NovelToon NovelToon

Road To Jogja

BAB 1

Bruum, bruum, suara bising kenalpot motor menggelegar di garasi kediaman Biantara Imam Wijaya. Suara bising itu hampir setiap malam terdengar, sebab Bian rutin memanaskan motor kesayangannya sepulang kerja, terlebih saat malam minggu seperti ini, ia memanaskan motornya lebih lama sebab ia akan mengajak motor kesayangannya untuk nongkrong bersama teman komunitasnya sesama pengguna motor gede.

Kecintaannya pada motor gede sudah ada sejak usianya menginjak lima tahun, dulu Bian sering di ajak berkeliling kota dengan menggunakan motor gede bersama almarhum kakeknya. Sayangnya saat usianya yang menginjak lima belas tahun, kakeknya meninggal dunia lantaran penyakit gagal jantung yang di deritanya, namun kakeknya mewariskan Triumph Bonneville kepada Bian, dan sampai sekarang motor itu menjadi motor kesayangannya.

Walau motor ini tampangnya jadul, bukan berarti motor kesayangan Bian ini mumpuni. Dipersenjatai mesin 900 cc SOHC dual cylinder yang mampu menghasilkan tenaga sebesar 54 Hp pada 5900 rpm, Bonneville siap menemani Bian touring kemana aja.

Bahkan Bian tak pernah khawatir soal tanjakan, karena motor kesayangannya ini punya torsi sebesar 80 Nm yang udah kerasa dari kitiran 3230 rpm. Saat ia dan teman-temannya touring ke Lembang, bulan lalu ia merasa enteng dengan mengendarai motor ini.

Bian bisa saja membeli motor baru yang lebih bagus, dari motor peninggalan kakeknya, namun ia sudah terlanjur jatuh hati pada motor peninggalan itu dan enggan untuk menggantinya dengan motor yang lain yang lebih bagus dan baru.

Selesai memanaskan mesin motornya, Bian menggendong tas ransel yang berisi dua botol minuman beralkohol. Bagi Bian, nongkrong bersama teman-temannya tanpa minum akan terasa hambar, selain itu minggu lalu ia juga berjanji akan membawan champagne terbaik dari Eropa, yang ia titip dari kolega bisnisnya.

Bian mengenakan helmnya, kemudian ia mulai menaiki motornya. "Mang Ujang, tolong pintu dan pagarnya ya," ucap Bian sebelum melajukan kendaraannya.

Baru sampai di depan gerbang, ban motornya berdecit. Bian terpaksa menghentikan laju kendaraannya, saat mobil Caroline tiba-tiba saja muncul dan hendak masuk ke kediamannya. "Brengsek," gumam Bian.

Wanita cantik itu keluar dari mobilnya, malam itu ia nampak sexy dengan rok mini serta blus tanpa lengan dan belahan dada rendah yang meperlihatkan sebagian payuda*anya. Dengan anggun, Caroline mendekat ke arah Bian. "Hai sayang," sapanya, ia langsung mengalungkan tangannya di leher Bian. Bian membuka kaca helmnya.

"Sayang, aku rindu sekali denganmu." Caroline bergelayut manja di tubuh Bian. "Malam minggu ini sama aku saja ya, aku kasih servis plus-plus seperti biasanya untukmu," ia mengedipkan mata genitnya kepada Bian.

Bian nampak tak tertarik dengan tawaran Caroline. "Untuku dan untuk yang lainnya juga, cih murhan," ia mengumpat. "Aku tidak sudi punya pacar yang di celup sana-sini!!" bentak Bian sembari melepaskan tangan Caroline dari lehernya, dari raut wajahnya terlihat jelas ia tampak kesal dan marah pada mantan kekasihnya itu.

"Menyingkir, atau kutabrak mobilmu!!" Bian berteriak, sembari memutar selongsong gasnya berulang-ulang hingga meninmbulkan suara yang menggelegar.

Caroline yang takut dengan ancaman Bian, buru-buru masuk ke mobil dan menepikan kendaraannya menjauhi gerbang keduaman Bian. "Sial, rupanya ATM berjalanku sudah tidak bisa di rayu lagi," Caroline memukul stir kemudi ketika melihat motor Bian berlalu pergi.

......................

Kawasan Pantai Indah Kapuk, merupakan markas tempat Bian dan teman-temannya nongkrong. The Moge, itulah nama genk motor mereka, sudah lebih dari dua tahun ini Bian menjabat sebagai ketua genk The Moge yang beranggotakan 25 anggota yang berasal dari wilayah Jabotabek yang memiliki hoby yang sama, penyuka motor gede.

Sebagai ketua genk tentu Bian sangat di segani oleh anggotanya, ia memiliki kharisma yang kuat, dan tegas dalam memimpin untuk itulah Bian di pilih sebagai ketua genk.

Selama perjalanan menuju markas, Bian mencoba menepis bayangannya tentang Caroline, wanita yang sudah menemaninya hampir sepuluh tahun, sejak mereka masih duduk di sekolah menengah pertama. Tak mudah bagi Bian untuk bangkit dari keterpurukannya pasca ia memergoki Caroline tidur dengan pria lain, padahal kala itu ia justru ingin melamarnya, apa pun tingkah Caroline, Bian selalu maafkan namun untuk satu itu, Bian tak bisa memberikan toleransi kepada Caroline. Dengan tidur dengan pria lain, bagi Bian, Caroline sudah menginjak-injak harga dirinya

Satu bulan Bian terpuruk dalam lubang kekecewaan, kini di saat ia mulai bangkit menata hatinya kembali, Caroline dengan mudahnya datang kembali ke kehidupannya. "Aku tidak sudi kembali lagi padamu," gumam Bian.

Mendekati markas The Moge, Bian melihat adanya keramaian yang tak biasa. Beberapa orang yang tak ia kenal berada di sana, dan nampak tengah bersitegang dengan anggotanya. Bian buru-buru menepikan kendaraannya, kemudian ia menerobos kerumunan. "Woi.. Woi.. Ada apa ini?" ia menyingkirkan orang-orang yang tak di kenalnya menerobos masuk mendekati anggotanya yang di kepung oleh kawanan dari genk motor lain.

"Oh jadi ini ketua genk kalian?" ucap salah seorang dari kawanan itu yang terlihat paling berani dan bertubuh paling kekar di antara yang lainnya. "Loe sama temen-temen loe udah ngambil daerah kekuasaan kita," ucapnya dengan nada tinggi.

Sadar jumlah anggotanya saat ini yang datang lebih sedikit dari jumlah kawanan yang mengepung markasnya. Bian masih mencoba untuk tenang, dan tidak terpancing emosi. "Kita sudah setahun menempati ini, bagaimana bisa kami mengambil daerah kekuasaan kalian? Saat kami datang tempat ini sepi," Bian mencoba untuk menjelaskannya.

"Halah banyak bacot loe," pria bertubuh besar tadi tak menerima penjelasan Bian, ia melayangkan satu pukulan keras ke perut Bian. Bian yang berada di posisi tidak siap berkelahi, meringis menahan sakit, namun ia langsung bangkit untuk membalas pria tadi.

Seketika suasana markas menjadi tak terkendali, anggota The moge tak terima mereka memukul Bian, mereka melakukan pembalasan, termasuk Bian yang menendang pria tadi hingga pria itu tersungkur.

Adu pukul pun tak terhindarkan lagi, suasana semakin kacau dan Bian semakin kehilangan kendali melihat anggotanya kalah telak melawan kawanan itu, ia membuka tasnya dan mengambil botol champagne. Bian menggunakan botol tersebut untuk menyerang lawan, beberapa orang dari lawan mengalami robek di bagian kepala dan tubuh akibat pecahan botol di tangan Bian.

Kawanan tersebut semakin liar, salah seorang dari mereka mengarahkan senjata api ke tubuh Bian.

Dooor...

Salah seorang anggota The Moge, menyelinap ke depan tubuh Bian untuk melindunginya. Raka langsung terjatuh ketika peluru itu bersarang di tubuhnya.

Beberapa detik suasana hening, semua mata tertuju pada Raka, namun kemudian tanpa aba-aba kawanan itu membubarkan diri, termasuk sang penembak yang berlari dan lompat ke motornya meninggalkan markas.

BAB 2

Bian tertunduk lesu di hadapan Raka yang berbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit, meski sempat kehilangan banyak darah, beruntung dokter berhasil menyelamatkan Raka. Dalam operasinya, dokter berhasil mengambil peluru yang bersarang di tubuh Raka.

Selesai operasi, Raka dipindahkan di ruang rawat inap dan bisa di temani oleh teman-temannya. Seiring hiangnya pengaruh dari obat bius, Raka mulai membuka matanya, ia melihat sekeliling, kemudian ia menatap Bian yang berada di sampingnya. "I'm okay," ucapnya parau sembari mengacungkan ibu jarinya.

Bian menatap tajam ke arah Raka, kemudian ke yang lainnya. "Lain kali enggak usah ada yang melindungi gue. Gue bisa jaga diri gue sendiri!!" ucap Bian dengan tegas, ia tak suka melihat orang terdekatnya terluka karena melindunginya, ia beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Malam itu merupakan salah satu malam terburuk baginya, yang pertama karena kedatangan Caroline ke kediamannya dan yang kedua kejadian yang menimpa Raka di markas genk motornya. Dengan di temani sinar rembulan, Bian duduk di pinggir kolam renang, ia menenggak champagne yang masih tersisa di rumahnya. Bian sengaja tak membawa semua champagne untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia ingin minum di rumah, dan benar saja kejadian malam ini membuatnya sangat penat.

Lama Bian duduk di pinggir kolam, pukul 01.00 dini hari ia mendengar suara puntu gerbang terbuka. Bian sudah bisa menebak, jika pintu itu di buka lantaran ayahnya baru saja pulang. "Tumben pulang," gumam Bian, tersenyum sinis.

Melihat kelakuan ayahnya yang sering tidak pulang, atau bahkan pulang larut malam dengan membawa pulang wanita lain, ia tak menyalahkan sang ibundanya menggugat cerai ayahnya, lima tahun yang lalu.

Hanya saja, yang membuat Bian tak terima mengapa ibundanya seolah melupakannya setelah ibundanya memiliki keluarga baru yang bahagia, rasanya hidup ini tidak adil bagi Bian. Mengapa ibundanya melupakannya begitu saja? Apa karena wajahnya yang begitu mirip dengan ayahnya sehingga membuat ibundanya enggan untuk bertemu dengannya, bahkan hanya sekedar membalas pesan darinya saja ibundanya jarang membalasnya.

Di usianya yang menginjak dewasa, Bian membuang harapannya untuk memiliki orangtua yang harmonis, ia bertekad membuat sendiri keluarga kecil yang bahagia bersama Caroline, namun impian itu pun harus pupus, setelah Bian memergoki Caroline berselingkuh.

Bian menghela napas beratnya, ia beranjak dari kolam ketika samar-samar ia mendengar suara seorang wanita di dalam rumahnya. "Jal*ng mana lagi yang pria tua itu bawa? Tak ingat umurkah dia," umpatnya, ia berjalan menuju kamarnya.

Saat hendak menaiki tangga, ia melihat seorang wanita yang ia kenal, berjalan menghampirinya. Rupanya dugaan Bian kali ini keliru, ayahnya bukan pulang membawa jal*ng liar, melainkan sekretaris ayahnya. "Mas Bian.." Iren berlari kecil menghampiri Bian.

Bian menoleh ke arah wanita itu. "Ada apa kamu malam-malam kemari?" tanya dengan tatapan menyelidik. Rasanya tak mungkin ada pekerjaan yang harus di kerjakan selarut ini, bersama pria tua yang tengah mabuk berat.

"Hasil MCU, pak Rudi," Iren menyerahkan dokumen MCU atasannya kepada Bian. "Tadi pagi aku menemani pak Rudi ke rumah sakit untuk mengambil ini, dokter menjelaskan jika ada masalah di beberapa organ penting pak Rudi, dan pak Rudi di minta untuk menjalani pengobatan agar tidak semakin bertambah parah, namun agaknya pak Rudi tidak begitu mengindahkan anjuran dokter tadi."

Bian hanya melihat dokumen itu sekilas, kemudian ia memberikannya kembali kepada Iren. "Kalau orangnya saja tidak mau, lantas aku harus apa? Kau suruh saja Jal*ng liar mengurusi pria tua itu," ucap Bian ketus, ia kembali berjalan menuju kamarnya.

Baru beberapa berjalan, Bian menghentikan langkahnya dan kembali berbalik ke arah Iren. "Untuk malam ini, kau menginaplah di kamar tamu. Tapi lain kali, jangan mau bekerja di luar jobdesk dan jam kerjamu. Masalah pribadi orangtua itu bukan urusanmu!!" Kali ini Bian benar-benar meninggalkan Iren di ruang keluarga, ia berharap Iren segera beristirahat dan berhenti mengurusi ayahnya.

Bian menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, pikirannya kembali melalang buana. Ia masih tak habis pikir mengapa ayahnya hobby sekali main perempuan, sebejat-bejatnya dirinya, Bian paling anti bermain perempuan, justru malah dirinya yang di khianati oleh Caroline.

Coroline.

Lagi-lagi wanita itu, sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Bian, banyak kenangan manis yang telah mereka lalui. Andai kau hanya makan malam bersama pria itu, aku masih bisa memafkanmu.

...****************...

Keesokan paginya, setelah mengantar Iren pulang, Bian kembali mengunjungi Raka di rumah sakit. Suasana kamar rawat inap Raka masih ramai seperti tadi malam ketika ia pulang.

"Ini sudah tindakan kriminal, gue mau membawa masalah ini ke ranah hukum," ucap Bian dengan penuh keyakinan, kilatan kemarahan masih terpancar jelas di matanya.

"Mereka bukan orang sembarangan, Bi," ucap Rangga sembari menepuk bahu Bian. "Backingan mereka para pejabat tinggi, kita bakal kalah melawan mereka, terlebih yang mulai duluan ngelepar mereka pake botol kan loe, Bi."

"Ya terus, kita diem aja gitu ngeliat temen kita hampir mati? Gue enggak bisa."

"Untuk sementara itu dulu yang bisa kita lakuin sambil mengatur strategi."

"Menurutku, apa tidak sebaiknya kita pun memiliki senpi untuk jaga-jaga jika mereka menyerang kembali, karena bukan tidak mungkin mereka akan datang lagi karena masih menaruh dendam atau ingin kembali merebut markas kita," sahut Indra, anggota genk The Moge yang ikut menemani Raka selama di rawat di rumah sakit.

Bian berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk. "Rasanya tak ada salahnya, jika kita punya untuk melindungi genk kita."

"Tapi kali ini lebih baik kita pakai uang kas kita saja," ucap Rangga. The Moge sendiri memiliki uang kas, yang berasal dari iuran anggota tiap bulannya, uang kas tersebut di buat untuk membiayai segala keperluan kelompok namun pada kenyataannya semenjak Bian menjabat sebagai ketua kelompok, setiap pengeluaran nyaris menggunakan dana pribadinya, hal ini membuat anggota merasa tak enak sehingga untuk yang satu ini para anggota sepakat untuk menggunakan dana kas yang mereka miliki.

"Betul, Bi. Kita enggak mau apa-apanya selalu pakai uang loe, padahal kita punya kas yang cukup besar, apa lagi senpi harganya lumayan. Ya walau gue tahu, bagi loe uang segitu enggak ada apa-apanya," imbuh Indra.

"Ya udah okay, silahkan kalian pakai uang kas kita, nanti kalau kurang gue tambahin." Bian melihat satu persatu anggotanya. "Eh ngomong-ngomong di mana Fahri? Kayanya dari semalem gue enggak ngeliat tu anak deh." Bian mencari anggota sekaligus bendahara The Moge. "Ya sudah, setelah pulang ini gue samperin ke kostannya, sekalian gue ada perlu sama dia."

BAB 3

Sepulangnya dari rumah sakit, Bian menyempatkan diri mengunjungi kostan Fahri. Bian di buat terkejut ketika mendapatkan informasi jika Fahri sudah tidak lagi kost di tempat tersebut, dan orang-orang yang tinggal di kost tersebut serta sang pemilik kost pun tak mengetahui keberadaan Fahri.

Tak ingin berpikiran buruk terhadap temannya, Bian pun mencoba menghubungi Fahri. Pada panggilan pertamanya, Fahri memutuskan panggilan masuk dari Bian. Bian menghubungin Fahri kembali, namun di panggilannya yang kedua ini nomor telepon Fahri sudah tidak dapat di hubungi.

'Ada yang tidak beres dengannya,' gumam Bian, ia masih mencoba menapikan kemungkinan Fahri membawa uang kas genknya, sebab ia mengenal Fahri sudah cukup lama dan Fahri merupakan orang yang bertanggung jawab.

"Nanti malam kita kumpul di rumah sakit, ada hal penting yang pengen gue bahas," ucap Bian kepada Rangga lewat sambungan teleponnya, ia sengaja mengumpulkan pengurus genk di rumah sakit tempat Raka di rawat, sebab ia belum merasa yakin dan tak ingin mengambil resiko jika berkumpul di markas, kalau-kalau kawanan genk motor yang kemarin menyerang kembali.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Jadi kalian semua enggak ada yang tahu Fahri pindah kostan?" Bian memandangi temannya satu-persatu. Mereka kompak menggeleng, sembari memasang wajah bingungnya.

Di antara mereka pun tak ada satu pun bisa menghubungi Fahri. Fahri sudah benar-benar mematikan sambungan teleponnya. "Temen gue satu kantor sama Fahri, gue coba hubungin temen gue dulu, siapa tau dia tahu keberadaan Fahri," ucap Indra.

Bian dan yang lainnya mengangguk, mereka semua diam menunggu kabar dari Indra. Beberapa menit kemudian Indra mengatakan. "Kata temen gue, Fahri sudah resign dari kantor," Indra memberikan informasi yang ia dapatkan dari temannya.

"Brengsek, dia pasti bawa pergi uang kas kita," gumam Rangga, ia mengepalkan tangannya menahan emosi yang memuncak. "Kalau tidak ngambil uang itu, dia tidak akan mungkin diam-diam pergi dari Jakarta dan matiin handphonenya."

"Loe benar, kalau tidak ada apa-apa dia enggak mungkin reject telepon dari gue," sambung Bian. "Selama ini gue enggak pernah ngecek, karena gue percaya penuh sama dia, tapi ternyata di khianatin kepercayaan kita."

"Apa perlu kita cari dia ke rumah orangtuanya di Jogja?" tanya Raka. "Sebab kalaupun dia enggak ada di Jogja minimal orangtuanya tahu itu orang ada di mana, kalau perlu kita seret orangtuanya ke ranah hukum untuk pancingan agar Fahri mempertanggung jawabkan perbuatannya."

Bian berpikir sejenak, kedengarannya memang agak sedikit kejam, tapi ia juga butuh kejalasan karena ini menyangkut uang bersama dan jumlahnya pun tidak sedikit, ada sekitar dua ratus lima puluh juta uang kas yang berada di tangan Fahri. "Rangga, Indra, kalian berdua ikut gue ke Jogja malam ini juga!!" perintah Bian.

"Sorry, Bi. Bukan bermaksud enggak solidaritas, tapi besok gue ada meeting untuk promosi jabatan," tolak Indra secara halus. "Loe tahu kan sudah lima tahun gue kerja di tempat itu tapi gaji dan jabatan gue di situ-situ aja? Sekarang gue di kasih kesempatan untuk naik jabatan dan memperbaiki nasib gue, Bi."

Bian mengangguk, mengerti. Komunitas ini hanyalah hobby, kegiatan lainnya seperti karir tetaplah yang utama, itulah yang selalu Bian tanamkan kepada semua anggotanya.

"Ya sudah, gue berdua saja sama Rangga," ia menoleh ke arah Rangga, yang rupanya juga tidak dapat menemani Bian ke Jogja. "Sorry, Bi. Kayanyanya gue juga enggak bisa deh, loe kan tahu dua minggu yang lalu bini gue baru lahiran, kalau sampe dia tahu gue ke luar kota bisa ngamuk. Ini aja dia udah neleponin mulu nyuruh balik, bantuin dia jaga anak. Bagaimana kalau ajak angota saja?" Rangga mencoba memberikan gagasan lainnya.

Bian menggeleng, dengan tegas ia langsung menolaknya. "Untuk sementara ini anggota jangan sampai ada yang tahu!!" ucapnya dengan tegas. "Kalau mereka ada yang sampai tahu permasalahan kas ini, reputasi kita sebagai pengurus bisa turun, kita bisa tidak di percaya lagi. Lagi pula ini juga belum jelas akar permasalahannya, bisa jadi Fahri hanya pergi sebentar, masih banyak kemungkinan yang terjadi. Pokoknya jangan sampai anggota ada yang tahu dulu, mengerti!!"

"Terus loe sama siapa?"

"Gue akan ke Jogja sendirian!!" ucap Bian dengan penuh keyakinan, sebagai seorang ketua, ia memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini, dengan atau tanpa pengurus lainnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bian meraih ransel di lemari tasnya, kemudian ia mengambil beberapa kaus dan celana, lalu memasukannya ke ransel. Entah mengapa ia memiliki firasat jika ia akan tinggal beberapa hari di Jogja, terlepas dari masalah Fahri, ia berharap bisa sedikit menepi dari ibu kota dan menikmati keindahan Jogja.

Selesai memasukan semua barang-barang pribadinya, ia menutup resleting tasnya, dan menggendongnya di punggung. Ia akan pergi malam ini juga, dengan menggunakan motor Triumph Bonneville kesayangannya.

Bagi orang seperti Bian yang terbiasa touring, ia tak butuh waktu lama untuk berkemas. Sebelum keluar dari kamarnya Bian mengenakan jaket Respiro Theta R1 berwana biru tua, jaket yang mampu menahan embusan angin agar tidak masuk ke dalam tubuh. Serta sepatu Mid-calf boots berwarna hitam, sepatu ini menutup hampir setengah betisnya. Meski agak sedikit ribet dalam penggunaannya, namun dengan menggunakan sepatu ini, ia bisa mendapatkan perlindungan yang lebih maksimal terlebih ia harus menempuh perjalanan jarak jauh.

Setelah Bian merasa semua persiapannya cukup, ia membuka pintu kamar dan siap memulai perjalanannya menuju kota pelajar, Yogjakarta. Baru saja Bian membuka pintu kamar, tiba-tiba saja Caroline yang sedari tadi sudah menunggu Bian di depan kamar, berhambur memeluk Bian. "Bi, aku mohon maafkan aku hiks..." ia menangis di dekapan tubuh Bian. "Maafkan atas kehilafanku. Aku tahu, aku sudah melakukan kesalahan yang fatal, tapi aku mohon satu kali kesempatan lagi. Yang kemarin aku benar-benar khilaf, Bi. Aku datang ke acara ulang tahun temanku, dan aku mabuk di sana. Pria itu mengantarku pulang ke apartemen dan mengambil kesempatan di saat aku mabuk. Aku berani bersumpah, awalnya aku mengira pria itu adalah dirimu, aku benar-benar tidak sepenuhnya sadar, Bi. Aku mohon jangan tinggalkan aku, putus dari membuatku rasanya hampir mati. Maafkan aku sayang huhu..."

Air mata Caroline mengalir deras di wajahnya. Bian tidak pernah bisa melihat Caroline menangis, setiap kali melihat wanita itu bersedih, rasanya ia ingin melakukan apa pun agar wanita itu tersenyum kembali. Bian mengelus punggung Caroline dengan lembut, dan mencium puncak kepalanya. "Aku mau ke Jogja, kita bicarakan masalah ini setelah aku pulang dari Jogja ya," ucap Bian, tak bisa ia pungkiri meski wanita itu telah merobek hatinya, namun terkadang ia masih merindukan wanita itu.

Caroline mendongak dari pelukan Bian. "Jogja? Berapa lama? Mau apa kau ke sana?"

Bian menyingkirkan helaian-helaian rambut yang menutup wajah Caroline dan merangkum wajah wanita itu dengan mesra. "Bendahara genk motorku, membawa kabur uang kas kami, jadi aku garus menyusulnya ke Jogja. Mungkin empat sampai lima hari aku sudah kembali lagi ke Jakarta."

Bian mendaratkan ciuman perpisahannya di bibir Caroline, kemudian ia melepaskan pelukan Caroline dan pergi. Meski sedikit kecewa karena Bian harus pergi ke Jogja, namun Caroline sedikit lega karena setidaknya Bian masih mau menciumnya. "Aku pasti akan menunggumu, sayang." ia mengantar Bian sampai ke teras, barulah ia kembali pulang ke apartementnya. 'Sepertinya cicilan mobil dan apartementku akan kembali aman,' batin Caroline sebelum meninggalkan kediaman Bian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!