Siapa yang tidak mengenal Pramudya, salah satu pewaris Antasena Grup yang memiliki anak perusahaan di mana-mana. Tidak hanya di Indonesia, Anatasena Grup telah mengembangkan sayapnya hingga mancanegara. Terutama sejak berada di bawah kepemimpinan Pramudya, Antasena Grup telah merambah ke pasar Eropa dan Amerika. Di usia yang baru menginjak angka 29, Pramudya sungguh telah menyita seluruh perhatian publik.
Tampan, kaya, bergelimang harta ... siapa yang tidak tergila-gila kepadanya? Mulai dari supermodel kelas dunia, artis-artis cantik yang seksi dan menggoda, hingga anak-anak dari para rekan bisnisnya rela mengantri hanya agar bisa naik ke atas ranjangnya. Sayangnya, Pram—begitu biasa Pramudya dipanggil—tidak tertarik sama sekali. Baginya, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada memenangkan tender dan membuka anak perusahaan di seluruh dunia.
Gedung utama Antasena Grup berada di pusat Kota Jakarta, berdiri megah di antara gedung pencakar langit Kota Jakarta yang padat. Dengan bangunan yang didominasi oleh warna hitam, gedung Antasena Grup bediri dengan megah, tinggi menjulang di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya.
Kantor Pram berada di lantai yang paling tinggi, tepatnya di lantai 102. Dengan lahan seluas 500 meter yang didesain minimalis bernuansa hitam dan abu-abu, kantor itu benar-benar memberi kesan arogan dan mendominasi.
Pagi itu, Pram sedang berada di kantornya seperti biasa. Ia harus memeriksa beberapa laporan yang baru saja diberikan Kikan, sekretarisnya. Ada tender hotel baru di Singapura yang harus ia pelajari. Ia tidak ingin salah langkah dan menderita kerugian jika tidak teliti dalam melihat celah sekecil apa pun itu.
Saat Pram baru saja menggulung lengan bajunya dan hendak mengambil secangkir kopi di atas meja, terdengar suara ketukan di pintu yang tidak terlalu keras, juga tidak terlalu pelan.
Pria itu mengabaikan suara ketukan di pintu. Ia menyesap kopinya perlahan, lalu menumpu tubuhnya dengan kedua lengan yang kekar di atas meja. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah jelek. Kopi itu terasa manis, padahal ia sudah meminta Kikan untuk membuatkannya secangkir kopi pahit tanpa gula.
Pram hendak mengambil ekstension dan menghubungi Kikan, tapi suara ketukan itu terdengar lagi.
“Masuk!” seru Pram kesal. Sekarang ekspresi wajahnya benar-benar terlihat menyeramkan.
Tak lama kemudian, muncul seorang gadis berambut pendek sebahu yang menatap ke arah Pram dengan takut-takut.
“Maaf, Pak, itu ....” Gadis itu menatap ke arah cangkir kopi di tangan Pram. “Maaf, tadi saya salah membuatkan kopi untuk Bapak, saya lupa kalau—“
“Jadi kopi ini kamu yang buat?” sela Pram dengan ketus. Sepasang mata elangnya seolah sedang menatap mangsa, tajam dan mengintimidasi.
“I ... iya, Pak ... maaf, akan saya buatkan—“
“Siapa namamu?”
“A .. apa? Oh ... sa .. saya ... eng, nama saya Freya.” Gadis itu terlihat benar-benar gugup sekarang. Desas-desus mengenai bosnya yang kejam dan galak membuat nyalinya menciut. Ia tidak ingin dipecat di hari pertamanya bekerja.
Pram menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Penampilannya biasa saja. Tidak mewah tapi juga tidak terlalu buruk. Kulitnya meski tidak terlalu putih tapi terlihat bersih. Gadis itu memiliki sepasang mata bulat dan bersinar, menatap ke arahnya dengan takut-takut sambil menggigiti bibir yang tidak dipoles pewarna.
Pram merasa sedikit puas karena gadis itu tidak memakai riasan yang berlebihan seperti office girl sebelumnya. Selain itu, tidak ada aroma parfum yang menyengat yang membuatnya ingin bersin setiap saat. Dilihat dari penampilan itu, Pram menebak mungkin gadis itu berusia 19 atau 20 tahun.
Di sisi lain, jantung Freya sudah hampir berhenti berdetak karena ditatap sedemikian rupa oleh atasan barunya. Benar-benar menakutkan! Pria di hadapannya itu bahkan lebih menakutkan dibandingkan rumor yang digosipkan oleh orang-orang!
“Kamu office girl baru yang direkomendasikan oleh Kikan?”
“I-iya, Pak.” Freya memilin ujung kemejanya dan menunduk. Tatapan Pramudya Antasena benar-benar membuatnya sesak napas.
“Apa Kikan tidak mengajarimu sebelumnya?”
“Eng ... sudah, tapi saya—“
“Gajimu dipotong 50 persen,” sela Pram dengan dingin. Ia tidak suka memiliki bawahan yang ceroboh.
“A ... apa?!” Freya mendongak dan mentatap atasannya dengan tidak percaya. “Ta ... tapi saya kan—“
“Tujuh puluh persen!”
Freya menggigit bibir dan mengepalkan tangannya erat-erat. Ia baru bekerja satu hari dan gajinya langsung dipotong 70 persen! Bosnya ini benar-benar seorang lintah darat!
Gadis itu mencibir dan memaki dalam hati. Pantas saja pria itu kaya raya! rupanya dari memeras keringat pegawai rendahan seperti dirinya. Huh! Dasar tidak tahu malu!
“Kenapa memelototiku seperti itu? Pergi buatkan kopi yang baru!” Entah mengapa tiba-tiba Pram merasa kesal melihat ekspresi pelayan baru di hadapannya itu. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya gadis itu sedang memakinya dalam hati. Tidak tahu diri!
“Ba ... baik ....” Freya membalikkan badan dan meninggalkan ruangan sang CEO dengan langkah tergesa. Ia takut jika berdiri lebih lama di sana dam menyinggung atasannya itu lagi, mungkin gajinya akan dipotong sampai habis!
Baru saja Pram ingin memeriksa lembar laporannya, kembali terdengar suara ketukan yang keras dan terburu-buru. Ia mengalihkan tatapannya ke pintu. Tidak mungkin ‘kan gadis itu sudah selesai membuat kopi secepat itu?
Sedetik kemudian, muncul wajah seorang pria yang memakai jas biru tua dengan potongan rambut model spike.
“Pram, kamu harus baca ini!” seru pria itu dan menghambur ke arah Pramudya. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Pram, kemudian menyodorkan ponselnya ke arah pria itu.
“Apa yang membuatmu seperti dikejar setan, Bayu?” Pram menatap wakil CEO yang juga merupakan sahabatnya itu sambil mengangkat alisnya.
Berbanding terbalik dengan Pram, Bayu memang lebih ceplas-ceplos, tidak sabaran, dan sedikit kekanakan.
“Cepat baca,” desak Bayu.
Dengan sedikit malas Pram mengambil ponsel Bayu dan membaca pesan yang membuat sahabatnya itu panik. Tak lama kemudian, keningnya berkerut dalam.
“Apa maksud semua ini?” tanya Pram.
“Apa lagi? Tentu saja si Tommy brengsek itu ingin merebut semua harta warisanmu!”
Pramudya mencibir dan tertawa sinis. Tommy adalah saudara tirinya. Lebih tepatnya, kakak tirinya. Ketika Pram berusia 7 tahun, ayahnya membawa pulang seorang wanita simpanan dan anak laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya. Ibu Pram tidak dapat menerima pukulan itu sehingga jatuh sakit.
Ibunya tidak dapat menerima goncangan batin sehingga kesehatannya memburuk dengan cepat, lalu meninggal tiga bulan kemudian. Sejak saat itulah Tari Paramita—sang wanita simpanan—berubah menjadi Nyonya Antasena. Tentu saja Tari bersikap seolah ia adalah seorang ratu tanpa mengindahkan masa lalunya sebagai perusak rumah tangga orang lain.
Tari hidup bahagia bersama suami baru dan anaknya, sesekali berusaha menampilkan citra sebagai ibu tiri yang baik bagi Pram. Namun, di dalam hati Pram, dendam akan kematian ibunya tidak akan pernah terhapuskan oleh sikap palsu ibu tirinya.
Meskipun Tommy tidak bersikap menyebalkan dan tidak menggangunya ketika mereka masih kecil, tapi Pram bisa merasakan bahwa sikap saudaranya itu penuh dengan kepalsuan. Tommy selalu tersenyum sepanjang waktu, bersikap sangat baik dan penurut di hadapan ayah mereka. Namun, Pram sering mendengar dari para pelayan bahwa Tommy sangat kasar dan suka memukul jika ada pelayan yang membuat kesalahan. Sayangnya, Pram tidak pernah mendapati sendiri tingkah saudaranya itu sehingga tidak memiliki bukti. Selain itu, ia masih terlalu kecil saat itu.
“Tommy itu seperti ular beludak, menyelinap di mana-mana dan meninggalkan bisanya yang beracun. Dia tidak memiliki kemampuan apa pun selain menjilat dan mengadu domba. Menjijikkan,” ejek Pram seraya membolak-balik halaman laporan di atas meja. “Coba saja kalau dia mampu mengalahkanku.”
“Pram, kali ini cukup serius. Aku dengar Tommy berencana untuk menikahi Anisa, putri dari salah satu konglomerat pemilik bisnis property yang menggurita hingga ke mancanegara. Jika dia berhasil menikahi wanita itu, maka otomatis 20 persen saham peninggalan ayahmu akan jatuh ke tangannya.”
Ucapan Bayu berhasil menarik minat Pram. Usianya dan Tommy memang hanya terpaut dua tahun. Dan sesuai surat wasiat yang ditinggalkan oleh ayahnya, siapa pun yang lebih dulu menikah dan berhasil mengembangkan Antasena Grup maka berhak menjadi satu-satunya pewaris yang sah.
Saat ini posisinya sebagai CEO memang terlihat menjajikan. Akan tetapi, jika Tommy berhasil melakukan manuver dan mendapatkan saham tambahan sebanyak 20 persen, maka sudah jelas posisi mereka akan bertukar tempat. Bajingan itu akan menjadi CEO sedangkan ia sendiri hanya akan menjadi seorang Direktur.
Entah apa yang akan dilakukan oleh Tommy jika berhasil mendapatkan jabatan sebagai CEO. Mungkin dia akan menjual semua saham kepada pihak lawan, atau memecat semua orang lama yang telah bekerja di perusahaan sejak kedua orang tua mereka masih ada.
Pram menyugar rambutnya dengan kasar dan menatap Bayu.
“Apa saranmu?” tanyanya dengan wajah serius.
Bayu berdeham dua kali sebelum menjawab, “Kamu harus menikah lebih dulu.”
“Apa?!” Pramudya Antasena berdiri dari kursinya secara tiba-tiba sehingga benda itu hampir terjungkal. “Apa kamu sudah gila?”
“Hanya itu cara yang paling cepat dan efetif, Pram.”
Pramudya ingin membantah, tapi dia tahu ucapan Bayu barusan sangat masuk akal. Ia kembali duduk dengan lemas sambil bergumam, “Menikah dengan siapa. Kamu tahu aku tidak punya kekasih.”
“Eng ... ada begitu banyak wanita yang bersedia ditiduri olehmu. Pilih salah satu saja,” jawab Bayu seraya menyeringai lebar.
Pramudya mengambil pulpen dan melempar kepala Bayu. “Dasar sinting. Kenapa tidak kamu saja yang pergi tiduri mereka?”
Bayu ingin membuka mulut dan membalas ucapan itu, tapi disela oleh suara ketukan di pintu. Tak lama kemudian, Freya muncul sambil memegang nampan berisi secangkir kopi.
Bayu menatap gadis itu lekat-lekat. Meski berpenampilan sederhana dan biasa saja, gadis itu terlihat cukup anggun dan menawan.
“Hapus air liurmu,” tegur Pram dengan suara rendah. Ia kesal sebab Bayu selalu tidak bisa menahan diri setiap kali melihat gadis muda yang cantik.
Tunggu. Apakah dirinya baru saja mendeskripsikan gadis itu dengan sebutan cantik?
Pram mengerjap satu kali dan menatap si gadis pelayan.
Yah ... gadis itu memang cukup cantik ... apalagi jika didandani dengan perhiasan dan pakaian bermerk.
Pemikirannya itu membuat Pramudya Antasena mengulum senyum. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya.
“Permisi, Pak,” sapa Freya seraya meletakkan cangkir kopi ke atas meja. “Maaf, saya tidak tahu jika Bapak ada tamu. Akan saya—“
“Apa aku terlihat setua itu?”
“Eh?” Freya menatap atasannya dengan bingung. Mengapa pria itu tiba-tiba bertanya seperti itu?
“Kapan aku menikahi ibumu?” cetus Pram lagi dengan wajah cemberut. Wanita lain akan tergila-gila dan memujinya untuk menarik perhatiannya, tapi gadis pelayan ini malah selalu membuatnya kesal tanpa alasan yang jelas.
“Pfft ....” Tawa Bayu hampir meledak, tapi ditahannya sekuat tenaga. Ia membungkam mulutnya ketika melihat Pram melirik ke arahnya dengan sinis.
“Kenapa memanggilku dengan sebutan ‘Bapak’?” cecar Pram lagi. Entah mengapa ia tiba-tiba kesal dipanggil seperti itu.
“Ap ... apa?” Freya semakin kebingungan. Ia menatap pria yang duduk di depan Pramudya dengan harapan akan bisa mendapat petunjuk apa maksud pertanyaan tidak masuk akal itu. Namun, sayangnya pria itu sama sekali tidak terlihat akan membantu.
Freya menggigit bibir dan memilin ujung bajunya, pertanda kalau dia sedang benar-benar gugup.
“Kamu mau gajimu tidak dipotong bulan ini?”
“Eh?” Freya mengerjap cepat dan menatap sang CEO lagi. Bagaimana bisa seorang pria memiliki mood yang seperti angin topan? Berubah-ubah sepanjang waktu.
“Cepat bilang, mau tidak?”
“Mau!” jawab Freya cepat. Tentu saja ia mau. Ia membutuhkan uang untuk mendaftar kuliah.
“Kalau begitu, menikahlah denganku.”
“Apa?!” seru Freya dan Bayu bersamaan. Keduanya saling memandang, lalu menatap Pramudya Antasena seolah tiba-tiba pria itu telah kehilangan kewarasannya.
“Kenapa?” tanya Pram seraya menatap Bayu. “Bukankah kamu yang menyarankan agar aku segera menikah?”
“Iya. Tapi—“
“Tapi apa? Toh, ini hanya kamuflase saja. Aku tidak benar-benar ingin menikah, hanya berjaga-jaga agar Tommy tidak merebut apa yang menjadi hakku.”
“Tapi ....” Bayu ingin mengatakan bahwa ada banyak wanita yang lebih cantik, lebih menarik, dan lebih menawan untuk dinikahi ... bukannya seorang office girl. Akan tetapi, saat melihat ekspresi wajah gadis di sebelahnya yang tampak sangat menyedihkan dan menderita, Bayu menelan kembali semua ucapannya itu.
Freya terlihat sangat syok dan terpukul karena kata-kata Pramudya yang sangat frontal barusan. Dia hanya ingin menikah untuk menjaga hakknya. Benar-benar konyol. Freya berusaha menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa getir.
“Kamu atur sajalah. Aku akan mencarikan seorang pengacara untuk kalian,” ucap Bayu pada akhirnya.
“Tu ... tunggu dulu, Pak. Apa ... apa maksudnya ini?” Freya merasa otaknya sudah hampir gosong. Mengapa nasibnya bisa sial sekali di hari pertamanya bekerja? Selain itu, mengapa ia selalu tergagap-gagap ketika berbicara dengan pria itu?
Sangat memalukan! Freya, tergarlah! Kamu harus kuat agar tidak mudah ditindas! Meskipun miskin, kamu harus memiliki harga diri!
Freya mengepalkan tangannya dan bertekad untuk menjadi lebih berani menghadapi bosnya yang arogan itu.
“Kamu menikah denganku, aku akan membiayai hidupmu. Setelah menikah tidak perlu kerja lagi. Bagaimana?” Pram menatap Freya lekat-lekat. “Apa kamu kuliah?”
Freya menunduk ketika tatapannya bertemu dengan sepasang mata obsidian milik bosnya. Aiiih ... apanya yang tegar dan kuat? Freya langsung merasa lemas dan ingin pingsan saat itu juga.
“Ng ... itu ....” Freya memilin jemarinya dan melanjutkan dengan ragu-ragu, “Saya hanya tamat SMA, Pak.”
“Pak?”
“Eh, eng ... anu ....” Freya menatap Pramudya Antasena dengan wajah memelas. “Saya harus memanggil Bapak dengan sebutan apa?”
Pramudya tertegun. Sekarang dia ikut bingung. Gadis itu harus memanggilnya dengan sebutan apa?
Kak?
Mas?
Om?
“Panggil saja kakek,” celetuk Bayu, lalu terkekeh hingga air matanya keluar.
“Diam kamu!” seru Pram gusar. Ia memelototi sahabatnya sebentar, lalu kembali bersikap serius dan menatap Freya. Sudahlah, biarkan saja gadis itu memanggilnya dengan sesuka hati. Toh, itu tidak akan berpengaruh apa pun terhadap status mereka.
Pramudya menatap Freya dengan serius sambil berkata, “Setelah menikah, aku akan membiayai kuliahmu, juga membelikanmu rumah dan sejumlah uang bulanan sebagai kompensasi. Nanti sebutkan saja nominalnya dalam perjanjian pra nikah.”
“A ... a ... apa?” Freya benar-benar terguncang. Ia menatap lurus ke manik Pram yang tajam dan tak tergoyahkan, mencoba mencari sedikit celah di sana yang membuktikan bahwa pria itu hanya sedang bercanda atau ingin mengerjainya karena kopi yang telalu manis tadi.
“Bapak tidak sedang mempermainkan saya, bukan?” tanyanya dengan ekspresi ragu-ragu.
Pramudya mencibir. “Untuk apa mempermainkanmu? Apa yang bisa aku dapatkan dengan mempermainkanmu? Uang? Saham?”
Freya tertunduk. Bahunya merosot lesu. Ucapan itu meski terdengar kejam tapi sangat masuk akal. Apa yang ingin didapatkan oleh seorang jutawan dari gadis miskin seperti dirinya?
“Maaf, saya hanya terkejut,” gumamnya pelan. “Ini terlalu tiba-tiba ... kita baru bertemu satu kali, bagaimana—“
“Mau atau tidak?” desak Pram. Ia melirik jam di pergelangan tangannya dengan tidak sabar. “Aku ada rapat ... lima menit lagi. Kalau kamu tidak mau—”
“Saya mau!” Freya berseru dengan lantang. “Saya bersedia untuk menikah dengan Bapak!”
Persetan dengan harga diri! Jika ia bisa mendapatkan uang dengan mudah, kenapa harus bersusah payah? Walaupun status pernikahan itu hanya pura-pura, anggap saja sedang melakukan kerja sama. Pria itu membutuhkan pasangan, dan ia membutuhkan uang. Anggap saja simbiosis mutualisme. Ya, anggap saja begitu.
Melihat wajah Pram yang berubah jelek karena dipanggil dengan sebutan “bapak” membuat Bayu tak bisa menahan tawanya.
“Selamat, ya. Bapak akhirnya menikah juga,” ledeknya, kemudian kembali terpingkal-pingkal.
Pram mendesis marah, “Enyah!”
“Pffft ... a-ha-ha-ha ... baik, Pak. Saya akan segera menghubungi pengacara untuk mengurus pernikahan Bapak.”
“Brengsek! Pergi sekarang!” Pram bangun dan hendak menendang bokong sahabatnya, tapi pria itu sudah lebih dulu melarikan diri ke pintu.
Sambil terus tertawa, Bayu keluar dari kantor itu, menyisakan Pram dan Freya yang saling menatap dengan canggung.
“Apa yang kamu tunggu di sini?” tanya Pram ketus. Ia kesal karena panggilan gadis itu membuatnya digoda habis-habisan oleh Bayu.
“Oh ... eh ... saya ....” Freya yang sedang mengamati wajah Pram langsung buru-buru mengalihkan tatapannya dengan gugup. “Kalau begitu saya keluar dulu, Pak.”
Gadis itu langsung melarikan diri sebelum Pramudya menjawab ucapannya.
“Aduh, jantungku ...,” gumam gadis itu begitu berada di luar kantor Pram. Jantungnya seolah melompat dan tersangkut di tenggorokannya. Ia megap-megap hampir kehabisan napas.
Mimpi apa dirinya semalam? Bagaimana bisa seorang yatim piatu sepertinya, gadis biasa yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki apa-apa ... bagaimana bisa ia bersanding dengan seseorang yang terbiasa berada di puncak piramida?
Tiba-tiba Freya merasa ingin pingsan. Ia pasti sudah gila karena mengiyakan permintaan Pramudya Antasena barusan.
Haish ....
Salah siapa tawaran dari pria itu terlalu menggiurkan? Mana bisa ia menolak kesempatan yang mungkin hanya datang satu kali dalam hidupnya itu?
Sudahlah ... jalani saja, Freya. Anggap ini jackpot. Bukankah kamu ingin kuliah dan memiliki masa depan yang lebih baik? Mungkin saja pernikahan ini tidak bertahan lama. Asal kamu belajar dengan sungguh-sungguh, kamu bisa menjalani kehidupanmu dengan nyaman ke depannya.
Sekejap kemudian, seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Ia bersandar di pantry dan menyeringai semakin lebar. Gadis itu sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang sedang mengawasi semua gerak-geriknya itu dari mesin CCTV yang terpasang di sudut atas ruangan itu.
Saat istirahat makan siang, Freya sudah hampir melupakan perihal lamaran dadakan yang dilakukan oleh atasannya. Namun, saat ia hendak menyuap sepotong ayam goreng mentega ke dalam mulutnya, tiba-tiba pria yang tadi berada di kantor Pramudya menghampirinya dan berdiri di hadapannya.
“Nona Freya, Pak Pram meminta Anda untuk segera ke ruangannya,” ucap Bayu dengan suara yang tidak terlalu keras, tapi tetap saja terdengar jelas.
Freya hampir tersedak. Ia buru-buru menepuk-nepuk dadanya, lalu mengambil botol air mineral dan minum sampai air dalam botol hanya tersisa separuh.
Sial. Ia cukup yakin semua orang yang berada di cafetaria dapat mendengar ucapan pria itu barusan. Buktinya kini semua mata tertuju ke arahnya dengan penasaran, beberapa malah sudah bisik-bisik dan menunjuk-nunjuk ke arahnya.
“Ha ... harus sekarang?” tanyanya dengan gugup. Kenapa pula pria ini harus menghampirinya di tengah keramaian? Tidak bisakah menunggu hingga ia selesai makan siang?
“Tidak bisa. Pramudya sudah memanggil pengacara untuk—“
“Oke.” Freya berdiri dari tempat duduknya dengan gerakan yang sangat cepat. Ia tidak ingin pria itu menyelesaikan ucapannya dan secara tidak langsung memberitahukan “rahasia” kecilnya kepada semua orang.
Freya tergesa-gesa meninggalkan cafetaria tanpa mengindahkan tatapan ingin tahu yang diarahkan kepadanya. Ia mempercepat langkah kakinya menuju lift, kemudian berpura-pura membuka ponsel dan menggeser-geser jarinya dengan asal.
Matilah aku. Apa kata orang-orang nanti? Pasti mereka akan mengira aku sudah hamil duluan ... mereka pasti akan menindasku habis-habisan, terutama perempuan-perempuan yang mengantri untuk mendapatkan Pramudya Antasena.
Tiba-tiba gadis itu merasa sangat menyesal. Kenapa ia menyetujui lamaran tadi dengan mudah. Sekarang, apakah ia masih bisa membatalkannya?
Bayu yang melihat tingkah Freya yang sedikit aneh langsung menebak bahwa mungkin sekarang gadis itu sedang merasa menyesal. Oleh sebab itu, ia sedikit merapat ke arah gadis itu. Untung saja hanya ada mereka berdua di dalam lift sehingga ia bisa menggoda gadis itu sesuka hati.
“Kenapa? Merasa menyesal?” tanyanya sambil mengerling jenaka. “Pramudya Antasena itu balok es. Bahkan hawa dingin yang dipancarkannya membuat takut iblis di neraka. Kamu sedang menjerat dirimu sendiri dengan pria yang tidak memiliki hati itu. Apa tidak takut mati?”
Freya tertawa canggung. Pria di sebelahnya itu ... bisa-bisanya menjelek-jelekkan atasannya sendiri seperti itu ... juga menakut-nakuti seorang gadis seperti ini ... benar-benar tidak tahu malu.
“Apa kamu ingin membatalkan persetujuanmu tadi pagi?” tanya Bayu tiba-tiba.
“Eh? Apa bisa seperti itu?” Mata Freya membola. Ia menatap Bayu dengan penuh harap.
Bayu tertawa hingga matanya menyipit. “Jadi kamu benar-benar berubah pikiran? Ingin melarikan diri? Ha-ha-ha ... mustahil! Pram pasti akan mengejarmu meski masuk ke lubang neraka. Dia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Freya menelan ludah dan menggosokkan kedua telapak tangannya yang basah ke sisi tubuhnya.
Seharusnya aku tidak berbicara dengan bedebah ini, umpatnya dalam hati.
Gadis itu semakin gugup. Ia menatap pantulan bayangannya di lift yang mengilat. Ia dan Pramudya Antasena bagaikan Bumi dan langit. Benar-benar tidak cocok.
Ting.
Lift berdenting dan pintunya bergeser terbuka. Freya meneguk ludah. Ia merapikan rambut dan bajunya sebelum mengekor di belakang Bayu yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruang kerja Pramudya.
“Ayo, masuk,” ucap Bayu seraya mendorong daun pintu hingga terbuka.
Freya menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke ruang kerja atasannya. Selain Pramudya, ada seorang pria yang mungkin berusia 50-an duduk di sebelahnya.
"Permisi," sapa Freya. Ia melangkah masuk dengan hati-hati.
"Kemarilah, Nona" balas pria paruh baya yang mengenakan kemeja putih itu. " Perkenalkan, saya adalah Brata Supardi, pengacara keluarga Antasena."
Freya menjabat tangan pria itu, "Selamat siang, Pak Brata. Saya Freya."
"Silakan duduk, Nona Freya. Karena Anda sudah datang, mari kita mulai," kata Pak Brata. "Pak Pramudya Antasena sudah memberikan beberapa persyaratan, silakan Anda baca lebih dulu."
Brata Supardi menyodorkan setumpuk kertas ke arah Freya. Gadis itu menerima dengan hati-hati lalu membacanya dengan teliti. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa pernikahan mereka hanya akan dilakukan dalam kurun waktu enam bulan. Tapi Pramudya Antasena akan menyerahkan sebuah rumah di tengah kota sebagai mas kawin. Selain itu, Freya akan menerima uang setiap bulan sejumlah 500 juta rupiah sebagai kompensasi. Biaya kuliahnya dan semua kebutuhan menyangkut bidang studi akan dibiayai sampai akhir. Selain itu, Freya dilarang mencampuri urusan pribadi Pramudya Antasena meski mereka harus tetap beradegan mesra di depan umum.
Enam bulan ... tidak terlalu lama .... Seharusnya cukup mudah ....
Freya mendongak, menatap Pramudya Antasena dan Pak Brata bergantian.
"Apakah ini perlu?" tanyanya. "Pemberian rumah dan uang ini ...."
"Pak Pramudya bersikeras tidak akan melanjutkan pernikahan ini jika Nona tidak mau menerima persyaratan itu," jawab Pak Brata.
"Pak ...."
"Apakah masih kurang?" sergah Pramudya. Ia terlihat sedikit tidak sabar.
"Tidak!” seru Freya dengan terkejut. Ia lalu buru-buru menjelaskan, “Tidak, bukan begitu maksud saya. Ini terlalu berlebihan. Saya tidak menginginkan uang dan rumah. Anda membiayai kuliah saya saja sudah lebih dari cukup.”
"Lalu apa kata orang-orang jika tahu aku tidak memberimu apa-apa sebagai mas kawin? Kamu ingin orang-orang mengejekku, ya?” tuduh Pram dengan mata memicing.
"Itu .... Anda sudah salah paham. Bukan itu maksud saya.” Freya tampak serba salah. “Saya bersedia menikah ...."
Pramudya terlihat semakin tidak sabar. "Cepat beritahu Pak Brata apa persyaratan yang kau inginkan."
“Ng ... itu ....”
Bayu yang memperhatikan interaksi kedua orang itu hanya mengusap dagunya sambil mengulum senyum. Jika ia tidak salah lihat, sepertinya Pram sedikit tertarik kepada gadis pelayan itu.
"Ada yang ingin Anda tambahkan, Nona?" tegur Bayu yang tidak tega melihat wajah Freya yang memelas.
“Itu ... saya ... saya ....”
“Tulis saja,” ucap Pak Brata seraya menyodorkan selembar kertas dan pulpen kepada Freya.
Freya ragu-ragu. Wajahnya pun terlihat sedikit memerah. Apa reaksi calon suaminya itu jika ia menulis syarat tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain dan tidak boleh marah ketika ia menyukai pria lain? Diam-diam Freya mencuri pandang ke arah Pramudya. Ekspresi wajah pria itu tampak sangat serius, seperti sedang bernegosiasi dengan rekan bisnis mengenai sebuah kesepakatan kerja.
Tiba-tiba Freya merasa dirinya sangat konyol. Ia memang tidak tahu apa alasan Pramudya Antasena memintanya untuk menikah dengan tiba-tiba, tapi yang jelas itu bukan cinta. Ini memang hanya sebuah hubungan kerja sama saja, jadi tidak mungkin akan ada apa-apa di antara mereka, ‘kan? Tapi ... tak ada salahnya juga untuk berjaga-jaga. Biar bagaimana pun, mereka hanya orang asing yang terjerat dalam kerja sama.
Setelah menimbang dan memutuskan, ia pun segera mencatat persyaratan tambahan itu dan menyerahkannya kepada Pak Brata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!