Calvin dan Sandra begitu terkejut dengan kabar yang mengatakan jika Alena sudah melahirkan bayi laki-laki tadi malam. Pantas saja tadi malam mereka menghilang saat pernikahan Edward dan Clara masih berlangsung. Pagi itu mereka dengan cepat menuju rumah sakit menggunakan mobil. Calvin menggenggam tangan Sandra ketika mereka baru tiba di rumah sakit. Mereka berjalan melewati lorong terang dengan taman di kedua sisinya. Beberapa suster terlihat sedang sibuk sambil membawa map. Mereka berlalu lalang di setiap lorong.
Sandra memegang perutnya. Ia pun merasa antusias karena tiga bulan mendatang iapun akan melahirkan. Ia tersenyum senang. Ia melihat banyak wanita yang sedang hamil besar sedang berjalan-jalan di sekitar taman. Ia berpikir mereka sedang bersiap untuk melahirkan. Ia menggenggam tangan Calvin dengan erat.
"Kenapa?" tanya Calvin sambil menoleh pada Sandra.
Sandra menggeleng sambil tersenyum.
Ketika mereka melewati ruang bayi, terdengar suara bayi menangis. Tangan Sandra merinding mengingat ia juga akan memiliki bayi. Di ujung lorong, mereka melihat Dave berada di luar salah satu kamar. Wajahnya masih terlihat kelelahan. Ia sedang duduk sambil memegang handphonenya. Ketika mereka mendekat, terlihat sekali ada lingkaran hitam di kedua matanya.
“Dave!” panggil Calvin.
Dave menoleh dan tersenyum. Ia menghampiri mereka berdua. Calvin dengan cepat memeluk sahabatnya itu. “Selamat Dave!”
“Thank you.. luar biasa waktu semalam.”
“Sekarang gimana kondisi Alena?”
“Dia lagi diperiksa didalem.”
“Bayinya gimana?”
“Sehat. Ada didalem juga.”
Tak lama keluar dokter dan suster. Kebetulan dokter mereka sama. Jadi ketika Sandra bertatapan dengan dokter itu, ia langsung antusias.
“Ibu Sandra menyusul ya!” Seru dokter itu.
Sandra tersenyum. Ia kembali memegang perutnya. “Iya dok.”
"Kalo gitu saya permisi. Sampai jumpa di ruang persalinan tiga bulan mendatang." Ucap dokter itu sambil melangkah pergi.
Setelah dokter itu pergi, Dave masuk terlebih dahulu kedalam. Kemudian Sandra dan Calvin berjalan dibelakangnya. Sandra terdiam melihat Alena tengah menggendong bayi dalam pangkuannya. Wajahnya masih terlihat pucat karena semalam ia telah menantang nyawa. Tapi melihatnya menggendong bayi, rasanya sepadan dengan apa yang ia korbankan tadi malam. Tanpa sadar Sandra memegang kembali perutnya. Ia berjalan sambil menengok wajah bayi. Tampan sekali. Bayi itu sedang tidur.
"Sandra.. pasti kamu pengen cepet-cepet lahiran." Seru Alena senang.
Sandra duduk disamping Alena. Ia memegang tangannya. "Gimana tadi malem? Kenapa gak bilang kalo kamu lahiran?"
"Kalo kita bilang, bisa-bisa acaranya berantakan." Jawab Alena sambil tertawa. Ia ingat bagaimana Clara marah-marah pada Dave semalam. Begitu pula dengan nenek yang ikut shock mendengar dirinya sudah melahirkan. Tapi semuanya berakhir bahagia.
Sandra menatap terus bayi itu. Baru melihatnya sekali membuatnya langsung jatuh cinta. Alena tersenyum ketika melihatnya. "Mau gendong?"
"Boleh?" tanya Sandra.
"Masa gak boleh. Kamu kan mamanya juga."
Dave melihat percakapan seorang ibu dan calon ibu yang terlihat sangat antusias. Ia melihat Calvin dan berbisik. "Jangan ganggu mereka."
"Kita keluar aja." jawab Calvin.
Dave mengangguk. "Al, kita diluar ya. Kalo ada apa-apa panggil aja." Ucap Dave pada Alena.
Ketika keduanya keluar, Sandra langsung menggendong bayi itu di tangannya. Ia menatapnya terus. Rasanya menakjubkan memiliki bayi, pikirnya.
"Cakep Al. Namanya siapa?"
"Prince Andi. Kamu inget kan waktu terakhir kita nonton past film."
"Prince Andi?" Tanya Sandra sambil tertawa kocak. Ia ingat, dua minggu sebelum melahirkan, Alena memaksanya untuk ikut dengannya setelah ia mendapat undangan dari salah satu sponsor untuk menonton film dengan tema kerajaan di Eropa. Dua orang ibu hamil menonton film di bioskop tanpa ditemani suami-suaminya, saat itu mereka memang jadi pusat perhatian. Tapi keduanya cukup cuek.
"Kok malah ketawa sih Sandra! Aku gak punya pilihan lain. Soalnya aku langsung jatuh cinta sama nama itu." protes Alena.
Sandra mengangguk setuju. "Aku inget emang waktu itu kamu antusias banget sama Prince Andi. Tapi aku gak nyangka kamu sampe pake nama itu buat namain anak kamu."
"Jangan kasih tau Dave. Please..."
"Dave tanya gak kenapa kamu namain anaknya Prince Andi?"
Alena menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia memegang lengan Sandra. "Anak kamu perempuan kan? Kasih nama Erika. Di film juga Prince Andi menikah sama Princess Erika. Siapa tau anak kita nanti bisa gitu."
Sandra berjalan sedikit menjauh. Ia tidak mau dekat-dekat dengan Alena karena takut tertular gila. Ketika Andi kecil bergerak, ia langsung menggoyangkan tangannya. "Prince Andi, kok aku ngerasa lucu ya"
Andi kecil hanya mengeliatkan tubuhnya. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan kedua ibunya.
Berselang tiga bulan kemudian Alena dapat bernafas dengan lega ketika mendengar Sandra melahirkan. Ia hanya ingin tahu siapa nama gadis yang baru dilahirkan ke dunia itu.
"Erika. Namanya Erika." Seru Dave ketika Alena sedang berjalan menghampirinya. Ia baru saja menidurkan Andi di kamar bayinya.
Alena berlari dan berteriak karena terlalu senang. Ia memeluk Dave dengan erat. Dave kebingungan melihat Alena seperti itu.
"Prince Andi, Princess Erika, dalam kehidupan nyatapun kalian akan bersama." Ucap Alena dalam hati. Ia terus tersenyum memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Andi masih menutup matanya ketika suara ketukan pintu kamarnya terdengar sangat kencang. Belum lagi suara ibunya yang terus memanggil-manggil namanya dengan kencang. “Ya ma!” teriak Andi. Ia membuka matanya tapi ia belum sadar sepenuhnya. Semalam teman-temannya mengajaknya untuk bermain basket di sebuah Gor yang terletak dekat dengan kampusnya. Walaupun sekarang sudah lulus kuliah dan bekerja di kantor ayahnya, ia masih mengunjungi Gor hanya untuk bermain basket bersama teman-temannya. Semalam pula ia diajak oleh salah seorang temannya untuk menemaninya karena salah satu temannya berulang tahun. Banyaknya pekerjaan untuknya yang baru saja mengenal sebuah pekerjaan membuatnya sedikit pusing. Belum lagi tuntutan ayahnya agar ia cepat mengerti pekerjaannya.
Andi lahir menjadi anak tunggal kedua orang tuanya. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orangtuanya karena tidak mau memberikannya seorang adik untuknya. Padahal melihat kedua orangtuanya bukanlah dari kalangan biasa saja. Saat ini ibunya masih bekerja disalah satu rumah sakit sebagai direktur. Menurut ayahnya, ia dan neneknya memberikan ibunya hadiah ulang tahun berupa rumah sakit. Ketika itu ia masih berusia tiga tahun. Sedangkan ayahnya mempunyai perusahaan sendiri dimana ia sekarang mencoba peruntungan untuk melanjutkan bisnisnya. Walaupun tidak dipaksa ketika sekolah dulu, tapi ia dengan senang hati masuk perguruan tinggi dengan jurusan arsitek. Menurut ibu dan ayahnya, anak sahabatnya pun masih mengenyam pendidikan sebagai arsitek di Jepang sana. Apakah itu dijadikan ajang pembuktian oleh kedua orangtuanya? Entahlah, hanya mereka berdua yang tahu.
Berbeda dengan sepupunya yang saat ini sedang bersekolah diluar negeri. Mereka dengan senang hati menuruti keinginan mereka. Iapun duduk diranjang dengan kaki disimpan di atas lantai vinyl. Terasa sangat dingin pagi ini. Kemudian terdengar kembali langkah kaki ibunya yang menghampiri kamarnya.
“Satu,dua,tiga…”ucapnya sambil menutup matanya, lalu terdengar ketukan kencang lagi. Untuk kedua kalinya ia mendengar ibunya memanggil namanya dengan kencang. Iapun berdiri dan menghampiri pintu. Baru saja dibuka, ibunya sudah memegang sendok sayur ditangannya. Ia masih menggunakan celemek dibadannya.
“Ya ma…” jawab Andi sambil tersenyum.
“Mama pikir kamu gak akan bangun. Padahal mama udah bawa alat ini buat bangunin kamu.” jawab Alena sambil berbalik. Ia kembali ke dapur untuk melanjutkan masaknya.
Andi menutup kembali pintu kamarnya dan berjalan ke kamar mandi. Sambil mengantuk, ia menatap cermin di kamar mandi yang ada dikamarnya. Cermin besar itu bisa memperlihatkan setengah badannya. Ia tersenyum. Sesekali ia memegang wajahnya. Ia cukup tampan walaupun belum mandi, pikirnya. Beberapa janggut dan kumis tipis sudah menghiasi wajahnya. Ia mengambil alat cukur untuk membersihkan wajahnya.
Di ruang makan, Dave dan Alena sudah duduk dimeja makan. Pagi ini Dave hanya ingin sarapan roti panggang dan secangkir kopi hitam. Alena membawa dua slice roti dan melapisinya dengan nutella ke atas roti dan memasukkannya kedalam panggangan roti. Ia melihat Dave. Ia sedang membaca berita di ipadnya. Beberapa krisis ekonomi membuat banyak perusahaan tidak sanggup bertahan. Tapi untungnya perusahaan suaminya masih sanggup bertahan hingga saat ini.
“Ada berita apa pagi ini?” tanya Alena serius.
“Ada beberapa hotel yang gulung tikar. Okupensi tamu gak bisa menutup biaya operasional mereka.”jawab Dave tanpa melepaskan tatapannya dari ipad.
“Hotel kita gimana?”
“Untungnya kita udah bisa prediksi dari awal kalo lambat laun tamu kita berkurang. Hotel semakin banyak. Kalau kita gak bisa perbaiki semuanya, kita juga bisa ikut tutup.”
Terdengar suara mesin pemanggang roti berbunyi. Alena mengambil roti yang keluar dan menghampiri Dave. Karena Dave terlalu sibuk membaca berita, ia menyuapi Dave.
Terdengar suara siulan seseorang. Dave dan Alena langsung menatap ke arah suara. Ia melihat Andi sedang bersiul untuk menggoda mereka.
“Inget loh pah, ma, aku ini udah dewasa. Sampai kapan kalian ngeliatin sikap romantis kalian sama aku?” tanya Andi sambil berkacak pinggang.
“Kamu ngomong apa sih, Andi?” tanya Alena.
“Itu papa disuapin gitu. Mama sadar gak sih kalo kalian itu romantis.” goda Andi.
“Bilang aja kamu iri.” Celetuk Dave sambil menyimpan ipadnya di meja.
Andi cemberut dan duduk di kursi disamping Dave. “Aku iri.” jawabnya kemudian.
“Makanya cari pacar. Udah usia 23 tahun tapi belum pernah pacaran. Kamu malu-maluin papa.” ucap Dave sambil meminum kopinya.
“Papa gak tau aja kalo anak papa ini udah 20 kali pacaran.” jawab Andi bangga.
“Dua puluh kali?”tanya Alena shock. “Sejak kapan kamu pacaran sebanyak itu?”
“Sejak TK. Kalo ada yang deketin aku, ya aku anggap pacar!” Jawab Andi sambil berjalan menjauhi mereka. Ia tertawa dengan melambaikan tangannya dari belakang. "Bye, aku mau jemput dulu Siska!"
"Siska siapa? Jangan kurang ajar sama almarhum nenek kamu!" ucap Alena.
Andi berbalik. "Emangnya yang namanya Siska cuma nenek aja. Dah!!" jawabnya sambil berjalan keluar
“Andi!! Dasar kamu ya, seneng banget bikin mama shock!” teriak Alena.
Dave tertawa. “Anak itu emang seneng bikin kamu shock, Al. Tapi aku yakin, dia cuma bawa yang serius kalo dateng ke rumah ini.”
“Mirip banget sama kamu!” ucap Alena sambil mencubit tangan suaminya.
Erika memasukkan koper-kopernya ke dalam bagasi bandara untuk dibawanya pulang. Kedua orangtuanya sudah pulang terlebih dahulu ke Indonesia satu minggu yang lalu. Adiknya, Vino masih melanjutkan kuliahnya yang akan selesai dua tahun lagi di Jepang. Entah kapan ia akan kembali ke Jepang? Ia sedih harus meninggalkan semua kenangan manis disini. Kedua orangtuanya membawanya ke Jepang ketika usianya baru menginjak 5 tahun karena urusan pekerjaan ayahnya. Ibunya yang seorang asisten produser akhirnya mendapatkan pekerjaan disebuah production house film pendek tak lama setelah mereka pindah. Ia memiliki teman-teman di jepang ketika ia kuliah di Korea dulu. Namun karena pekerjaan ibunya, beberapa kali ia dan adiknya ditinggalkan dirumah bersama hoiku-shi sedangkan ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
Ia menoleh pada Vino dan menutup wajahnya dengan topi yang dipakainya sehingga wajahnya tidak terlihat. Ia meronta sebelum akhirnya ia lepaskan. Ia tertawa. “Jangan kangen sama kakak.” ucap Erika. Ia begitu menyayangi Vino. Sejak kecil mereka tidak pernah berpisah seperti sekarang.
Vino menatap sinis kakaknya. Entah mengapa Vino lahir menjadi seorang pria dingin. Padahal kedua orangtua mereka tidak pernah mengajari mereka seperti itu. Iapun memeluk Vino dengan erat. “Take care ya sayang, kita tunggu kamu lulus dan pulang sesuai rencana” ucap Erika.
Vino hanya mengangguk. Erika melambaikan tangannya pada adiknya sambil tersenyum.
Namun baru saja melangkah, Vino menarik lengan Erika dengan kencang. Ia mengajaknya masuk ke sebuah restoran yang ada di dekat mereka. Ini adalah kesempatan terakhir Vino untuk meminta uang pada kakaknya. Banyaknya tugas maket yang ia buat untuk kampusnya membuat uangnya cepat habis. Membuat maket membutuhkan banyak uang. Tapi ia menyukainya. Beberapa kali ia mencoba meminta uang pada kakaknya karena uang jajan kakaknya lebih besar tapi ia ragu. Kali ini adalah kesempatan baik.
“Vino, bukannya kita baru makan tadi pagi?” tanya Erika bingung.
“Kapan lagi aku bisa minta uang sama kamu!” jawab Vino dengan nada datar
Erika mencubit pipi adiknya dengan kesal. Tapi ia senang karena Vino menunjukkan peningkatan hari ini. Ia terlalu dingin pada siapapun termasuk dirinya. Padahal sejak kecil ibunya sering membawanya ke lokasi syuting. Ibunya sengaja membawa Vino agar ia bisa berbaur dengan banyak orang. Tapi ternyata sifat dinginnya sulit disembuhkan.
Erika menatap jam tangannya. Masih ada satu jam sebelum pesawat take off. Tapi lebih baik ia check in terlebih dahulu. Didalam ia bisa melihat banyak pemandangan pagi ini. Ia menatap Vino dan memeluknya dengan erat. “Cepet beresin kuliah kamu. Kita tunggu kamu di rumah.” bisik Erika sambil mencium pipi Vino. Wajah Vino langsung berubah merah. Ia berbalik dan mengatakan sesuatu dalam bahasa jepang. Erika tidak dapat mendengar dengan jelas. Tapi ia senang. Ia melihat Vino berlari sambil memegang pipinya. Memiliki adik seunik itu siapa yang tidak mau. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri.
Iapun berjalan ke arah para petugas bandara untuk pengecekan. Ia ikut berbaris untuk menunggu. Ketika saatnya ia yang diperiksa, petugas pria itu membuka passportnya dan terkejut melihat namanya.
“Ojo?” tanya petugas pria itu sambil tersenyum.
“Nee.. (Ya)” jawab Erika sambil tersenyum. Satu candaan lagi datang, pikirnya. Seingatnya ketika terakhir ia pergi menaiki pesawat, tidak pernah sekalipun petugas menggodanya.
Ojo? Nama belakangnya memang unik. Dalam bahasa jepang ojo sendiri berarti putri. Nama lengkapnya adalah Erika Ojo yang artinya putri Erika. Nama belakangnya sudah biasa menjadi candaan teman-teman sekolahnya. Bahkan saat ini di bandara pun nama belakangnya menjadi candaan. Ia pernah mendengar jika ibunya yang memilihkan nama itu. Ia penasaran ada kejadian unik apa dibalik pemberian nama itu.
Ketika ia duduk sambil menatap beberapa pesawat, handphonenya berbunyi. Ia melihat ibunya menghubunginya.
“Ya Ma.. aku ada di bandara sekarang.” Jawab Erika.
“Ojo!!” goda Sandra.
“Ma.. jangan panggil aku ojo lagi..” rengek Erika.
“Kenapa? Mama suka nama itu.” protes Sandra.
“Aku digodain terus sama orang-orang. Panggil aku Erika.”
Terdengar suara ayahnya tertawa di belakang ibunya.
“Oke,oke Erika. Kamu dimana sayang?”
“Aku masih dibandara. Mama jadi jemput aku kan? Aku gak tau jalan ke rumah.”
“Pokoknya nanti ada yang jemput kamu. Kamu tenang aja.”
“Oke..”
Ketika telepon ditutup, suara panggilan dari pengeras suara mengatakan jika penumpang dipersilahkan untuk naik pesawat. Iapun berdiri dan mulai ikut berbaris. Penumpang yang berangkat dari bandara haneda terlihat padat. Ia menatap passport di tangannya. Kebetulan ia memesan kursi pesawat kelas bisnis. Tidak sulit mencari tempat duduknya. Didepannya para pramugari cantik berpakaian biru itu membantunya mencarikan tempat duduk. Iapun duduk dan memakai seatbeltnya. Ia melihat kota tokyo dari dalam ketika pesawat mulai take off. Setelah hampir 20 tahun tinggal di Jepang, ia akhirnya pulang ke negaranya. Tepatnya 18 tahun. Padahal tadinya ia pikir akan tinggal disini selama 20 tahun. Tapi ternyata planning kedua orangtuanya berubah. Kali ini adalah kali keduanya pulang setelah sebelumnya ia kembali untuk liburan kedua orangtuanya. Masa remajanya ia habiskan di Jepang karena pekerjaan ayahnya. Begitu pula dengan ibunya. Ia pernah mendengar jika ibunya mendapatkan pekerjaan sebagai asisten produser sebuah berita televisi Jepang tapi ia mengundurkan diri ketika Vino menginjak usia 5 tahun. Setelah itu barulah ia bekerja kembali. Kecintaannya pada dunia pertelevisian membuatnya kembali.
Saat itulah bertahun-tahun hanya nenek dan kakeknya yang menjenguknya. Tapi setelah mereka meninggal, ia tidak pernah kembali. Ketika ia dan Vino liburan sekolah, mereka tidak pernah berlibur ke negaranya. Mereka lebih senang membawanya berlibur ke Eropa.
“Bye japan, See you again.” Bisiknya ketika pesawat mulai naik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!