NovelToon NovelToon

Arini, I'M In Love

Bab 1 ~ Awal Kisah

“Kamu bisa mulai besok, ada beberapa siswa yang terkena kasus tawuran dan guru BK sudah bingung harus bagaimana merubah anak-anak ini. Posisi sudah saya tempatkan terlibat di BK, karena latar belakang pendidikan kamu,” ujar Pak Gala kepala sekolah SMA Angkasa.

“Terima kasih Pak, saya akan berusaha melakukan proses magang dengan baik,” sahut Arini.

“Yah, kita buktikan saja. Biasanya anak muda itu masih idealis dibandingkan kami yang sudah tua,” cetus Pak Gala.

Arini sudah berada di luar ruang kepala sekolah, menghela nafas lega sambil menatap sekeliling area sekolah di hadapannya. Sengaja memilih sekolah tersebut sebagai tempat magang dibandingkan harus mengajukan di perusahaan.

Apalagi selama magang dia kembali tinggal bersama Ibunya, tentu saja hal ini membuatnya bahagia. Mengikuti perkuliahan di kota berbeda dengan Ibu yang membesarkan dan berjuang demi membiayai hidup di perantauan. Kalau untuk biaya kuliah, Arini mendapatkan beasiswa dan penghasilan dari menulis artikel dan mengajar les anak-anak remaja.

“Arini, semangat,” ujar gadis itu mengepalkan tangannya mensugesti diri sendiri.

Arini berjalan di sepanjang koridor kelas yang sudah sepi karena para murid dan guru sedang berada dalam kelas. Saat berbelok mengikuti arah menuju meja piket dan gerbang sekolah …

Bruk.

“Auw,” pekik Arini yang sudah terjatuh karena tubuhnya ditabrak oleh seseorang.

“Woy, jalan tuh pake mata,” ujar seorang siswa yang sedang menatap tajam Arini.

“Cakra,” gumam Arini membaca name tag di seragam siswa tersebut. “Di mana-mana jalan itu pakai kaki, kalau melihat baru pakai mata."

“Halah, jawab aja loh.” Cakra beranjak berdiri lalu meninggalkan Arini

“Sudah salah, malah marah. Bagus sekali attitude siswa itu.”

Dua hari yang lalu.

“Woi, bangsat jangan kabur lo,” teriak salah satu siswa setelah rekannya sudah terkulai dipukuli oleh siswa sekolah lain. “Cakra, jangan sampai mereka lolos.” Kama kembali berteriak dan mengejar siswa-siswa sekolah lain.

Bugh.

Cakra berhasil menendang dan menjatuhkan salah satu lawannya. “Ucup lo urus yang ini,” teriak Cakra lalu kembali berlari untuk mengejar yang lain sambil mengacungkan mistar baja yang dia bawa.

Ternyata pihak lawan sudah bersiap, tidak jauh dari lokasi kejar-mengejar berlarian bantuan dari pihak lawan yang akan menyerang Cakra dan teman-temannya.

“Bahaya, Cakra mundur,” teriak Iqbal.

Namun, Cakra seperti gelap mata masih mengejar dan menghajar siswa yang dianggap musuhnya. Ucup dan Iqbal bahkan sampai menarik tubuh Cakra agar mundur.

“Gila, kita bukan pengecut,” pekik Cakra.

“Iya, gue tahu lo bukan pengecut tapi nyawa kita hanya satu. Kita bukan kucing yang punya banyak nyawa,” teriak Ucup yang menaiki motornya. Sebelumnya dia tinggalkan begitu saja motor tersebut saat melihat siswa dari sekolah lain yang langganan tawuran dengan sekolahnya.

“Cakra, naik kecuali lo punya jutsu. Sudah pasti kita tinggal,” teriak Kama.

“Shittt,” teriak Cakra lalu meludah dan menaiki motor Kama.

Ucup dan Ikbal sudah melaju lebih dulu, termasuk motor-motor lain teman dari Cakra.

“Auw,” pekik Ucup.

“Manja gila,” ujar Ikbal lalu melemparkan salep yang digunakan untuk mengobati wajah Ucup.

“Sial,” maki Ucup karena Ikbal melemparkan tube salep ke wajahnya.

“Lo ada yang luka?” tanya Kama pada Cakra.

“Anjirrr, muka gue lebam-lebam gini masih tanya ada yang luka atau nggak. Mata lo sehat?”

“Yaelah, biasa aja kali. Lagi PMS lo ya, dari tadi marah-marah bae,” ujar Kama. “Mpok mie rebus satu jangan pake mangkok langsung sebor ke mukanya Cakra biar hilang gantengnya. Heran gue, lebam juga masih aja ganteng,” tutur Kama sambil menyuapkan gorengan yang sudah dingin.

Saat ini keempat sahabat itu sudah berhasil melarikan diri dari situasi tawuran dan kembali ke warung Mpok Leha yang ada di belakang sekolah, biasa dijadikan tempat nongkrong atau tempat pilihan ketika malas ikut kelas.

Bukan tanpa alasan Kama menyela Cakra, karena Imas putri Mpok Leha sedang asyik mengipasi Cakra. Bahkan tanpa memesan, Cakra sudah disodorkan es teh manis dan terus mendapatkan pujian tetap ganteng dengan wajah lebamnya.

“Bang Kama, apaan sih. Pasti iri ya karena aku lebih perhatian sama Kak Cakra,” ujar Imas. “Cemburu bilang aja.”

“Idih, geli amat gue cemburu sama Cakra.”

“Mie rebusnya jadi nggak?” tanya Mpok Leha.

“Jadilah,” sahut Kama. “Dari pagi saya belum makan, Cuma nasi uduk doang dua piring.”

“Gue juga mau mpok, jangan terlalu mateng. Yang Ucup nggak usah dikuahin, kalau perlu jangan dibuatin,” teriak Iqbal.

“Dasar pada aneh lo pada,” sahut Mpok Leha. “Woy, Imas cepetan bantuin cuci piring nih. Cakra mah nggak usah diurusin, nanti juga balik lagi ke setelan pabrik.”

“Dikira gue hp kali,” sahut Cakra.

 

Bab 2 ~ First Day

“Perempuan itu siapa ya? Perasaan baru lihat,” gumam Cakra lalu menoleh ke belakang dan perempuan yang dia maksud sudah tidak terlihat. “Apa guru baru? Tapi masih muda, apa mungkin siswa baru? Tapi udah ketuaan,” tutur Cakra.

“Pagi, Pak,” sapa Cakra saat masuk kelas.

Pak Edi yang sedang menjelaskan teori peluang dari pelajaran matematika menyipitkan matanya melihat Cakra yang dengan santai berjalan masuk ke dalam kelas.

“Cakra, jangan biasakan datang terlambat. Kamu sudah kelas dua belas,” tegur Pak Edi. “Lain kali jangan ikut pelajaran saya kalau kamu terlambat lagi.”

“Iya pak, ini sih bukan saya yang kesiangan tapi sekolahnya mulai terlalu pagi.”

Ucapan Cakra barusan sukses mendapatkan sorak dari teman sekelasnya.

“Bapak setuju saja kalau sekolah dimulai agak siang, tapi kamu jadi menteri pendidikan dulu dan buat kebijakan tersebut,” sahut Pak Edi. “Ayo kembali fokus dengan pelajaran, fokus dengan Cakra akan membuat kalian tersesat saat ujian.”

“Heran, telat terus. Padahal semalam kita nggak ada acara,” ujar Kama setelah Cakra duduk di sebelahnya.

“Bawel bener, simak tuh pelajaran Pak Edi. Lo ‘kan rada lemot kalau masalah hitung menghitung.”

“Cakra, ngegibah nya dilanjutkan nanti saja,” teriak Pak Edi dan lagi-lagi seisi kelas bersorak.

Saat jam istirahat.

“Woy, udah lihat daftar nama yang harus bertemu BK?” tanya Iqbal yang mendatangi kelas Cakra bersama Ucup.

“Belum, ada nama kita?” tanya Kama.

“Ya pasti ada dan di urutan pertama adalah Cakra Kananta Yuda,” seru Ucup lagi dengan gaya presenter yang membacakan pemenang nominasi dari sebuah ajang penghargaan.

“Masalah apaan sih?” tanya Cakra yang asyik dengan game onlinenya.

“Paling masalah kemarin. Eh, muka lo kok udah ….”

“Ganteng lagi?” tanya Cakra menyela ucapan Iqbal.

“Tau ah, gue sih berharap kemarin lebamnya lumayan lama biar gue bisa ngegeser posisi kegantengan lo.”

“Cakra,” sapa Tiwi. Siswi yang sekelas dengan Ucup, cantik bahkan salah satu most wanted di sekolah.

“Hm.”

“Nanti siang ada acara nggak? Nggak ada dong, pastinya. Antar aku ya, please!”

“Victory.” Cakra mengakhiri game dan menjadi pemenang, dia meletakan ponsel di atas meja dan menatap ke arah Tiwi.

“Nganter ke mana, cantik?”

Ucup berekspresi ingin muntah mendengar Cakra memuji Tiwi.

“Halah, buaya darat,” ejek Iqbal.

Tiwi mendorong tubuh Iqbal agar menjauh karena ingin mendekat pada Cakra, bahkan tangan Tiwi menyentuh pundak laki-laki yang didekatinya.

“Ke mana aja deh, yang penting berdua,” jawab Tiwi sambil tersipu.

“Kalau gue inget ya,” sahut Cakra. “Cabut yu, laper gue,” ajak Cakra pada ketiga temannya.

“Cakra,” teriak Tiwi. “Aku serius tau.”

“Lah, lo pikir gue bercanda,” sahut Cakra sambil melewati pintu.

“Sudahlah neng, biar Abang yang ganti temani neng. Abang siap lahir batin ke mana pun eneng mau,” tutur Ucup sambil mengerlingkan kedua matanya.

“Idih, males gila. Gue maunya sama Cakra bukan sama rambut rontoknya Cakra,” ejek Tiwi lalu meninggalkan Ucup.

“Kalau rontok kasih jeruk nipis neng,” teriak Ucup. “Eh, pada ke mana ini, kenapa gue ditinggal.”

...***...

“Bu, malam ini kita makan di luar aja ya,” ajak Arini.

“Makan di luar?”

Arini menganggukkan kepalanya sambil memeluk lengan Ibunya yang baru saja pulang kerja. Ibu Arini bekerja sebagai asisten rumah tangga dan itu sudah dilakukan sejak Ayah Arini meninggal dunia.

“Tapi ….”

“Bukan restoran, tapi rumah makan atau cafe. Yang jelas malam ini aku ingin pergi bareng Ibu, memang Ibu nggak kangen aku?”

“Kangen dong, kangen banget malahan. Ya sudah Ibu mandi dulu ya,” jawab Ibu Elah.

Arini menunggu Ibunya bersiap sambil membuka ponsel dan melakukan pencarian mengenai SMA Angkasa tempatnya melaksanakan magang. Untuk profil sekolah resmi tentu saja Arini sudah bisa akses melalui web sekolah, tapi dia perlu mencari tahu berdasarkan media sosial atau informasi dari masyarakat.

SMA Angkasa adalah sekolah swasta, tapi termasuk sekolah favorit dengan biaya pendidikan cukup mahal karena banyak fasilitas yang selalu up to date. Sebagian besar orangtua siswa adalah orang berada, dengan profesi dokter, pengacara, pejabat bahkan ada juga artis.

“Ayo, nanti kemalaman. Besok pagi, Ibu harus berangkat lebih awal. Tuan muda kalau tidak dibangunkan bisa terlambat sekolah, tapi pagi aja Ibu lupa ke kamarnya dia bangun kesiangan dan kayaknya telat lagi.”

“Nggak disiplin banget, masa bangun pagi aja nggak bisa. Mau jadi apa kali?”

Arini mengunci pintu sedangkan Ibunya baru akan menaiki motor tapi dihentikan oleh putrinya.

“Biar Rini yang bawa motornya.”

Ibu Elah memanggil putrinya dengan sebutan Rini. Arini mengajak Ibunya makan di sebuah café tidak jauh dari tempat tinggalnya.

“Rini, yakin kita makan di sini? Harganya mahal nggak?”

“Nggak Bu, sesekali bolehlah. Anggap saja perayaan karena aku sudah diterima magang di Jakarta, jadi selama beberapa bulan ke depan Rini tinggal lagi sama Ibu.”

“Wah, kamu serius?”

Arini tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Ibu senang loh, kamu magang yang baik biar cepat lulus dan bisa kerja. Kita selama ini banyak dibantu oleh majikan Ibu,” ungkap Ibu Elah.

“Iya Bu.”

Esok hari.

“Oke, Arini. Semangat untuk hari ini,” gumam Arini yang sudah berdiri di depan gerbang sekolah.

Berjalan di sepanjang koridor kelas menuju ruangan BK, sesuai instruksi Pak Gala selaku kepala sekolah kalau dirinya akan menjadi tim bimbingan konseling. Arini tersenyum melihat para siswa dan siswi yang baru saja datang bersama dengannya juga melihat beberapa siswa yang sedang berada di lapangan basket.

Ada juga yang asyik di beranda kelas sambil membuat video tik t*k.

“Generasi milenial,” gumam Arini.

Ruang BK cukup luas terlihat dari luar, Arini pun mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh seorang pria yang kira-kira seumuran dengan Pak Gala.

“Selamat pagi, Pak. Saya Arini dan ….”

“Oh, guru magang ya?”

“Betul, Pak.”

“Silahkan duduk.”

Arini beranjak memasuki ruangan dan menuju sofa. Pria itu mengulurkan tangan, “Saya Yusron, ketua BK di sekolah ini.”

“Arini Septha, Pak.”

“Duduklah,” titah Yusron yang kemudian menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Arini.

“Sebenarnya ada beberapa guru BK di sini, nanti saya kenalkan sambil berjalan ya. Ini daftar siswa yang kita panggil hari ini, dua hari lalu mereka tawuran. Sebagian besar nama-nama itu memang sudah langganan kita. Sering berulah atau nakal.”

“Maaf Pak, mungkin bisa kita ganti istilah nakal dengan karakter khusus,” usul Arini.

“Hm, boleh saja. Karena mendengar kata nakal, rasanya telinga saya gatal,” ujar Yusron.

Tidak lama kemudian terdengar bel berbunyi.

“Aula itu yang akan menjadi tempat pertemuan,” tunjuk Yusron pada ruang di sebelah ruang BK.

Benar saja, satu persatu siswa berdatangan dan bisa Arini duga mereka adalah nama-nama yang terlibat tawuran.

 

Bab 3 ~ Dia Manis dan Menggemaskan

Arini berdiri tidak jauh dari Pak Yusron sambil mengarahkan siswa yang sudah hadir di ruangan.

“Ayo cepat, kalian ini kerjanya berulah saja. Mau jadi apa hah?”

“Pahlawan super, pak,” gumam Iqbal tapi masih bisa didengar oleh Yusron dan Arini.

“Diam, menjawab saja,” hardik Pak Yusron.

“Lah gimana ceritanya, tadi nanya tapi dijawab salah,” ujar Ucup.

"Kamu nanyak ....," ujar Kama.

Arini bahkan tersenyum mendengar perdebatan Yusron dan siswa. “Eh, ada guru baru nih," seru Kama lagi.

“Sudahlah, ayo kita mulai.” Pak Yusron duduk di meja depan diikuti oleh Arini. “Kalian sudah tahu ya, tujuan kalian dipanggil dan dikumpulkan. Yang mana lagi-lagi saya harus melakukan bimbingan dan pengarahan karena ulah kenakalan kalian. Hati-hati, karena diantara kalian ada poin yang semakin menipis dan konsekuensi ketika poin sudah habis atau minus maka kalian bisa dikeluarkan dari sekolah ini.”

“Boleh top up poin nggak pak?” tanya Kama.

Tentu saja pertanyaan tersebut membuat teman-temannya bersorak bahkan mendukung usulan tersebut.

Brak.

“Diam, ini sekolah bukan pasar.”

“Yang bilang pasar ‘kan Bapak, bukan kita,” sahut Ucup.

Arini hanya menggelengkan kepala, melihat interaksi antara siswa-siswa tersebut dengan ketua BK yaitu Pak Yusron. Padahal Pak Yusron terlihat sudah cukup berumur dengan penampilan cukup tegas tapi ternyata tidak membuat takut para siswa, artinya dia harus memikirkan ide lain untuk membuat para siswa itu serius dan mendengarkan.

“Tunggu dulu, sepertinya ada yang kurang.” Pak Yusron membaca daftar nama dan memperhatikan satu persatu wajah siswa yang sudah hadir. “Lah, Cakra tidak ada. Ke mana si Cakra?”

“Di sini, Pak.”

Semua atensi beralih ke pintu di mana seorang siswa yang santainya memasuki ruangan dan duduk di salah satu kursi.

“Terlambat lagi?”

“Nggaklah Pak, masa tiap hari saya harus terlambat. Malas pula ketemu Bapak terus, saya datang lebih awal tapi ketiduran di kelas.”

“Sama saja Cakra, raga kamu di sekolah tapi jiwa kamu mengembara jadinya ya seperti ini.”

Cakra tidak terlalu fokus pada ocehan Pak Yusron yang mulai membahas mengenai tawuran yang mereka lakukan. Namun, dia menatap perempuan yang duduk di samping Pak Yusron.

Dia bukannya perempuan yang kemarin? Ternyata guru baru, tapi kelihatan masih muda banget. Nggak cocok jadi guru, cocoknya jadi sugar baby, batin Cakra sambil tersenyum sinis.

Belum mengalihkan pandangannya dari Arini yang kemudian tatapan mereka bertemu. Bukannya mengelak pandangan, Cakra malah balas menatap Arini membuat perempuan itu mengernyitkan dahinya.

“Kalau kemarin kalian sampai dibawa ke kepolisian, sudah pasti langsung dikeluarkan. Tidak lama lagi kalian akan mengikuti serangkaian kegiatan ujian, jadi jangan aneh-aneh. Coba rubah pandangan hidup kalian agar bisa melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat.”

Kelas hening, tapi bukan karena para siswa meresapi nasihat melainkan sebagian melamun. Apa yang diucapkan oleh Pak Yusron seperti masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

“Setelah ini kalian akan mendapatkan pembimbing. Satu siswa satu orang pembimbing, khusus untuk yang ada di ruangan ini. Bimbingan dilakukan untuk membuat kalian lebih aktif, lebih sibuk agar tidak lagi melakukan kegiatan tidak berguna dan siap menghadapi ujian. Jika memungkinkan, Pembimbing juga akan mendatangi rumah dan orang tua kalian. Hal ini sudah kami sampaikan langsung ke orangtua masing-masing.”

“Orangtua saya nggak ada di Jakarta, Pak. Kapan Bapak menyampaikannya?” tanya Cakra.

“Iyakah?” tanya Pak Yusron yang kemudian membuat lembaran informasi mana saja orangtua yang sudah mendapatkan informasi. Ternyata orangtua Cakra memang belum mendapatkan informasi, Pak Yusron menggaruk kepalanya yang tidak gatal.  

Arini menghela nafasnya.

“Sekedar mengingatkan, ada yang namanya teknologi komunikasi. Jadi kami bisa menyampaikan informasi ini tanpa bertemu dengan orang tuamu,” tutur Arini.

“Ah betul itu. Nah, untuk kamu Cakra yang akan menjadi pembimbing adalah Ibu Arini.”

“Hahh,” pekik Arini dan Cakra serempak.

“Cie, kompak. Biasanya yang kompak kayak gini bakalan jodoh nih,” ejek Ucup.

“Jodoh apaan, bukan tipe gue banget,” gumam Cakra kembali tersenyum sinis.

“Hati-hati, benci dan cinta itu beda tipis,” ujar Kama. “Tapi kalau Cakra nggak mau, Ibu Arini boleh kok jadi  pembimbing saya. Ikhlas banget deh,” usul Kama.

“Saya yang tidak ikhlas, bisa-bisa Ibu Arini kamu pacari,” ujar Pak Yusron yang melanjutkan menyebutkan siapa pembimbing dari masing-masing siswa bermasalah di ruangan tersebut.

“Ingat, pembimbing boleh merekomendasikan siswanya untuk dikeluarkan. Terutama kamu, Cakra. Poin kamu sudah banyak berkurang dan tidak ada top up poin,” ujar Pak Yusron kemudian menutup pertemuan tersebut.

“Cakra,” panggil Arini sebelum laki-laki itu keluar bersama rekan-rekannya.

Cakra berbalik dan mendengus kesal kemudian menghampiri Arini.

“Jam istirahat, temui saya. Di ruang BK,” titah Arini.

“Harus?”

“Menurut kamu?” tanya Arini membalas tatapan Cakra.

“Kalau nggak lupa, kadang saya suka amnesia tiba-tiba kalau dipanggil guru.” Cakra kemudian berlalu dan meninggalkan Arini.

“Sepertinya, aku harus bekerja keras.”

...***...

Jam istirahat sudah hampir habis, tapi Cakra belum memperlihatkan wajahnya di ruang BK.

“Mau main-main denganku, oke kita ikut permainan kamu.”

“Bu Arini, mau kemana?” tanya salah satu guru BK lainnya.

“Hm, mencari Cakra Pak.”

“Hati-hati Bu, dia siswa berandalan. Ibu sudah hubungi orangtuanya?”

“Sudah tadi pagi setelah pertemuan,” sahut Arini.

“Yang sabar aja bu kalau menghadapi Cakra. Kasihan ya, masih magang malah harus dapat Cakra,” ujar guru lainnya.

Arini hanya tersenyum kemudian melanjutkan niatnya menemui Cakra. Menyusuri koridor kelas, tentu saja menuju kelas Cakra.

“Eh, ada ibu cantik. Mau cari siapa Bu?” tanya Ucup menghalangi jalan Arini saat melewati kelasnya.

“Minggir, saya mencari Cakra.”

“Yaelah Bu, cari gara-gara itu mah.”

“Kamu tahu di mana Cakra?” tanya Arini sambil melipat kedua tangan di dada.

“Kalau nggak ada di kelas atau kantin, biasanya dia di taman belakang,” jawab Iqbal.

“dan taman belakang itu ada di ….”

Iqbal dan Ucup menunjukkan arah menuju taman belakang. Arini pun bergegas menuju ke sana.

“Penasaran gue, apa bisa dia mengatasi Cakra. Pasti bocahnya lagi ngerokok dah,” ujar Ucup.

Arini melewati gerbang menuju taman belakang yang dimaksud. Taman tersebut sepertinya jarang digunakan karena areanya agak tertutup tapi siswa dapat mengakses wilayah tersebut. Tanaman yang ada seperti kurang terawat, bahkan ada tiga kelas kosong yang sudah terbengkalai dan rusak.

Gadis itu menatap sekeliling mencari keberadaan Cakra dan …

“Cari siapa Bu?” tanya Kama.

“Cakra, di mana dia?”

“Nggak cari saya bu.”

“Nama kamu Kama ‘kan?”

Kama menganggukkan kepalanya.

“Sebaiknya tunjukan Cakra di mana dan kamu urus saja masalah kamu.”

Kama mengusap tengkuknya, dia baru saja mendapatkan pesan dari Pak Yusron agar segera menemuinya.

“Cakra di sana,” tunjuk Kama pada kursi di bawah pohon.

Arini pun melangkah mendekat ke arah kursi tersebut, di mana Cakra berbaring dengan tangan kanan memegang rokok dan mulutnya menghembuskan asap.

“Cakra!” pekik Arini tentu saja mengagetkan Cakra yang langsung beranjak duduk dan menoleh ke arah suara.

Arini memasang wajah garang menatap Cakra yang sedang melihat ke arahnya. Cakra tidak terlihat takut, malah menatap penampilan Arini yang mengenakan blouse rapi dimasukan ke dalam rok dan flat shoes juga rambut yang diikat ekor kuda.

Ujung bibirnya tertarik dan membingkai senyum.

Kalau diperhatikan, dia manis juga dan menggemaskan, batin Cakra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!