"APA? ABI MASUK RUMAH SAKIT?" Seorang mahasiswi berkerudung segera menarik tas ransel yang berada di atas meja pada salah satu ruangan perkuliahan di Fakultas Teknik, sebuah universitas negeri di Kota Padang.
Namun, seseorang mencegat langkahnya. Tangan yang sengaja disembunyikan di belakang tubuh, tampak memegang sekuntum bunga berhiaskan pita satin bewarna putih. Ia ingin menyatakan cinta kepada adik kelas yang menawan hati, semenjak menjadi panitia pengenalan mahasiswa baru, bernama Humaira Fii Jannah.
"Da, jangan sekarang! Abi Ala baru saja masuk rumah sakit. Ala harus ke sana," ucap gadis itu berbelok memilih memutari senior yang terus berusaha mendekatinya.
Tangkai bunga yang tergeggam di belakang tubuh pemuda bernama Rafatar itu patah. "Aaaggh," ringisnya melirik pada benda di balik punggungnya itu.
Ala berjalan cepat setengah berlari, dengan raut sendu menyisir lorong kampus yang sangat luas ini. Rafatar akhirnya memasukan bunga patah itu ke dalam tong sampah dan memilih mengejar Ala. "Ala, biar aku saja yang mengantarmu?" tawarnya.
Ala langsung setuju, karena ia tahu bahwa seniornya ini selalu menggunakan kendaraan roda empat untuk ke kampus yang ada di wilayah perbukitan ini. Tanpa perlu menunggu waktu yang lama, Ala pun sampai lah di rumah sakit tersebut.
Ia melirik dua adik perempuan yang masih berseragam, satu bawahan abu-abu, dan satu lagi bawahan dongker. Mereka berdua menangis tersedu-sedu pada bangku-bangku yang ada di lorong rumah sakit tersebut.
"Uni, Abi?" tangis adiknya yang masih SMP, bernama Aulia.
Ala mengaggukan kepala mengusap pundak kedua adiknya untuk menguatkan.
"Cepat lah, Abi-mu sudah menunggu semenjak tadi," ucap wanita paruh baya yang melahirkannya.
Ala dengan cepat masuk ke dalam ruangan itu. Dan, entah kenapa Rafatar malah turut masuk bersamanya. Dalam diam, pria muda itu menyaksikan segala yang terjadi dalam ruangan ini.
"Assalamualaikum, Bi," ucap Ala menggenggam tangan sang ayah, duduk pada sebuah bangku yang ada di samping brangkar.
"A-Ala, kamu sudah datang, Nak?"
Tanpa terasa air mata Ala jatuh melihat betapa susahnya sang ayah dalam berbicara.
"Nak, kamu adalah anak Abi yang paling dewasa. Abi hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa dulu, Abi sudah berjanji akan menyatukan keluarga Abi dengan sahabat Abi, Faisal."
Ala mengerutkan keningnya, dan akhirnya bersuara. "Maksud Abi? Abi mengatakan apa? "
Ayahnya melirik sebuah benda yang ada di atas nakas di samping brangkar. Ia menunjuk ponsel yang tergeletak di atas sana. Ala yang mengerti, segera mengambil benda itu dan menyerahkan ke tangan ayahnya.
"Tolong Abi!" pintanya meyerahkan ponsel kembali ke tangan Ala.
"Telpon seseorang bernama Fajar yang dalam daftar kontak ponsel Abi!"
Dengan patuh, Ala melakukan permintaan sang ayah. Setelah disambungkan, Ala menyerahkan kepada Abi. Sang ayah menaruh benda itu di telinganya, meskipun tangannya tampak bergetar.
"Assalamualaikum."
"Se-sepertinya kita lakukan saja. Waktuku sudah tidak banyak lagi."
"Ya, aku hanya bisa meminta tolong padamu untuk mempertemukan mereka dan segera nikahkan mereka. Hari ini mungkin adalah hari terakhir saya. Tak banyak yang bisa saya lakukan, karena semuanya saya serahkan kepadamu. Tidak hanya itu, pesan saya pada anakmu untuk menjaganya seperti saya yang menjaganya dengan sepenuh hati."
Ala hanya mencoba menebak isi obrolan yang ia tidak bisa ia pahami hingga panggilan berakhir. Namun, air matanya tiada henti mengalir membanjiri pipi memandangi kepayahan yang dialami sang ayah.
"A-Ala, Abi tahu kamu pasti akan keberatan. Tapi, Abi harap kamu mau memenuhi permintaan Abi."
Ala menggenggam tangan sang ayah. "Abi mau minta apa?"
"Menikahlah dengan Syauqi, anak teman Abi, Ustadz Fajar."
Ala bagai mendengar gelegar gemuruh hebat yang membuatnya tersentak. Tangan sang ayah yang berada di dalam genggaman perlahan dilepaskannya. Jelas sekali gadis berkerudung itu shock mendengar permintaan ayahnya ini.
Bukan hanya Ala saja yang terkejut, pria muda yang sedari tadi membisu pun menggambarkan raut yang sama. Ia memandang Ala yang menatapnya nanar dan menggelengkan kepala.
Jangan terima dia! Karena, aku lah yang lebih dahulu mencintaimu. Aku lah yang pantas untuk mendapatkamu. Bukan dia, atau siapa pun itu.
"Ala, Abi tidak memiliki banyak waktu lagi. Abi hanya ingin memenuhi janji kepada sahabat Abi dulu, aagghh ...." Abi terlihat memgernyitkan wajahnya menekan dadanya.
"A-Abi?" Ala menjadi semakin gugup dan menggenggam tangan ayahnya kembali.
"Nak, kamu adalah harapan Abi. Dia adalah suamimu. Dia yang akan membimbingmu dunia akhirat. Jadi, kamu harus mencintai dan berbakti menjadi istri soleha untuk Syauqi nanti."
Ala tertegun mendengar permintaan sang ayah. 'Tapi, aku tidak tahu rasanya mencintai seseorang. Abi lah cinta pertamaku.' Ala berperang dalam hatinya.
"A-Ala ... Apa kamu keberatan dengan permintaan Abi?"
"Ba-baik, Bi. Ala akan mengikuti wasiat Abi." Ala mencium tangan yang ada dalam genggamannya. Sementara itu, pria yang sedari tadi diam menundukan wajah sendunya, benar-benar kehilangan harapan.
*
*
*
"Apa? Aku harus menikah esok?" Suara berat terdengar mengisi sebuah ruangan pada bangunan Pondok Pesantren ternama di Kota Padang Panjang.
"Iya, kami sudah berjanji semenjak muda, akan menyatukan keluarga kami dengan menikahkan anak kami, itu artinya kamu dan Humaira harus menikah!" ucap pria paruh baya yang tak lain adalah Ustadz Fajar.
"Tapi, Yah, aku sudah memiliki pilihan sendiri yang ingin aku lamar. Namanya Salma, bukan Humaira," terang pria berbaju muslim, dengan jenggot tipis di dagunya.
"Lalu, bagaimana dengan janji Ayah kepada teman Ayah itu? Beliau baru saja meninggal dunia tadi pagi. Apa kamu akan tetap kukuh untuk menolak permintaan terakhir orang yang sudah meninggal?"
Terdengar helaan napas panjang. "Innalilahi wa inna ilaihi rajiun," lafasnya halus.
Suasana hening pun terasa begitu kental. Beberapa kali Uqi, sapaan akrab bagi anak laki-lakinya ini, terdengar menghela napas berat dan kasar. Jelas sekali tergambar ia begitu keberatan dan tidak memiliki keinginan untuk memebuhi permintaan ayahnya.
"Tapi, aku tidak mengenalnya, Yah. Dalam hatiku hanya terisi oleh sebuah nama, yaitu Salma."
"Kamu tahu, tapi kamu mendustai apa yang kamu pelajari sejauh ini sampai ke Kairo sana. Mengapa umat muslim itu dilarang untuk menjalin kasih selain dalam ikatan pernikahan. Itu haram!"
"Sekarang kamu akhiri kisahmu dengan wanita bernama Salma itu, lalu menikahlah dengan Humaira! Kalau tidak mau, esoknya ayahmu lah yang akan mati karena malu!" Ustadz Fajar mengatakan hal itu semua dengan lantang dan tegas.
Hal ini tentu membuat pria yang dipanggil Ustadz Uqi ini terdiam tak mampu lagi berkutik dengan alasan lain. Namun, tangannya tergenggam erat dan bergetar.
Jangan salahkan aku, jika aku tidak akan pernah bisa mencintai gadis itu. Dan, pada akhirnya, aku akan tetap menikah dengan Salma.
*
*
*
Pada malam hari, dalam suasana duka, Ustadz Fajar membawa seluruh anggota keluarganya bertakziah ke rumah duka Alm. Ustadz Yusuf, sahabatnya dulu. Di sana juga sudah dihadiri oleh putranya yang akan dipertemukan untuk pertama kali dengan gadis bernama Humaira Fii Jannah.
Gadis itu, memperhatikan wajah pria yang akan menikah dengannya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat wajah tampan nan teduh milik pria yang ia ketahui bernama Syauqi Abdurahman Jaya itu. Mata Ala tak berkedip sama sekali.
Subhanallah, ternyata dia sangat tampan, batinnya.
Wanita paruh baya yang tak lain adalah sang ibu, merangkul lengan sang putri. Dengan mudah ia membaca bahwa sang putri telah jatuh hati saat pandangan pertama terhadap pria sebagai tempat putri sulungnya dititipkan.
Namun, berbeda dengan Ala, Ustadz Uqi tak pernah menatap wajah Ala sama sekali. Baginya, Salma lah gadis tercantik yang ia kenal. Sehingga, hatinya tertutup menatap gadis mana pun. Dalam hatinya, masih akan melanjutkan pernikahan dengan Salma, bagaimana pun statusnya nanti.
Keesokan hari, dalam balutan pakaian pengantin pria tradisional minangkabau, Ustadz Uqi melafaskan janji suci pernikahan itu dengan sangat lancar. Ala yang duduk di dalam kamar pengantin, mendengarkannya dengan wajah haru. Ia tak menyangka, pria yang baru tadi malam ditemuinya begitu fasihnya menyebutkan ijab dan qobul terebut tanpa terpeleset sedikit pun.
"Ala, mulai hari ini kamu adalah istri dari seorang pria bernama Syauqi Abdurahman Jaya. Ya, selamat datang dalam dunia yang akan mengikatmu dalam berbagai aturan sebagai seorang istri," gumamnya menatap bayangan diri memakai gaun pengantin khas minangkabau berwarna merah. Dengan kepala yang sudah terpasang tudung bundo kanduang, matanya berkaca-kaca menjalani pernikahan karena wasiat almarhum abi.
Beberapa waktu kemudian, kedua pengantin ini tampak kaku duduk dalam bangku yang sama di atas pelaminan. Wajah Ala tampak datar menatap ke arah depan tanpa melirik sedikit pun pada pria yang ada di sampingnya. Hal yang sama juga berlalu pada Uqi, suaminya. Pria itu sama sekali tidak melirik istrinya yang telah terpasang mahkota mewah di atas kepala, yang disebut dengan suntiang.
Suntiang dianggap sebagai sebuah simbol dari beratnya beban yang akan dipikul ketika seorang perempuan minang sudah menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anaknya di kemudian hari. Selain itu, suntiang juga merupakan lambang doa dan harapan pengantin perempuan.
Uqi tidak memedulikan pujian yang selalu ia dapatkan dari orang-orang yang mengucapkan kata selamat, sudah mendapatkan istri yang sangat cantik. Hatinya berkata, hanya Salma, gadis yang paling cantik yang tak akan pernah usai di dalam hatinya.
Malam hari, kedua mempelai itu telah membersihkan diri dan dalam balutan piyama masih mengenakan kerudung di kepala. Ala merasa cukup canggung memikirkan apa yang harus dilakukan jika berdua di dalam kamar bersama suaminya.
Ala begitu malu menatap ke arah suaminya dan memilih menyembunyikan wajah duduk membelakangi sang suami di sisi ranjang yang lain. Sementara itu, tanpa ia ketahui Uqi terus menatap tubuh bagian belakang Ala dengan datar.
Mereka baru usai melaksanakan salat Isya sendiri-sendiri. Namun, bagi Ala itu tidak masalah.
Sejenak, Ala melirik ke arah belakang. Ia baru menyadari suaminya mematung tepat di belakangnya. "Aah, U-Uda, Ala masih kuliah tingkat satu."
Beberapa waktu, tak ada jawaban dari laki-laki berstatuskan suaminya itu. Uqi seakan tidak peduli memilih menurunkan bantal ke atas karpet di bawah ranjang.
"Kamu jangan khawatir! Ini hanya pernikahan sementara! Jika kamu sudah tidak tahan, sampaikan padaku untuk proses selanjutnya!"
Ala tertegun mendengar ucapan sang suami. Ia langsung memutar kepala dan tidak mendapati suaminya lagi. Kepalanya melirik ke arah kiri dan kanan, akan tetapi tidak melihat bayangan suaminya.
'Barusan, dia yang ngomong kan? Maksudnya apa dengan proses selanjutnya?'
Rasa penasaran yang tinggi membuat tubuhnya ringan merangkak di atas ranjang, mendapati suaminya itu telah posisi miring ke kanan dan memejamkan mata. Ala merebahkan tubuhnya, tak henti melihat punggung suaminya yang hanya membelakangi dia. Bibirnya tersenyum manis.
'Ah, benar kah dia laki-laki yang diberikan Abi untukku?'
*
*
*
Saat Ala bangun dari tidurnya, Azan Subuh telah usai bergema beberapa waktu lalu. Ia tergopoh turun dari ranjang menuju kamar mandi. Kebetulan, seorang pria baru saja keluar dari kamar mandi. Refleks, Ala menurunkan wajahnya tertunduk dan mematung.
"Seorang istri soleha, harusnya bangun lebih dahulu dibandingkan suaminya. Melaksanakan salat berjamaah, dan berdoa bersama. Ah, kenapa dia yang jadi istriku?" Ucapan dingin itu terdengar jelas oleh telinga Ala.
Saat ia menoleh, pria itu telah keluar dari kamar. Namun, karena Ala belum melaksanakan salat subuh, ia terburu masuk ke kamar mandi dan berwudhu.
Usai melaksanakan salat, ia baru menyadari suaminya tak lagi masuk ke dalam kamar ini. Ia berjalan keluar dan benar, suaminya sudah tidak ada lagi di rumah ini.
"Ala, kenapa kamu biar kan suami pergi tanpa mengajaknya makan terlebih dahulu?" tanya sang ibu.
Ala tertegun mendengar pertanyaan ibunya. "Pergi?" ulangnya.
"Iya, Uqi bilang dia mau kembali ke pondok. Masa kamu tidak tahu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!