NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Perjodohan

Rencana Perceraian

Disaat hampir semua orang selalu melewati proses perceraian dengan keadaan tidak bersahabat, Temy dan Rani justru terlihat sangat baik-baik saja mendatangi seorang pengacara untuk membahas rencana perceraian mereka.

“Jadi itu tujuan kalian menemuiku?” tanya seorang pria bernama Rafael, tepat setelah tamunya itu menjelaskan niatnya. Kedua matanya menatap bergantian ke arah dua pasangan di hadapannya.

Temy mengangguk dengan mantap. “Ya, aku ingin kau mengurus ini semua secepatnya,” ujarnya dengan wajah serius. Rafael terkekeh pelan.

“Aku tanya sekali lagi, apakah kau benar-benar yakin dengan ini semua?” Rafael kembali bertanya, memastikan. Tak kunjung menjawab pertanyaannya, Temy mengembuskan napas kasar.

“Maybe, jika kau mendengarkan dan memperhatikanku dengan cermat sedari awal aku datang ke sini, kau akan paham apakah aku serius atau cuma bercanda,” jelas Temy singkat. Rafael mengangguk paham. Ya, Temy benar-benar serius untuk bercerai dengan istrinya.

“Bukankah sudah dua tahun lamanya kalian bersama? Apakah selama itu, cinta juga tak kunjung tumbuh dari masing-masing hati kalian? Ayolah ....” Rafael memasang ekspresi kecewa. “Kau masih sepupuku, Temy, maka dari itu aku sangat prihatin melihatmu seperti ini. Apa hatimu itu sudah mati? Bagaimana perasaan istrimu kalau kau memutuskan untuk berpisah dengannya.” Rafael berbicara panjang lebar. Namun, tak ada satu kata pun yang masuk di telinga Temy.

Temy tampak tak tertarik dengan kalimat itu. “Kau sendiri tahu, ‘kan, bahwa cinta itu tak bisa dipaksakan. Aku berhak memutuskan nasib dari hubungan yang aku buat dengan wanita lain. Jika saja perjodohan ini tak pernah terjadi, aku bahkan tak mau mengenal wanita yang kini menjadi istriku.” Temy menatap Rafael dengan sorot mata malas. Sementara Rani yang duduk di sampingnya menahan rasa sakit hatinya, mendengar kalimat yang baru saja suaminya lontarkan.

“Come on, semua yang akan kulakukan itu tak sedikit pun membuat kau rugi, ‘kan? Kau tinggal membantuku untuk mengurus semua ini. Setelah ini semua usai, urusanku denganmu selesai, kau tak perlu khawatir masalah biaya, aku pasti akan melakukan bagianku. Apakah kau masih ingin mempersulit masalah sesimpel ini?”

Rafael bungkam, tak bisa lagi memberikan nasihat kepada Temy. Pria itu benar-benar serius dengan keputusannya. Apa boleh buat, Rafael tak bisa berbuat banyak. Keputusan Temy tak bisa digugat. “Baiklah.” Rafael mengembuskan napas. “Jika keputusanmu sudah matang, aku tak bisa membantah. Oh, ya, bagaimana dengan pendapatmu, Ran?” Rani terperangah, belum siap menanggapi pertanyaan Rafael secara mendadak.

“Oh, ya ....” Merasa gugup, Rani berusaha menenangkan diri. Melihat keputusan dari Temy, tampaknya pria itu sama sekali ingin berpisah dengannya. Walaupun ragu, Rani berusaha memantapkan tekadnya untuk mengucapkan pendapatnya sendiri. “Aku ... aku setuju.” Rafael mengangguk, tak ada alasan lagi baginya untuk menghalangi mereka berdua untuk berpisah.

“Baiklah, aku akan mengurus masalah ini secepatnya. Jika sudah beres, aku akan mengabari kalian untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.”

***

Seusai membahas rencana perceraian dengan Rafael yang merupakan seorang pengacara, Temy dan Rani pun pada akhirnya pulang ke rumah. Temy merasa lega, sebentar lagi ia akan berpisah dengan seorang wanita yang sama sekali tak dicintainya. Sementara itu, Rani merasa bingung, entah bagaimana caranya ia mendeskripsikan perasaannya saat ini. Rani benar-benar tak tahu harus berbuat apa.

“Apa yang kau lakukan?” Tampaknya perhatian Temy tak luput dari Rani yang sibuk memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas. “Apa kau mau pergi dari sini?” tanya Teny kemudian, tak menyangka jika Rani memutuskan untuk pergi dari rumah secepat itu.

Namun, ternyata apa yang ia perkirakan salah. “Sementara ini aku izin tinggal di sini dulu. Sampai perceraian kita berhasil diproses, kita harus menjaga jarak, Temy. Aku akan pindah ke kamar tamu untuk istirahat, sementara kamu tetap di sini,” ujar Rani.

Temy mengangguk paham. Walau begitu, hati kecilnya tetap menolak keputusan Rani. Namun, Temy segera menyingkirkan semua pikirannya itu. “Baiklah, aku setuju,” balasnya. 

Dibantu olehnya, memindahkan barang-barang Rani yang ada di kamar lantai atas, menuju ke ruang tamu di lantai bawah tak membutuhkan waktu lama. Setelah semua kegiatannya selesai, Rani segera merebahkan diri di ranjang kamar barunya. Entah kenapa, semakin Rani melamun, semakin ia ingat dengan keraguan atas keputusan yang dibuatnya ini. 

Namun, semua itu pupus dalam sekejap. Rani sangat yakin, keputusannya untuk berpisah kamar dengan Temy sudah tepat. Rani tak mau lama-lama bersanding dengan pria itu. Walau tak urung, benih-benih cinta telah lama tumbuh di hari Rani. Apa boleh buat, ia harus menerima takdir ini, meski berat rasanya.

Mulai Menjaga Jarak

Malam ini tak seperti malam-malam pada beberapa hari yang lalu. Setelah dua tahun lamanya Rani selalu tidur dengan seorang pria, kini ia tidur sendiri di kamarnya yang baru. Sedari tadi, Rani tak bisa memejamkan mata. Kejadian pada hari ini seolah tak bisa luput dari pikirannya. Bayang-bayang tentang Temy yang meminta agar berpisah darinya terus terngiang-ngiang di otak Rani.

Entah kenapa, hati Rani seakan menolak perpisahan yang akan terjadi, meski akan sangat pahit baginya jika saja menjalani hari-hari dengan seorang pria yang tak mencintainya. Dilema, itulah perasaan yang Rani rasakan. Ia bingung harus mempertahankan yang mana, rumah tangganya atau hatinya.

Apa kekurangan yang ada di dalam hatiku hingga membuat Temy enggan bersamaku?

Pertanyaan itu selalu berputar di otak Rani. Ia tak berhenti mengintrospeksi diri, mencari-cari kesalahan di dalam dirinya. Rani bangkit dari posisi baringnya, berjalan menuju ke jendela. Dibukanya gorden yang menutupi kaca itu, hingga terpampanglah pemandangan malam hari yang sangat indah. 

Rani duduk di kursi dekat jendela, mengamati semua hal yang ada di balik kaca. Malam ini, Rani menghabiskan waktu untuk merenung, mengingat setiap momen-momen yang ia lalui bersama Temy untuk dua tahun ini. Kini, Rani segera sadar bahwa sebentar lagi semua momen itu tak bisa dirasakannya lagi. Tak bisa menahan perasaan sedih ini, setetes air mata mengalir dari kedua pelopak matanya. Rani menangis sunyi, merasakan kesepian di dalam hatinya. Tak lama lagi, kesendirian ini akan senantiasa dirasakan olehnya.

***

Temy membuka kembali matanya, mengacak-acak rambut sembari mengerang pelan. Sama seperti istrinya, pria itu tak kunjung pergi ke alam mimpi, tetap tertahan di kasurnya sembari membolak-balikkan badan. Selama satu jam telah Temy habiskan hanya untuk berusaha tidur. Namun, semua usaha yang dilakukannya tak pernah berhasil.

Temy bangkit dan duduk di ranjang, memusatkan perhatiannya ke arah bagian kosong yang ada di samping kasurnya. Sebuah senyuman terukir di bibir Temy, mengingat seorang wanita yang selalu tidur di sebelahnya itu. Yang tersisa sekarang hanyalah sebuah bantal kosong yang tak berpenghuni, membuat Temy merasakan sesuatu yang berbeda malam ini, seperti ada yang kurang.

“Tidak, tidak, tidak!” Temy menggelengkan kepala beberapa kali, menepis semua pikirannya itu. Mau bagaimana pun, Temy sudah sangat yakin dengan keputusannya. Temy tak boleh menyesal atas itu semua. Sedari awal, ia memang tak pernah mencintai Rina, apalagi berpikiran untuk menikahinya. Semua ini adalah tuntutan orang tua, membuat Temy terpaksa harus menjalani hubungan hambar ini.

Temy kembali membaringkan tubuhnya, menutupi kepalanya menggunakan bantal, mencoba meredam semua ingatan-ingatan yang ada di dalam kepalanya. Selang setengah jam kemudian, kesadarannya kian memudar. Akhirnya, Temy berhasil pergi ke dunia mimpi.

***

Perlahan, pria itu membuka kedua matanya, menyadari jika sinar matahari telah merambat melalui ventilasi kamar, mengenai wajahnya. Temy bangkit dari baringnya, menatap ke arah sebelahnya dengan tatapan bingung. “Rani?” Tak kunjung menemukan sang istri di sebelahnya, Temy menjadi penasaran.

“Argh ...!” Buru-buru ingatannya kembali. Temy sadar, Rani sudah berpisah ranjang dengannya. Tentu saja, setelah dua tahun Temy menikah, ini adalah pertama kalinya ia tidur sendirian di kamar, tanpa ditemani oleh Rani. Hal itu membuat Temy masih merasakan kehadiran Rani, meski raganya tak bisa dilihat secara nyata.

Tak mau memikirkannya lama-lama, Temy segera bersiap keluar untuk bekerja. Pagi ini, Rani tak melayaninya seperti sebelumnya. Biasanya, gadis itu selalu membangunkan Temy. Namun, kali ini Temy melihat jika gadis itu bahkan tak memasuki kamarnya. 

“Mau sarapan dulu?” Sesampainya di dapur, Temy langsung mendapatkan tawaran Rani untuk sarapan bersama. Awalnya, pria itu ingin menolak. Namun, entah kenapa rasa lapar yang ada di perutnya menuntun Temy untuk menerima ajakan itu. 

Mereka berdua pun sarapan bersama, dihiasi suasana hening yang mengelilingi. Tak mau merasa begitu canggung, Temy segera mencari sebuah topik untuk pagi ini. Pria itu tak sengaja melihat Rani yang berpakaian rapi. “Mau ke mana kamu, Ran?” tanyanya.

“Mau cari kerja. Sebentar lagi, aku akan hidup sendiri. Jadi, untuk mencukupi kebutuhan hidupku, aku harus mencari kerja,” jelas Rani singkat. Entah kenapa, semua kalimatnya itu membuat tenggorokan Temy tercekat. Sontak nafsu makannya pun menjadi hilang. Temy tak lagi melanjutkan makannya. Pria itu segera berpamitan untuk bekerja. Kemudian, berjalan meninggalkan Rani sendirian di ruang makan. 

Memberitahu Ira

Rafael duduk di hadapan wanita paruh baya itu. Ira Wahyuni, ibu dari Temy, sepupu Rafael yang beberapa hari yang lalu mengunjunginya. Sebenarnya, Ira tak tinggal di panti asuhan, wanita itu memiliki rumah sendiri dan tinggal bersama suaminya. Namun, Beny Himawan, almarhum suaminya itu telah meninggal beberapa bulan setelah Temy menikah dengan Rina.

Karena tak sanggup tinggal di rumah dengan semua kenangan yang pernah ia jalani bersama dengan sang suami, akhirnya Ira memutuskan untuk pindah ke panti asuhan agar semua kenangan itu tak diingatnya. Tentu saja, semua keputusan yang ia lakukan sudah sangat tepat.

Rafael, tampak gelisah berada di hadapan Ira. Setahu Rafael, Ira adalah orang yang sudah menjodohkan Rani dan Temy. Tentunya hati wanita itu akan sangat hancur mengetahui perceraian anaknya yang akan segera terjadi.

“Apa yang ingin kamu sampaikan, Rafael?” Rafael tampak ragu, seluruh pori-porinya mengeluarkan keringat. Rafael belum siap untuk mengatakan berita buruk ini. Namun, ia merasa bahwa ia harus memberitahu Ira meski berat.

“Jadi begini, Bu ....” Setelah mengumpulkan tekad yang mantap, Rafael segera menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara Rani dan Temy. Setiap kalimat yang diucapkan oleh pria itu, membuat hati Ira seolah teriris satu per satu, membuatnya menjadi potongan berkeping-keping.

Tak tahan dengan berita menyedihkan itu, air mata Ira keluar dari tempatnya, membuat Rafael merasa panik. “Aku kira mereka berdua merupakan pasangan yang cocok. Mereka akan selalu menyayangi satu sama lain, tapi ternyata itu semua hanya perasaanku saja ....” Isak tangis mulai terdengar. Rafael bingung, ia tak tahu harus berbuat apa.

“Maafkan Rafael, Bu, Rafael sempat menasihati Temy untuk berpikir kembali mengenai keputusannya. Namun, sepertinya Temy sudah sangat yakin dengan hal itu, Rafael tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, mohon, maafkan Rafael.”

Ira mengelus-elus pundak Rafael. “Tidak apa-apa, ini semua bukan kesalahanmu, Rafael. Ini adalah salah Ibu karena sudah memaksa Temy untuk menikahi wanita yang tak dicintainya. Ibu ... Ibu sangat menyesal. Ibu yakin, Rani pasti akan merasa sangat sedih mendengar keputusan dari suaminya.” Ira berusaha menenangkan Rafael bahwa ini semua bukanlah kesalahannya. Tetap saja, semua itu tak kunjung menyembuhkan rasa bersalah di hati Rafael.

Sebuah ide muncul di benak Ira, membuat sebuah harapan untuk mempersatukan dua insan itu lagi. “Rafael, Ibu minta tolong sesuatu kepadamu ....” Ira menggantung kalimatnya, memberikan kesempatan untuk Rafael mencerna setiap kata yang dilontarkan.

“To–tolong bagaimana, Bu?” tanya Rafael. Ibu Ira mengangguk, lalu melanjutkan kalimatnya.

“Iya, saya minta tolong sama kamu untuk memperlambat proses perceraian mereka. Saya harap, mereka bisa mengerti perasaan satu sama lain. Saya tahu, mereka cuma butuh waktu untuk memahami itu semua.” Kini, Rafael tahu apa yang dimaksud dengan Ira.

Rafael mengangguk. “Baik, Bu, akan saya usahakan.”

***

Pria itu terpaksa harus mengangkat telepon di tengah-tengah kegiatan bekerjanya. “Halo?” Temy berkata dengan nada tanya.

“Halo, Temy, apa aku mengganggu waktumu?” Sebelum menjelaskan apa yang ingin disampaikan, Rafael lebih dulu bertanya tentang kondisi Temy. 

“Sebenarnya masih, tapi jangan khawatir, jika ini penting, aku bisa meluangkan waktu sejenak,” jawab Temy.

Rafael mengangguk. “Jadi begini, untuk masalah proses perceraian masih saya urus, tapi ....” Rafael menggantung kalimatnya sejenak. “Sepertinya ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Yah, aku sudah banyak mengurus masalah perceraian, dan hal seperti ini memang wajar,” ujar Rafael. Temy mencerna setiap kalimat dengan saksama.

“Baiklah, tidak apa-apa, saya bisa menunggu, yang terpenting semuanya berjalan dengan lancar dan berhasil, itu saja.” Rafael tak menjawab. “Ya sudah, jika itu saja yang ingin kau sampaikan, aku pamit terlebih dahulu. Hubungi aku lagi jika ada kepentingan lain.” Telepon dimatikan, Rafael tak habis pikir dengan sepupunya itu yang terlalu cepat yakin dengan keputusan besar yang akan dibuatnya.

***

“Halo?” Rani mengangkat telepon dengan bingung. Saat ini, ia sedang berada di tempat seleksi karyawan di suatu perusahaan.

“Halo, Rani, apa kamu sibuk?”

“Sepertinya akan sibuk, kau bisa menyampaikan sesuatu kepadaku secepatnya.” Mendengar jawaban Rani, membuat Rafael bergegas.

“Baiklah.” Temy mulai menjelaskan hal yang sama seperti yang ia katakan kepada Rafael. Rani mengangguk paham ketika Rafael menyelesaikan kalimatnya. Kemudian, gadis itu berkata sebagai kalimat perpisahan sebelum memutuskan telepon.

“Oke, terima kasih sudah menyampaikan berita itu.”

“Sama-sama.”

Telepon pun dimatikan, Rani segera menyenderkan pundaknya ke arah kursi. Kemudian, menutupi wajahnya dengan berkas-berkas yang ia bawa. Teringat kembali dengan semua kenangan yang pernah ia lalui sebagai pendamping hidup Temy, membuat Rani tak tega melepasnya begitu saja. Perlahan, air mata menetes dari kedua mata Rani. Wanita itu menangis di tengah-tengah keramaian, tak tahan dengan kekecewaan yang dirasakannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!