Happy reading 🌹🌹🌹
Acara family gathering perusahaan GC Corps telah berlangsung sejak pagi tadi di salah satu hotel bintang lima, yang masih berada di bawah bendera perusahaan tersebut.
Semua karyawan di kantor pusat bergembira menyambut event tahunan yang selalu digelar dengan meriah oleh perusahaan, untuk mengapresiasi para karyawan atas dedikasi mereka yang luar biasa terhadap kemajuan perusahaan.
Di tengah kemeriahan acara, entah darimana datangnya, tiba-tiba seorang nenek muncul di ballroom hotel di mana semua orang tengah menikmati makan siang dengan menu terbaik dari resto hotel.
"Anda siapa?" tanya salah seorang karyawan perempuan dengan dandanan menor yang sedang mengantre untuk mengambil makanan, menatap sinis pada wanita tua dengan pakaian sederhana dan berhijab panjang yang baru dilihatnya.
"Saya sedang mencari cucu saya, Nak," balas sang nenek seraya tersenyum hangat.
"Anda yakin, cucu Anda berada di sini?" Gadis itu memindai penampilan wanita tua di hadapan, dengan tatapan meremehkan.
"Ada apa, Ta?" tanya salah seorang temannya yang berpakaian minim.
"Ini, Ris, ada Nenek-nenek nyasar! Katanya, sih, nyari cucunya," balas gadis menor yang bernama Talita seraya menunjuk wanita tua di hadapannya, seolah jijik.
"Semua yang berada di sini, adalah karyawan terbaik dari perusahaan GC Corps, Nek, dan Nenek jangan bermimpi jika cucu Nenek bekerja di perusahaan besar GCC!" hardik Risma, seraya meneliti pakaian sang nenek yang sederhana.
"Sebelum kehadiran Anda disadari oleh security dan Anda diusir dari sini, sebaiknya Anda segera pergi dari sini!" timpal Talita. Gadis tersebut menunjuk pintu keluar.
"Tapi saya harus bertemu dengan cucu saya, Nak," kekeuh wanita tua tersebut, hingga menimbulkan sedikit keributan karena perhatian semua orang kini tertuju pada sang Nenek, Talita dan juga Risma.
Kasak-kusuk pun mulai terdengar dan kemudian menyebar.
Security yang kemudian mendengar dan melihat, segera mendekat karena dia harus segera bertindak tegas sebelum bos besar pemilik perusahaan mengetahui keributan kecil itu.
"Ada apa, Mbak?" tanya security yang berusia sekitar tiga puluh tahun tersebut seraya menatap Talita dan Risma, bergantian.
"Nenek ini mencari cucunya," balas Talita dengan nada bicara mencibir.
"Udah, usir saja, Pak. Paling itu cuma akal-akalan dia saja agar bisa numpang makan enak!" tuduh Risma, tanpa perasaan.
Membuat nenek tua tersebut menunduk, sedih. "Saya memang mencari cucu saya, Nak. Saya tidak bermaksud untuk numpang makan," balas sang nenek dengan suara bergetar.
Luka. Ya, pasti hati nenek tersebut terluka mendapatkan hinaan seperti itu dari Talita dan Risma. Namun, sang nenek tidak dapat berbuat apa-apa.
Nenek tersebut pasrah saja ketika tangannya ditarik dengan sedikit kasar oleh security dan diajak untuk melangkah menuju pintu keluar.
"Nenek!" seru seorang gadis berhijab sambil membawa piring berisi penuh makanan.
Rupanya, gadis yang berlari kecil menghampiri petugas security dan wanita tua yang diseret, mendengarkan semua pembicaraan di belakangnya ketika dia sedang mengantre makanan barusan.
Tidak tega melihat nenek tua diperlakukan dengan tidak hormat bahkan semena-mena oleh para seniornya, gadis itupun berinisiatif untuk mengakui nenek tersebut sebagai neneknya.
"Maaf, Pak. Beliau ini nenek saya," ucapnya seraya memeluk nenek tua tersebut dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan masih memegang piring.
"Kenapa Nenek menyusul Ai ke sini? Ai 'kan sudah bilang tadi, agar Nenek menunggu saja di mess," ucap Ailee, seolah wanita sederhana tersebut benar-benar neneknya.
Nenek tua yang memakai pakaian sederhana itu sempat terkejut, tetapi dia segera dapat mengerti maksud Ailee.
"Nenek bosan kalau harus menunggumu di mess sendirian, Nak," balas sang nenek.
"Oh, Neneknya Mbak Ailee. Maaf ya, Mbak, saya tidak tahu. Saya pikir Beliau cuma cari gara-gara dan mau bikin keributan di sini," sesal security tersebut yang segera melepaskan tangan nenek tua yang tadi dia pegang dengan cukup kuat.
"Mbak tahu sendiri 'kan, bagaimana galaknya tuan muda. Pasti saya yang akan disalahkan jika sampai terjadi keributan di sini," lanjutnya seraya membungkuk hormat pada wanita tua yang dia kira adalah benar neneknya Ailee.
"Hehehe, iya, Bapak benar. Pak Galang katanya memang galak, persis seperti induk ayam yang habis melahirkan," timpal Ailee berbisik, seraya terkekeh pelan.
"Memangnya, ayam melahirkan ya, Mbak?" tanya security tersebut yang tidak butuh jawaban. Laki-laki itu pun ikut terkekeh bersama Ailee.
Ailee memang belum pernah melihat ataupun bertemu dengan big bos perusahaan tempatnya bekerja, tetapi bisik-bisik para senior mengatakan bahwa bos perusahaan tersebut orangnya sangat dingin dan galak.
Sementara nenek tua yang ditolong Ailee tersenyum lebar mendengar bisik-bisik tersebut, senyum yang menampakkan deretan giginya yang masih utuh, kuat dan sehat terawat.
"Ehm." Suara dehaman seseorang di belakang Ailee dan security tersebut, menghentikan tawa keduanya.
Bukan. Bukan hanya menghentikan tawa, tetapi sekaligus menghentikan sejenak napas keduanya.
"Pak Erlan," sapa security tersebut seraya membungkuk hormat.
Sementara Ailee langsung menunduk, takut. "Maaf, Pak. Kami hanya bercanda," sesalnya dengan suara gemetaran.
"Lain kali, jangan diulang lagi, ya! Beruntung bukan Pak Galang langsung yang mendengar candaan konyol kalian," ucap laki-laki berkulit putih bersih tersebut, dengan penuh wibawa.
Padahal dalam hati, asisten tersebut pun ikut tertawa. Membenarkan perkataan gadis belia yang menunduk, ketakutan.
Erlan adalah asisten pribadi dari bos perusahaan GCC, Gilang Chandra Putra, sekaligus saudara sepupunya.
Sudah berkali-kali Erlan mengingatkan sang bos, agar jangan terlalu kaku jadi orang, tetapi sang bos tetap saja seperti robot.
"Maaf, Pak Erlan. Apakah saya boleh mengajak Nenek saya untuk mengikuti acara ini?" tanya Ailee memberanikan diri.
Security menatap tak percaya pada gadis belia di hadapan.
Siapa dia yang hanya seorang pesuruh, tetapi sudah berani meminta ijin langsung pada orang nomor dua di perusahaan, untuk membawa neneknya di acara penting seperti sekarang?
Ya, Ailee sendiri juga ragu, apakah dia akan mendapatkan ijin tersebut atau tidak? Ini adalah acara penting perusahaan, acara yang baru dia ikuti sebagai karyawan yang baru bekerja tiga bulan.
Tekad gadis bermata bulat itu begitu kuat untuk menolong wanita tua di sampingnya, sehingga dia memberanikan diri untuk meminta ijin, meski mungkin taruhannya adalah pekerjaan Ailee.
"Boleh, ini memang acara untuk karyawan dan keluarganya," balas Erlan, seraya tersenyum ramah pada wanita tua yang berdiri di samping Ailee.
Ijin dari asisten pribadi pemilik perusahaan tersebut, membuat gadis berhijab itu merasa girang bukan kepalang. Ailee sampai berseru riang, hingga mengundang perhatian banyak orang.
"Benarkah? Alhamdulillah, terimakasih Pak Erlan! Pak Asisten memang ter-the best!" polos, Ailee memuji.
Erlan tersenyum lebar seraya geleng-geleng kepala.
Sementara di sudut ruangan, di tempat khusus, seorang pemuda yang memiliki garis wajah tegas dan tatapan tajam, menatap heran ke arah mereka.
☕☕☕ bersambung ☕☕☕
Happy reading 🌹🌹🌹
Setelah mendapatkan ijin dari Erlan, Ailee kemudian mengajak wanita tua yang diaku sebagai neneknya, untuk duduk di salah satu meja di sudut ruangan yang agak menjauh dari keramaian.
"Nek, tidak apa-apa, ya, kita makan sepiring berdua. Tadi, Ai ngambilnya banyak sekalian soalnya. Sendoknya juga sudah ambil dua, nih," terang Ailee sambil mengarahkan satu sendok kepada nenek tersebut.
"Iya, Nak. Tidak apa-apa," balas sang nenek seraya tersenyum hangat.
"Nenek tunggu sebentar, ya. Ai mau ambilkan minum dulu." Gadis berhijab itu segera beranjak.
"Nenek mau minum yang hangat apa yang dingin, Nek?" tanya Ailee sebelum berlalu.
"Yang hangat saja, Nak," balas sang nenek seraya menepuk lembut lengan gadis berwajah imut-imut tersebut yang telah menolong dirinya.
Ailee segera berlalu dari mejanya, untuk mengambil minuman.
Tak berapa lama, gadis belia itu telah kembali dengan dua gelas air putih hangat.
"Nek, air putih saja tidak apa-apa, ya. Malah bagus, kan, untuk kesehatan," ucap Ailee menyodorkan segelas air putih hangat kepada sang nenek.
Nenek tua itu mengangguk dan kemudian tersenyum lebar, menyambut segelas air putih yang disodorkan oleh Ailee.
Ailee kemudian mendudukkan diri di samping sang nenek. "Ayo, Nek! Kita makan," ajak Ailee dengan antusias, melihat ada lauk banyak di atas piringnya.
Ya, Ailee sengaja mengambil lauk daging cukup banyak agar cukup untuk makan berdua bersama wanita tua yang tadi dia dengar telah dihina oleh kedua senior Ailee di tempat kerja.
"Nak, kamu saja yang makan. Kasihan kalau nanti kamu tidak kenyang," tolak sang nenek yang tidak ingin mengganggu makan siang gadis di sampingnya.
"Mana bisa begitu, Nek. Ai sengaja ambil sebanyak ini karena Ai memang mau mengajak Nenek untuk makan bareng, Nek," paksa Ailee.
"Kalau Ai harus menghabiskan makanan sebanyak ini sendirian, nanti perut Ai bisa meledak, duarrr ... begitu, Nek," candanya yang kemudian mengerucutkan bibir.
Nenek tua itu terkekeh pelan. "Ya, sudah. Nenek ikut makan, tapi dagingnya kamu saja yang makan, ya. Nenek sudah tua, harus mengurangi makan-makanan yang mengandung kolesterol," tuturnya dengan suara yang lembut.
"Terus, Nenek makan sama apa?" tanya Ailee.
"Sama sayurannya saja, cukup."
Gadis belia dan wanita tua itu kemudian mulai menikmati makan siangnya dengan nikmat. Sesekali, terdengar mereka bercengkrama yang diselingi canda dan tawa.
"Nenek tahu tidak, ini adalah makanan terlezat yang pernah Ai makan," ucap Ailee dengan mulut penuh makanan, membuat wanita tua yang duduk di samping Ailee berhenti mengunyah makanan dan kemudian menatap gadis berhijab tersebut dengan tatapan dalam.
"Benar, Nek," lanjut Ailee, meyakinkan.
"Apa nenek boleh tahu, darimana kamu berasal, Nak?" tanya sang nenek, penuh rasa penasaran.
"Dari kota ini juga, Nek. Tepatnya di sebelah timur," balas Ailee.
"Apa pekerjaan orang tua kamu?" lanjut sang nenek, bertanya.
"Papa pengacara," balas Ailee.
Wanita tua itu mengerutkan dahi. Putri seorang pengacara, tetapi barusan gadis di sampingnya itu mengatakan bahwa makan siang kali ini adalah makanan terlezat yang pernah dia santap? Rasanya, ada yang janggal.
"Mama kamu?" Wanita tua itu menatap tepat ke manik hitam Ailee.
Tiba-tiba, wajah imut yang tadinya selalu tersenyum tersebut berubah menjadi sendu.
"Ada apa, Nak?" desak sang nenek.
Ailee yang sudah menyimpan sendoknya, menggeleng pelan. "Mama meninggal ketika melahirkan Ai, Nek."
Gadis belia itu kemudian menceritakan bagaimana kehadiran Ailee dalam keluarga, tidak dapat diterima oleh sang papa dan juga kedua kakaknya karena Ailee dianggap sebagai pembawa sial yang kelahirannya menyebabkan sang mama meninggal.
Dia dibesarkan oleh pembantu di rumahnya dan tinggal bersama pembantu tersebut di rumah belakang.
Ailee juga diperlakukan sama persis seperti pembantu yang harus ikut mengerjakan semua pekerjaan rumah dan diberi makan seadanya saja.
"Kasihan sekali kamu, Nak." Wanita tua tersebut sampai menitikkan air mata, mendengar kisah Ailee.
"Kedua kakak kamu, sudah bekerja?" tanya sang nenek, seraya menatap iba pada Ailee.
"Kakak pertama, sudah, Nek. Dia menjadi dosen dan kakak kedua saat ini sedang koas di salah satu rumah sakit besar di pusat kota," terang Ailee, membuat wanita tua yang netranya dipenuhi air mata, geleng-geleng kepala.
"Apa kamu tidak ingin menuntut keadilan pada papamu? Kedua kakakmu mendapatkan pendidikan terbaik, sementara kamu sudah harus bekerja di usia yang masih belia seperti ini?" sang nenek kembali menatap Ailee, setelah menyeka air matanya dengan ujung jilbab.
Ailee menggeleng. "Tidak, Nek. Buat apa? Mereka tidak mengusik Ai saja, Ai sudah sangat bersyukur," balas Ailee.
"Mengusik?"
Ailee mengangguk. "Benar, Nek. Papa, terutama kedua kakak Ai, seperti tidak suka kalau melihat Ai senang. Mereka pasti akan mencari-cari cara untuk membuat Ai dalam masalah."
"Itu makanya setelah Ai lulus sekolah, Ai memutuskan untuk pergi dari rumah dan mencari pekerjaan," terang Ailee yang kini sudah kembali tersenyum.
"Alhamdulillah-nya, Nek, begitu Ai melamar kerja di perusahaan GCC ini, Ai langsung diterima dan diperbolehkan untuk tinggal di mess. Jadi, Ai tidak perlu repot-repot untuk mencari kontrakan," lanjutnya dengan netra berbinar.
"HRD-nya orangnya baik banget, Nek," imbuh Ailee dengan senyumnya yang lebar.
"Oh ya, Nek. Tadi kalau Ai tidak salah dengar, Nenek sedang mencari cucu Nenek? Apa cucu Nenek juga bekerja di perusahaan GCC, Nek? Bagian apa?" tanya Ailee kemudian yang telah menyimpan rasa penasaran semenjak tadi.
"Benar, Nak, tapi sepertinya dia tidak jadi ikut acara ini karena dari tadi nenek cari-cari tidak ada," balas wanita tua tersebut.
"Terus, Nenek mau kemana sekarang?" tanya Ailee, iba.
Wanita tua itu menggeleng. "Nenek juga belum tahu, Nak. Rumah nenek jauh, sementara di luar sana sepertinya hujan mulai turun," balasnya dengan wajah sendu.
Ailee meraih tangan sang nenek yang telah berkeriput. "Nenek jangan khawatir, ya. Tadi 'kan, Ai sudah dikasih ijin sama Pak Erlan untuk mengajak Nenek. Nanti Nenek menginap di sini saja, sama Ai. Mau, kan?"
Sang nenek mengangguk, senang. "Apa tidak merepotkan kamu, Nak?"
"Tidak sama sekali, Nek. Ai malah senang karena punya keluarga seperti yang lain," balas Ailee seraya memeluk lengan wanita tua tersebut, membuat wanita berhijab panjang itu merasa terharu.
Beliau usap puncak kepala Ailee yang tertutup hijab, dengan penuh kasih.
"Nek, Ai boleh 'kan, kalau menganggap Nenek sebagai Neneknya Ai," pinta Ailee setelah melepaskan pelukan tangannya pada lengan sang nenek.
Gadis berhijab tersebut menatap wanita tua di sampingnya, dengan penuh harap.
Sang nenek mengangguk, mengiyakan. "Tentu saja, Nak, karena kamu adalah calon cucu menantu Nenek," balas wanita tua itu dengan serius, membuat Ailee mengerutkan dahi.
"Maksud Nenek?"
"Ai, ayo! Lombanya sudah akan dimulai!" seruan dari salah seorang teman Ailee, membuat gadis yang memiliki tatapan ceria tersebut sejenak harus melupakan rasa penasarannya terhadap perkataan sang nenek.
"Nek, maaf, ya. Ai tinggal dulu, tidak apa-apa, kan? Nenek bisa tetap di sini, menunggu sampai Ai selesai ikut lomba," pamit Ailee.
☕☕☕ bersambung ... ☕☕☕
Sepeninggal gadis belia yang imut dan lucu itu, wanita tua tersebut juga beranjak pergi meninggalkan meja tempat mereka berdua menikmati makan siang barusan.
Wajahnya yang sudah mulai berkeriput, tetapi masih menunjukkan sisa-sisa kecantikan di masa muda dulu, terus saja tersenyum.
Membuat dua orang pemuda yang sedari tadi mengamati sang nenek dan gadis berhijab yang bersamanya dari kejauhan, bertanya-tanya.
"Oma, happy banget, sih?" Pemuda yang memiliki garis wajah tegas dan tatapan tajam, bertanya pada sang oma.
"Ya jelas happy, lah, si Oma. Orang misinya sedikit lagi berhasil. Ya 'kan, Oma?" sahut Erlan seraya tersenyum lebar, menyambut kedatangan sang oma di meja mereka yang cukup tersembunyi.
Rupanya, senyum wanita tua yang dipanggil oma oleh Erlan, menular pada asisten pribadi pemilik perusahaan tempat Ailee bekerja, tetapi tidak pada pemuda yang bersamanya.
Pemuda tampan yang memiliki tatapan tajam dan dingin tersebut, mencebik.
"Ayolah, Ge, apalagi yang kamu ragukan? Oma sudah bersusah payah menyamar, untuk mendapatkan gadis yang memiliki hati tulus seperti gadis itu. Harusnya kamu antusias, dong, untuk menerima misi perjodohan ini," bujuk Erlan pada pemuda yang duduk dengan menekuk wajah, di sampingnya.
"Oma juga bingung dengan sikap kamu itu, Ge. Harus berapa kali oma memaksa, coba bukalah mata dan hatimu. Lihat mereka dengan hati, bukan emosi karena tidak semua wanita seperti mama kamu," keluh sang oma, putus asa.
Sudah berkali-kali wanita tua itu mencoba menjodohkan sang cucu dengan seorang gadis yang dinilainya baik, tetapi pemuda yang tatapannya dingin menusuk kalbu tersebut tetap enggan untuk membuka hatinya.
"Sudahlah, Oma. Kalau Ge menolak, Er juga mau. Ranum, mana cantik lagi," ucap Erlan, terkekeh.
"Hush! Enak saja, kamu! Dia untuk Ge, bukan untukmu!" peringat sang oma.
"Kamu sudah pandai mencari, Er, bahkan kekasih kamu sudah rentengan di luar sana. Harusnya, kamu sudah mulai berpikir untuk serius dan memilih salah satu di antara mereka," lanjutnya, menasehati.
Erlan menggeleng. "Belum ada yang cocok untuk dijadikan istri, Oma, tapi kalau gadis itu pasti akan langsung Er bawa ke KUA tanpa berpikir panjang, agar tidak disambar orang."
"Ya udah, buat kamu aja, Bang!" sahut Gilang yang dipanggil dengan sebutan Ge, dengan senang hati.
"Ge, sekali ini saja. Belajarlah untuk mengenal dia," pinta sang oma, dengan tatapan memohon.
"Oma janji tidak akan lagi memaksa, jika memang kamu merasa tidak cocok dengan Ailee," lanjutnya.
"Oh, jadi namanya Ailee, Oma. Nama yang cantik, secantik orangnya," puji Erlan.
"Ck! Dasar, raja gombal! Gadis seperti itu aja, dibilang cantik," cibir Gilang.
"Yey, memang asli cantik, dia. Tanpa make-up dan meskipun hanya dengan pakaian sederhana, Ailee udah terlihat sangat cantik," puji Erlan kembali.
"Apalagi nanti kalau dia sudah menjadi istriku dan sedikit dipoles, pasti semua mata lelaki tidak akan berkedip memandangnya," lanjutnya berceloteh, membuat sang oma menatapnya dengan tajam.
"Maaf, Oma. Maksud Er, menjadi istrinya Ge," ralat Erlan yang kembali terkekeh.
"Bagaimana, Ge? Apa kamu mau memberi oma kesempatan untuk membawa dia masuk ke dalam rumah kita?" desak sang oma.
Pemuda berkulit putih bersih tersebut menghela napas panjang. "Tidak adakah gadis lain, Oma. Sepertinya, dia masih sangat muda," balas Gilang, ragu.
"Pasti akan sangat merepotkan memiliki istri seperti dia yang mungkin sangat kekanak-kanakan," lanjutnya, berusaha menolak.
"Kedewasaan seseorang itu tidak dilihat dari seberapa banyak usianya, Ge, tapi dari cara berpikirnya," tutur sang oma, meyakinkan.
"Oma sudah mendengar, meski baru sekilas tentang kehidupan Ailee dan oma yakin, apa yang telah dia alami selama ini, telah menempanya untuk menjadi dewasa bahkan di usia yang masih sangat belia," lanjutnya dengan menerawang jauh.
Beliau teringat kembali akan cerita Ailee yang membuatnya menjadi bersedih.
"Memangnya, kehidupan Ailee seperti apa, Oma?" tanya Erlan, penasaran.
Sang oma kemudian menceritakan kisah hidup Ailee pada kedua pemuda tampan di hadapannya.
Kisah seorang anak tanpa dosa yang menjadi korban dari ayah serta kedua kakak perempuannya karena tidak dapat menerima takdir kematian sang mama dan kemudian melampiaskan kekecewaan dengan menyalahkan Ailee.
"Figur seorang ayah yang bodoh!" geram Erlan, mengepalkan kedua tangan dan meninju angin. Dadanya ikut sesak mendengar kisah tentang Ailee.
Sementara pemuda yang duduk di sampingnya, hanya terdiam, tetapi rahangnya mengeras. Sepertinya, amarah juga tengah menguasai hati Gilang, mendengar kisah gadis belia yang akan dijodohkan dengan dirinya.
Sejenak, keheningan tercipta di sana.
"Jika oma merasa kasihan dan sayang sama gadis itu, tidak masalah jika oma mengangkat dia menjadi cucu dan membawa dia pulang ke rumah, tapi bukan untuk menjadi istri, Ge," ucap Gilang, mengurai keheningan.
Wanita tua itu menggeleng. "Dia gadis yang kuat dan hebat. Ailee tidak butuh dikasihani, tapi oma, oma yang butuh dikasihani karena memiliki cucu yang tidak dapat menerima takdir dari Allah dan terus menyalahkan keadaan dengan menghukum dirinya sendiri," balas sang oma yang langsung menyentil sisi keangkuhan sang cucu.
Pemuda yang merupakan pemilik perusahaan di tempat Ailee bekerja itu menelan saliva, merasa tersindir dengan ucapan omanya.
Ya, Gilang sangat membenci wanita setelah mengetahui perselingkuhan mamanya dengan laki-laki lain.
Perselingkuhan itu membuat sang papa yang memiliki riwayat penyakit jantung, meregang nyawa di pangkuan Gilang ketika dia baru saja pulang sekolah.
Kebetulan, hanya Gilang seorang yang berada di rumah kala itu. Kedua kakak perempuannya sudah berkeluarga dan ikut dengan suaminya.
Sementara sang oma, tinggal jauh di luar kota, bersama adik dari sang papa.
Gilang menghela napas panjang. Kegetiran kembali menyelimuti hatinya, mengingat peristiwa tersebut.
"Kalian tidak melihat bagaimana putus asanya papa saat itu. Papa meninggal dalam kekecewaan dan kesedihan yang mendalam karena dikhianati oleh istri yang sangat dicintai," gumam Gilang seraya memejamkan mata, menahan agar bulir bening tidak terjatuh dan membuat sang oma semakin sedih karena melihat dirinya belum dapat melupakanmu peristiwa tersebut.
Sang oma beranjak dan kemudian memeluk cucu kesayangannya itu.
"Tapi tak seharusnya kamu menghukum dirimu sendiri, Ge. Kamu juga berhak bahagia," tuturnya seraya mengusap punggung sang cucu.
"Maafkan Ge, Oma. Ge butuh waktu," ucapnya kemudian, setelah melerai pelukan.
"Sampai kapan, Ge? Sampai kamu tua, berkeriput dan ubanan, dan setelah itu sudah tidak ada lagi yang mau sama kamu?" cecar Erlan, dengan tatapan khawatir.
Meskipun Erlan sering meledek saudara sepupunya tersebut, tapi sesungguhnya dia sangat sayang pada Gilang.
"Hanya satu orang yang bersalah, Ge, Tante Irna, dan kamu tidak berhak menghakimi bahwa semua wanita itu pengkhianat!" lanjut Erlan yang juga membenci sosok tantenya, adik dari sang mama.
Sang oma mengangguk, setuju dengan perkataan Erlan.
"Apa yang dikatakan Er ada benarnya, Ge. Oma juga setia, bahkan meskipun opamu sudah lama meninggal, oma tidak pernah terbersit untuk mencari penggantinya," timpal sang oma, seraya tersenyum.
"Bagaimana, Ge. Kamu mau, kan?" tanya sang oma kembali.
"Setidaknya, lakukan itu demi oma yang mungkin tidak akan dapat mendampingimu terus seperti sekarang ini," lanjutnya dengan tatapan sendu.
Gilang menghela napas panjang.
☕☕☕ bersambung ... ☕☕☕
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!