Suasana cerah di luar terasa sangat kontras dengan keadaan rumah keluarga besar Baskoro, rumah itu tampak tidak ramai seperti sebelumnya. Bagas yang merupakan anak satu-satunya dari Tuan Baskoro tengah duduk di ruang tamu bersama beberapa kerabat dan rekan kerjanya sembari berbincang hangat.
Setelah sebelumnya jenazah Tuan Baskoro telah dikebumikan beberapa jam yang lalu. Beberapa dari mereka enggan untuk segera pergi dari kediaman Tuan Baskoro, mereka masih setia menemani Bagas yang tengah berduka. Salah satu kerabat yang masih setia menemani keluarga Bagas adalah keluarga besar Tuan Budiman.
Tuan Budiman merupakan salah satu sahabat dekat Tuan Baskoro dari semasa ia masih kecil. Hubungan keduanya sudah seperti keluarga sendiri, seandainya salah satu diantara mereka memiliki anak perempuan mungkin mereka akan menjodohkan anak mereka. Namun sayangnya mereka sama-sama dikaruniai anak laki-laki hingga perjodohan itu pun urung dilakukan, dan keduanya berjanji jika mereka memiliki cucu nanti akan menjodohkan cucu mereka untuk mengikat tali persahabatan mereka menjadi tali persaudaraan.
Jauh-jauh hari sebelumnya baik Tuan Baskoro maupun Tuan Budiman telah mewasiatkan pada putra-putra mereka tentang keinginan mereka ini, dan kedua putra mereka yang sangat patuh dengan perintah orang tua mereka pun mengiyakan rencana perjodohan putra dan putri mereka, sesuai keinginan orang tua mereka.
Hubungan Jihan yang sangat dekat dengan kakeknya membuat ia sangat terpukul karena kehilangan sosok kakek yang sangat menyayanginya. Jihan adalah anak bungsu dari pasangan Bagas dan Dina. Saat ini Jihan sedang menempuh pendidikan manajemen bisnis di kampus yang sama dengan Johan, mereka menempuh satu jurusan yang sama, semester yang sama, semester enam. Dan juga satu kelas yang sama.
Di dalam kamarnya jihad bergulung dengan selimut di atas ranjang matanya sudah terlihat bengkak karena terus menangis sejak semalam baik kedua orang tuanya ataupun sang kakak laki-laki Gunawan tidak bisa mengajak Jihan untuk berhenti menangis ataupun keluar kamar.
“Udah jangan murung terus, nanti kakek jadi sedih loh ngelihat kamu kayak gini terus dari sana,” ujar Gunawan sambil mengusap bahu adiknya yang berbaring di atas ranjang.
"Kakek udah janji loh mau hadir di wisuda Jihan tahun depan, tapi kenapa Kakek pergi secepat ini? Jihan kan masih masih berada di semester 6 Kak." Sahut yang terisak.
“ Ya ampun Jihan, manusia itu cuma bisa berencana maut umur rezeki semua tuh yang nentuin Tuhan. Lagian lo tenang aja saat wisuda nanti ada Bunda ada Ayah ada gue yang bakal hadirin acara wisuda nggak penting elo yang mungkin nilai IPK lo tuh cuma pas-pasan aja buat lulus."
"Sialan lo Kak. Kenapa sih lo tuh cuma bisa ngerendahin gue? Emang cuma Kakek yang bisa menghargai gue di rumah ini."
"Ya. Jelaslah Kakek sangat menghargai lo, karena lo adalah aset berharganya dia." Sahut Gunawan yang membuat Jihan memincingkan kedua matanya. Segera ia lempar Gunawan dengan bantal dan gulingnya. Ia mengusir keberadaan Kakaknya dari dalam kamarnya.
Setelah kepergian sang Kakak. Jihan mengangkat kepalanya dan bertanya pada sang pencipta. "Ya Tuhan, kenapa Engkau mengambil Kakek dariku, di dunia ini yang baik sama Jihan hanya Kakek saja. Kenapa Engkau ambil Kakek ku secapat ini Tuhan? Kenapa orang baik selalu di ambil duluan? Jihan kan anak yang baik dan penurut sama Kakek, kenapa gak di ambil barengan saja sama Kakek, ya Tuhan?"
"Kata siapa kamu anak baik? Kamu itu anak yang kurang baik dimata semua orang." Sahut seseorang yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar Jihan. Ucapannya ini membuat keduanya kompak saling memandang satu sama lain. Seseorang yang berdiri di ambang pintu kamar Jihan adalah seorang laki-laki yang bernama Johan Pradipta anak tunggal dari pasangan Pradipta dan Ayudia, anak dari Tuan Budiman. Johan Pradipta adalah pria yang memiliki tampang dingin dan juga menyebalkan ia sangat suka menggoda Jihan sejak kecil.
Jihan memincingkan kedua matanya ”Apa sih lo? Lo tuh nggak gue ajak ngobrol ikut nimbrung aja. Dasar manusia planet nyebelin." ujar Jihan dengan sewotnya. Ia segera bangun dari atas ranjang dan berlari menghampiri Johan. Ia merauk mulut Johan dengan tangannya seperti biasanya.
Bukannya kesakitan dan melawan Johan malah tertawa menikmati remasan tangan Jihan dimulutnya. Setelah itu Jihan langsung medirong tubuh Johan untuk menjauh dari pintu kamarnya. Ia segera menutup pintu kamarnya dengan membantingnya.
Mendapat perlakuan seperti ini dari Jihan, Johan malah tersenyum tipis. Ia begitu senang dapat melihat wajah menggemaskan Jihan yang marah padanya dengan matanya yang masih terlihat sembab dan hidungnya memerah sudah cukup membuatnya lega. Karena bagi Johan, selagi Jihan masih bisa marah padanya, itu tandanya dia masih baik-baik saja. Tapi jika Jihan sudah tak lagi marah dan datar padanya, berarti sudah ada yang tidak beres dari dirinya.
"Kamu apain anaknya Tante Dina, Johan?" Tanya AyudIa sang Mami yang tahu-tahu muncul dan langsung menarik telinga putranya.
"AAAAaaaaa... sakit-sakit Mih, lepasin!" Rintih Johan yang mengaduh kesakitan.
"Ayo jawab kamu apain anaknya Tante Dina, sampai banting pintu sekencang itu? Kalau rumah mereka rubuh bagaimana?" Tanya Ayudia dengan omelannya.
"Aduh Mami, gak sampai rubuh juga kali ini rumah. Lagian aku gak ngapa-ngapain Jihan. Jihannya aja yang emosian orangnya." Kilah Johan sembari mengusap kupingnya yang terasa pedas dan sakit.
"Alah, kamu tuh pintar bersilat lidah. Cepet jawab kamu ngapain Jihan? Kamu kalau ngisengin Jihan lihat kondisi dong Johan. Dia sekarang lagi berduka." Ucap Ayudia tetap dengan omelannya.
"Ya Mih, Johan tahu, siapa bilang mereka sedang berpesta." Jawab Johan asal yang makin membuat Ayudia kesal dan sewot jika berhadapan dengan putranya ini.
"JOHAN!!!" Pekik Ayudia sembari mencubit pinggang sang putra.
"Aduh Mami sakit, ampunnnnnn!" Pekik Johan yang meminta pengampunan.
"Kamu tuh bisa gak sih gak nyebelin sehari aja." Ayudia terus mengomel pada Johan, meskinia sudah melepaskan cubitannya pada pinggang sang putra.
"Bisa nanti jalau udah nikah." Jawab Johan yang pergi berlalu begitu saja meninggalkan Ayudia yang kesal.
Saat Johan berada di lantai bawah, tepatnya di teras kediaman Tuan Baskoro. Johan bertemu sang kakek Budiman yang tengah duduk melamun sendirian.
"Kek, lagi ngapain duduk sendirian di sini?" Tanya Johan yang ikut duduk bersama sang Kakek.
"Apa kamu sudah menghibur Jihan?" Tanya Budiman pada sang cucu.
"Hehehe... belum Kek. Dia marah dan menutup pintu kamarnya." Jawab Johan dengan senyum cengengesannya.
"Pasti kamu menggodanya lagi, benar begitu Johan?" Tanya Budiman lagi
"Iya Kek, dia selalu menggemaskan dan aku selalu ingin menggodanya." Jawab Johan yang kali ini menyunggingkan senyum penuh makna di wajahnya.
"Kamu ingat baik-baik pesan Kakek Johan. Dia calon istrimu. Kakek mu ini dan Almarhum Kakeknya, sudah menjodohkan dirimu dan dia, saat kalian baru di lahirkan, dan rencana perjodohan kalian sudah kami rencanakan sebelum kalian ada di dunia ini. Belajarlah melindungi dia dari sekarang. Jangan sakit hatinya, buatlah dia mencintai mu. Seperti dirimu mencintai dirinya." Ucap Tuan Budiman yang sangat mengetahui isi hati Johan yang sangat mencintai Jihan sejak dulu, namun tak bisa mengatakannya bahkan mengekspresikan perasaannya.
Pagi ini Jihan memutar bola matanya dengan malas, pemandangan di depannya saat ini benar-benar membuat nafsu makannya hilang. Gunawan dan Nesya pasangan suami istri yang selalu mengumbar kemesraan tanpa tahu tempat, sungguh sangat menyebalkan dan selalu berhasil membuat mood Jihan rusak di pagi hari. Pasalnya Jihan adalah kaum jomblo akut yang tidak laku karena 1001 alasan. Alasan utamanya adalah karena peraturan sang Kakek dan sang Ayah yang tak mengizinkan ia berpacaran dengan pria manapun, tanpa alasan yang tak jelas Jihan ketahui.
"Please, deh Kak. Ini tuh meja makan, bukan ranjang tidur. Jadi jangan beradegan vulgar di depan mata gadis tercantik dan terbahenol di rumah ini." Cibir Jihan pada keduanya.
Sontak saja cibiran Jihan mengundang gelak tawa seisi meja makan. Mereka menertawakan tingkat kepercayaan diri Jihan tang terlampau tinggi.
"Percuma cantik kalau gak laku," ledek Gunawan disela tawanya.
"Kaya ada suara siapa gitu ngomong, denger ga sih Bun, Ayah? Kayanya suaranya dari kolong meja deh." Sahut Jihan sembari merundukkan tubuhnya ke kolong meja makan. Ia berlagak mencari sumber suara yang bicara padanya tadi. Wajah Jihan nampak begitu serius hingga membuat Gunawan sewot.
"Amit-amit cabang bayi, jangan sampai anak aku mirip sama Jihan. Udah jelek sok cantik, nyebelin. Hidup lagi." Ucap Gunawan seraya mengelus perut buncit istrinya.
Sontak ucapan Gunawan membuat Jihan membulatkan matanya.
"Ayah, Bunda. Lihat tuh Kak Gundoruwo ngatain Jihan jelek terus." Adu Jihan pada kedua orang tuanya.
Alih-alih dibela oleh kedua orang tuanya. Jihan harus menelan pil pahit di kacangin oleh kedua orang tuanya yang lebih memilih menghabisakan menu sarapan pagi dihadapan mereka.
"Gini nih, nasib gak ada Kakek. Gak ada yang belain." Gerutu Jihan dengan suara yang masih di dengar semua orang.
"Kamu duluan yang mancing, sekarang kamu juga yang minta perlindungan. Kamu tuh maunya apa Jihan." Sahut Bagas yang telah selesai menghabiskan sarapan paginya.
"Kawin. Biar punya suami yang belain." Jawab Jihan asal yang malah di tanggapi serius oleh Bagas.
"Ok. Ayah kabulkan." Seru Bagas sembari mengusap bibirnya dengan tisu.
"Ayah," panggil Dina yang seakan keberatan dengan seruan suaminya.
"Nanti pulang kuliah kamu langsung pulang, jangan kemana-mana. Calon suami mu beserta keluarganya akan datang melamar kamu malam ini." Ucap Bagas lagi tanpa menghiraukan panggilan Dina yang keberatan putrinya menikah muda.
"AYAH," panggil Dina lagi kali ini dengan suara yang cukup tinggi.
Alih-alih menghiraukan panggilan sang istri Bagas malah pergi meninggalkan meja makan dan masuk ke kamar pribadinya kembali, guna mengambil tas kerja dan juga kunci mobil.
Melihat suaminya masuk ke dalam kamar, Dina segera menyusul keberadaan suaminya. Dina masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan menyalakan peredam suara di kamarnya. Agar keribuatan keduanya tak di dengar oleh anak dan menantunya.
"Ayah, bunda kan sudah katakan sama Ayah. Kalau bunda keberatan jika Jihan menikah muda. Dia bisa menikah nanti setelah selesai kuliah bukan. Lagi pula Johan juga belum menyelesaikan kuliahnya. Mau dikasih makan apa anak Bunda, Ayah?" Geram Dina pada suaminya yang terlihat santai menanggapi omelan dirinya.
"Dikasih makan nasi, gak mungkin anakkita dikasih makan paku. Jihan kan bukan limbat." Sahut Bagas dengan santainya. Ia tak menanggapi serius omelan sang istri.
"Ayah, bisakah serius sedikit. Jihan itu anak Bunda. Bunda berhak keberatan."
"Bunda keberatan, tapi kalau anaknya mau Bunda bisa apa?" Tanya Bagas sembari tersenyum penuh arti pada istrinya.
"Bunda yakin pasti Jihan langsung menolak setelah tahu siapa calon suaminya." Jawab Dina dengan keyakinannya.
Ia paham betul jika putrinya sangat membenci Johan. Pasalnya Johan adalah pria yang dianggap sama menyebalkannya seperti Gunawan.
Tak ingin berdebat terlalu lama dengan istrinya. Bagas pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah kunci mobil dan juga tas kerja sudah ada di tangannya.
"Ayah berangkat ya Bun? Jangan lupa untuk siapkan makan malam yang enak untuk Om Budiman." Pamit Bagas pada istrinya yang sudah menekuk wajahnya dengan sempurna. Dina merasa usahanya untuk menunda pernikahan putrinya, Jihan sia-sia.
Melihat istrinya menekuk wajahnya, Bagas 6ang sudah berdiri di muka pintu pun krmbali menghampiri Dina.
"Bun, mengalahlah. Om Budiman sudah sakit-sakitan. Ayah tidak mau sampai kita menyesal untuk kedua kalinya. Izinkan Om Budiman melihat keluarga kita bersatu dengan keluarganya di sisa usianya." Bujuk Bagas yang mencoba memberikan pengertian pada istrinya.
"Bunda izinkan kok Jihan menikah dengan Johan, tapi hanya tidak sekarang Yah."
"Bunda. Tolong mengertilah. Umur kita gak ada yang tahu Bun. Ayah hanya takut tidak bisa menjalankan amanah Bapak kalau terus-menerus ditunda-tunda." Pungkas Bagas yang tak lagi membuat Dina berkutik.
Ia hanya menitikan air mata kesedihannya, berat baginya melepaskan Jihan untuk menikah secepat ini dengan Johan. Ia masih ingin menghabiskan waktu bersenang-senang dengan putrinya yang sudah seperti teman baginya. Teman belanja, ngobrol dan bahkan ke salon.
Brukk! [Suara tubuh terjatuh ketika pintu kamar Bagas dan Dina terbuka.]
"Aduhh perut ku..." rintih Nesya saat tubuhnya jatuh menimpa tubuh suaminya dan ditindih oleh Jihan.
"Jihan cepat bangun, istri gue." Perintah Gunawan dari bawah sana.
"Iya-iya... Yah bantuin bangun dong." Sahut Jihan yang merentangkan tangannya meminta bantuan Bagas.
"Haduuhh... kalian tuh ngapain sih? Kebiasaan jadi tukang nguping. Kamu juga Nesya, lagi hamil masih aja ikut-ikutan." Omel Bagas pada anak dan menantunya seraya membangunkan Jihan yang bertingkah manja tanpa memandang situasi dan kondisi.
"Maaf Yah, Nesya di ajakin Mas Gunawan." Cicit Nesya sembari mengusap perutnya yang buncit.
"Iya kamu tuh istri yang mau-mauan diajak sesat sama suaminya." Sambar Dina dari dalam kamar. Ia meluapkan kekesalannya pada menantunya.
"Yah, ketemupan deh gue." Cicit Nesya yang mengelus dadanya. Ia harus menyetok kesabarannya menghadapi ibu mertuanya yang sensi tingkat dewa kalau kalah debat dengan Ayah mertuanya.
"Maaf ya sayang sengaja." Cicit Gunawan sambil cengengesan.
Nesya mencubit perut buncit Gunawan yang sudah tak seperti roti sobek lagi semenjak menikah dengannya, karena Gunawan sudah tak ada waktu untuk berolahraga selain berolahraga di atas ranjang.
"Au sakit Ayang," rintih Gunawan dengan suara manjanya. Nesya yang amat sangat bucin dengan Gunawan langsung saja mengelus perut sang suami yang habis ia cubit.
"Yang ini juga mau di elus-elus sama Ayang." Unjuk Gunawan pada juniornya. Urat malu Gunawan benar-benar sudah putus, bisa-bisanya dia bicara menjurus pada sang istri di depan semua orang.
"Terusin uwuk-uwuk di depan gue. Ya Allah. Gimana gue gak ngebet pengen kawin kalau liat beginian tiap hari." Pekik Jihan yang segera meninggalkan mereka semua.
Saat Jihan pergi, Gunawan dan Nesya pun bermain mata dengan Bagas. Bagas yang mengerti pun langsung mengangguk. Senyum bahagia pun terbit di wajah pasangan pasutri itu.
Di perusahaan Marcopolo milik keluarga Bagaskoro. Pradipta mendatangi sahabatnya yangbtengah sibuk bekerja.
"Gas, gimana Jihan dan Dina sudah setuju belum dengan acara nanti malam?" Tanya Pradipta dengan ekpresi wajah yang begitu serius menatap Bagas yang selalu terlihat santai.
"Sudah beres semuanya. Tolong datang jangan telat ya. Putriku itu tukang tidur, aku tak bisa berbuat apa-apa kalau dia sudah terlanjur tidur." Jawab Bagas masih dengan santainya.
"Hah, serius? Semudah itu kamu membuat mereka mau. Bukankah istri mu terus menunda-nunda pernikahan anak-anak kita." Tanya Pradipta yang tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Sudah jangan banyak tanya. Sekarang pergilah dari pandanganku. Hari ini aku ini banyak pekerjaan." Usir Bagas dengan tatapan tajamnya.
"Ok, baiklah. Aku pergi. Selamat bekerja besan. Sampai jumpa nanti malam ya." Ucap Pradipta sembari tersenyum bahagia.
Sementara itu, di kampus Jihan senyum-senyum tidak jelas. Setelah turun dari mobil Gunawan yang mengantarkan ia pergi ke kampus seperti biasanya. Marisa yang baru datang di kelasnya, melihat sahabatnya terus senyum-senyum sendiri pun menghampiri dan menegur sahabat baiknya itu.
"Kenapa Lo Ny3t? Lagi bahagia banget romannya." Tanya Marisa yang sudah duduk di samping Jihan.
"Ntar malam gue mau di lamar. Ta'aruf gue Cuy. Hahaha... kata Kak Gunawan, calon suami gue ganteng banget. Kaya pangeran Arab. Idung mancung, kulit putih, ada jambang-jambang halusnya gitu. Udah gitu bodynya six pack, karena katanya dulu Kak Gunawan pernah nge-gym bareng dia. Hulu-hulu... akhirnya gue sold out juga Sha." Jawab Jihan begitu bersemangat.
"Lo yakin sama omongan Kak Gunawan? Dia kan tukang kibul?" Tanya Marisa tak yakin.
Pertanyaan Marisa sontak membuat senyum Jihan memudar. Tiba-tiba ia menatap serius wajah sahabatnya. Mencoba berpikir lagi dengan semua ucapan Gunawan saat mengantarkan dirinya ke kampus tadi.
"Iya-iya kok gue gak kepikiran. Gue udah main seneng aja. Kalau kenyataannya gue dijodohin sama Aki-aki tua bangka gimana ya Sha?"
"Gak apa-apa kalau nyawanya cuma sisa seminggu. Lo bakal kaya mendadak." Jawab Marisa dengan pikiran materialistisnya.
"Lah? Iya kalau kaya, kalau enggak gimana? Duhh... gue masih orisinil nih, semua yang ada di dalam tubuh gue masih tersegel. Masa dapat Aki-aki." Seru Jihan yang murung seketika.
"Tunggu-tunggu, kayanya gak mungkin Aki-aki deh Jie, soalnya tadi lo bilang, kakak luknut lo pernah nge-gym barengkan sama calon suami lo. Pasti masih mudalah. Gak mungkin Aki-aki nge-gym. Bisa rontok tulangnya semua. Hahaha..." sahut Marisa dengan tawa renyahnya.
Disaat Marisa tertawa, Jihan masih berpikir dengan ucapan yang Gunawan katakan di mobil tadi. Tiba-tiba saja pikiran dan matanya mengarah pada Johan yang baru saja datang ke kelas.
"Kok, ciri-ciri yang di sebutin Kak Gunawan kaya si Johan manusia jahanam itu." Cicit Jihan di dalam hatinya. Matanya terus menatapi kemana arah Johan berjalan.
Johan berjalan ke kursi meja yang tepat berada di belakang kursinya.
"Jangan liat-liat nanti jatuh cinta sama gue!" Ucap Johan saat ia duduk di belakang Jihan.
"Cih. PD m4mpus Lo Joe." Dengus Jihan sembari menggibas rambut panjangnya hingga mengenai meja kursi Johan.
Harum parfum sampoo yang digunakan Jihan terhirup di indra penciuman Johan. Dengan cepat Johan menarik rambut panjang Jihan, tindakannya ini seakan menjambak rambut Jihan. Padahal ia hanya ingin mencium kembali aroma parfum sampoo di rambut Jihan.
"Sakit jahanam!" Pekik Jihan kesakitan karena rambutnya di tarik Johan.
"Makanya punya rambut itu jangan dibiarin tergerai. Ikat! Kalau gak diikat, gue pastikan rambut lo gue jambak terus." Perintah Johan tanpa melepaskan jambakannya pada rambut Jihan.
"Siapa lo beraninya merintah-merintah gue?" Sahut Jihan dengan ketusnya.
"Calon suami lo," cicit Johan di dalam hatinya.
Johan tak berani menjawab dengan gamblang jika dirinya adalah calon suami dari Jihan. Wanita yang sudah menjadi cinta pertamanya sejak kecil. Pasalnya ia sangat paham jika Jihan sangat membenci dirinya karena tingkah menyebalkannya seperti saat ini. Dimana ia menjambak rambut Jihan hanya karena ingin mencium aroma rambut Jihan lebih lama.
Jihan terus berusaha melepaskan jambakan Johan pada rambutnya. Namun Johan sama sekali tak berniat melepaskan jambakannya. Hingga seorang dosen tampan datang ke dalam kelas mereka. Baru Johan melepaskan jambakannya.
Lagi-lagi Johan harus menatap kesal pada Dosen tampan yang menjadi primadona para mahasiswi di kampusnya ini. Pasalnya, Jihan adalah salah satu pengagum ketampanan Dosen tampan yang masih singel itu.
"Biasa aja ngeliatin tuh Dosen. Dia merhatiin lo juga nggak." Dengus Johan sembari menendang kursi yang di duduki Jihan hingga ia hampir terjungkal.
"Johan!" Pekik Jihan yang refleks saat tubuhnya hampir saja jatuh karena ulah Johan yang cemburu buta padanya.
"Apa sayang," sahut Johan dengan sengaja, agar sang Dosen tampan yang suka curi-curi pandang dengan calon istrinya menganggap mereka adalah sepasang kekasih.
"Ishh... sayang-sayang. Pala lo peyang." Balas Jihan yang terlanjur kesal dengan ulah Johan, hingga ia tak perdulikan keberadaan sang Dosen yang hanya tersenyum melihat ke arahnya.
"Jie, udah tuh si ganteng liatin lo aja tuh." Tegur Marisa pada Jihan yang masih saja menatap kesal Johan yang malah senang terus ditatap oleh Jihan.
Di kediaman Baskoro yang kini di tempati keluarga Bagas. Dina dengan setengah hati tengah menyiapkan untuk jamuan nanti malam. Ia terus marah-marah tak jelas pada asisten rumah tangga yang tengah membantunya menyiapkan segalanya. Semua.yang dikerjakan asistennya selalu salah di mata Dina.
Nesya yang melihat Dina dengan suasana hati yang tidak baik-baik saja pun datang menghampiri. Ia bermaksud untuk menemani sang ibu mertua yang begitu baik padanya selama ini. Sebagai anak yatim piatu, Nesya selalu mendapatkan perlakukan yang baik dari Dina. Menjadi bagian dari keluarga Baskoro adalah sebuah anugerah yang terbesar di dalam hidup Nesya.
"Bunda," panggil Nesya pada Dina yang tengah duduk di tepi kolam renang.
"Sini sayang, duduk sama Bunda di sini." Ajak Dina pada Nesya yang datang menghampirinya.
Nesya duduk di tepi kolam tepat di samping sang ibu mertua yang kemudian membelai perut buncitnya.
"Masih sakit tidak perut mu Nes?" Tanya Dina dengan begitu perhatian.
"Udah enggak Bun," jawab Nesya sembari menatap serius wajah sedih ibu mertuanya.
"Bun, kenapa Bunda kelihatan gak suka dengan acara lamaran keluarga Johan malam ini?" Tanya Nesya yang malah membuat Dina menitikan air matanya.
"Sebentar lagi, kamu akan menjadi seorang ibu. Kamu akan merasakan apa yang ibu rasakan saat ini sayang. Sebenarnya bukannya ibu tidak suka, tapi ibu hanya ingin Jihan menikmati masa mudanya hingga puas, karena apa? Karena menjalani pernikahan itu tak semudah seperti yang Jihan dan kamu bayangkan selama ini. Sekarang memang belum terlihat halangan dan rintangan, tapi ke depannya nanti pasti akan ada halangan dan rintangan yang kalian hadapi. Dan Bunda yakin Jihan belum cukup dewasa untuk menghadapai semua itu. Jihan sangat berbeda dengan kamu Nesya." Jawab Dina yang membuat Nesya mengerti kenapa ibu mertuanya bersikap seperti ini. Dia begitu mengkhawatirkan kondisi putrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!