya, Bu." Bagaimanapun Nila harus menghargai usaha ibunya yang sudah bersusah payah membuat makan malam. Akhirnya sedikit demi dikit ia memakannya walau masih terisak

Namun sesampainya di depan kamar ternyata sudah ada Lativa yang berdiri tepat di samping pintu. "Kak Nila kenapa Bu?" tanyanya.

"Biasa, masalah hati," jawab ibu sekenanya. Lativa pun tidak percaya begitu saja.

"Masalah hati ya Bu? Apa gara-gara gak jadi jalan sama cowoknya?" cecar Lativa sangat penasaran sekali.

"Tiva ... " Sang ibu menggeram sambil membulatkan kedua matanya. Hal itu tentunya membuat Lativa terdiam seribu bahasa. "Sudah jangan banyak tanya. Bukannya kamu tadi bilangnya mau belajar? Kenapa ada di sini?" tanya ibunya.

"Hehehe ... " Lativa malah tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tiva mau minta uang Bu buat beli alat tulis. Tiva gak inget kalau belum beli pulpen warna merah suruh pak guru."

"Owalah, Ibu kira kenapa. Ya sudah kamu tunggu disini ya. Ibu mau ambilkan uangnya dulu di kamar."

"Iya Bu."

Sesaat setelah ibunya pergi, Lativa sebenarnya masih penasaran dengan keadaan kakaknya saat ini. Namun baru saja hendak melangkahkan kakinya ke kamar Nila, ibunya ternyata sudah ada di belakangnya.

"Ini uangnya Tiv," kata ibu seraya memberikan selembar uang dua puluh ribuan pada Lativa.

"Makasih, Bu!" Setelah mendapat uang, Lativa langsung bergegas keluar rumah untuk pergi toko alat tulis yang tak jauh dari komplek rumahnya.

Bab 3

Nila baru saja menyelesaikan makan malamnya. Perutnya sudah terasa kenyang dengan sepiring nasi beserta lauk pauk yang tadi sempat diantarkan oleh ibunya.

Lantas pikirannya seketika kembali pada Bayu, lelaki yang telah memutuskannya sepihak tanpa ada sebuah alasan yang membuat hati Nila lega dan rela untuk melepaskan dia.

Setelah menaruh piring di dapur, Nila masuk lagi ke kamar untuk membersihkan wajah serta mengganti pakaian. Tubuhnya sudah terasa lelah, apalagi hatinya. Rasanya sudah cukup ia menangisi lelaki yang tidak sepatutnya ditangisi. Nila pun mulai mengantuk.

Namun sebelum tidur, ia meraih ponselnya terlebih dahulu yang berada di atas bantal. Saat ponsel dinyalakan, tidak ada pesan apapun lagi dari Bayu. Akhirnya Nila menarik napas dalam-dalam lalu membalas pesan lelaki itu.

"Iya, semoga kamu bahagia."

.

.

.

.

.

Di tempat yang berbeda. Bayu menatap keluar jendela kamarnya. Tatapannya itu sangat jauh bersama sebuah memori yang sudah menjadi masa lalu karena keputusannya sendiri.

Ditengah lamunannya, terdengar sebuah ketukan pintu bersamaan dengan suara notifikasi pada ponselnya. Bayu hanya melihat sekilas ke layar benda pipih persegi panjang itu lalu menoleh dan berbalik badan bersamaan dengan pintu yang terbuka.

"Bayu ... "

"Mama ... "

Perempuan berusia setengah abad itu berjalan menghampiri Bayu. "Kamu udah ngelakuin apa yang Mama suruh?"

"Udah Ma," jawab Bayu singkat dan terdengar malas. Lelaki berusia 30 tahun itu masih belum merasa lega hatinya.

"Dia bagaimana? Mau nerima?" tanya perempuan itu.

"Bayu rasa sih enggak, Ma. Bayu tahu banget Nila gimana. Dia pasti akan mencari tahu sendiri."

Perempuan itu kemudian menghela napas panjang. "Ya kalaupun suatu hari dia tahu, bilang aja kalau semua ini Mama yang mau. Toh, sampai kapanpun Mama gak pernah setuju kamu dengan dia." Tangannya menepuk bahu Bayu. "Jangan tidur terlalu larut, jaga kesehatanmu sampai hari pernikahanmu tiba." Dia pun berbalik badan lalu pergi dari kamar Bayu.

Sayangnya lelaki itu hanya bisa patuh. Satu kelemahannya yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun ketika sang ibu yang memintanya. Sebab Bayu sudah tidak punya ayah. Baginya, kebahagiaan ibunya lah satu-satunya yang harus diutamakan saat ini. Termasuk menikahi perempuan pilihan ibunya sendiri.

Setelah pintu tertutup kembali, Bayu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil melipat kedua tangannya ke atas dan dijadikan sebagai bantalan kepalanya.

"Nila, aku masih cinta sama kamu. Sangat mencintaimu. Tapi rasa cintaku sama kamu, gak bisa menghalangi permintaan mama-ku," ucap Bayu bermonolog. Namun seketika ia ingat akan notifikasi yang tadi sempat masuk ke dalam ponselnya.

Lelaki itu langsung mencari keberadaan gadget-nya dan bergegas melihat siapa yang mengirim pesan padanya.

Hatinya seakan melesat jatuh sedalam-dalamnya ke relung yang paling dalam tatkala melihat isi pesan yang dikirimkan oleh Nila.

"Apa dia benar-benar merelakanku menikah dengan perempuan lain? Setegar inikah dia?" gumam Bayu seraya menaruh ponselnya lagi ke atas meja nakas yang ada di samping tempat tidurnya.

...****************...

Keesokan harinya pukul 7 pagi, Bayu masih terlelap dengan suara dengkuran kecil yang keluar dari mulutnya. Lelaki itu tampak sangat lelah. Sebab semalaman, ia tidak bisa tidur sama sekali.

Bayu pun sampai tidak sadar ibunya masuk ke dalam kamarnya. Perempuan separuh abad itu hanya menghela napas panjang dengan tangan yang dilipat di dadanya.

"Bayu, bangun. Kamu harus fitting baju pengantin sama Winda pagi ini. Belum lagi jemput calon istrimu di rumahnya," kata ibunya sambil menggoyangkan tubuh Bayu supaya anaknya itu lekas bangun.

Bayu pun menggeliat, mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajah. "Ma, bisa gak fitting bajunya agak siangan? Bayu masih ngantuk banget ini, kepala juga rasanya pening. Tolong ya Ma bilangin Winda," ucapnya yang enggan beranjak dari tempat tidur.

"Siangnya jam berapa? Butik yang direkomendasiin temen Mama itu kalau siang ramai sekali. Takutnya kalian malah gak ketemu sama pemilik butik itu," sahut ibunya.

Bayu memejamkan matanya beberapa saat, lalu membukanya lagi. "Jam sebelas siang ya Ma. Oke? Bayu mau tidur lagi." Lelaki itu kemudian menarik selimutnya lagi sambil memejamkan mata.

"Ya udah deh kalau begitu." Sang ibu pun akhirnya menyerah dan memilih mengikuti apa kata Bayu lalu keluar dari kamar anaknya itu.

Bayu menghela napas panjang dan terlelap lagi dalam tidurnya.

.

.

.

.

Di kediaman Nila. Perempuan itu baru saja selesai menyisir rambutnya di depan cermin. Pandangannya mengarah ke sebuah ponsel yang ada di atas meja tepat di depannya. Selama delapan tahun, Nila dan Bayu selalu menjaga komunikasi mereka dengan baik, dari pagi hingga malam. Meski terkadang sama-sama sibuk, tapi ketika ada waktu senggang keduanya sering melakukan panggilan video call.

Namun kali ini berbeda. Sejak Nila membalas pesan dari Bayu, tidak ada lagi suara notifikasi pesan maupun panggilan masuk ke dalam ponselnya. Hidupnya seketika hening dan penuh kebingungan entah mau apa.

Lantas semakin lama, kedua tangannya sudah sangat gatal sekali. Nila pun mencoba menghubungi Bayu kembali.

Percobaan pertama, tidak ada jawaban. Percobaan kedua, masih tidak ada jawaban. Panggilan demi panggilan terus Nila lakukan, sebab ia ingin jawaban yang pasti dari Bayu. Sebuah jawaban atas pertanyaan kenapa lelaki itu memutuskan hubungan begitu saja. Hingga percobaan terakhir dalam deringan kedua, panggilan Nila akhirnya di jawab oleh Bayu.

"Kalau kamu mau tahu alasan aku kenapa memilih menikahi perempuan lain, tentunya hanya satu. Keinginan Mama-ku. Udah jelas bukan? Jadi aku minta jangan menghubungi aku lagi. Paham?"

Belum sempat Nila berbicara padanya, sambungan telepon pun terputus. Air matanya menetes kembali, bukan hanya sebuah tetesan, melainkan bagai anak sungai yang mengalir deras melewati pipi mulusnya. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan yang merumat kencang ponsel yang sedang digenggamnya.

"Ya Tuhan, kenapa mencintainya perlu akhir yang sesakit ini? Bisakah aku melupakan dan menghilangkan perasaanku untuknya?" kata Nila sambil menatap pantulan dirinya pada cermin lalu menangis sampai terguguk. Matanya terlihat sangat sembab, bahkan terlihat jauh lebih sipit dibanding sebelumnya.

Sampai satu jam kemudian, Nila kelelahan menangis. Ia membaringkan tubuhnya sejenak di atas tempat tidur.

"Kalau perempuan itu jauh lebih cantik dariku, aku akan mengubah total penampilanku selama ini menjadi jauh lebih modis dan berkelas. Aku bakal buktiin sama dia dan Mama-nya kalau aku perempuan yang jauh lebih baik dari perempuan itu! Lihat aja!" gumamnya merasa sangat yakin.

Nila mencari keberadaan ponselnya lagi. Setelah ketemu, ia mencari tahu klinik kecantikan yang rekomendid di kotanya. Lantas teman satu kantor dengannya pun memberi tahu salah satu klinik baru, tapi letaknya ada di dalam mall. Tanpa berpikir panjang, Nila pun segera bersiap. Ia harua berangkat saat ini juga dan menghiraukan matanya yang tampak sangat sembab sekali. Beruntung hari ini masih hari libur kerja, jadi bisa Nila manfaatkan.

Ketika keluar dari kamar dengan pakaian rapi, Lativa menghampirinya.

"Mau kemana Kak?"

"Ke klinik," jawab Nila singkat.

"Klinik apa? Mata?" tanya Lativa lagi.

"Klinik kecantikan lah Tiv." Nila memutar malas bola matanya.

Mata Lativa seketika berbinar tampak antusias. "Serius? Aku ikut ya?"

"Apaan sih, kulit kamu itu masih bagus. Perawatan pake skincare warung aja udah sama bedak bayi. Masih lima belas tahun juga, mau ikut-ikut ke klinik kecantikan!" sewot Nila yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja, dan adiknya jadi terkena kesensitifannya.

"Kakak kenapa sih? Lagi dapet deh pasti! Ibuuuuuuuuuu!" Lativa berteriak memanggil ibunya yang saat ini sedang berada di halaman rumah bersama ayahnya.

"Berisik Tivaaaa! Udah di rumah aja, jangan ikut-ikut!" perintah Nila yang langsung bergegas keluar rumah.

"Ada apa sih kalian ini pagi-pagi kok udah ribut aja?" tanya ayahnya sambil melipat koran yang sedajl tadi dibacanya.

"Ini Yah si Tiva ... Nila mau ke klinik kecantikan, mau spa sekalian. Udah lama banget gak ngurus diri. Eh anak bontot Ayah sama ibu pengen ikut segala," jawab Nila dengan nada sinisnya.

"Lagian Kakak apa salahnya sih aku ikut, 'kan aku udah gak di gendong," sahut Lativa memasang wajah sedih.

"Gak bisa! Kakak mau pergi sendiri aja." Nila hendak berpamitan pada ayahnya, namun Lativa langsung merengek layaknya anak berusia lima tahun.

"Nila, ajak aja sana. Itung-itung temenin kamu di jalan. Lagian bahaya nyetir mobil tapi pikiran kamu masih ruwet," balas ibu membuat Nila tidak bisa berkutik lagi.

Nila memutar malas bola tanya. "Ya udah deh iya Lativa ikut." Ia kemudian menoleh ke arah adiknya. "Udah sana siap-siap! Sepuluh menit belum keluar, Kakak tinggalin!" perintahnya lalu Lativa langsung memperagakan hormat layaknya sedang upacara bendera.

"Laksanakan!"

...----------------...

Sepuluh menit berlalu, Lativa keluar dari rumah dengan pakaian rapi. Nila yang sudah duduk di belakang kemudi pun membunyikan klakson supaya adiknya bisa segera masuk ke dalam. Namun dari luar, Lativa justru menjulurkan lidahnya, meledek sang kakak sambil berpamitan kepada kedua orang tua mereka.

"Udah sana, nanti ibu suruh kamu masuk ke dalam lagi nih," ancam ibunya membuat Lativa seketika menggelengkan kepala.

"Iya Bu iya."

"Jagain kakakmu ya! Jangan bikin dia kesal terus. Ibu gak mau saat kalian pulang, muka kakakmu masih dilecak kayak cucian belum disetrika," pinta sang ibu.

"Iya Ibu tenang aja, tapi emang kak Nila lagi kenapa sih Bu?" Lativa masih sangat penasaran dengan kondisi kakaknya sejak kemarin malam.

"Udah jangan. Banyak tanya, pokoknya kamu harus bikin kakakmu bahagia lagi, oke?"

Lativa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Walau sebenarnya dia masih bingung, tapi alangkah baiknya gadis itu menuruti apa yang diamanahkan sang ibu padanya.

"Siap Bu! Kami pergi dulu!"

Lativa berlari menghampiri mobil lalu segera masuk ke dalam.

"Lama banget sih!" protes Nila kemudian mulai mengemudikan mobilnya.

"Maaf Kak, hehehe."

Nila hanya berdecak dengan pandangan fokus ke depan.

"Kak boleh nanya gak?" Lativa merasa ragu bercampur takut. Apalagi raut wajah kakaknya itu masih menyeramkan.

"Nanya apaan sih? Daritadi sebelum berangkat juga kamu nanya mulu," gerutu Nila merasa kesal.

"Sabar dong Kak. Oke? Aku lagi gak mau musuhan sama Kakak kok."

"Hmm! Nanya apaan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!