"Ayo buruan, Fi, mbak sudah telat nih," seru Naya kepada Fifi, adik sepupu yang sudah dua tahun lebih tinggal serumah dengannya.
"Iya, tunggu bentar, Mbak." Fifi menyahut dengan mulut penuh bakwan.
Gadis berseragam putih abu-abu itu berlari tergesa-gesa ke teras depan, masih sibuk mengikat tali sepatunya. Sedangkan Naya sudah siap duduk di jok motornya dengan mesin yang sudah menyala.
Setiap hari Naya selalu mengantar Fifi ke sekolah, yang jaraknya bisa ditempuh sekitar sepuluh menitan jika lalulintas sedang normal. Dan Naya sendiri setiap harinya bekerja disebuah warung bakso yang cukup terkenal di kota Naya tinggal. Warung bakso tempat Naya bekerja setiap hari itu selalu ramai pengunjung maupun dari luar kota yang datang membeli.
Naya wanita berusia dua puluh dua tahun. Meski masih muda tetapi Naya adalah seorang janda beranak satu. Dulu Naya menikah saat berusia sembilan belas tahun, tepat satu bulan setelah lulus SMA. Pernikahan Naya kandas saat usia pernikahannya masih berjalan kurang lebih satu setengah tahun saja. Perceraian itu terjadi dipicu karena mantan suami Naya yang ketahuan selingkuh dibelakangnya.
"Biar terburu-buru tetap hati-hati di jalan, Nay," pesan Rahma, ibunya Naya. Wanita paruh baya itu berdiri di teras rumah sambil menggendong bocah perempuan berusia dua tahun yang sedang sakit demam.
"Iya, Bu," jawab Naya ramah.
Setelah Fifi duduk berboncengan dengan Naya, tiba-tiba saja Lala, bocil yang tadi digendong Rahma menangis. Membuat Naya tidak jadi melajukan motornya dan memilih turun untuk kemudian mendekati Lala.
"Mama harus kerja dulu, Lala," pamit Naya sambil membelai pipi anaknya yang masih bersuhu panas.
"Lala mau itut mama," Lala mulai rewel lagi. Tangan bocah itu terulur kepada Naya meminta gendong.
Naya tentu bingung. Di sisi lain ia harus cepat berangkat kerja, karena dengan penghasilannya itu ia bisa mencukupi segala kebutuhan Lala. Tetapi melihat anaknya menangis seperti itu, tentu sebagai seorang ibu sangat tidak tega untuk meninggalkannya.
"Lala, mama harus berangkat kerja, buat nanti Lala bisa beli susu sama mainan," Rahma ikut membujuk Lala.
Tetapi bocah ringkih yang sering sakit-sakitan itu tetap tidak bisa dibujuk. Bahkan tangisnya semakin menjadi. Meraung-raung menyebut mama. Sangat tidak mau ditinggal pergi oleh Naya.
Tanpa berpikir lagi Naya langsung mengambil Lala dari gendongan ibunya. Wanita itu terus berusaha menenangkan Lala dengan kecupan sayangnya.
"Ayo, Mbak!" Fifi berteriak, memanggil Naya yang terlihat enggan berangkat.
Naya menoleh kepada Fifi.
"Mbak mau libur kerja dulu, Fi," kata Naya yang otomatis membuat Fifi melongo jengah.
Rahma yang mendengar perkataan Naya yang lagi-lagi libur kerja, sebenarnya merasa prihatin sekali. Sejak lahir Lala memang seperti langganan dokter karena terlalu sering sakit. Dulu saat Naya masih bersuami, suaminya itu tidak begitu peduli dengan kondisi Lala. Bahkan kentara sangat cuek dengan darah dagingnya sendiri. Karena memang mantan suami Naya itu sebelumnya sangat menginginkan anak cowok. Jadi kesannya seperti kecewa dengan Naya dan juga Lala yang terlahir sebagai cewek.
Bersyukur sekali majikan tempat Naya bekerja orangnya baik sekali. Meski Naya sudah terlampau sering ijin karena harus merawat Lala yang tiap kali sakit selalu tidak bisa ditinggal olehnya. Meski harus mengorbankan upahnya yang dipotong sesuai masa ijin, tetapi masih lebih baik daripada harus dipecat kerja di sana.
"Trus aku gimana mbak berangkatnya?" Fifi terlihat manyun, karena saat ini dirinya yang terancam telat masuk kelas.
"Bawa saja motor mbak, Fi," ucap Naya.
Fifi langsung menyeringai. Tetapi Naya langsung peka dengan perubahan mimik wajah Fifi.
"Ingat, pulang sekolah langsung pulang. Jangan mampir-mampir! Mbak mau oper kerja sore nanti sama Yuli," pesan Naya. Tiba-tiba ia kepikiran akan meminta oper jam kerja dengan Yuli, daripada gajinya bulan ini akan selalu terpotong karena sering libur.
"Siap, Mbak. Assalamu'alaikum..." Lalu Fifi mulai melajukan motor matic yang sudah cukup usang itu.
"Wa'alaikumsalam." Naya dan Rahma menjawab salam itu bersama.
Motor matic keluaran tahun 2000-an itu Naya sewa dari jasa pegadaian rumahan. Sengaja Naya mengambil yang kualitas bodynya tidak begitu bagus karena biaya sewanya juga cukup murah. Yang terpenting mesin motor oke buat jalan. Satu tahun sewa motor itu cukup bayar tiga juta saja. Biasanya orang yang menggadaikan motor itu karena sedang terdesak uang. Dan motor itu akan kembali diambil oleh pemiliknya setelah orang tersebut menebusnya.
Abdul, bapaknya Naya hanya pekerja serabutan. Terkadang menjadi kuli bangunan. Sementara ini Abdul lah yang menjadi kepala keluarga, setelah Naya resmi bercerai. Naya sebenarnya masih memiliki dua adik laki-laki yang masih sekolah. Adik pertama Naya bernama Riki, masih sekolah SMA kelas sebelas. Sedangkan adik bungsu Naya bernama Farhan yang masih duduk di bangku SD kelas enam. Fifi tahun ini sudah mau lulus SMA. Gadis itu adalah keponakan ibunya Naya. Karena dulu Fifi sering sakit-sakitan orang tua Fifi menyerahkan Fifi kepada Rahma untuk diangkat menjadi anak. Walau hidup Abdul dan Rahma terbilang pas-pasan, tetapi bersyukur Tuhan masih mencukupi rejeki keluarga Abdul sehingga mampu menyekolahkan tiga anak.
Naya membawa Lala masuk ke kamar, supaya anaknya itu bisa bobok dengan nyaman.
"Cepat sembuh ya, La. Nanti mama ajak jalan-jalan ke Aloon-aloon, naik odong-odong," ucap Naya saat ia sudah sama-sama berbaring di kasur bersama Lala.
Lala mengangguk senang. Matanya yang sayu menyorot penuh binar.
"Jadi kalau pingin cepat sembuh Lala harus mau minum obat," lanjut Naya, mengingat Lala yang selalu rewel jika akan minum obat.
"Payit! Ndak mau!" Bocah yang masih belum lancar bicara itu langsung menolak.
"Nggak pahit, La. Sirupnya sudah rasa strawberry kesukaan Lala. Ayooo... Mau sembuh apa tidak? Kalau tidak mau, mama nggak jadi ajak Lala ke Aloon-aloon."
"Mau, Ma." Akhirnya Lala mau meminum obatnya, setelah tadi sempat menolak saat Rahma akan memberinya obat.
Setelah meminum obatnya, tak lama kemudian Lala tertidur pulas. Naya beranjak sangat pelan, takut pergerakannya akan mengusik tidur Lala.
"Sudah tidur Lala, Nay?" tanya Rahma setelah melihat Naya keluar dari kamarnya.
Naya mengangguk. Sekejap kemudian matanya celingukan ke halaman depan.
"Riki nggak bawa sepeda, Buk?" tanya Naya melihat sepeda milik Riki ada di halaman depan.
"Tadi berangkatnya bareng sama Irul. Katanya nanti masih harus belajar kelompok, jadi adikmu boncengan sama Irul."
"Ooh...." Naya ber-oh saja kemudian berjalan keluar rumah.
"Buk, aku pamit mau ke rumah Yuli. Mau oper sama dia. Semoga saja Yuli mau," kata Naya sambil mengambil sepeda milik Riki.
Rahma hanya bisa mengangguk. Sebenarnya Rahma sangat prihatin dengan kondisi anak sulungnya itu. Sebelum bekerja kemarin, Naya terpaksa menjual handphonenya untuk biaya pengobatan Lala. Seandainya saat ini Naya memiliki handphone, tentu ia tidak perlu repot ke rumah Yuli, yang jarak ke rumahnya cukup melelahkan jika harus dengan naik sepeda. Untuk membeli hape lagi, Naya sudah tidak begitu minat. Ia lebih memprioritaskan kebutuhan Lala daripada harus membeli hape baru.
"Hati-hati, Nay," ucap Rahma melepas kepergian Naya.
"Ya Allah... Semoga engkau lekas mempertemukan jodoh yang baik, sholeh, dan bertanggungjawab untuk Naya. Yang bisa menerima kondisi Naya dengan Lala." Lirih hati Rahma, yang tidak pernah berhenti mendoakan Naya supaya bisa segera bertemu dengan jodohnya lagi.
Rasanya tidak tega melihat Naya kelimpungan seorang diri. Meski sebelumnya Naya selalu bilang akan menjadi single parent saja tiap kali ada orang yang berniat melamarnya, tetapi Rahma tidak pernah putus asa berdoa supaya Tuhan membolak-balikan hati Naya agar mau menikah lagi. Menjadi janda di usia yang masih muda, tentulah akan menjadi omongan banyak orang. Dan Rahma sangat takut, jika Naya akan terkena fitnah dengan statusnya itu. Meski Rahma sangat tahu, jika Naya bisa menjaga martabat dirinya dengan status janda yang selalu dipandang miring oleh kebanyakan orang.
*
Naya tiba di rumah Yuli setelah hampir setengah jam ia mengayuh sepedanya. Kedatangannya langsung disambut suaminya Yuli yang kebetulan sedang memeriksa mesin motornya.
"Yuli ada, Mas?" tanya Naya, sudah biasa menyebut mas kepada suaminya Yuli. Karena dilingkungan Naya tinggal panggilan mas sudah umum sebagai panggilan kepada pria yang lebih dewasa.
"Ada didalam, Nay, masuk saja." Setelah mendengar jawaban suaminya Yuli kemudian Naya langsung masuk ke rumah itu.
"Tumben, libur lagi, Nay?" Yuli langsung bertanya begitu mereka sudah bertemu.
Naya mengangguk lemah. Kemudian mereka berdua sama-sama duduk di ruang tamu. Yuli memberikan sebotol teh dingin kepada Naya yang diambilnya dari kulkas.
"Di minum dulu, Nay," ucap Yuli.
"Ada apa? Anakmu sakit lagi?" tanya Yuli setelah Naya selesai minum. Yuli sampai hafal jika Naya ke rumahnya pasti ada kaitannya dengan oper shift kerja.
"Iya, Yul. Aku sampai nggak tega, kapan gitu Lala nggak sakit-sakitan lagi," sahut Naya dengan sendu.
"Lala pingin bapak tuh," Yuli menyahut sambil mengulum senyumnya.
Naya langsung melirik jengah mendengar respon Yuli yang selalu mengatakan seperti itu. Entahlah, sampai saat ini Naya sangat malas membahas tentang menikah lagi. Bukan karena sudah nyaman dengan hidupnya, tetapi selalu dihantui rasa takut tidak bisa menerima Lala sebagai anaknya juga. Karena jika memang Naya masih diberikan jodoh, ia sangat berharap orang itu bisa menyayangi Lala juga, bukan hanya mencintai dirinya saja.
"Sudah aku ijinkan ke Bu Sugeng, Nay," kata Yuli, rupanya dengan cekatan wanita itu langsung chat ibu Sugeng, pemilik warung bakso tempat Naya dan Yuli bekerja.
"Terimakasih, Yul."
"Sama-sama, santai aja."
"Kebetulan sekali kamu ke sini, rencananya entar sore aku memang ijin nggak masuk. Mas Budi ngajak main ke rumah ibu. Kangen katanya," tutur Yuli.
Rumah yang sekarang di tempati Yuli adalah rumah kontrakan. Rumah Yuli dan suaminya beda kecamatan dari rumah ini. Jaraknya tidak begitu jauh dari tempat ini, cukup setengah jam saja jika ditempuh dengan naik motor.
"Nay, aku ada teman barangkali kamu mau aku kenalin." Tiba-tiba saja suaminya Yuli ikut nimbrung.
"Ah, tidak, Mas. Makasih." Naya langsung menolak begitu saja tanpa harus berpikir.
"Di coba dulu, Nay. Cuma kenalan doang," imbuh Yuli.
Naya sama-sama melirik kepada pasangan suami istri yang masih belum dikaruniai momongan itu.
"Kalian mau comblangin aku?" tanya Naya langsung.
Yuli dan Budi sama-sama mengangguk mantap.
Naya menyeringai tipis. "Nggak usah, sebelumnya terimakasih. Aku-- masih mau fokus dengan Lala," seru Naya pada akhirnya.
"Aku nggak akan maksa. Cuma menurut aku kalau kamu jadi sama dia, InsyaAllah hidup kamu dan Lala terjamin. Aku bisa jamin itu," ucap Budi dengan yakin.
Entahlah pria mana yang ingin mereka kenalkan kepada Naya. Yang pasti Naya tidak penasaran sama sekali, dan sangat malas meski sekedar bertanya siapa nama orang itu.
"Mm... Yuli, mas Budi, aku pamit pulang ya, aku harus buru-buru takut Lala di rumah rewel."
"Iya, Nay, hati-hati," pesan Yuli.
"Tolong dipikir lagi tawaranku," sambung Budi sebelum kemudian Naya keluar dari rumah itu.
Dalam batinnya Naya mulai berpikir, tumben Budi serius sekali bicaranya. Biasanya ia tidak begitu memaksa jika Naya sudah bilang tidak.
Setelah itu akhirnya Naya pulang. Tak disangka dalam perjalanan tiba-tiba ban sepedanya bocor, sehingga Naya terpaksa jalan kaki sambil menuntun sepedanya, sembari berharap semoga ada bengkel terdekat.
"Mbak Naya." Tiba-tiba seorang pemuda yang sedang naik motor berhenti menyapa Naya.
Naya menoleh, rupanya pria muda itu adalah Irwan, pacarnya Fifi. Sedang yang berboncengan dengan Irwan adalah Wahyu, lelaki yang belakangan ini terus mendekatinya setelah sebelumnya Naya dan Wahyu dikenalkan oleh Fifi dan Irwan.
"Bannya bocor, Nay. Sini aku bantu bawa. Bengkel masih jauh di ujung," ucap Wahyu yang kemudian langsung mengambil alih sepeda yang Naya tuntun.
"Apa tidak merepotkan?"
Wahyu menggeleng sambil tersenyum. Pria berkacamata itu berusia dua puluh lima tahun. Wajahnya tergolong tampan. Jika boleh diungkapkan Wahyu sedikit mirip dengan artis penyanyi yang bernama Afgan. Tetapi meski begitu Naya sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengannya, meski Wahyu sudah pernah menyatakan perasaannya itu kepada Naya dua minggu kemarin.
"Bang, biar aku saja yang bawa sepedanya. Abang tunggu di gardu depan tuh sama mbak Naya," usul Irwan.
Setelah itu Irwan menepikan motornya disamping gardu kosong. Wahyu dengan santainya membiarkan Irwan mengambil alih tugasnya sambil terus berjalan mencari bengkel yang buka siang ini.
"Duduk sini, Nay," ucap Wahyu setelah sebelumnya mengusap bersih lantai gardu yang kalau malam ditempati orang-orang poskamling.
Naya duduk, tetapi tatapannya terus melihat Irwan yang sudah jauh dari pandangannya.
"Biarkan saja, dia mau sendiri kok," seloroh Wahyu ikut melihat Irwan yang sepertinya masih belum menemukan bengkel yang buka.
"Seharusnya kalian tidak perlu repot-repot. Kalau begini, jadinya aku mengganggu kegiatanmu," ucap Naya tidak enak sendiri.
"Santai aja, Nay. Aku masih nganggur, belum dapat kerjaan. Jadi kamu nggak ada ganggu kegiatan siapa-siapa," sahut Wahyu.
Sebelum ini Wahyu memang cerita kepada Naya jika ia sedang melamar pekerjaan di beberapa pabrik yang ada disekitaran kota ini. Tetapi mungkin masih belum rejekinya, sehingga belum ada satu panggilan kerja kepadanya.
Sedangkan Irwan baru lulus SMA tahun kemarin. Saat ini pria itu sama-sama memiliki pekerjaan yang tidak tetap seperti Wahyu. Tetapi masih mending Irwan jika dibandingkan dengan Wahyu, karena keluarga Irwan memiliki banyak sawah, dan Irwan kerap membantu jika keluarganya sedang panen padi. Dari itu Irwan bisa pegang duit, karena orang tuanya juga membayar Irwan seperti buruh tani lainnya.
"Mm... Malem minggu keluar yuk, Nay," ajak Wahyu tiba-tiba.
"Maaf, Wahyu, aku tidak bisa," tolak Naya langsung.
"Kenapa? Padahal aku ingin ngajak main Lala juga. Di Aloon-aloon minggu ini ada pameran. Irwan sama Fifi sudah bikin janji loh."
Naya menatap sejenak kepada Wahyu. Bukan untuk menyetujui ajakan Wahyu, tetapi karena kaget mendengar Fifi dan Irwan akan pergi kencan minggu ini.
"Mau ya, Nay?" mohon Wahyu sekali lagi.
Tetapi Naya tetap menggeleng menolak. Terlihat wajah sendu Wahyu, tetapi pria itu hanya bisa pasrah menerima penolakan Naya.
"Kamu masih belum ada hape?" tanya Wahyu lagi.
Naya menggelengkan kepalanya.
"Huh, sepertinya aku harus ikut kerja bapaknya Irwan."
Naya mengerutkan keningnya tipis. Apa kaitannya coba?
"Kalau ada uang, aku ingin belikan kamu hape. Biar kalau aku kangen kamu bisa langsung nelpon." Wahyu berkata sambil tertawa ringan.
Tetapi Naya hanya bereaksi kikuk. Rasanya masih risih mendengar rayuan Wahyu. Ralat! Rayuan dari lelaki manapun selalu membuat Naya minder sendiri. Gelar janda muda yang disandangnya itu yang membuatnya harus selalu waspada terhadap segala jenis bujuk rayuan lelaki. Ia takut, lelaki yang mendekatinya hanya ingin memanfaatkannya. Karena hidup sebagai janda muda teramat berat. Selalu dipandang nyinyir oleh ibu-ibu yang mempunyai suami mata keranjang.
Dulu saat Naya masih gadis, ia adalah tipekal wanita yang ceria. Banyak teman dan terbuka dengan siapapun. Tetapi setelah status janda itu ia miliki, Naya langsung berubah menjadi wanita tertutup dan sengaja membatasi diri dengan pergaulan sebelumnya. Naya selalu ingat pesan bapak ibunya untuk selalu menjaga martabat dirinya sebagai janda. Jangan sampai karena sudah menjadi janda dirinya diobral murah kepada setiap lelaki yang mendekatinya. Karena menjadi janda, mau benar mau salah, tetap saja dipandang sebelah mata oleh masyarakat umumnya.
*
Naya dan Wahyu masih tetap duduk berdua di pos gardu itu. Sudah hampir setengah jam lamanya Naya menunggu Irwan yang tak kunjung balik. Entah masih belum menemukan bengkel atau sengaja meninggalkan mereka berdua, Naya tidak tahu itu.
Sedangkan Wahyu yang melihat pergerakan Naya yang kentara gelisah, sudah mencoba menelpon Irwan berulang-ulang. Tetapi tak ada telpon balik dari Irwan kepadanya.
"Kamu tadi dari mana?" tanya Wahyu membangun komunikasi lagi biar tidak jenuh menunggu Irwan balik.
"Aku dari rumah temanku Yuli."
"Kabar Lala gimana?" Wahyu bertanya Lala karena memang sudah dua kali mereka bertemu, saat Naya dan Fifi lagi keluar jalan-jalan di Aloon-aloon kota.
"Lala lagi sakit. Demamnya tadi masih tinggi."
Pantas saja dari tadi tangan Naya terus memilin, ternyata sedang mencemaskan kondisi Lala.
"Ayo aku antar pulang, Nay?"
Naya melongo mendengar ajakan Wahyu. Pria itu sudah duduk anteng di jok motor milik Irwan. Rupanya dari tadi Wahyu memegang kunci motor tersebut.
"Tidak usah, Wahyu, aku mau menunggu Irwan saja. Mungkin setelah ini Irwan datang," tolak Naya kedua kalinya.
"Aku khawatir Lala butuh kamu di rumah. Ayo, tidak usah sungkan. Kamu bisa turun di gang depan rumahmu kalau takut ketahuan orang rumah," ucap Wahyu.
Selama menjanda Naya memang tidak pernah terlihat berboncengan dengan lelaki manapun sebelumnya. Ia selalu menjaga diri agar terhindar omongan negatif dari para tetangganya.
"Atau kamu bisa bilang aku kang ojek sama orang-orang, itu pun kalau ada yang nanya tentang aku," ucap Wahyu lagi.
Setelah dipikir-pikir akhirnya Naya mau dengan ajakan Wahyu. Ia memang sangat mencemaskan Lala. Ia juga sudah berjanji kepada ibunya untuk tidak berlama-lama keluar tadi. Dan sekarang mungkin ibunya sedang menunggunya dengan cemas di rumah. Semoga saja Lala tidak rewel seperti tadi.
Naya dan Wahyu mulai berboncengan. Tetapi jarak duduk Naya sedikit berjarak dari Wahyu. Meski begitu tak jadi masalah buat Wahyu. Pria itu sedari naik tadi terus senyum-senyum sendiri. Naya bisa melihat jelas dari kaca spion senyum pria berlesung pipi itu.
"Trus Irwan gimana entar? Nanti dia kebingungan mencari kita," ucap Naya sedikit mengeraskan suaranya karena mesin motor milik Irwan itu bunyinya sedikit bising di telinga.
"Biar saja. Dia bisa nelpon kok," jawab Wahyu.
Benar, mereka kan punya handphone. Jadi tidak perlu mencemaskan Irwan lagi.
Sejenak mereka saling diam. Hingga kemudian motor mereka sudah mulai masuk di gang menuju rumah Naya, barulah Naya menepuk bahu Wahyu meminta berhenti.
"Turun di sini?" tanya Wahyu sekedar memastikan lagi. Siapa tahu Naya berubah pikiran mau diantar sampai depan rumah.
"Iya, Wahyu. Maaf ya..."
"Nggak pa-pa. Sekarang cukup nganternya sampai sini, semoga esok aku bisa antar kamu sampai kamar. Eh..." Lalu Wahyu tertawa dengan lepas.
Naya yang mendengar itu jadi ikutan tertawa. Ternyata Wahyu bisa bercanda juga menurutnya.
"Aku nggak bercanda loh, Nay. Apa yang aku ucapkan barusan itu do'aku." Wahyu mengatakannya sambil menatap lekat netra hitam Naya.
Naya kembali terdiam. Entahlah, rasanya sudah hilang minat untuk mencoba menjalin hubungan dengan lelaki siapapun. Padahal Wahyu adalah lelaki baik. Nilai plusnya dia masih bujang, belum pernah menikah. Andai Naya hanya berniat untuk pacaran saja, just have fun, mungkin Wahyu sudah ia terima menjadi pacarnya saat nembak kemarin.
"Naya," Wahyu menyapa Naya lagi. Pria itu mengulurkan tangan kanannya kepada Naya.
"Buat apa?" tanya Naya curiga.
"Salaman doang."
Karena Naya tak lekas menyambut, Wahyu langsung meraih tangan Naya.
"Begini," katanya, mereka sudah saling bersalaman.
Tetapi dalam satu kali tarikan, tangan Naya sudah menempel di bibir Wahyu. Pria itu dengan nekatnya mencium tangan Naya.
Spontan Naya menarik kasar tangannya dari genggaman Wahyu. Ia tidak bisa marah, karena salahnya sendiri terkena jebakan modus Wahyu. Selanjutnya Naya harus lebih waspada lagi. Karena ternyata Wahyu tidak sediam seperti yang ia kira.
"Maaf, Nay. Habisnya kamu gemesin sih," celetuk Wahyu.
Naya hanya tersenyum getir.
"Terimakasih, Wahyu. Mm... Aku-- pulang," kata Naya yang kemudian langsung berlalu tanpa menunggu jawaban Wahyu.
Tangan Naya terasa berkeringat dingin. Ini baru pertama kalinya ia dicium tangannya setelah menjanda. Naya terus berjalan sambil menundukkan wajahnya. Lalu ia mendengar deru mesin motor yang dinaikinya tadi seperti melaju pergi. Sejenak ia menghentak nafasnya dengan kasar. Mencoba kembali bersikap tenang meski jantungnya sedikit berdegup efek kaget dengan perbuatan Wahyu barusan.
"Mbak Naya!" Tiba-tiba ada Fifi yang melintas dan langsung berhenti disamping Naya.
"Loh, kok sudah pulang, Fi?" tanya Naya heran. Karena Fifi pulang lebih cepat dari jam biasanya.
"Semua guru ada rapat intern dengan yayasan," jelas Fifi.
"Ayo naik, Mbak." Lalu Naya berboncengan dengan Fifi.
"Mbak dari mana barusan, kok jalan kaki?" tanya Fifi.
"Tadi dari rumah Yuli. Sepeda mbak bannya bocor," jelas Naya.
"Ooh.... Pantesan diantar bang Wahyu," celetuk Fifi sambil cengengesan.
Gadis itu sebenarnya sudah tahu jika Naya diantar pulang oleh Wahyu karena diberitahu Irwan. Dan lagi ia dan Wahyu berpapasan di gang depan tadi.
"Fifi, plis ya kamu diem sama orang rumah. Jangan ember!" ancam Naya.
"Siap, Mbak. Asal mbak Naya jadi jodoh sama bang Wahyu aku mah senang sekali."
"Ngomong apa sih kamu!" Naya sampai menimpuk gemas bahu Fifi yang suka iseng menggodanya dengan Wahyu.
"Emang bang Wahyu kurang apa sih, Mbak? Dia masih perjaka loh. Kan untung di mbak kalau jadi jodoh sama bang Wahyu."
"Mbak bukannya sok jual mahal, Fi. Tapi mbak tahu diri siapa mbak. Mbak ini janda, dan dia masih bujang. Biar saja Wahyu mencari gadis lain. Masih banyak kan?"
"Kalau akhirnya bang Wahyu tetap maunya sama mbak gimana?"
"Sudahlah jangan bahas itu, Fi." Lalu mereka berdua telah sampai di halaman rumah.
"Sepedanya mana, Nay?" tanya Rahma karena melihat Naya berboncengan dengan Fifi.
"Ada di bengkel, Buk. Aku tinggal, karena kepikiran Lala." Lalu Naya segera masuk rumah untuk melihat kondisi Lala, anaknya.
Sedangkan Fifi hanya senyum-senyum sendiri sedari tadi. Hal itu tak luput dari pandangan Rahma.
"Hmm... Senyum-senyum! Jangan mikir pacaran terus, Fi, sudah mau lulus, belajar yang giat," pesan Rahma yang sudah tahu kalau selama ini Fifi punya pacar.
"Hehe... Iya, Buk." Setelah itu Fifi ikut masuk ke rumah.
Tetapi tak lama kemudian keluar lagi, seperti tergesa-gesa setelah membaca pesan masuk di hapenya.
"Mau ke mana, Fi?" tanya Naya yang kebetulan melihat Fifi jalan terburu-buru.
"Ada kiriman buat Lala, Mbak, aku mau ambil di depan," katanya membuat Naya seketika melongo di tempat.
"Jangan bilang itu kiriman dari Wahyu," batin Naya bermonolog resah.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!