Assalamu'alaikum, Bestie 🤗 Ketemu lagi dengan salah satu keluarga Alamsyah 🥰
Bosan gak?
Kalau kalian syuka, jangan lupa subscribe, kasih ulasan bintang lima, dan tinggalkan jejak jempol, ya ... serta hadiah yang banyak 😅🙏😘
🌹🌹🌹🌹🌹
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, ketika seorang gadis berhijab mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang untuk pulang ke rumah, setelah menjenguk temannya yang sakit.
Biasanya, gadis berkulit putih bersih tersebut selalu pergi bersama saudari kembarnya, Maida. Akan tetapi karena sesuatu hal, saudari perempuan yang lahirnya hanya selisih menit saja dengan dirinya itu sedang ada keperluan lain, terpaksa Maira pergi seorang diri tanpa pengawalan.
Maira menolak, ketika sore tadi sopir keluarga menawarkan untuk mengantarkan dirinya ke rumah teman.
"Tumben, baru jam segini kok sepi," gumam Maira yang tiba-tiba merasa tidak nyaman.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke arah kanan dan kiri jalan yang menuju komplek perumahan elit di mana dia tinggal dan sepanjang jalan tersebut, terlihat lengang. Hanya ada satu dua mobil saja yang lewat dan berpapasan dengan mobilnya.
Maira menambah sedikit laju mobilnya, agar dia bisa segera sampai ke rumah yang jaraknya tidak lebih dari lima ratus meter dari tempatnya saat ini berada.
Baru saja beberapa meter mobilnya melaju, tiba-tiba mobil mewah Maira diseruduk oleh mobil lain dari arah belakang hingga menimbulkan suara dentuman yang cukup keras.
Mobil mewah Maira sempat oleng, tetapi beruntung gadis yang memiliki bulu mata lentik menghiasi mata indahnya itu sigap dan berhasil menguasai keadaan. Dia kemudian memelankan laju mobilnya.
Gadis berhijab pasmina dengan motif bunga-bunga kecil tersebut segera menghentikan laju mobil, bertepatan dengan mobil yang barusan menabrak, menyalip dan kemudian menghadang jalannya.
Maira terdiam, menunggu apa yang akan terjadi sambil tangannya bersiaga memegang ponsel dan siap menghubungi sang daddy jika sesuatu hal buruk terjadi.
Gadis berhidung mancung tersebut melihat seorang pemuda turun dari mobil sport yang melintang di depan mobilnya dan melangkah ke arah pintu di sisi kiri, pemuda itu kemudian mengetuk pintu mobil Maira dengan kasar.
Maira membuka sedikit kaca jendela mobil dan melihat pemuda tersebut yang terlihat sangat marah, menatap dirinya.
"Turun!" titahnya, tidak sabar.
Maira tanpa ragu sedikitpun kemudian turun dari mobil.
"Kamu bisa mengendarai mobil enggak, sih?" cecar pemuda tersebut seraya menuding ke arah wajah Maira dengan tatapan penuh amarah karena jalannya untuk menuju tempat balap liar jadi terhambat, akibat mobilnya menabrak mobil gadis di hadapannya.
"Maaf ya, Mas. Masnya yang salah, tetapi kenapa Mas yang nyolot?" Maira menatap sang pemuda, tanpa rasa takut.
"Jangan senang melempar batu sembunyi tangan deh, Mas, seperti orang-orang yang berdasi dan duduk manis di senayan sana. Melakukan kesalahan tapi melemparkan kesalahan tersebut pada orang lain," sindirnya, jengkel.
"Saya sudah jalan di sisi kiri, Mas, dan di sisi kanan juga masih luas, kan? Kenapa bisa-bisanya Mas menabrak mobil saya?" lanjut Maira, dengan melembutkan suara.
Gadis cantik itu tak habis pikir, dengan apa yang dilakukan oleh pemuda di hadapannya. Dia yang melakukan kesalahan, tapi malah menuduh orang lain yang bersalah. Persis seperti sebagian besar pejabat dan para wakil rakyat di negeri antah berantah.
Pemuda itu terdiam dan tatapannya tak lagi tajam.
"Atau jangan-jangan, Mas yang enggak bisa nyetir mobil?" tuduh Maira kemudian seraya tersenyum, mencibir.
"Apa kamu bilang? Hahaha ...." Pemuda tersebut tertawa sinis.
"Kalau aku enggak bisa nyetir, enggak mungkinlah aku selalu menang di setiap event balapan mobil atau motor!" lanjutnya, bangga.
"Oh, ya?" Maira memiringkan wajah seraya menatap sang pemuda, dengan tatapan remeh.
"Paling balapannya sama pembalap-pembalap kacangan, makanya Mas yang menang," lanjut Maira masih meremehkan pemuda di hadapannya.
Pemuda tersebut mengepalkan tangan, terpancing kembali amarahnya karena Maira meremehkan kemampuannya menaklukkan jalanan beraspal.
"Hai, gadis kecil! Kalau kamu ingin bukti, ayo ikut denganku dan kamu lihat sendiri bagaimana aku beraksi menaklukkan semua lawan-lawanku di jalan raya!" ajaknya.
"Maaf, Mas. Ini sudah sangat malam, saya harus segera pulang. Lagipula, saya tidak butuh bukti apapun karena bagi saya, apa yang Mas lakukan tidaklah penting!" tolak Maira, tegas.
'Siapa dia berani menolakku!' geram pemuda tersebut dalam hati. 'Diluar sana, banyak gadis berebut ingin kuajak ke tempat balapan agar bisa mendampingiku. Mendampingi sang raja jalanan, tapi dia malah menolakku!'
Kata-kata Maira barusan, membuat sang pemuda semakin geram karena dirinya yang seorang primadona di genk-nya, dianggap tidak penting oleh gadis belia di hadapannya.
"Hahaha ... iya, benar. Ini sudah larut malam dan bagi gadis kecil seperti kamu, harusnya sudah berada di atas kasur yang empuk sambil minum susu sebelum bobok dan mendengarkan dongeng pengantar tidur," ejek sang pemuda seraya tergelak, meluapkan kejengkelannya pada Maira.
Ucapan pemuda yang masih tergelak di hadapan, membuat wajah Maira memerah menahan malu sekaligus amarah karena diledek disamakan dengan bocah.
"Saya bukan gadis kecil, ya, Mas! Saya sudah delapan belas tahun dan sudah lulus sekolah!" sangkal Maira, tidak terima dikatakan gadis kecil yang masih harus nyusu sebelum tidur.
Gadis berhijab tersebut nampak masih ingin melancarkan protes, ketika sebuah mobil berhenti tepat di samping mobil Maira dan seorang wanita berusia sekitar tujuh puluh tahun kemudian turun dari mobil mewah yang sama jenisnya dengan mobil milik Maira.
"Oma?"
🌹🌹🌹 bersambung 🌹🌹🌹
"Yudhis, apa yang kamu lakukan pada gadis itu? Kenapa kamu menghalangi jalannya?" cecar wanita tua yang dipanggil oma oleh sang pemuda, seraya menatap pemuda di hadapan ketika beliau baru saja turun dari mobil jenis sedan.
"Oma, Yudhis tidak melakukan apapun, Oma. Yudhis hanya mengajak dia untuk membicarakan masalah kerusakan mobilnya akibat Yudhis tabrak barusan," balas pemuda yang bernama Yudhistira, seraya menatap sang oma.
Sang oma mengerutkan dahi dengan dalam. "Kamu, menabrak mobilnya? "Kenapa bisa?" tanyanya, tak percaya.
Wanita tua itu tahu betul, sang cucu sangat lihai mengemudikan mobil.
"Dia jalannya sembarangan, Oma. Zig-zag ke kanan, ke kiri. Kayak tidak jelas, gitu," balas pemuda yang penampilannya urakan tersebut, seraya mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
Wanita tua itu kemudian mendekati Maira. "Apa benar yang dikatakan cucu oma barusan, Nak?" tanyanya yang tidak mempercayai ucapan sang cucu. Sebab ketika mengatakan, Yudhistira nampak ragu.
"Bukan seperti itu, Oma. Maira jalan di sisi kiri, kok, dan laju mobil Maira juga biasa saja. Masih di bawah tujuh puluh kilometer per jam, malah," terang Maira dengan sopan.
"Oh, jadi nama kamu Maira, gadis kecil?" sahut Yudhistira bertanya, seraya tersenyum mengejek.
"Iya, kenapa? Ada masalah?" tanya Maira balik, dengan jutek.
"Yudhis, diamlah dulu dan biarkan Nak Maira berbicara!" Sang oma menatap Yudhistira dengan tatapan tajam.
Maira menjulurkan lidah, mengejek pemuda di hadapan karena dia merasa di atas angin, dibela oleh omanya Yudistira.
"Maira mengatakan yang sebenarnya, Oma. Dia bukannya minta maaf, tapi cucu Oma itu malah menyalahkan Maira dan mengata-ngatai kalau Maira tidak becus menyetir mobil," lanjut Maira seraya tersenyum smirk, menatap Yudhistira yang terlihat sangat kesal karena Maira mengadu pada omanya.
"Dasar bocil! Ngadu aja bisanya!" ketus Yudhistira yang tidak suka karena setelah kejadian ini, pasti sang oma akan melarangnya untuk keluar malam.
"Harus berapa kali saya bilang, saya bukan gadis kecil! Saya sudah memiliki KTP dan saya juga sudah memiliki SIM!" sahut Maira, sebal karena sedari tadi Yudhistira menganggapnya sebagai gadis kecil.
"Alah, paling SIM-nya nembak!" tuduh Yudhistira seraya tersenyum mencibir.
"Asal kamu tahu ya, Mas, saya mendapatkan SIM melalui ujian resmi, bukan asal beli seperti kebanyakan orang!" sanggah Maira yang merasa jujur dalam mendapatkan surat ijin untuk mengemudi tersebut.
Meski mudah saja bagi dirinya dan saudari kembar Maira untuk bisa mendapatkan SIM, tetapi sang daddy melarang dan menyarankan pada kedua putri kembarnya tersebut, agar mengurus sendiri sesuai prosedur.
"Sudah, sudah. Kalian ini, baru juga pertama kali bertemu, sudah berantem terus seperti Tom and Mery," lerai sang oma.
"Tom and Gerry, Oma."
"Iya, pokonya itulah. Film kartun yang sering kamu tonton itu 'kan, Yud."
"Hahaha ..., jadi cucu Oma masih suka nonton film kartun, ya?" ledek Maira, membuat Yudhistira cemberut pada sang oma.
"Ish, Oma. Pakai buka kartu segala," gerutu Yudhistira.
Sang oma pun ikut terkekeh, bersama Maira.
"Kalau bobok, masih suka ngompol juga tidak, Oma?" lanjut Maira semakin menjadi, hingga membuat Yudhistira geram karenanya.
"Hai, bocil! Kamu kali, yang ...."
"Yudhis, sudah," sergah sang oma ketika Yudhistira hendak kembali menyerang gadis berhijab yang berdiri di samping omanya.
"Oh ya, Nak. Apa kamu tidak apa-apa?" tanya sang oma, kemudian.
Wanita tua itu memindai wajah dan anggota tubuh Maira, untuk memastikan bahwa gadis di sampingnya baik-baik saja.
"Alhamdulillah, Maira tidak apa-apa, Oma," balas Maira seraya tersenyum sopan.
"Syukurlah, Nak, kalau kamu tidak apa-apa. Memangnya, Nak Maira tinggal di mana? Di komplek depan itukah?" tanya sang oma seraya menunjuk arah komplek elite.
"Iya, Oma. Saya tinggal di sana," balas Maira.
Wanita tua itu mengangguk, mengerti. "Berarti, kita tetanggaan, ya," tuturnya seraya tersenyum hangat.
"Kamu putrinya siapa?" lanjut sang oma, bertanya.
"Pak Rehan Alamsyah, Oma," balas Maira.
"Oh, cucunya Mas Sultan." Omanya Yudhistira tersebut kemudian memeluk Maira.
"Dulu ketika orang tua kami masih ada, kami berteman baik, tetapi setelah orang tua meninggal dan kami menjalani hidup masing-masing, kami jadi jauh."
"Apalagi setelah Oma pindah ke Surabaya karena mengikuti suami dan Mas Sultan juga sibuk dengan perusahaannya, kami putus hubungan." Wajah tua yang masih terlihat cantik tersebut, berubah sendu.
"Ketika oma kembali ke sini, kabarnya Mas Sultan sudah tidak lagi tinggal di sini," lanjutnya seraya melerai pelukannya.
"Iya, Oma. Opa dan Oma tinggal di Singapura," balas Maira.
Sang oma mengangguk-angguk.
"Oh ya, Nak. Mobil kamu, biar dibawa dulu sama cucu oma ke bengkel. Besok kalau sudah beres, baru dikembalikan ke rumah kamu," pinta sang oma, kemudian.
"Tidak perlu, Oma. Tidak usah repot-repot. Maira bisa kok, bawa sendiri ke bengkel," tolak Maira dengan halus.
Sang nenek menggeleng.
"Dia benar, Oma. Kita kasih uang saja, biar dia betulin sendiri mobilnya," timpal Yudhistira, senang mendengar penolakan Maira.
"Yudhis, tidak bisa seperti itu, Nak. Tidak semua persolan, bisa diselesaikan dengan uang. Kamu harus belajar bertanggung jawab." Sang oma menatap Yudhistira, memberikan pengertian pada cucunya.
"Biar Yudhis saja yang urus semuanya, Nak Maira. Biar cucu oma ini belajar bertanggung jawab," lanjutnya.
"Terus, mobil Yudhis gimana, Oma?" Yudhistira yang selalu manja pada sang oma, merajuk.
"Untuk sementara, mobil kamu biar dibawa Nak Maira. Kalian bertukar mobil," balas sang oma dengan santainya.
"Oma, mana bisa begitu. Yudhis malam ini ada janji mau ketemu sama temen-temen, Oma. Apa kata mereka kalau Yudhis bawa mobil perempuan yang girly seperti itu? Enggak banget, deh." Yudhistira masih berusaha merayu sang oma.
"Memangnya, mobil memiliki jenis kelamin ya, Mas? Kok bisa tahu, kalau mobil saya mobil perempuan. Letaknya di sebelah mana?" ejek Maira bertanya, seraya menahan tawa.
"Diam kamu!" hardik Yudhistira, geram.
🌹🌹🌹 bersambung ... 🌹🌹🌹
Sesuai kesepakatan, Maira kemudian mengendarai mobil sport milik Yudhistira yang berwarna hitam garang. Sementara pemuda yang tadi menabrak mobil Maira, mengendarai mobil berwarna merah muda yang cantik seperti sang empunya.
Sepanjang jalan mengikuti mobil Maira untuk pulang ke rumah gadis tersebut dan meminta maaf kepada orang tua Maira seperti titah sang oma, Yudhistira selalu saja menggerutu tidak jelas dan meluapkan kekesalannya karena merasa dikerjai oleh Maira dan sang oma.
Sementara Maira di dalam mobil milik Yudhistira, tersenyum-senyum sendiri. "Rasain, makanya jadi cowok jangan suka nyolot! Aku aduin sama oma kamu, langsung menciut, deh," gumam Maira, senang.
"Eh, tapi tunggu-tunggu. Cowok ketus dan brengsek kayak dia, kenapa patuh banget, ya, sama omanya? Salut aku sama dia," lanjutnya bergumam sendiri.
Lamunan Maira buyar, kala Yudhistira membunyikan klakson mobil dan kemudian mensejajarkan mobil yang dia kendarai di samping mobil miliknya yang dikendarai oleh Maira.
Pemuda berwajah tampan, tapi dengan tatanan rambut yang acak-acakan tersebut membuka kaca jendela sebelah kiri dan kembali membunyikan klakson, memberi kode pada Maira agar membuka kaca jendelanya.
"Ada apa, sih?" tanya Maira sedikit berteriak, setelah membuka kaca jendela di sisi kanannya.
"Aku ke rumah kamu besok saja, ya. Aku buru-buru soalnya, mau bertemu teman-teman!" ijin Yudhistira.
"Kamu kirimkan saja alamat rumah kamu. Besok begitu mobilnya sudah jadi, langsung aku anterin ke rumah," lanjutnya, memohon pengertian Maira.
"Aku, sih, enggak masalah, tapi kalau sampai oma kamu tahu, jangan salahkan aku, ya," balas Maira.
"Ck!" Yudhistira berdecak kesal seraya memukul setir mobil yang tidak tahu apa-apa. Pemuda begajulan itu kemudian memelankan laju mobilnya dan kembali mengiringi laju mobil di depannya.
Maira tersenyum dalam hati. 'Benar-benar takut dan patuh dia sama omanya. Hem, good boy, sih, sebenarnya.'
Mobil sport yang dikendarai Maira memasuki pintu gerbang yang tinggi menjulang dan kemudian parkir di halaman rumah yang luas kediaman keluarga Alamsyah, diikuti oleh Yudhistira yang kemudian parkir tepat di sebelahnya.
"Mau menemui orang tuaku di dalam, apa menunggu di sini?" tanya Maira, setelah pemuda yang menabrak mobilnya itu turun.
"Di sini aja, aku buru-buru!" balas Yudhistira yang masih terdengar ketus.
Maira mengedikkan bahu dan kemudian segera berlalu tanpa berkata-kata lagi.
Tak berapa lama, Maira kembali bersama sang daddy dan mommy-nya yang juga diikuti oleh saudari kembar Maira, Maida.
"Busyet, nemu di mana, Mel, cowok cakep kayak gitu?" bisik Maida, di telinga Maira ketika menuruni tangga di halaman rumah.
"Idih, si Kakak butuh kaca mata kuda kali, ya. Cowok macam dia, dibilang cakep." Maira geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan cara pandang Maida terhadap seorang cowok.
"Cakep kali, Mel, kalau sedikit aja di rapihin," kekeuh Maida, jujur.
Ya, Yudhistira memiliki garis wajah tegas, hidung mancung dengan rahang kokoh sempurna. Tatapan matanya tajam dan bibirnya yang seksi, merah alami.
Hanya saja, penampilan pemuda tersebut berantakan. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya, jauh dari kata rapi. Celana jeans sobek-sobek, dipadukan dengan kaos hitam bergambar group band metal.
"Ya udah, ambil aja sana kalau Kak Mai doyan," cibir Maira. "Aku, sih, ogah, ya!" lanjutnya menatap tak suka pada Yudhistira.
"Yey, aku 'kan dah punya gebetan, Mel. Lagipula, jangan bilang ogah dan sok-sokan enggak suka. Ntar kalau kamu jatuh cinta beneran, biar enggak malu." Maida tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi.
"Selamat malam, Om, Tante. Perkenalkan, saya Yudhis, Yudhistira," sapa Yudhistira seraya memperkenalkan diri dengan sopan, membuat bisik-bisik kedua saudari kembar tersebut, terhenti.
Pemuda tersebut kemudian menyalami daddy dan mommy-nya Maira.
"Lihat, Mel. Meskipun penampilannya urakan, tapi dia sopan banget," bisik Maida mencoba mempengaruhi sang adik kembar yang masih jomblo.
"Akting 'kan bisa aja, Kak," balas Maira, apriori.
Pertemuan pertama yang kurang menyenangkan, membuat Maira kehilangan rasa simpatinya terhadap Yudhistira dan menganggap pemuda tersebut tak lebih dari pemuda berandalan, anak jalanan.
Sementara Yudhistira kembali mencuri-curi pandang ke arah Maira dan Maida, dengan menyimpan tanya dalam hati.
'Jadi, dia anak kembar? Lucu juga kali ya, kalau bisa memacari keduanya,' batin Yudhistira, terkekeh sendiri dalam hati.
'Kalau sampai oma tahu isi pikiranku ini, bisa dicincang dan dimasak menjadi rendang tubuhku.' Yudhistira bergidik, ngeri, membayangkan kemarahan sang oma jika sampai dirinya mempermainkan seorang wanita.
"Apa Nak Yudhis ini, temannya Mela?" tanya Mommy Billa dengan suara yang lembut, mengurai lamunan Yudhistira.
Mendengar suara lembut Mommy Billa, pemuda yang berdiri di hadapan wanita paruh baya tesebut, melongo, dan tiba-tiba merindukan suara sang mama yang telah tiada.
"Mela siapa ya, Tante?" tanya Yudhistira setelah berhasil mengembalikan kesadarannya.
"Ma-i-ra, Mommy. Bukan Mela!" protes Maira, mengeja namanya sendiri.
Yudhistira tersenyum, mengetahui kartu As kelemahan gadis berhijab yang membuat dia dalam masalah karena harus membawa mobil yang girly jika nanti menemui teman-temannya.
"Maksud tente, Maira, anak tante," balas Mommy Billa, meralat ucapannya.
"Bukan teman, Mom," sahut Maira yang tidak mau diledekin oleh saudari kembarnya.
"Tadi di jalan, dia menabrak mobil Rara, Mom, dan dia ikut ke sini mau minta maaf sama Mommy dan Daddy," terang Maira.
"Benar, Tante, Om. Saya minta maaf karena tadi tidak sengaja menabrak mobil Dik Mela, sehingga mobilnya mengalami kerusakan yang cukup serius," sesal Yudhistira, sungguh-sungguh.
"Ma-i-ra, Mas Yudhis, namaku Maira, bukan Mela!" protes bungsu keluarga Rehan Alamsyah tersebut, dengan bibir mengerucut.
Gadis kecil menggemaskan yang kini telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita tersebut memang tidak suka jika ada yang memanggil dirinya Mela, kecuali keluarganya karena memang nama itu sudah terlanjur melekat di dirinya.
Jika berbicara di depan teman-temannya, Maida juga biasanya akan memanggil Dik Rara, atau Dik Maira. Hanya saja, tadi Mommy Billa sempat keceplosan sehingga Yudhistira menjadi tahu nama panggilan Maira sewaktu kecil.
"Cie, baru kenal dan katanya enggak suka, tapi manggilnya sudah Dik Mela dan Mas Yudhis," ledek Maida yang membuat bibir Maira semakin mengerucut.
"Ck!" Maira berdecak kesal. 'Tahu gini, tadi aku tolak aja permintaan omanya yang menyuruh dia untuk minta maaf sama daddy dan mommy.'
Sementara Yudhistira senyum-senyum sendiri, seraya menatap Maira dengan tatapan penuh arti.
🌹🌹🌹 bersambung ... 🌹🌹🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!