"Vita!" Teriak Bu Yasmin.
Auto kalangkabut dong, mana hijab belum dipakai lagi. Salahku juga sih duduk di atas meja dan melepas hijab yang merupakan atribut sekolah. Mau bagaimana lagi, di luar panasnya luar biasa, panasnya itu bisa menembus kepalaku yang awalnya terbungkus hijab. Andai saja Ayahku adalah pemilik sekolah ini, pasti aku akan memintanya memasang kipas angin.
"Kawus Lu, Vit! Makanya jangan buka jilbab, masih juga," ucap Lala sedikit berbisik duduk di tempatnya.
"Ah, berisik Lu!"
Vita berjalan mendekat ke arah Bu Yasmin yang merupakan guru BK di Madrasah Aliyah As-Salam. Sambil menunduk, kemarahan Bu Yasmin masih bisa Vita rasakan mendengar tarikan nafasnya yang memburu.
"Kamu lagi, kamu lagi. Saya yang kasih kamu hukuman aja capek, Vita. Apa kamu gak capek kena takzir terus?"
Vita menunduk, tatapannya fokus pada ujung sepatunya yang mulai menganga. Sepertinya kelaparan alias minta lem biru.
"Denger gak kamu, Vita!" Bentak Bu Yasmin membuat Vita memundurkan tubuhnya sedikit terkejut. Beruntung aku masih bisa jaga keseimbangan, kalo gak bisa oleng dong, kan berabe. Bukan sakitnya, tapi malunya itu loh..
"Maaf, Bu," Jawab Vita akhirnya memberanikan diri mengangkat wajah melihat tatapan menyeramkan Bu Yasmin yang berada tepat di depan wajahnya.
Bu Yasmin menggeleng-geleng, entah karena bosan ataupun capek, seperkian menit kemudian ia memerintahkanku untuk kembali duduk. Katanya, sebentar lagi akan ada guru baru yang mengisi pelajaran Bahasa Arab menggantikan pengajar sebelumya.
Bu Yasmin berdiri membelakangi para murid sambil menghapus coretan ala siswi Madrasah Aliyah As-Salam terkhususnya kelas ini di papan tulis. Dari bahasa alay anak muda hingga bahasa binatang terpampang jelas di sana. Sudah bukan rahasia lagi bahkan semua guru sudah sangat hafal bagaimana kelas ini.
Tiba-tiba saja seseorang berdiri mengetuk pintu.
"Assalammualaikum, maaf Bu saya terlambat," ucapnya sambil melangkah masuk.
"Waalaikumsalam, tidak apa-apa pak," jawab Bu Yasmin tersenyum samar kemudian memperkenalkan siapa orang itu. Rupanya dialah guru baru yang sempat Bu Yasmin bicarakan tadi. Kalau dilihat dari tampangnya sih lumayanlah ya, hidungnya mancung dan wajahnya ke arab-araban. Gak heran sih kalau di sebutnya guru bahasa Arab, emang cocok.
"Assalammualaikum, selamat pagi adik-adik, perkenalkan nama saya Dafi dan kalian bisa panggil ustadz Dafi. Seperti yang sudah Bu Yasmin katakan tadi, bahwa saya hadir sebagai pengganti guru bahasa arab yang sebelumnya."
Sorak sorai begitu ramai terdengar memenuhi ruangan kelas. Suara gaduh yang diciptakan dari mulut para wanita membuat keriuhan terjadi. Maklumlah, sekolah ini mayoritasnya kaum hawa, lihat yang mlesnong dikit lebaynya minta ampun. Ada sih beberapa guru laki-laki, tapi udah pada expired alias kolot.
"Vit, demi apa pangeran arab menjelma jadi guru di sekolah kita."
"Ah, berisik lu. Ntar dia kegeeran kalo denger, bisa-bisa kepalanya melembung gede."
Vita mengamati setiap pergerakan guru baru itu. Tatapannya tak lepas sedikitpun dari pandangannya. Ia merasa terpesona dengan kewibawaan ustadz Dafi yang tengah menjelaskan materi pelajarannya. Sorot matanya, lengkungan senyumnya, bahkan suaranya membuat Vita ingin melihat lagi dan lagi.
"Ganteng!" Gumam Vita lirih.
"Vit, woy, dipanggil noh," Lala sedikit geram melihat sahabatnya terbengong menatap ustadz Dafi.
Vita tersentak, ia tersadar dengan sebuah penghapus yang melayang tepat di wajahnya."Siapa yang ngelemparin muka gue pake penghapus buluk ini, sini kalo berani!" Ucap Vita berkacakpinggang.
"Saya! Ada masalah?"
"U-Ustadz," Vita gugup, ia terduduk lemas mengusap tengkungnya yang terbungkus hijab. Andai saja aku bisa seperti naruto, mengubah diri menjadi beberapa. Mungkin saat ini aku bisa menghilang jauh dari hadapan ustadz Dafi. Dan apa yang guru itu lakukan? Dia malah mendekatiku, sementara Lala sahabatku kali ini ia diam seribu bahasa. Bagosssss, sahabat luckut!
"Coba anty berdiri!" Ucap Ustadz Dafi sambil menatapku.
Vita bangkit dari duduknya sambil menunjuk dirinya sendiri untuk lebih meyakinkan."Saya ustadz? Tapikan nama saya Vita, ustadz, bukan anty. Gimana sih.."
Buahaha..
Ketegangan sesaat berubah menjadi gelak tawa, Vita menggaruk-garuk kepalanya merasa malu menjadi bahan tertawaan teman sekelasnya.
"Vita-Vita, minimal-lah pinter dikit haha," ledek salah satu temannya dari arah kursi depan.
Ustadz Dafi menahan tawa melihat ia menutup mulutnya dengan cepat. Bahkan Lala juga senyum-senyum sendiri melihat kelakuan sahabatnya. Untung temen, kalo gak gua gibeng juga lu.
****
Jam yang paling ditunggu akhirnya datang juga, bel istirahat berbunyi, Vita dan Lala menuju kantin dengan memesan dua mangkok bakso sekaligus. Eits, tapi bukan untuk berdua, melainkan hanya Vita seorang. Kelaparan atau rakus? Entahlah, Vita memesan dua mangkok bakso untuk dirinya sendiri.
"Ya elah pelan-pelan kali Vit. Keselek nyahok lu," ucap Lala menarik kursinya kemudian menyeruput es jeruk yang sudah ia pesan. Vita yang merasa sangat lapar begitu lahapnya menyantap bakso yang uapnya masih berterbangan.
"Uhuk-uhuk.."
Lala tertawa,"Gue bilang juga apa."
"Sialan lu," gerutu Vita kemudian menyeruput minumannya.
Untuk berteman dengan Lala jangan ditanya, mereka adalah sahabat sejak kecil karena rumahnya yang berdekatan. Bisa dibilang Vita dan Lala adalah teman sepermainan. Awalnya sekolah di tempat berbeda, di masa putih abu-abu ini mereka satu sekolah bahkan satu kelas. Memiliki teman satu frekuensi menurut kalian gimana sih?
Tatapan Lala berhenti pada langkah seseorang yang hendak memasuki kantin.
"Vit, noh ustadz Dafi. Ngapain ya dia kesini?"
"Mana?" Vita celingukan mencari keberadaan ustadz Dafi di kantin.
"Cie nyariin, gue rasa lo bakalan suka deh sama ustadz Dafi," ledek Lala menahan tawanya.
"Apaan sih lu, gaje. Lagian aneh si lu, orang ke kantin pake ditanya ngapain, ya jelas mau isi perutlah," jawab Vita sedikit kesal, ia tak perduli lagi dengan Lala dan memilih fokus menyantap makanannya.
"Tapi gue serius, noh ustadz Dafi duduk di pojokan."
Reflek Vita menoleh arah belakang. Benar saja apa kata Lala, ustadz Dafi duduk sendirian di meja paling pojok dengan di temani est teh di depannya.
Ide gila muncul tiba-tiba, Vita bangkit dari duduknya kemudian menaiki kursi. Ia bertepuk tangan dan berteriak meminta perhatian semua orang yang ada di kantin. Sesuai keinginan, Vita menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kantin. Ada yang berbisik-bisik, ada yang cuek aja, ada yang berteriak memintanya untuk turun. Rasa penasaran juga muncul dalam benak ustadz Dafi, melihat sang guru baru menatapnya, Vita tersenyum senang. Dan inilah saatnya pembalasan!
"Perhatian semuanya, stop makan! Karena gue mau kasih tau ke kalian semua. Lihat seseorang yang duduk di pojokan sana kan? Kalian pasti asing kan, belum pada taukan? Nah gue mau kasih tau kalau dia adalah guru baru kita pengisi mapel bahasa arab. Emang kalian gak mau pada kenalan sama guru ganteng itu?"
Lala menarik-narik baju sahabatnya memintanya untuk turun dan menghentikan kelakuannya.
"Vita, lu cari mati ya?"
"Shutt diem, La. Lo duduk manis aja dengan tenang dan abisin minuman lo itu, setelah ini kita capcus."
Lala menepuk dahinya, ia merasa keamanannya terancam karena ulah Vita. Apa lagi melihat tatapan ustadz Dafi yang berubah menjadi mata elang yang siap menerkam mangsanya.
Berbeda dengan Vita, bukannya ketakutan ia malah menatap balik guru baru itu dengan tatapan tak kalah menyeramkan. Pantang baginya mundur sebelum selesai.
"Yang belom kenalan ayo dong kenalan! Gak sopan tauk, satu kantin tapi pura-pura gak kenal. Ayo-ayo, waktu dan tempatnya aku persilahkan!"
Semua orang berkerumun mendekati ustadz Dafi. Vita tersenyum simpul melihatnya kemudian menarik tangan Lala untuk mengikutinya meninggalkan tempat itu. Malu di balas malu, dan sekarang impas sudah. Salah siapa berani mempermalukan aku di depan temen sekelas, sekarang rasain juga dong. Skor kita satu sama ustadz, sama-sama malu.
❣️TBC❣️
Pagi ini benar-benar sangat menyenangkan bagi Vita, apa lagi melihat ekspresi ustadz Dafi kemarin, puas rasanya membalas apa yang sudah guru baru itu lakukan padanya.
"Vit, Vita.."
Mendengar suara seseorang memanggilnya, Vita segera menyalami tangan sang Ibu. "Bu, Vita berangkat dulu."
Ibu Rahma mengangguk,"Hati-hati!"
Benar saja, Lala sudah berada di depan rumah Vita lengkap dengan motor kesayangannya.
Beginilah setiap hari, Vita dan Lala berangkat ke sekolah sama-sama. Mereka selalu mempunyai jadwal bergantian untuk saling mengantar jemput.
Kali ini Vita yang menyetir setelah eyel-eyelan dengan Lala. Jalanan begitu ramai, kendaraan berlalu lalang, Vita mengendari sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Itulah sebabnya Lala selalu menolak saat Vita ingin menyetir, namun sikap Vita yang keras kepala membuat Lala tak bisa berbuat banyak selain pasrah.
Tiba-tiba saja motor yang dikendarainya mendadak oleng, ban depannya menyerempet trotoar.
Bruk..
Bukan main malunya terjatuh di tempat umum. Beberapa orang membantu Vita dan Lala, beruntung mereka tidak kenapa-napa.
"Gara-gara lo sih, Vit. Gue juga bilang apa, jangan ngebut! Pagi gini jalan masih rame," gerutu Lala membersihkan roknya yang sedikit kotor.
"Ya kan gue gak tau kalo ban-nya bocor," jawab Vita membela diri.
Gara-gara insiden tadi, motor Lala harus di masukan ke bengkel. Dan gara-gara itu juga mereka harus terlambat sampai di sekolah. Pelajaran telah di mulai sekitar setengah jam yang lalu, Lala berniat untuk kembali pulang karena ia takut terkena takziran. Tetapi tidak dengan Vita, ia memberanikan diri untuk tetap masuk kelas apapun yang akan terjadi nanti.
Pintu kelas pun terbuka setelah Vita mengetuknya, ia menunduk dengan wajah memelas berharap gurunya kali ini mau mengerti dan tidak memberinya takziran.
"Assalamualaikum, maaf Bu saya terlambat. Tadi ban motornya bocor dan kami sempet kecel..."
Lala menyikut lengan Vita, sontak saja Vita mengangkat wajah dan menatapnya. Melihat Lala memonyong-monyongkan bibirnya ke arah depan membuat Vita mengalihkan pandangannya.
"U-Ustadz.."
Vita gelagapan, gawat!! Mampuslah gue, ustadz Dafi pasti berkesempatan banget buat ngasih takziran mengingat bagaimana dia di permalukam di kantin kemaren. Ditambah lagi sekarang terlambat masuk. Aaa tidak..
"Kenapa anty gelagapan begitu? Di sini tidak ada jin," ucap ustadz Dafi keheranan.
"Vita, ustadz! Lagian ngapain ustadz Dafi di sini? Kan sekarang gak ada mapel bahasa arab."
Ustadz Dafi tersenyum. Senyumnya itu masyaAllah, membuat Vita mengamati wajahnya tanpa berkedip. Ia tersadar setelah sebuah penggaris menghampiri dahinya.
"Lihat apa?" Tanya ustadz Dafi.
Vita menggeleng, raut wajahnya menjadi pias setelah guru baru itu memintanya menemui guru BK.
"Yah, Ustadz, masa kami ditakzir lagi," protes Lala.
Bukannya menjawab, Ustadz Dafi malah menutup pintu dan memberikan isyarat dengan tangannya supaya kami segera pergi.
"Guru baru aja belagu," Vita menggerutu kesal.
"Hust, kalo kedengeran kita bisa kena masalah lagi, Vit."
"Emang benerkan dia itu belagu, sok kegantengan."
"Heleh, gitu-gitu juga lo suka kan?"
"Iya sih," Vita tersenyum menunjukan deretan giginya.
Dengkulku mendadak lemas setelah ruangan guru BK di depan mata. Vita dan Lala saling dorong untuk mengetuk pintu.
"Lo aja, Vit!" Ucap Lala cengengesan.
Vita menghela nafasnya dengan kasar, entah apa yang akan mereka terima nantinya.
"Permisi Bu.." ucap Vita setelah mengetuk pintu.
"Masuk!"
"Tau kenapa kalian saya panggil?" Ucap Bu Yasmin dengan tatapan yang sudah tak bersahabat.
Dengan kompak Vita dan Lala menggeleng, kepalanya tertunduk tak berani menatap wajah Bu Yasmin yang menyeramkan saat mengintrogasi.
"Kemarin ada yang melapor katanya kamu buat ulah di kantin. Mempermalukan ustadz Dafi di hadapan semua siswi yang ada di kantin, kenapa?"
Seperkian detik kemudian, Vita mengangkat wajahnya bersiap melakukan pembelaan. Tetapi Lala malah menarik bajunya memohon supaya Vita tak berbicara apapun. Raut penuh kekhawatiran terlihat jelas di wajah Lala, ia menggunakan isyarat matanya kepada Vita untuk tetap diam.
"Kenapa, Vita?"
"Hah, apa Bu?"
"Astagfirullah, berarti dari tadi kamu gak dengerin saya ngomong? Wajar saja kamu disebut murid paling dablek sendiri. Beh-beh.." Bu Yasmin merasa frustasi menghadapi Vita yang selalu tersandung masalah di sekolah. Berulang kali diberi hukuman, namun semua itu tidak membuatnya jera.
'Gue denger kali Bu, tapi liat muka sahabat gue, gue jadi gak tegaa. Dan soal gue bikin ustadz Dafi malu ya karna itu balasan dia yang udah buat gue malu duluan di depan temen sekelas. Bukan Vita kalo gak bisa bales dendam' gumamnya dalam hati.
Berakhirlah sudah keduanya berada di tengah lapangan, berjemur diri dan memberi hormat kepada sang merah putih yang berkibar di ketinggian lima meter.
"Vit, masih idup gak lo?"
"Lo kira gue mati, sialan amat lu jadi temen. Kalo lo tadi gak ngalangin gue buat ngomong sama Bu Yasmin, mungkin kita gak kena hukum kayak gini," gerutu Vita membuat Lala terkekeh.
"Maaf. Gue cuma gak mau masalah bertambah. Vit, ustadz Dafi noh."
"Mana?" Reflek Vita celingukan mencari keberadaan sosok guru yang sudah membuatnya terkena takzir.
"Ahay nyariinkan haha. Eh, Vit lo beneran suka sama ustadz Dafi?"
Vita terdiam, bagaimana bisa pertemuan baru dua kali disebut suka. Apa itu tidak aneh? Lagi pula Vita merasa tak yakin dengan perasaannya. Terlebih lagi ustadz Dafi...
"Dih bengong, jawab kek," Lala menyikut lengan Vita membuat tubuhnya sedikit oleng.
"Usia terus status, apa itu mungkin?"
Melihat sahabatnya termenung bukannya menghibur, Lala malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Kayaknya lo bukan Vita temen gue deh. Soalnya Vita sahabat gue itu gak gampang nyerah gitu aja, apa lagi lo belum nyoba, masa iya mundur sebelum maju. Gak asik ah."
Vita mencerna kata-kata Lala dalam diam, benar apa katanya, kenapa aku harus mundur padahal melangkah aja belom. Mulai sekarang dan seterusnya, ustadz Dafi harus jadi milikku seorang, hanya aku!
Ke duanya mendadak diam setelah mendengar suara deheman seseorang dari arah belakang. Bathin Lala sudah tidak enak, berbeda dengan Vita yang biasa saja bahkan terlihat cuek. Ia masih kesal dengan guru yang baru mengabdi di sekolahnya dalam itungan hari itu. Takziran yang diterimanya adalah gara-gara dia dan Ustadz Dafi harus membayarnya untuk semua yang terjadi padanya. Pikir Vita.
"Hukuman belum selesai, suruh siapa kalian mengobrol?"
Dalam hitungan detik berikutnya, tubuh Vita tiba-tiba ambruk. Beruntung dengan sigap Lala menangkapnya.
"Vita, lo jangan becanda deh, bangun!" Lala berusaha membangunkan Vita dengan menepuk-nepuk pipinya.
"Dia kenapa?"
"Aduh ustadz jangan banyak tanya deh, mending gendong Vita bawa ke UKS!" Pinta Lala pada guru pengisi mapel bahasa arab itu.
"Saya?"
"Ustadz nyuruh saya yang gendong? Mana kuat. Ayo ustadz buruan, Vita pingsan pasti gara-gara belom makan deh. Buruan ustadz gendong Vita!" Lala terus mengoceh meminta ustadz Dafi menggendong Vita dan membawanya ke ruangan UKS. Tentu saja di jam pelajaran seperti ini tidak ada orang di luar kelas selain mereka berdua yang tengah dihukum.
Ustadz Dafi menggendong Vita ala bridal Style menuju ruangan UKS. Vita yang pura-pura pingsan tersenyum puas dalam hati, rencananya berhasil. Ingin rasanya setiap menit kayak gini, dalam pelukan ustadz Dafi. Jika saja ini bukanlah kepura-puraan, sudah pasti aku mengalungkan tanganku di lehernya.
Ustadz Dafi membaringkan Vita di atas brangkar UKS, terdengar samar ia berbicara dengan dokter yang bertugas di sana. Seperkian menit kemudian terdengar suara Lala yang datang menghampirinya. Bahkan sahabatnya tak tau bahwa ia hanya berpura-pura demi bisa berada dalam dekapan ustadz kesayangan. Ya meskipun cuma gendong doang sih, tapi hati ini mak nyussssssss dak dik duk serr.
Lala dengan setiap duduk di dekat Vita, setelah mendengar Ustadz Dafi keluar dari ruangan, Vita membuka matanya.
"Vit, lo udah sadar? Syukurlah!"
"Pegel gue nungguin ustadz Dafi gak keluar-keluar."
"Tunggu-tunggu-tunggu, jadi lo cuma pura-pura?"
Vita mengangguk meringis menunjukan deretan giginya.
"Nyesel gue nolongin lo, kenapa gak sekalian gue suruh ustadz Dafi ceburin lo di kolam ikan belakang sekolah," gerutu Lala kesal, Vita terkekeh lalu meminta maaf dan menceritakan maksud tujuannya.
❣️TBC❣️
Vita terkekeh merasa lucu dengan aktingnya yang menurutnya luar biasa, sampai-sampai Lala pun tidak mengetahui kalau itu hanya sebuah akting.
Lala menggeleng, ia sendiri masih kesal dengan Vita yang berhasil mengelabuinya hingga membuatnya seperti orang tidak waras memohon kepada ustadz Dafi untuk membawanya ke ruang UKS.
Pergerakan kenop pintu membuat obrolan ke duanya terhenti. Vita kembali berakting dengan wajahnya yang ia buat seperti orang kekurangan oksigen.
"Minumlah teh hangat ini!"
"Tarok aja disitu ustadz, sekarang kepalaku masih pusing," ucap Vita membuat Lala mual seketika mendengarnya.
Ustadz Dafi pergi ke kantor dan meminta salah satu guru perempuan untuk membuatkan teh hangat. Karena merasa bersalah, ustadz Dafi memutuskan untuk mengantarkannya sendiri dan memastikan bahwa Vita meminumnya.
"Makasih, ustadz," ucap Vita sambil memijat-mijat pelipisnya.
Ustadz Dafi mengangguk, ia memutar badan hendak pergi meninggalkan ruangan itu.
"Ustadz!"
"Ya, kenapa?"
"Bahasa arabnya Ibu apa?"
"Umi."
"Kalo Ayah?"
"Abi."
"Kalo aku cinta kamu?"
"Anaa uhibbuka."
Vita tersenyum mendengar jawaban ustadz Dafi yang membuat hatinya semakin berdebar tak karuan.
Dirasa tidak ada lagi pertanyaan dari Vita, ustadz Dafi melangkah pergi.
"Ustadz!"
Langkahnya kembali terhenti di depan pintu dan memutar badan menatap lawan bicaranya.
"Anaa Uhibbuka, ustadz."
Wajah ustadz Dafi memerah dengan sorot matanya yang tak bersahabat. Entah karena malu atau apa, ia buru-buru pergi tanpa memperdulikan kalimat terakhir Vita. Vita terkekeh merasa gemas melihat raut wajah ustadz Dafi, antara marah dan malu. Uh, gmueeess
"Gila lo, Vit!" Lala geleng-geleng tak percaya dengan keberanian Vita yang to the point tanpa basa-basi.
"Kenapa memangnya kalo gue nembak duluan?"
"Ya gak salah kalo cowoknya normal."
"Maksud lo ustadz Dafi gak normal? Pisang perang sama terong gitu?"
"Bukan, bukan itu maksud gue. Ya secara lo tau kan kalo dia itu guru kita, dan lo muridnya. Ya kali guru mau sama murid."
Ucapan Lala memang benar, tapi apalah perduli Vita yang sudah terlanjur basah menaruh hati pada guru bahasa arabnya.
****
Pagi ini, Vita merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Sial banget sih, pake sakit segala, jadi gak taukan jawaban ustadz Dafi.
Ingin sekali rasanya memaksakan diri untuk tetap berangkat, tapi Ibu melarangku.
Tak apalah, aku sudah berpesan pada Lala untuk mengawasi gerak-gerik ustadz Dafi. Jangan sampai ada yang nemplok selain Vita seorang.
Sakit memang membosankan, Vita hanya bisa berdiam diri di kamarnya merasakan tulang-tulang tubuhnya seperti ingin runtuh. Melihat jam dinding baru menunjukan pukul 9 dan tidak akan lama lagi jam istirahat di sekolahnya. Menunggu kepulangan Lala rasanya benar-benar membuat Vita jengah. Berdiam diri tanpa melalukan apapun ternyata membuat waktu bergerak sangat lambat.
Suara yang tidak asing membuat Vita mengerjapkan matanya.
"Bangun woy, bedug."
"Eh, gimana ustadz Dafi? Ada yang mencurigakan gak?" Vita justru mengubah topik pembicaraan tentang ustadz Dafi. Rasa penasarannya membuat ia tidak sabar menunggu kedatangan Lala ke rumahnya.
Lala melongo tidak percaya dengan sahabatnya. Ternyata cinta membuatnya secerewet ini.
"Dih malah bengong. Gimana ustadz kesayangan gue, La?" Tanyanya lagi.
"Gak ada yang mencurigakan. Tapi gue sempet denger para guru besok mau pada jenguk lo."
"Seriusan?" Mata Vita berbinar setelah Lala meyakinkannya.
Kembali lagi Vita harus menunggu esok hari untuk bisa bertemu dengan ustadz kesayangannya. Padahal, banyak sekali yang ingin ia tanyakan padanya, terutama jawaban akan perasaannya.
Lala memutuskan untuk pulang setelah ia menyampaikan apa yang sedari tadi Vita tunggu.
Karena terlalu bosan berada di kamar, Vita menemui Ibunya yang tengah memasak di dapur.
"Bu.."
"Loh, gak tidur?" Tanya Ibu Rahma tanpa menoleh dan masih fokus dengan masakannya.
"Bosen bu, makin pusing tidur mulu."
"Emmm, Bu.."
"Kenapa to cah ayu?"
Entah mulai dari mana Vita ingin berbicara. Rasanya benar-benar malu menanyakan hal ini pada Ibu. Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan kisah cinta Ayah dan Ibunya. Vita cukup penasaran cinta seperti apa yang orangtuanya rasakan.
"Kok tiba-tiba nanya kisah Ibu sama Ayah. Apa anak Ibu ini lagi jatuh cinta, hem?" Tanya Bu Rahma menghampiri anaknya kemudian ikut duduk di sampingnya.
Vita menunduk malu, Bu Rahma tersenyum melihat putri semata wayangnya ternyata telah tumbuh menjadi anak remaja yang saat ini tengah jatuh cinta pada lawan jenisnya.
"Gak apa-apa to cerita ke Ibu. Ibu juga pernah muda, sudah ngalamin cinta-cintaan anak sekolah," ucapnya tersenyum.
"Ibu gak marah?"
"Kenapa musti marah? Jatuh cinta itu hal wajar selagi tau batasannya. Dan yang kamu rasain sekarang Ibu sering ngalamin dulu sebelum ketemu Ayahmu."
"Berarti Ibu sering jatuh cinta ke lelaki yang berbeda dong?"
Ibu Rahma mengangguk,"Sebelum memutuskan untuk menikah, Ibu sering kok ngalamin jatuh cinta, dan itu wajar, karna rasa itu gak bisa ditebak."
"Iya Ibu bener, rasa itu gak bisa ditebak."
'Dan saking gak bisa ditebaknya aku sampai mencintai guruku sendiri,' lanjutnya dalam hati.
****
Sudah dua hari Vita merasakan ketidakenakan pada tubuhnya. Ditambah lagi kulit tangan dan kakinya mengeluarkan bintik-bintik merah. Bu Bidan yang memeriksanya menyatakan bahwa Vita terkena demam berdarah. Baru dua hari ia sakit, tetapi bagi Vita rasanya seperti setahun. Benar-benar membosankan berada di rumah tanpa melakukan aktifitas apapun. Beruntung Lala tak pernah absen menjenguk sahabatnya yang sakit tanpa takut tertular penyakit yang sama.
Siang ini, Lala kembali menjenguk Vita dengan barang bawaannya yang banyak. Dia bilang itu adalah cemilan dari teman-teman sekolahnya. Terlebih lagi saat Lala memberikan silverqueen titipan ustadz Dafi, Vita berbinar penuh semangat untuk sembuh.
"Gak segitunya kali, Vit," Lala geleng-geleng kepala melihat Vita memeluk dan mencium berulang kali coklat silverqueen dari ustad Dafi.
"Biarin wlee.."
"Lo gak tau sih gimana usaha gue buat nodong ustadz Dafi kasih buah tangan ke lo. Dia bilang gak bisa dateng jenguk, makanya nitipin tu coklat."
Raut wajah Vita berubah masam. Kalimat menyakitkan harus ia dengar, padahal ia berharap banget bisa ketemu ustadz Dafi.
"La, gue pengen banget dijenguk ustadz Dafi."
"Sudah gue duga." Lala merebahkan tubuhnya di ranjang milik Vita, ia malah fokus membaca buku novel yang sebelumnya tergelatak di sana.
"Please, La! Lo gak mau emang lihat gue sembuh?"
"Pengen sembuh ya minum obat, bukan dijenguk."
Vita mengangkat sedikit kepalanya meskipun tertatih. Lala membantunya meletakan beberapa bantal untuk Vita bersandar. Melihat tatapannya yang Iba membuat Lala menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
"Please! Gue sakit malarindu tropi kangen, La," ucap Vita dengan tatapan memohon.
❣️TBC❣️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!