NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Saskia

Saskia Amalia

Berat, batinku. Bagaimana bisa di usia ku yang baru menginjak dewasa, baru lulus SMK, tapi saat ini juga aku kehilangan kedua orang tuaku. Pantas saja di acara kelulusan tadi, Bu Mia guru BK yang paling dekat denganku hanya menatapku getir, memeluk lama dan mengusap punggungku, rupanya ini yang yang terjadi. Ingin aku marah, ingin aku teriak, mengumpat dan memukul bahkan mungkin membunuh supir truk yang membanting setirnya ke arah kiri tepat menabrak motor yang dikendarai orang tuaku. Dengan alasan rem nya blong, dan arah kiri hanya ada motor maka hanya ada dua orang korban. ****! ayah ibuku jadi tumbal truk yang bermuatan berat tersebut. Pada akhirnya aku memang hanya bisa menangis bahkan menjerit juga melolong memanggil ayah dan ibu. Bu Mia terus memelukku dan mencoba menenangkan ku, bahkan menemaniku ke rumah sakit dimana ayah dan ibuku disemayamkan sebelum akhirnya di bawa ke rumah juga ke peristirahatan terakhirnya.

Setelah puas menangis aku membenahi tampilan ku. Jilbab putih yang biasa kupakai ke sekolah ku rapikan kembali, ku basuh muka bahkan berwudlu di masjid rumah sakit. Ku tenangkan diri dengan solat sunat. Ku baca salah satu surat dalam al quran di hp android jadul ku. Aku tersenyum miris, bahkan berakhir denyut nyeri di hati mengingat HP tersebut. Janji ayah, seusai kelulusan akan memberikan hadiah berupa HP android walau bukan terbaru minimal HP ku baru, tapi janji itu tidak akan terlaksana karena ayah pergi untuk selamanya. Ah aku tidak peduli dengan Hp baru. Yang kuinginkan adalah ayah dan ibuku hidup. Mendampingi kami putra-putrinya, aku Saskia putri sulungnya dan satu-satunya anak perempuan. Amran adikku yang baru saja kenaikan kelas SMA kelas 11, dan Irman adik bungsu yang baru saja naik kelas 6 SD di kota kecilku.

Air mata terus turun tanpa bisa ku cegah, hanya bisa menarik napas kasar dan terasa berat, berat karena dua orang adikku menjadi tanggung jawabku.Ya Allah... Kuatkan aku, mampukan aku. Batinku. Sore itu, hampir semua guru datang melayat ke rumah, beberapa orang guru mendampingi jenazah mulai dari rumah sakit. Sebagian tetangga sudah mempersiapkan segala sesuatunya di rumah peninggalan ayah yang tak seberapa besarnya. Irman hanya diam dalam tangisnya. Amran kulihat matanya sembab, air mata masih terus luluh membasahi pipi tirusnya. Aku paham, bagaimanapun Amran adalah anak yang paling dekat dengan ayah. Ku rangkul mereka berdua dalam dekapanku. Kami menangis, di halaman belakang tempat kami bersenda gurau di waktu senggang bersama ayah ibu. Bu Mia kembali mendekatiku,

"Pak Ustadz Hasan sudah bersiap ke pemakaman, ayo sayang, kamu kuat. Saskia yang ibu kenal adalah perempuan kuat. Ayo ajak adik-adikmu ke depan, kita harus segera ke pemakaman." lembut Bu Mia bertutur, menyadarkan aku agar tidak larut dalam tangisan. Masih ada kewajiban lain yang harus segera aku tunaikan.

Ku urai pelukan, ku rapikan jilbab, sisa-sisa air mata ku hapus. Ku genggam tangan kiri Amran dan satu tangan menggenggam tangan kanan Irman. Prosesi pemakaman kedua orang tuaku tidak lama, Alhamdulillah semua lancar, mulai dari menggali dua liang lahat, keranda, untaian bunga, sampai pada akhirnya semua menyempatkan untuk mengaji walau hanya satu surat. Aku, dan kedua adikku menjadi orang terakhir di pemakaman. Kini hanya kami bertiga. Ayah anak tunggal dan sudah tidak punya saudara, ibu pun sama. Kalaupun ada saudara jauh, entah dimana mereka kini tinggal. Bukan karena ayah atau ibu yang tidak mengenalkan kami degan saudara juga kerabat, tetapi lebih pada keengganan mereka menerima kami karena kami bukan orang yang berpunya. Ya, itulah kenyataannya. Setiap kami datang berkunjung tak pernah menerima perlakuan baik maupun keramahan, bahkan masih kuingat dalam ingatan ketika aku menuju toilet rumah besar mereka, mereka sedang bergunjing tentang kedatangan kami yang menurut mereka pasti akan meminta sedekah. Setelah dari toilet aku segera mengajak kedua orang tuaku untuk pulang. Sejak saat itu kami tak pernah lagi berkunjung. Tak pernah bermaksud setitik pun untuk memutuskan tali silaturahmi, tapi untuk apa datang bersilaturahmi jika hanya rasa sakit yang kami terima dan alami.

 

Tiga bulan berlalu, adik-adikku sekolah seperti biasa, alhamdulillah Amran menerima beasiswa sehingga tidak ada kendala dalam biaya sekolahnya. Sedangkan Irman karena SD negeri tidak ada kendala juga dalam pembiayaan. Semetara aku? Aku harus mengubur cita-citaku untuk kuliah di perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang kuinginkan. Selain faktor biaya, juga aku harus memenuhi kebutuhan hidup bertiga. Berbekal ijasah SMK yang aku punya aku mencoba melamar ke beberapa perusahaan yang ada di kota kecilku walaupun pada akhirnya tetap belum ada yang menerimaku. Akhirnya aku mencoba mengandalkan kemampuanku membuat kue-kue kering juga basah yang aku pelajari dari buku resep peninggalan ibu. Ya, ibu pandai membuat kue juga masakan. Aku harus mampu menjadi ayah juga ibu bagi kedua adikku.

"Kak, biarlah Amran berhenti sekolah. Amran nggak tega melihat kak Sasi berjuang sendirian memenuhi kebutuhan hidup kita." Amran menunduk tangannya memegang tangan kiriku.

Ku tatap haru Amran, "Tidak, kau lanjutkan sekolah. Jangan putus sekolah. Kakak tidak keberatan berjuang untuk kita, ini kewajiban kakak sebagai anak tertua. Jikalau mau membantu, belajarlah yang tekun, tetaplah berjuang menjadi yang terbaik untuk mendapatkan beasiswa. Jadilah kebanggaan ayah dan ibu." panjang jawabku menutup keinginan Amran yang ingin berhenti sekolah.

"Kalau begitu, nggak apa-apa kan kalau Amran membantu kakak membuat kue juga memasarkannya?" tanya Amran penuh minat.

"Good Idea!" seruku.

"Nah bantuan seperti itu baru kakak setujui." ku guncang-guncang tubuh kurusnya dengan senyum merekah di wajahku. Amran pun memelukku.

"Kenapa Adik gak diajak kerja sama?" protes Irman, wajahnya menunjukkan kecewa. Aku pun tersenyum mencubit pipinya yang chubby.

"Adik boleh bantu juga, mau bagian apa?" tanyaku dengan senyum menggoda. Bagaimanapun Irman masih kecil, aku kasihan kalau harus membantuku juga.

"Adik bagian mencicipi kue buatan Kak Sasi saja, boleh?" tanyanya, kedua alisnya naik turun.

Apa yang dilakukannya sontak membuatku dan Amran tertawa. Begitulah sekelumit kisah perjalanan hidup kami bertiga.

Sejak saat itu, kami berbagi peran. Semua mendapat tugas piket, menyapu halaman, mengepel, mencuci piring, menyiram tanaman, untuk mencuci baju Amran ku suruh mencuci sendiri, sebagai bentuk melatih kemandirian. Sedangkan baju Irman aku yang mencuci. Bahkan Amran belajar menyetrika sendiri baju-bajunya. memasak jelas bagian aku. Membersihkan dan merapikan kamar menjadi tanggung jawab sendiri pemilik kamar.

Aku berusaha bijak menerapkan aturan, di tengah kegetiran ku memikirkan bagaimana supaya aku bisa memenuhi semua kebutuhan kami. Tetap, aku harus bekerja.

Selama ini, ada beberapa tetangga yang tetap peduli pada kami. Bahkan di tengah kebingunganku, tetiba ada uluran tangan dari Pak Ustadz, dari Bu Mia guru BK ku yang sampai sekarang masih tetap selalu menghubungiku, sekedar bertanya kabar, kegiatan, mengajak sekedar main melepas jenuh. Ada Bu Tiara sahabat ibu, ada Pak Kosim sahabat ayah. Ya, aku sangat bersyukur, jauh dari kerabat bahkan merasa tidak memiliki saudara, Allah ganti dan hadirkan dengan tetangga-tetangga yang menyayangi dan memperhatikan kami.

 

Tring, bunyi pesan dari hpku.

Bu Mia BK : ada loker, menjadi staff admin di PT. Aditama Tribuana, siapkan lamaran. Semoga rizki kamu.

Pesan singkat dan jelas, dari Bu Mia.

Saskia Amalia : Siap Bu! Sasi siapkan, datang langsung atau bagaimana bu?

Bu Mia BK : datang langsung ke alamat nya. Berpakaian rapi dan sopan. Jl. Dukuh no. 56

Saskia Amalia : Siap bu, terima kasih banyak. Doakan Sasi ya bu.

#2

Kusimpan ponselku, segera kusiapkan berkas lamaran sesuai informasi dari Bu Mia, tak lupa surat lamaran tulis tangan ku buat juga. Ya, di tengah era digitalisasi aku lebih memilih menulis dengan pena surat lamaranku. Dulu ayah pernah bilang jika tulisan tangan menggambarkan watak atau karakter seseorang. Tapi maksud sebenarya bukanlah seperti itu, hanya karena ketiadaan printer dan untuk ke rental komputer cukup jauh, ku andalkan menulis rapi untuk surat lamaran kali ini, semoga saja menjadi salah satu jalan aku di terima.

Kumandang adan ashar terdengar, segera ku laksanakan kewajibanku. Tak lupa kupanjatkan doa untuk kedua orang tuaku, adik-adikku, serta masa depanku termasuk harapan untuk diterima di perusahaan yang akan ku datangi besok. Selesai solat ku rapikan mukena serta sajadah, tetiba aku ingat, jika pekan ini belum ziarah lagi ke makam ayah dan ibu. Gegas ku bersiap idri. Jarak pemakaman yang tidak terlalu jauh dari rumah jalan kaki menjadi alternatif paling simpel hitung-hitung olah raga juga. Sepanjang perjalanan, aku merenungkan segala yang sudah kujalani. Mengingat kepergian ayah dan ibu, perkara itulah yang membuat dadaku terasa sesak. Tapi aku tidak mau berlarut diri dalam duka. Kupikir, meski air mataku darah tetap saja yang telah pergi tidak kan hidup kembali. Dari itu, masa berduka harus usai, nelangsa harus selesai. Sedih jelas, tapi apakah dengan sedih, nelangsa juga berduka akan menyelesaikan segala masalah dalam kehidupan? Kurasa tidak bukan? Aku tak peduli nyinyiran orang tentangku yang katanya aku anak durhaka karena tidak terlihat berduka, seperti orang yang biasa saja. Ku tanggapi nyinyiran itu hanya dengan senyum samar menekan luka di hati. Ah kenapa seh dengan mereka, apakah dengan berkubang duka mereka akan membantu semua permasalahan yang kuhadapi? Ya mereka hanya akan berpendapat dengan sudut pandang mereka sendiri.

Tak terasa aku sampai di pemakaman, segera ku telusuri paving block yang menjadi rambu arah jalan kemana saja jalur pemakaman ini melajur. Ku pandangi dua gunungan tanah merah yang sudah mulai memadat dan belum di tembok, ya, belum ada anggaran untuk membuat makam ayah dan ibu lebih rapi. Terhalang dua pusara lama sebelah kanan kulihat ada seorang pria paruh baya juga baru datang. Sempat aku bersitatap dengannya. Sesungging senyum terukir dari wajah pri paruh baya tersebut. Kulantunkan doa-doa untuk kedua orang tuaku, diakhir kusiramkan air dari botol bekas air mineral yang kubawa dari rumah, kutaburkan bunga yang tadi di beli depan dekat gapura pemakaman.

Assalamualaikum ayah dan ibu, maaf Sasi baru bisa datang lagi. Adik-adik sehat, bahkan mereka sangat mengerti juga paham apa yang harus di perbuat sejak kepergian ayah dan ibu. Maafkan Sasi, jika belum bisa maksimal menjaga mereka. Bahkan belum bisa mencukupi kebutuhan mereka. Sasi belum bekerja Yah, hanya sekedar jualan kue yang Sasi bisa. Terima kasih ilmu membuat kue juga masakannya bu, maaf dulu Sasi selalu menggerutu dan seperti tak ikhlas membantu ibu masak juga membuat kue. Ternyata itu menjadi bekal buat Sasi. Alhamdulillah tadi Bu Mia ngasih kabar, ada lowongan di perusahaan kontruksi di kota kecil kita, PT. Aditama Tribuana. Sasi sudah siapkan lamaran, walaupun hanya sebagai tenaga administrasi semoga saja bisa mencukupi kebutuhan Sasi juga adik-adik. Yah, sudah sore langit pun mendung, Sasi lupa nggak bawa payung. Sasi pulang ya, Assalamualaikum ayah dan ibu.

*

*

Tanpa Saskia tahu, curahan hatinya di depan pusara ayah ibunya terdengar jelas oleh pria paruh baya yang tidak jauh dari Saskia. Tersungging senyum samar terukir di wajahnya yang masih menunjukkan ketampanannya. Mendengar sedikit kepahitan hidup yang di jalani gadis itu ada rencana tergambar di benaknya, mempertemukan gadis tersebut dan Bima putranya yang masih belum bisa menghargai dan bersyukur atas apa yang Allah karuniakan kepadanya. Ya, pria paruh baya itu adalah pemilik PT. Aditama Tribuana. Ketika Saskia menyebutkan tentang lowongan pekerjaan di perusahaannya, semakin yakin ia akan niatnya untuk memberikan pembelajaran hidup pada putra bungsunya melalui kehadiran gadis tersebut di perusahaannya.

*

*

Akankah Saskia diterima dengan mudah di PT. Aditama Tribuana?

Akankah Bima si putra bungsu akan menerima tugas dari sang ayah untuk bekerja di perusahaan yang baru di buka tiga tahunan dan berada di kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota?

Ikuti terus yuks ceritanya.

Kasih support dong....

Angga Tribuana

Semilir angin di sore hari, langit menunjukkan gradasi warna memukau memikat hati pecinta senja. Seorang pria paruh baya, duduk lesu di kursi belakang sang supir. Kendaraan mewah membawanya pulang ke rumah, sebuah hunian mewah di perumahan elite kawasan pinggir ibu kota tetapi memiliki akses mudah ke kawasan industri yang mana salah satunya adalah perusahaan yang dia dirikan dua puluh tahun lalu dan kini tengah berkembang pesat serta memiliki beberapa cabang di kota lain. Kini konsentrasinya pada perusahaan cabang yang baru di buka tiga tahun lalu di sebuah kota kecil tempat kakek dari ayahnya pernah tinggal. Perusahaan tersebut rencananya akan dia hadiahkan pada putra bungsunya, Laksmana Abimanyu.

Keindahan langit sore itu tidak serta mampu menghapus keresahan hatinya dari memikirkan sang putra bungsu. Radio yang di nyalakan sang supir berhenti di frekuensi yang memperdengarkan dakwah ringan. Fabiayyi aala i-robbikumaa tukadzdzibaan - maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang akan kamu dustakan. Terngiang dalam ingatan penggalan ayat salah satu surat dalam alquran, sering dia hafal juga sering dia baca. Matanya berkaca, batinnya merasa, mungkin rasa syukurnya masih kurang sehingga Allah memberikan ujian berupa karakter si bungsu yang masih jauh dari harapan.

Mobil mewah tersebut masuk gerbang yang terbuka secara otomatis, karena satpam penjaga telah mengetahui kepulangan sang tuan rumah dari kejauhan. Angga, pria paruh baya tersebut segera turun dari kendaraan yang membawanya pulang dari perusahaan. Berjalan tegak, walau tetap terlihat lelah sesungging senyum dia suguhkan untuk istri tersayang yang menyambutnya di ambang pintu begitu salam dia ucapkan.

Teringat akan penggalan ayat yang di dengar tadi, rasa syukur dia panjatkan dalam hati akan kehadiran istri yang dia sayangi dan cintai, cantik dan sederhana penuh kasih dan kelembutan, dan kini jilbab instan menutupi rambutnya-seperti doa yang sering dia panjatkan, istrinya menutup aurat seperti tuntutan dalam al quran, walau baru enam bulan lalu ditunaikan tepatnya sepulang ibadah haji dengannya. Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang akan kamu dustakan?

"Assalamualaikum, mama" suara sendu terdengar dari sosok tinggi tegap itu.

"Wa'alaikumsalam, papa." sesungging senyum menyambut dan menjawab salam. Segera diraihnya tangan kanan suami yang dicintainya.

"Kenapa dengan wajah tampan suamiku ini, apa yang membuatnya gundah gulana?" pertanyaan diiringi senyum hangat sang istri, seolah tahu apa yang menjadi beban pikiran Angga.

"Apalagi kalau bukan si bungsu, ma?" jawabnya pelan seolah merajuk.

"Kalau hanya papa pikirkan saja ya tidak akan menemukan jalan keluar." ujarnya tenang, seperti menggantung dan menanti lanjutan, Angga hanya diam mendengarkan, pandangannya tak lepas menatap wajah sang istri.

"Papa, sudah melangitkan doa?" lanjutan ungkapan tadi berujung pada sebuah tanya tapi juga sebuah instruksi untuk dikerjakan.

"Astaghfirullohaladzim, rupanya doa yang papa panjatkan tidak detail meminta tentang si bungsu." ditangkupkan kedua telapak tangannya pada kedua pipi istrinya.

"Terima kasih, mama sudah mengingatkan." dikecupnya kening sang istri dengan sayang.

Tas kerja berpindah, di bawa perempuan cantik paruh baya, Ratna istri dari Angga. Segera Angga beranjak ke kamarnya, berniat membersihkan diri. Sedangkan istrinya membawa tas kerja ke ruangan kerja di rumahnya yang luas. Setelah itu beranjak ke kamar menyiapkan kebutuhan suaminya.

"Kapan papa ke cabang tiga? Kalau bisa sekalian ziarah ke makam kakek, buyutnya anak-anak." kembali Ratna mengingatkan hal-hal kecil yang luput dari ingatan Angga.

"In syaa Allah akhir pekan ini kesana, terima kasih sudah mengingatkan kembali." jawab Angga seraya mengenakan pakaian santai yang sudah disiapkan istrinya.

"Mama ikut?" lanjutnya.

"Sepertinya belum bisa ikut, maaf ya pa. Ada kajian penting di majlis ta'lim kompleks kita. Sayang kalau dilewatkan." sesalnya.

"Tak mengapa, mencari ilmu jauh lebih penting. Ziarah bisa diwakilkan, toh berdoa dari rumah pun in syaa allah akan sampai."" jawab Angga menenangkan.

Hari pun berlalu.

"Ma, papa sepertinya tiga hari di cabang. Ada perekrutan beberapa karyawan baru, mudah-mudahan saja membawa dampak baik untuk perusahaan. In syaa Allah sabtu sore pulang." ijin Angga pada sang istri yang tengah merapikan jas yang di pakai suaminya.

"Iya pa, semoga lancar ya." jawabnya diiringi senyum menenangkan, senyum yang selalu Angga rindukan.

"Kalau bisa suruh Bima nyusul papa ke cabang. Papa hubungi susah, kalau sama Mama biasanya dia mau dengar." permintaan Angga lebih ke arah keluhan, terdengar jelas oleh Ratna sang istri.

"Iya nanti mama ajak ngobrol Bima." jawabnya pelan.

Senyum pun tak luput terbit dari wajah istrinya, rupanya suaminya tidak tahu jika si bungsu sudah beberapa hari ini selalu di rumah, hanya kucing-kucingan saja terhadap sang papa, menghindar perdebatan panjang yang selalu bermuara pada amarah dan kebuntuan. Papanya mengira Bima masih liburan bersama teman-temannya.

Setelah sarapan dengan tenang, Angga pun pamit ke cabang selama tiga hari, ditemani supir yang setia bekerja sedari Angga muda.

*

*

Di pemakaman inilah Angga bertemu Saskia, mendengar segala curahan hatinya dan harapan diterima di perusahaan yang Angga sementara pimpin.

*

*

Kapan neh Saskia yang panggilan sayangnya Sasi bertemu dengan Angga juga Bima?

Terus ikuti lanjutannya ya!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!