"Saya—hamil?" tanya Wafa.
Setelah cinta satu malam yang tidak sengaja terjadi, Wafa pun dinyatakan mengandung.
Dokter kandungan mengangguk. "Bisa anda lihat, sudah ada kantongnya. Menurut perkiraan saya, usia kandungannya sudah berusia 6 minggu. Selamat, ya, Bun ..."
Bibir Wafa tiba-tiba seperti tak bisa digerakkan. Seketika dunianya yang sejak dulu sudah separuh runtuh, kini terasa runtuh segalanya. Wafa berjalan keluar dari puskesmas dengan ingatan ucapan dokter kandungan yang mengatakan jika dirinya sedang hamil.
'Datanglah satu bulan lagi, kita akan menunggu perkembangannya,'
'Bunda jangan sampai stres atau kelelahan, ya. Jaga kandungannya baik-baik. Dalam tahap trimester pertama ini, kandungannya masih sangat rentan,'
Tak hanya setiap kata bidan saja yang ia ingat. Namun semua yang terjadi dengan pria yang membuatnya hamil juga terus menghantuinya.
'Saya akan kembali ke Tiongkok dan mungkin tidak akan kembali lagi. Tolong, kamu jangan pernah muncul lagi dihadapan saya,'
'Pertunanganku dengan Jia Mee akan segera terlaksana. Semoga hidupmu bahagia setelah lepas dari kontrak kerja bersama saya, Wafa. Sampai jumpa,'
Pikirannya sangat kacau. Wafa tak bisa menopang semua masalah dalam hidupnya. Kesalahan satu malam itu membuat hancur dunia Wafa. Pandangan mata Wafa mulai kabur, keseimbangannya juga mulai goyah.
"Kenapa semuanya terlihat ada dua? Pusing sekali," keluhnya.
Beban berat karena dosa satu malam itu membuat tubuhnya begitu berat. Ia pun hampir pingsan, beruntung saja ustadz Lana di sana dan langsung menghampirinya.
"Wafa!" darurat, Ustadz Lana menyentuh tangan Wafa.
"Ustadz Lana? Ke-kenapa kamu masih ada disini?" dengan suaranya yang lirih, Wafa bertanya.
"Saya tidak mungkin meninggalkan kamu, Wafa. Ayo, kita masuk ke mobil, biar saya papah,"
Sangat telaten sekali Ustadz Lana membantu Wafa melangkah menuju mobilnya. Ustadz Lana sangat melindungi wanita yang ia cintai itu.
"Pelan-pelan ...."
Begitu sudah masih mobil, barulah Ustadz Lana menanyakan hasil pemeriksaannya. Melihat ketulusan di mata Ustadz Lana, membuat Wafa tak bisa berbohong pada pria yang selalu ada untuknya itu.
"Wafa, apa yang terjadi? Kamu sakit apa?" tanya ustadz Lana begitu khawatir.
Namun Wafa masih terdiam. Tapi tangannya terus gemetar dan matanya tidak fokus dalam satu pandangan. Tiba-tiba air mata dari mata beningnya itu menetes, membasahi pipinya.
"Wafa—" ustadz Lana semakin khawatir saja.
"Ustadz," sebut Wafa lirih.
"Iya?"
"Apakah ... apakah orang bisa hamil dengan melakukan satu kali hubungan badan?" Wafa bertanya dengan terbata-bata.
Pertanyaan itu membuat ustadz Lana menyeritkan alisnya. "Kenapa pertanyaannya seperti itu? Saya bukan dokter, jadi saya tidak dapat menjelaskannya," jawabnya.
"Ada apa, Wafa?" tanya ustadz Lana lagi.
Wafa tidak mampu menjelaskan, akhirnya dia memberikan laporan pemeriksaannya pada ustadz Lana.
"Saya tidak tahu ... kenapa saya bisa terbuka seperti ini kepadamu, ustadz," ucap Wafa lirih. "Tapi saya mohon, setelah ini jangan membenci saya," imbuhnya.
"Maksud kamu apa, sih? Saya tidak mengerti, Wafa," ustadz Lana tentunya menjadi bingung.
"Baca saja laporan pemeriksaan itu. Ustadz pasti tahu, dan setelah itu ... tolong beri saya saran yang baik," sahut Wafa lirih.
Setelah membaca semuanya, barulah ustadz Lana mengerti. Pria itu langsung melihat ke arah Wafa dengan tatapan tajam..
"Wa-Wafa? Bagaimana ini bisa terjadi?" tanyanya dengan amarah tertekan. Wafa merasa begitu juga jika ayahnya sampai tahu.
***
FLASHBACK
1 bulan lebih yang lalu.
Setelah menerima minuman dari Ferdian, Wafa merasa pusing yang berat. Bagian kepala belakang menjadi sulit menopang kepalanya. Ferdian—seniornya menawarkan kamar hotel untuk Wafa beristirahat.
"Kamu tenang saja. Begitu sudah sementara waktu, saya akan membangunkan kamu. Eh, saya akan mencari temanmu tadi untuk membawa pulang," ucap Ferdian dengan yakin.
"Ta-tapi ..." Wafa meragu.
"Hei, kamu tenang saja, Wafa. Istirahatlah dulu, kamu sudah pucat sekali. Ini kunci kamarnya, kamarnya ada di lantai bawah lantai ini. Kamu hanya perlu turun menggunakan lift satu lantai saja," Ferdian begitu yakin, dan Wafa sudah tidak tahan sekali dengan rasa pusingnya.
Akhirnya Wafa pun mengangguk, setuju dengan tawaran pria itu untuk istirahat di kamarnya.
"Wafa," panggil Ferdian kala Wafa sudah beberapa langkah.
Pria itu tahu sekali jika obat yang dilarutkan dalam minuman Wafa sudah bereaksi. Mengamati dari tangan Wafa yang sudah mulai gemetar, juga tubuhnya yang mulai sensitif ketika ditatap lawan jenisnya, Ferdian sangat yakin jika Wafa sudah terpengaruh dengan obat itu.
"I-iya, Kak?"
Bahkan suara Wafa juga sudah gemetar.
"Apa perlu aku antar?" Kembali Ferdian menawarkan diri.
Wafa hanya bisa menggerakkan kedua tangannya. Ia menolak. Sudut bibir Ferdian mengukir senyum liciknya. "Baiklah, hati-hati, ya ...." ucapnya dengan lembut.
Rasanya sudah berkecamuk dalam hati. Wafa semakin tak bisa menahannya lagi. Dadanya berdebar kencang, keringat dingin mulai muncul keluar dari setiap pori-porinya. Ia merasakan jika tubuhnya sudah mulai gerah.
'Astaghfirullah hal'adzim, apa yang terjadi padaku? Kenapa rasanya sangat aneh seperti ini?' batinnya.
Beruntung sekali Wafa berada di lift sendirian. Jadi tidak ada yang mengetahui jika dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Ting~
Suara lift terbuka. Wafa segera mencari kamar sesuai dengan nomor yang berada di kuncinya. Jalannya terhuyung parah. Suasana di lantai itu sangat sepi sekali karena memang kamar dilantai itu adalah kamar yang paling mahal. Jarang sekali ada orang yang menyewa kamar di lantai tersebut jika bukan seorang pengusaha atau orang yang kaya raya seperti pebisnis besar.
Klek~
"Aw," runtuh Wafa, kakinya terkilir.
Ketika hampir jatuh, kedua bahu Wafa ada yang menopang. Jelas sekali tangan yang menahan dirinya supaya tidak jatuh adalah tangan seorang pria. Wafa mulai merasakan hal aneh begitu pria itu menyentuhnya.
"Si-siapa?" tanya Wafa, suaranya bergetar.
Begitu pria itu menatapnya, pria tersebut langsung menggendongnya dan membawa Wafa masuk ke kamarnya, bukan kamar yang sebelumnya diberikan oleh Ferdian.
"Hmph!"
Tubuh Wafa digendong oleh pria itu, lalu dibawanya masuk ke kamarnya.
"Tu-tunggu!" Wafa berusaha memberontak.
"Sttt," pria itu mendiamkan Wafa dengan mengecup bibirnya.
Obat yang mempengaruhi tubuh Wafa semakin hebat reaksinya begitu Wafa bersentuhan langsung dengan pria itu. Rupanya pria itu juga mengalami hal yang sama. Diberi obat dan mulai tidak sadarkan diri dengan tindakannya.
Pria itu melempar tubuh Wafa ke ranjang. Mulai menanggalkan pakaiannya dan menjamah tubuh Wafa.
"Shhh, jangan ...." lirih Wafa.
Keduanya terpengaruh obat, jadi hanya bisa pasrah dengan keadaan karena sama-sama sudah tidak sadarkan diri dengan perilakunya.
"Sakit," rintih Wafa lirih.
Mereka melakukan kesalahan besar. Keduanya telah berhubungan badan di alam bawah sadarnya atas pengaruh obat tersebut. Begitu alarm ponsel Wafa berdering di waktu subuh, barulah Wafa terbangun.
"Astaghfirullah hal'adzim, kenapa kepalaku sangat sakit?" keluhnya.
Wanita ini terus menoleh memastikan bahwa dirinya sedang dilamarnya. Tapi semakin di tatap, ruangan tersebut bukanlah ruang kamarnya.
"Ini—hotel?"
"Jadi aku belum pulang?"
"Ya Allah, bagaimana bi—" ucapannya terhenti begitu sadar ada tangan yang merangkul pinggangnya.
'Tangan? Tangannya besar sekali? Tangan siapa ini?' gumamnya dalam hati.
Setelah melihat ke samping, barulah Wafa menyadari siapa yang ada di sisinya. Pria tanpa berbusana itu sedang tidur sambil memeluk dirinya.
"Mas Bian?"
"Jadi ayah anak ini adalah Pak Bian?" tanya ustadz Lana begitu mendengar cerita dari Wafa.
Wafa mengangguk pelan.
Kekecewaan ustadz Lana semakin nyata. Wanita yang ia cintai, ternyata pernah melakukan zina dengan pria lain sampai hamil. Namun pria itu tak dapat berkata apa-apa karena tidak mungkin baginya untuk menghakimi Wafa. Hanyalah helaan nafas kasar lah yang Wafa dengar dari mulut pria itu.
"Wafa saya ... Saya bingung harus bereaksi seperti apa. Tapi bagaimana mungkin setelah kalian tidur bersama—astaghfirullah hal'adzim," ustadz Lana mengambil nafas dalam-dalam.
"Pak Bian dan kamu malah memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi lagi?" ustadz Lana benar-benar tidak menyangka.
Wafa mengangguk.
Ustadz Lana menepuk keningnya. "Astaghfirullah hal'adzim. Lalu bagaimana kalian akan menyelesaikan masalah anak ini?" tanyanya lagi.
"Mungkin untuk 3 bulan kedepan kandungan saya belum besar. Selama itu juga saya akan berusaha mencari rumah, bersiap jika Abi mengusir saya ketika mengetahui bahwa saya hamil diluar nikah, astaghfirullah hal'adzim," jelas Wafa.
Andai saja Wafa juga mau menikah dengan ustadz Lana, kemungkinan besar ustadz Lana juga bisa menerima Wafa dalam keadaan apapun.
Hanya saja ....
"Saya bersedia yang menjadi ayah dari anak itu jika kamu mau," usul ustadz Lana.
Begitu mendengar usulan dari ustadz Lana membuat Wafa terkejut. "Menikah itu bukan main-main, ustadz. Bagaimana mungkin saya mengandung anak dari orang lain, tapi nikahnya juga dengan orang lain lagi?" sahut Wafa, sedikit ngegas.
"Kandungan kamu belum memasuki 3 bulan. Nasabnya akan jatuh kepada saya nantinya jika kita menikah secepatnya di bulan ini," lanjut ustadz Lana.
Wafa langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Allahu Akbar, teori dari mana, ustadz? Anak ini nasabnya tetap nasab saya, Bagaimana mungkin menjadi nasab ustadz?" Wafa mengelak.
"Itu jika kamu mau menikah dengan saya bulan ini juga. Kandungan kamu baru memasuki usia 1 bulan. Jika kita menikah di bulan, kemudian kita mengumumkan kehamilan ini di bulan berikutnya, tidak akan ada yang curiga jika nanti kelahirannya ada di bulan kedelapan," usul Ustadz Lana.
Wafa menggelengkan kepala.
"Dan dari situlah kita akan mulai berbohong dan terus berbohong, ustadz. Mungkin semua orang akan percaya dengan apa yang kita rencanakan saat ini,"
"Tapi ketika anak itu lahir, dan dia tidak sedarah dengan ustadz, kemudian Pak Bian hadir kembali dan dia menyadari itu ... Maka kebohongan yang akan kita simpan ini hanyalah berakhir sia-sia saja,"
"Bukankah itu sama saja? Tapi hanya menunda kebenaran tapi dengan menambah dosa akan kebohongan?"
"Lalu kamu maunya apa?" Ustadz Lana menyahutnya dengan sedikit nada membentak.
Saat itu Wafa hanya perlu waktu untuk sendiri. Usulan dari Ustadz Lana yang ingin menikahinya tetap ditolak olehnya. Apapun pamit dan meninggalkan Ustadz Lana yang masih berdiri di sana sendiri.
'Sejujurnya saya yang paling sakit ketika mendengar berita ini, Wafa. Kamu menjadikan saya sebagai yang pertama mengetahui kabar ini. Tapi saya juga orang yang pertama kecewa sekaligus sakit hati,' batin Ustadz Lana.
Saat itu Ustadz Lana menahan diri untuk tidak mendekati Wafa dan memilih untuk pulang lewat jalur yang lain.
Sisi lain, Wafa memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatnya—Inneke. Di sana dia juga menceritakan segalanya tentang kehamilan yang dia alami. Tentu saja membuat Inneke juga terkejut.
"Ha? Bagaimana ceritanya kamu hamil, Fa? Kamu kan belum nikah, anjirr!"
Wafa meminta sahabatnya untuk duduk kembali.
"Apa kamu tadi tidak menyimak ketika aku cerita?" kata Wafa, mencubit lengan Inneke.
"Aw, sakit!" rintih Inneke, mengusap lengan yang sebelumnya Wafa cubit.
"Di malam buka bersama sekaligus reuni malam itu, Ferdian—pria yang menyapa kita di lobby, telah memasukkan pembangkit nafsu ke dalam minumanku," ungkap Wafa pelan-pelan.
"Dia memberikan kunci kamarnya padaku. Bodohnya aku, menerima minuman yang dibikin untukku. Ketika aku jalan menuju ke kamar miliknya, tiba-tiba dari belakang ada yang menggendongku dan membawaku masuk ke kamar yang lain,"
"Sejak saat itu aku sudah tidak ingat apapun lagi dengan jelas. Tapi sedikit yang aku ingat, kau memang melakukan hubungan badan—astaghfirullah hal'adzim. Bahkan Aku jijik dengan diriku sendiri, Ke!"
"Ketika aku terbangun, aku mulai bisa mengingat apa yang terjadi malam itu. Disampingku sudah ada Pak Bian yang tidak mengenakkan pakaian dan hanya diselimuti menggunakan selimut hotel saja,"
"Kamu tau betapa hancur aku, Ke? Aku—"
Inneke langsung memeluk Wafa dengan erat. Wafer menangis dengan air mata yang bercucuran sampai terbata-batak ketika bicara. Masih tidak menyangka jika hal buruk seperti itu menimpa dirinya. Bahkan dia tidak tahu dosa yang dilakukan itu sifatnya bagaimana karena tidak sengaja melakukannya.
Apapun yang Wafa katakan saat itu, Inneke sama sekali tidak melepas pelukannya sampai sahabatnya benar-benar tenang.
Setelah hati Wafa jauh lebih tenang, Inneke memberikan secangkir teh hangat padanya. Dia juga bertanya tentang apa yang hendak Wafa lakukan setelahnya.
"Aku tidak tahu," jawab Wafa, menggelengkan kepala.
"Sudah berapa bulan itu tadi?" tanya Inneke lagi.
"Hitungan dokter 6 minggu. Jadi belum kelihatan sama sekali," jawab Wafa.
"Lalu bagaimana kamu akan cerita pada keluargamu? Kamu tahu sendiri kan, bagaimana ayahmu?" lanjut Inneke.
"Pertama aku akan jujur kalau aku memiliki hubungan lebih dari sekedar pekerjaan dengan Pak Bian. Kami memang tidak pernah berpacaran atau menyatakan perasaan masing-masing," ujar Wafa. "Ke, kamu tahu sendiri jika aku dan Pak Bian memiliki kontrak menjadi pasangan pura-pura,"
Inneke lanjut bertanya, "Lalu?"
"Pak Bian pergi ke kampung halamannya sampai entah kapan. Grietta juga telah dibawa oleh ibu kandungnya, maka aku akan memanfaatkan keadaan itu untuk mengungkapkan kontrak pasangan itu pada Abi," imbuh Wafa.
"Terus, apa kamu sudah memikirkan apa resikonya?" tanya Inneke, memastikan keyakinan Wafa.
Wafa ngangguk. Meski dia harus menerima hukuman seberat apapun itu, pasti akan ia lakukan supaya suatu saat nanti tidak ada yang mempertanyakan bagaimana anaknya lahir sebelum pernikahan.
Inneke mengusap punggung Wafa lembut. Sebagai sahabat hanya bisa mendukung karena sadar diri tidak memiliki hak penuh atas Wafa. Tapi diam-diam, Inneke memberikan kabar kehamilan Wafa pada asistennya Bian, yakni Zaka Yang.
Malam harinya Wafa akan memberitahukan kebenaran kontrak kerja pasangan pura-pura pada keluarganya. Wafa juga sudah mengirimkan pesan pada Sari dan sepupu sepupunya untuk hadir malam nanti.
Pesan itu terkirim langsung ke ponsel pribadi Zaka Yang yang juga ikut pulang ke kampung halamannya bersama dengan Bian.
Lalu, bagaimana tanggapan pria itu?
Malam hari.
Semua orang berkumpul di rumah pak kyai, termasuk Sari dan ustadz Zamil. Semuanya bertanya-tanya mengapa Wafa mendadak mengumpulkan keluarganya.
"Ada apa dengannya? Kenapa kita disuruh berkumpul?" tanya Raihan lirih. "Paman Kyai, apa ada perubahan keputusan lagi tentang pernikahan Wafa dengan ustadz Lana?" lanjutnya.
Pak kyai menggelengkan kepala.
"Hmm, lantas ada apa?" gumam Raihan.
Zira pun juga menggelengkan kepalanya perlahan. Sejak kejadian Grietta diambil paksa oleh ibu kandungnya, Wafa terus menyendiri dan jarang sekali menghabiskan waktu bersamanya lagi.
"Sejak reuni sih lebih tepatnya. Sejak pulang dari reuni sekaligus buka bersama waktu itu, Wafa sudah tak seceria sebelumnya. Entah apa yang terjadi dengannya," ungkap Zira.
Sari dan ustadz Zamil apalagi? Mereka tidak tinggal satu atap, membuat mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Wafa. Meski Sari sering bolak-balik ke pesantren, namun apa yang dikatakan Zira ada benarnya juga. Setelah pulang dari reuni itu, Wafa berubah.
"Dia juga sering menyibukkan diri dan menjauhi kegiatan di pesantren ini. Ketika aku bertanya pada Mbak Nur juga, Wafa juga jarang sekali menghabiskan waktu di yayasan," jelas Sari.
"Di kampus pun kata temannya juga dia tidak begitu aktif seperti dulu," sambung Raihan. (Temannya adalah sepasang kekasih yang lucu itu, Kristian dan pacarnya)
Dian juga mengungkapkan jika sudah lama Pak Bian tidak berkunjung ke pesantren. Biasanya hanya sekedar menitipkan Grietta, atau mengantar Wafa pulang dari kegiatannya di luar pesantren.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam Wafa dari dalam kamarnya.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,"
Wafa datang dengan membawa map putih transparan di tangannya. Matanya tidak bisa berbohong, dia menangis sejak sore di rumah Inneke karena ujian yang telah menimpanya.
"Wafa, kamu—" lirih Raihan.
Wafa duduk perlahan tanpa menatap keluarganya. Wanita ini tentu saja malu dengan kenyataan yang ia miliki. Namun sudah menjadi keputusannya untuk jujur pada keluarganya.
"Malam ini akan ada suatu hal yang sangat penting yang ingin aku katakan pada kalian semua," ucap Wafa.
"Sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengganggu waktu kalian. Tapi ini benar-benar sangat penting yang harus kalian ketahui," lanjutnya.
"Wafa, katakan saja seperti biasa. Kenapa harus ada intronya, sih!" sahut Zira.
Semua mata menatap Zira, sungguh kurang sopan memang perilaku Zira.
Perlahan, Wafa mengeluarkan satu persatu bukti yang akan dijelaskan pada keluarganya. Pertama dia akan mengungkap Bagaimana hubungannya dengan Bian beberapa bulan yang lalu, sebelum kejadian cinta satu malam waktu itu.
"Ini adalah kontrak kerja antara aku dengan Pak Bian," tunjuk Wafa.
"Sebenarnya kontrak kerja ini sudah disobek oleh Pak Bian sendiri sebelum aku fotokopi. Jadi hasil fotokopinya buruk karena bekas tambalan," lanjutnya.
Wafa menghela nafas panjang, kemudian membagikan kontrak kerjanya tersebut dengan seluruh keluarganya. Sebelumnya Wafa juga mengatakan jika kontrak kerjanya telah selesai karena Grietta diambil oleh ibu kandungnya.
"Pertama ... kalian bisa baca sendiri tentang isi yang tertulis dalam kontrak tersebut," pinta Wafa.
Semuanya patuh pada yang dikatakannya. Hingga membuat Sari, Pak Kyai, ustadz Zamil dan juga Raihan yang belum mengetahuinya menjadi terkejut.
"Apa ini?" ketus pak kyai.
"Kamu menjalin hubungan dengan Pak Bian, lebih dari seorang mitra kerja sama?" sahut Raihan. "Kalian pacaran?" sambungnya dengan nada meninggi.
Dalam kotak tersebut memang Bian tidak menuliskan bahwa hubungan mereka hanyalah pura-pura saja. Akan tetapi, Bian menuliskan bahwa mereka akan menjadi pasangan selama 1 tahun sesuai kontrak kerja.
"Kamu pacaran, Wafa?" hati Sari mulai terluka.
Semua mata melihat ke arah Wafa. Pandangan itu seakan menusuk tajam tubuh kecil Wafa. Sementara Zira dan Dian, hanya bisa diam karena dia sudah mengetahui isi kontrak tersebut. Keduanya tak sengaja membaca ketika kontrak itu berada di atas meja kamarnya Wafa. Kemudian Wafa juga menjelaskannya dengan sangat jelas.
"Iya, Mbak," jawab Wafa, terpaksa. "Aku berpacaran dengan Pak Bian,"
"Astaghfirullah hal'adzim," sebutan itu keluar dari seluruh keluarga.
"Wafa, kamu tahu betul ... Bagaimana hukumnya pacaran dalam agama kita, bukan?" Sari semakin marah.
"Iya," jawab Wafa singkat.
"Jika kamu sudah tahu hukumnya, kenapa kamu melakukannya, Wafa?" Amarah Sari tak tertahankan.
Tak ada jawaban dari mulut Wafa. Ia sudah tahu konsekuensinya ketika hendak jujur pada keluarganya. Jadi, emosinya pun sudah ia kontrol supaya tidak salah dalam menjelaskan.
"Tolong kalian simpan amarah kalian untuk saat ini. Sebab, setelah ini kalian pasti akan jauh lebih marah padaku," imbuh Wafa dengan santai.
"Maksudnya?" tanya Zira dan Dian bersamaan.
Wafa mengeluarkan hasil usg yang ia ambil sore tadi. Bahkan bukan hanya hasil usg-nya saja yang Wafa tunjukkan. Hasil tes saja juga ia keluarkan untuk ditunjukkan pada semua keluarganya.
"Tespek?" Sari yang beberapa bulan lalu menggunakan alat itu, tentu saja masih mengenali bentuknya.
"Milik siapa itu, Wafa?" tanya Raihan.
"Abi, sebelumnya aku minta maaf karena selamat 20 tahun ini, aku tidak bisa benar-benar menjadi putri dari seorang Kyai yang baik seperti Mbak Sari," Wafa menatap mata pak kyai.
Wafa juga meminta maaf karena selama hidupnya, dia sudah sering kali mengecewakan keluarganya. Saat itu Wafa juga mengatakan Jika dia tidak bisa menikah dengan ustadz Lana meskipun ustadz lama mau menikahinya.
"Aku tidak tahu kenapa Pak Bian tiba-tiba memutuskan kontrak bersamaku. Padahal hanya sisa beberapa bulan lagi kotak itu habis, dia bahkan pergi tanpa penjelasan apapun," air mata Wafa menetes.
"Ini semua milikku. Aku sedang mengandung 6 minggu," ungkap Wafa sambil menunjuk hasil usg-nya.
Meski belum tahu hasil dari kejujurannya ini baik atau buruk, tapi hati Wafa sudah sedikit lega karena bisa jujur kepada keluarganya.
"WAFA!"
Sari berteriak memanggil nama adiknya, semua juga hanya bisa terdiam, syok karena kejujuran Wafa. Selain itu, pak kyai juga masih syok dan terlihat sekali sedang mengontrol emosinya. Sayangnya, pria berusia lebih dari 50 tahun itu tak kuasa menahan amarahnya lagi.
"Lancang!" sentaknya.
"Anak durhaka! Tidak tahu diri!" umpatnya.
"Kamu sudah pacaran dan hamil di luar nikah dengan pria kafir? Kamu telah melukai hati Abi, Wafa ..." air mata pak kyai mengalir begitu saja.
"Abi membesarkan kamu dengan kasih sayang. Tapi kamu melukai hati Abi dengan berbuat zina seperti ini. Itu sama saja kamu telah melempar kotoran hewan ke wajah Abimu sendiri!"
Sungguh tak bisa digambarkan lagi bagaimana marahnya pak kyai. Memang salah yang dilakukan oleh Wafa meskipun itu dalam ketidak sengajaan. Tapi wafat tidak benar-benar mengungkapkan bagaimana kejadian malam itu telah merenggut kegadisannya.
Di sini Wafa masih menghormati nama baik Bian. Seburuk apapun masalah hamil diluar nikah tersebut, anak yang ada dalam kandungannya tetaplah anaknya Bian.
'Mas Bian, maafkan aku karena aku sudah berbohong bahwa kita melakukan kontrak pacaran ini. Jika tidak, maka aku tidak bisa menjelaskan bagaimana aku bisa hamil.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!