NovelToon NovelToon

Kode 810 : Hilangnya Diatmika

Bab Satu

Telepon di meja kerja detektif Keiko berdering saat dia sedang memriksa beberapa berkas kasus yang sudah selesai dia dan rekannya, detektif Egan pecahkan selama beberapa bulan ini.

KRIINGGGG

KRIINGGGG

KRIINGGGG

“Selamat pagi, dengan detektif Keiko di sini. Ada yang bisa saya bantu?“ ujar detektif Keiko saat menjawab panggilan telepon itu

“Keiko?!“ ujarvorang di sebrang telepon dengan ragu.

“Iya betul. Dengan siapa saya bicara?“

“Ini saya, Ibu Alana. Apakah kamu masih kenal saya nak?“ tanya orang di sebrang telepon.

“Oh ibu Alana!? Apa kabar bu? Tentu saja masih ingat ibu. Bagaimana mungkin saya bisa melupakan orang sebai ibu," ujar detektif Keiko penuh suka cita.

“Syukurlah kalau kamu masih ingat saya. Saya menghubungi kamu karena butuh pertolongan kamu.“

“Butuh pertolongan saya? Oh tentu, dengan senang hati saya akan bantu kalau bisa bu. Katakan saja,” jawab detektif Keiko antusias.

“Sungguhkah kamu mau bantu saya nak?“ tanya bu Alana penuh harap.

“Tentu. Kita ini sudah seperti saudara bu. Anda sudah seperti ibu buat saya, begitu pula Diatmika sudah seperti adik saya sendiri.“

“Ini memang tentang Diatmika,” suara bu Alana berubah sendu.

“Ada apa dengan Diatmika?“ suasana hati detektif Keiko ikut berubah menjadi cemas saat mendengar ucapan bu Alana itu.

Bu Alana terdiam selama beberapa menit, tak menjawab pertanyaan detektif Keiko hingga harus detektif Keiko harus memanggil satu kali lagi.

“Diatmika, anak ibu satu-satunya itu sudah sejak beberapa hari lalu tak ada kabarnya sama sekali. Saya sudah berusaha menghubungi ponselnya tapi tak juga tersambung.“

“Sudah berapa hari?“ tanya detektif Keiko.

“Saya tidak yakin pastinya. Namun yang saya ingat dan sadari ketidak hadiran Diatmika sejak saya sadar dari operasi kira-kita sudah satu minggu.“

“Kenapa ibu baru menghubungi aku sekarang? Kenapa tidak dari hari kedua atau ketiga?“

“Awalnya ibu pikir, mungkin Diatmika hanya sedang sibuk bekerja di tempat kerja part-time seperti biasa. Tapi setelah ibu tunggu selama beberapa hari, dia tak kunjung mendatangi ibu ke rumah sakit.“

"Ibu sudah berusaha bertanya dengan perawat di sana?" tanya detektif Keiko.

"Soal kehadiran Diatmika di rumah sakit? Oh tentu saja sudah nak. Mereka bilang, selama saya di rumah sakit Diatmika tak pernah datang menjenguk ibu."

Detektif Keiko terdiam sejenak seraya berpikir namun dengan cepat sia memberi jawaban untuk bu Alana.

“Baiklah bu, saya akan coba bantu mencari Diatmika bu.“

“Benarkah? Apa kamu akan menolong saya?“

“Tentu saja. Sudah saya katakan bukan kalau kita ini keluarga, saya akan bantu semaksimal yang saya bisa,” detektif Keiko terus berusaha meyakinkan.

Kemudian detektif Keiko memberikan nomer ponselnya agar dia dan bu Alana bisa saling terhubung dengan mudah.

Setelah menutup telepon dari bu Alana, detektif Keiko menghampiri rekannya yang sedang merapikan tumpukan map berisi kumpulan file di atas meja kerjanya.

“Ada apa?“ tanya detektif Egan menyadari kehadiran rekannya itu.

“Ehm… “

Detektif Egan menghentikan kegiatannya dan mengarahkan pandangannya kepada rekannya yang masih berdiri di samping mejanya, terlihat dalam keadaan bingung.

“Katakan saja Kei, ada apa?“

“Kalau kita cari orang hilang, bisa ngga sih?“

“Bisa saja sebenernya. Kita bisa coba tanya ke divisi orang hilang, kebetulan gue ada kenalan di sana.“

“Kalau kita sendiri yang cari, bisa ngga?“

Detektif Egan mengerutkan dahinya dan bertanya, “ Siapa yang hilang sih?“

Detektif Keiko menyeret kursinya mendekat ke meja kerja detektif Egan, duduk lalu mulai bercerita.

“Seorang anak perempuan yang dulu tinggal bersebelahan dengan rumah orang tua gue saat kami berdua sama-sama masih kecil. Tadi itu ibunya, yang sudah gue anggap seperti ibu sendiri menghubungi gue, khusus mencari gue minta tolong untuk bisa bantu cari anaknya yang hilang.“

“Sedekat itukah kalian?“

“Iya, sedekat itu gue dan Diatmika. Makanya gue mau untuk bisa ikut terlibat dalam pencarian Diatmika.“

“Coba lo tanya ke pak Brox, gue bantu ngomong,“ detektif Egan menawarkan diri untuk membantu rekannya.

“Bener nih, gan? Lo bener mau bantu?“

“Ayo cepet kita ke ruangan pak Brox sekarang,“ detektif Egan tak ingin mengulur waktu dan membuat rekannya berubah pikiran dan mundur untuk berbicara dengan pak Brox.

Kemudian kedua detektif itu pun melangkah menuju ruangan khusus milik pak Brox secara bersama-sama.

TOKK

TOKK

TOKK

Detektif Egan mengetuk pintu dan langsung dipersilahkan masuk oleh pak Brox dari dalam ruangannya.

“Ada apa, apakah kita memiliki kasus?“ tanya pak Brox saat kedua detektif itu berdiri di hadapannya.

“Sebenarnya memang ada kasus pak tapi …” ujar detektif Keiko.

“Tapi apa? Lanjutkan.“

“Kasus ini sebenarnya bukan milik divisi kita, pak tapi kebetulan menyangkut keluarga bagi detektif Keiko,” detektif Egan meneruskan, membantu detektif Keiko yang tak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Kasus apa sebenarnya?“ tanya pak Brox lagi.

“Kasus orang hilang pak.“

“Siapa yang hilang detektif Keiko? Adikmu? Kakakmu? Sepupumu?“ terdengar juga kekhawatiran di nada bicara pak Brox.

“A— Adik saya pak. Bisa dikatakan seperti itu,” jawab detektif Keiko ragu.

“Lantas apa yang kalian akan lakukan sekarang?“ tanya pak Brox.

“Rencananya kami ingin meminta izin anda agar saya dan detektif Keiko bisa ikut terjun langsung dalam proses penyelidikan ini, membantu para detektif dari divisi pencarian orang hilang,“ jawab detektif Egan.

Pak Brox tertegun sejenak berusaha menimbang-nimbang keputusan apa yang akan dia berikan untuk kedua detektif dihadapannya itu.

“Kasus ini belum ditangani oleh divisi orang hilang, pak. Ibu dari adik saya yang hilang ini menghubungi saya barusan pak,” ujar detektif Keiko.

“Oh seperti itu. Baik, saya akan bantu kamu membuat laporan saudara kamu yang hilang itu sekaligus meminta kalian untuk bisa juga dilibatkan dalam proses penyeledikan dan pencarian.“

Air muka detektif Keiko berubah berseri saat mendengar pernyataan dari pak Brox itu. Berkali-kali deyektif Keiko mengucapkan terima kasih kepada pak Brox.

Pak Brox langsung menghubungi divisi terkait saat itu juga, saat kedua detektif masih ada di dalam ruangannya.

Divisi orang hilang adalah sebuah divisi yang membantu dalam proses pencarian orang hilang.

“Terima kasih banyak letnan. Saya sangat menghargai bantuan anda,” ujar pak Brox sebelum akhirnya menutup sambungan telepon yang dia lakukan di hadapan dua detektif di divisinya.

“Jadi bagaimana pak?“ tanya detektif Egan.

“Seperti yang kalian barusan dengar. Letnan Arjuna memberikan izin untuk kalian terlibat langsung dalam kasus kali ini.“

Sekali lagi, detektif Keiko mengucapkan terima kasih kepada atasannya itu.

“Bekerjalah sebaik biasanya. Saya harap kamu segera bisa menemukan adik kamu itu,” ujar pak Brox.

Bab Dua

Hari ini, detektif Egan dan Keiko ebertemu dengan dua orang detektif lain dari divisi orang hilang di kantin kantor mereka.

“Perkenalkan, nama saya Bima dan ini rekan saya Mustofa,” ujar dari salah satu detektif itu memperkenalkan diri.

“Saya Egan, dan ini rekan saya Keiko.“

Detektif Keiko hanya melempar senyum saat diperkenalkan oleh rekannya.

“Kita mulai hari ini juga?“ tanya detektif Mustofa.

“Lebih cepat akan lebih baik,” balas detektif Keiko.

“Kita mulai dari mana?“ tanya detektif Bima.

Detektif Keiko menyerahkan selembar kertas yang di atasnya tertulis sebuah alamat, “Kita mukai dari sini.“

Keempat detektif itu masuk ke dalam sebuah mobil dan langsung meluncur ke sebuah alamat.

Dalam hitungan menit mereka sudah sampai di sebuah rumah yang terlihat hangat dan meriah dengan bunga-bunga berwarna warni di halaman rumah.

Detektif Keiko berjalan lebih dahulu dan mengetuk pintu rumH yang berwarna hijau, warna yang kontras dengan bunga-bunga di depam ruamh itu.

Pintu hijau itu terbuka, seorang wanita berusia lima puluhan berdiri di ambang pintu dan menyipitkan matanya berusaha melihat orang yang mengetuk pintunya dengan seksama.

“Keiko?!“

“Betul, bu Alana,” jawab detektif Keiko dengan senyuman.

Mendengar jawaban itu, bu Alana langsung memeluk detektif Keiko.

“Bagaimana kabar kamu?“ tanya bu Alana saat dia melepaskan pelukannya yang sangat erat kepada detektif Keiko.

“Saya baik tentunya.“

“Masuklah nak, masuk.“

Bu Alana mengeser tubunnya, membiarkan detektif Keiko dan ketiga rekannya masuk ke dalam rumahnya yang benar-benar hangat dan tertata rapih serta apik.

“Duduklah. Kalian mau minum apa?“

“Terima kasih banyak bu Alana, kami ke sini untuk mencari segala hal yang berhubungan dengan Diatmika,” ujar detektif Mustofa menolak secara halus tawaran itu.

Bu Alana terdiam sejenak dan menundukan kepalanya berusaha menahan air mata kecemasannya.

“Kapan terakhir kali anda melihat Diatmika?“ tanya detektif Bima.

Bu Alana tak menjawab pertanyaan itu namun detektif Keiko berusaha meyakinkan, “Kami di sini berusaha membantu ibu.“

“Maaf, saya hanya sedang berusaha menenangkan diri,” jawab bu Alana.

“Kami mengerti bu,” timpal detektif Mustofa yang memang biasa menangani kasus orang hilang. Dia mengerti cara untuk menenangkan mereka yang sedang dalam kemelut seperti yang sedang dialami bu Alana.

“Kurang lebib tiga minggu lalu, saya masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit dalam kondisi yang memang sangat tidak baik hingga harus segera menjalamkan operasi. Anak saya Diatmika yang mengantarkan saya ke rumah sakit pada hari itu, namun karena saya menjalankan prosedur operasi maka saya tidak mengetahui hal selanjutnya.“

Bu Alana menceritakan dalam sudut pandangnya, sementara detektif Bima dan Egan mencatat setiap apa yang diceritakan oleh bu Alana.

“Sekitar satu minggu lalu, saya terbangun di sebuah ruangan dengan tangan terinfus. Hari itu saya hanya seorang diri. Saya pikir mungkin anak saya saat itu sedang bekerja hingga bebrapa hari lalu saya diperbolehkan oleh pihak rumah sakit untuk pulang dan saya berusaha menghubungi anak saya untuk mengurus proses kepulangan saya namun dia tak pernah menjawab panggilan dari saya,” kembali bu Alana menyambung ceritanya.

“Lantas bagaimana ibu bisa pulang sampai ke rumah?“ tanya detektif Keiko.

“Saya meminta tolong adik kandung saya untuk mengurus segala urusan rumah sakit. Saat adik saya datang ternyata segala biaya rumah sakit telah diselesaikan,” jawab bu Alana.

“Siapa yang membayar?“ tanya detektif Bima.

“Pihak rumah sakit bilang, biaya rumah sakit saya diselesaikan oleh rekening dari sebuah perusahaan.“

“Rekening perusahaan?“ ujar detektif Mustofa.

“Betul.“

“Ibu tahu mama perusahaannya?“ tanya detektif Egan.

“Tunggu sebentar.“

Bu Alana bangkit dan berjalan menuju sebuah kamar. Sejurus kemudian dia telah kembali dengan membawa selembar kertas.

“Ini. Nama perusahaannya ada di dalam sini,” ujar bu Alana sambil menyodorkan kertas tersebut ke detektif Keiko.

Keempat detekrif itu berkumpul, memperhatian nama perusahaan yang tertulis di sana.

“PT. Jiwa Seni, apa kalian pernah dengar?“ detektif Bima bertanya kepada ketiga rekannya.

“Kalau ngga salah, itu perusahaan yang menaungi galeri seni yang ada di jalan Tembaga,” jawab detektif Egan.

“Jalan tembaga yang ada di dalam kota?“ tanya detektif Bima.

“Iya betul.“

“Bagaimana sebuah perusahaan bisa membayar biaya rumah sakit anda?“ tanya detektif Bima kepada bu Alana.

“Jujur saja, saya juga tidak tahu. Tapi Diatmika sering melakukan pekerjaan paruh waktu di sela kesibukannya kuliah.“

“Maksud anda mungkin ini adalah bayaran dari Diatmika selama bekerja paruh waktu?“ tanya detektif Keiko.

“Mungkin saja kan?!“ ujar bu Alana.

“Bisa jadi. Sekarang memang sedang tren membayar membayar kebutuhan pekerja paruh waktu langsung dari perusahaan,” tambah detektif Mustofa.

“Apakah kami boleh menyimpan kertas ini bu?“ tanya detektif Bima.

“Tentu saja. Saya harap selembar kertas itu bisa membantu kalian menenukan anak saya.“

“Kami akan berusaha semaksimal yang kami bisa untuk menemukan anak anda,” ujar detektif Bima saat akhirnya mereka pamit undur diri.

Saat ketiga detektif lain sudah keluar dari rumah bu Alana, detektif Keiko masih menyepatkan diri untuk sedikit berbincang dengan wanita yang wajahnya terlihat kelelahan itu.

“Kami ngga akan melalaikan proses pencarian ini. Ibu harus percaga sepenuhnya kepada kami.“

“Kamu dan teman-temanmu itu adalah harapan ibubsaat ini. Tolong temukan Diatmika, nak.“

“Tentu, Keiko janji akan menemukan Diatmika.“

“Terima kasih banyak nak.“

“Kita akan selalu saling berkirim kabar ya bu. Siapa pun diantara kita yang lebih dulu menemukan Diatmika maka akan mengabari yang lain.“

“Tentu saja nak.“

“Namun untuk saat ini, ibu istirahatlah dulu. Ibu akan perlu banyak energi untuk menunggu Diatmika pulang,” detektif Keiko masih terus berusaha menguatkan wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri itu.

“Ibu tidak bisa beristirahat jika Diatmika belum pulang.“

“Keiko mengerti apa yang ibh rasakan, tapi Keiko juga ngga ingin ibu jatuh sakit. Bukankah Diatmika tak pernah ingiin melihat ibu sakit?!“

“Benar. Anak itu sejak dulu selalu menangis jika melihat ibu sakit. Sampai terakhir ibu melihatnya, dia menanggis melihat ibu berada di ruang Instalasi Gawat Darurat hari ini,” bu Alana memutar lagi memori di dalam kepalanya.

“Ibu sakit apa?“

“Diagnosa dokter, ibu mengalami usus buntu yang sudah sangat akut. Hari itu, saat ibu masuk rumah sakit kondisi ibu sudah sangat gawat dan harus segera di operasi.“

“Lantas bagaiman kondisi ibu sekarang?“

“Seperti yang kamu lihat, fisik ibu sehat sekali sekarang ini. Namun hati ibu terasa amat sakit karena belum bertemu lagi dengan Diatmika.“

Wajah bu Alana kembali seperri dinaungi awan hitam yang gelap.

Detektif Keiko memeluk bu Alana dan berkata, “Maka kini ibu harus menjaga diri dan hidup dengan sehat, agar saat Diatmika pulang kondisi ibu sedang fit.“

“Terima kasih banyak nak. Sejak kami pindah dari rumah lama yang berrada di sebelah rumah orang tuamu, sungguh sulit bagi kami menemukan tetangga sebaik kalian.“

“Pertalian kita memang sudah seperti sedarah, makanya akan sulit bagi kita menemukan pengganti satu sama lain,” ujar detektif Keiko sambil meleparkan senyuman.

Bab Tiga

Dari bukti pembayaran biaya rumah sakit tempat bu Alana mwnajalani perawatan keempat detektif bisa menemukan kemungkinan tempat Diatmika melakukan pekerjaan paruh waktu selama ini.

Dari alamat perusahaan itu pula akhirnya keempat detektif diarahkan kepada sebuah galeri seni di salah satu sudut kota.

Hari itu mereka berempat mendatangi galeri seni itu untuk memastikan bahwa Diatmika memang bekerja paruh waktu di sana selama ini.

Begitu mereka masuk ke dalam galeri seni itu, mata mereka langsung disajikan berbagai macam karya seni. Mulai dari lukisan, patung, hingga karya sastra dari berbagai seniman terkenal dari berbagai macam negara.

“Kira-kira berapa banyak uang yang sedang ditampilkan di sini!?“ ujar detektif Egan.

“Mana ada uang di sini,” tukas detektif Mustofa.

“Anda tak mengerti maksud saya,” balas detektif Egan.

“Maksud detektif Egan, karya seni di sini pasti memiliki harga yang sangat mahal. Bukan begitu, detektif?“ ujar detekttif Bima.

“Anda memang cerdas. Sesuai dengan wajah yang anda tampilkan,” jawab detektif Egan.

Mereka terus berjalan memasuki galeri seni itu hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah meja melingkar yang di dalamnya terdapat beberapa orang resepsionis. Meja itu begitu kontras dengan seisi galeri tersebut.

Seorang wanita dengan seragam berwarna biru dongker berdiri dan sambil memamerkan senyumannya menyambut keempat detektif.

“Ada yang bisa saya bantu?“ tanyanya dengan sopan.

“Kami dari kepolisian. Kami datang ke sini untuk melakukan penyelidikan,” ujar detektif Mustofa sambil memperlihatkan lencananya.

“Apakah kami bisa berbicara dengan seseorang dari pihak galeri?“ sambung detektif Egan.

“Maaf, ini tentang kasus apa pak?“ tanya resepsionis itu.

“Kasus orang hilang. Kemungkinan salah satu dari pegawai di sini,” jawab detektif Keiko.

“Tapi setahu saya, pegawai di sini tak ada yang hilang,” ujar resepsionis itu.

“Makanya kami ingin berbicara pada orang yang berwenang di sini untuk mengetahui apakah orang yang hilang itu benae bekerja di sini atau tidak,” sambung detektif Keiko.

“Ada apa ini?“ seorang laki-laki berbadan kekar dan berkepala botak tiba-tiba menyela pembicaraan antara para detektif dan resepsionis.

“Kami dari kepolisian ingin berbicara kepada kepala galeri di sini,” jawab detektif Egan.

“Ada perlu apa?“

“Ada yang ingin kami tanyakan kepada beliau,” jawab detektif Keiko.

“Soal apa?“

“Soal hilangnya seseorang,” kali ini detektif Bima yang menjawab.

“Silahkan ikut saya,” ujar laki-laki berbadan kekar dan berkulit gelap itu.

Keempat detektif berjalan mengekor padanya. Mereka melewati beberapa barisan meja, dimana banyak karyawan yang sedang sibuk bekerja dan hampir tak lerduli dengan kehadiran mereka. Lalu mereka berhenti di depan sebuah pintu dan laki-laki kekar itu mengetuk.

“Siapa?“ terdengar suara laki-laki dari dalam ruangan.

“Saya pak,” jawab laki-laki kekar itu.

“Oh Dalmar, masuklah.“

“Saya bersama empat tamu pak.'

“Ok.“

Laki-laki kekar yang ternyata bernama Dalmar membuka pintu ruangan itu. Ternyata ruangan itu cukup besar dengan dua buah lukisan berukuran cepat besar yg di gantung di dinding ruangan itu.

Sementara di hadapan mereka terdapat jendela besar yang di depannya terdapat meja kerja yang sangat artistik dan tertata dengan rapi. Dan di kursi kerja itu seorang laki-laki sedang duduk dan fokus pada kertas-kertas di atas mejanya.

“Pak Gilen… “ panggil Dalmar.

Pimpinan galeri seni itu mengangkat kepalanya dan berkata, “Seingat saya, saya sedang tak menunggu tamu.“

“Maaf mengganggu anda pak…”

“Gilen,” jawab pimpinan galeri seni itu.

“Pak Gilen. Kami ke sini dengan maksud memacahkan sebuah kasus,” lanjut detektif Keiko.

“Kasus? Kasus apa?“

“Kasus orang hilang,” jawab detektif Egan.

“Siapa yang hilang?“

“Seorang perempuan bernama Diatmika,” jawab detektif Bima.

Raut wajah Gilen berubah saat detektif Bima menyebutkan nama Diatmika.

“Maksud anda… Diatmika hilang?“

“Betul. Apakah anda mengenal Diatmika?“ tanya detektif Keiko.

“Diatmika… dia itu—”

“Gadis yang waktu itu bekerja sebagai pekerja paruh waktu pak,” ujar Dalmar.

“Oh iya. Memang waktu itu dia bekerja di sini sebagai pekerja paruh waktu. Dia membantu kami dalam proses lelang karya seni.“

“Jadi benar, dia pernah bekerja di sini?“ tanya detektf Bima.

“Betul. Tapi sudah beberapa hari ini dia tak datang untuk bekerja,” jawab Gilen.

“Kapan terakhir kali dia datang untuk bekerja?“ tanya detektif Bima.

“Kalau tak salah sekitar seminggu yang lalu.“

“Kenapa selama beberapa hari dia tidak datang bekerja, anda tak melaporkan kehilangannya?“ tanya detektif Keiko.

“Diatmika bekerja sebagai pekerja paruh waktu di tempat ini. Setahu saya di kuliah dan karena dua hal itu saya merasa ketidak hadirannya bukan sebuah sinyal suayu hal yang buruk.“

“Tapi seharusnya anda lebih perhatian pada karyawan anda,” ujar detektif Keiko dengan nada meninggi.

“Hai, kenapa anda membentak saya?“ ujar Gilen merasa tak terima dengan perlakuan detektif Keiko.

“Keiko, lo harus tenang,” detektif Egan berusaha menenangkan rekannya.

“Dalmar, usir mereka semua dari ruangan saya!“ kali ini suara Gilen yang meninggi.

“Pak kami minta maaf,” ujar detektif Bima berusaha menenangkan suasana namun keadaannya sudah tak terkendali.

Dalmar sudah memanggil beberapa petugas keamanan yang merupakan bawahannya untuk menyeret para detektif keluar dari ruangan Gilen, bahkan samlai keluar dari gedung galeri seni itu.

“Saya mohon kalian untuk pergi dari sini. Bantulah saya menjalankan tugas dan pekerjaan saya di sini,” ujar Dalmar saat mereka sudah berada di luar gedung galeri seni itu.

Selesai mengatakan hal tersebut, Dalmar beserta beberapa anak buahnya kembali masuk ke dalam gedung, meninggalkan para detektif yanv masih kebingungan karena belum menemukan sedikit pun petunjuk selain kebenaran bahwa Diatmika pernah bekerja paruh waktu di tempat itu.

“Bagaimana sekarang?“ tanya detektif Mustofa.

“Kita kembali saja dulu ke kantor dan kembali lagi ke sini beberapa hari lagi,” usul detektif Bima.

Walau detektif Keiko setuju dengan usulan dari detektif Bima namun sebagian dari dirinya masih ingin terus di gedung galeri seni itu dan memaksa Gilen untuk memberinya lebih banyak informasi.

Namun begitu, detektif Keiko menyadari kesalahannya membuat kegaduhan dan tak sanggup menahan dirinya bereaksi di luar keharusan.

Semua karena kasus ini melibatkan Diatmika, orang yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Dalam sebuah kasus hilangnya seseorang, waktu adalah hal paling penting yang harus diperhitungkan.

Detektif Egan, Bima dan Mustofa sudah berjalan lebih dulu di depan detektif Keiko yang masih terlarut dalam pikirannya sendiri dan berjalan jaub lebib lambat dari ketiga rekannya.

Di saat itu detektif Keiko menoleh ke salah satu gang yang berada di samping gedung galeri seni itu. Di gang itu, detektif Keiko seolah melihat seorang perempuan berambut ikal sedang mengintip, melihat ke arahnya.

Dengan setengah berlari Detektif Keiko memutuskan menghampiri gang itu, saat perempuan itu tak terlihat lagi. Sepertinya perempuan itu menarik diri masuk ke dalam gang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!