NovelToon NovelToon

Pernikahan Terbuka

Perempuan dari Masa Lalu

"Apa tidak ada tempat lain yang lebih baik dari WC umum?"

Axton yang tengah memojokkan perempuan yang baru ditemuinya beberapa menit lalu, sontak berdecak pelan ketika Anyelir 'lagi-lagi' memergokinya.

Yang berarti, ini bukan kali pertama seorang Anyelir Kylie Winston, yang tak lain dan bukan istrinya sendiri memergoki Axton tengah berduaan dengan perempuan lain.

Oh, jangan salah sangka. Jangan langsung menghakimi sepihak Axton suami berengsek dan tidak tahu diri bisa mendapatkan perempuan secantik Anyelir Kylie Winston yang lebih cocok dijuluki robot Al, ketimbang seorang perempuan bertubuh ramping tinggi semampai dengan rambut panjang sepunggungnya yang malam ini lebih memilih disanggul rapi.

Jangan lupakan tusuk sate—panah emas—apalah itu. Iya, konde yang menancap bak bilah pedang di atas sanggulannya. Siap dicabut dan dilayangkan tepat ke inti jantung Axton jika nanti salah bicara ketika sedang membuat pembelaan diri.

"Why Darling? Kangen atau cemburu?"

Axton menjauhi perempuan yang dikurungnya di sudut WC. Menarik diri mendekati Anyelir yang malah mundur dua kali. Menyorot jijik pada Axton.

"Aaahh."

Axton mengusap bibirnya yang masih basah. Tentu, Anyelir teramat tak suka ada jejak perempuan lain tertinggal di tubuh Axton. Bukan karena cemburu buta. Tapi ... lihatlah sendiri apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Hal penting apa yang ingin disampaikan Istri tercintaku sampai rela jauh-jauh menemuiku ke sini?" tanya Axton diiringi kekehan mengejek. Menyandarkan satu lengannya di kusen pintu WC. Membalas tatapan Anyelir bersahabat. Tidak seperti yang diberikan sang istri yang sudah seperti ingin membuang hidup-hidup suami tak berguna seperti Axton ke segitiga bermuda.

"Kamu nggak lupa kedatangan kita ke sini apa?"

Axton mengangguk. "Tentu aja nggak. Kenapa, sudah mau mulai, ya?" tanya Axton seraya menurunkan sanggahan lengannya. Eskpresi wajahnya kontan berubah, tampak lebih serius dan berwibawa.

Axton menarik diri dari WC. Menghampiri Anyelir yang kali ini tidak menghindar lagi.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, Axton langsung mengalunkan lengan di pinggang ramping Anyelir, menariknya merapat. Mendadak melupakan perempuan kencan kilatnya yang masih berada di dalam WC.

"Hm." Anyelir berdeham, balas mengulurkan lengannya melingkari pinggang keras Axton. "Kata Sasa sepuluh menit lagi. Ayo ke sana. Aku nggak mau kebiasaan jelekmu ini mengacaukan semuanya," sindir Anyelir sembari melirik perempuan kencan Axton yang dikenalinya sebagai salah satu staf acara. Yang semula mau keluar sembunyi-sembunyi, tapi buru-buru masuk lagi setelah sepersekian detik saling bersitatap dengan kilah tajam milik Anyelir.

Axton tertawa-tawa. Merendahkan wajah, memiringkan ke kanan. Mengecup singkat bibir Anyelir yang menyambut kaget.

"Okay, ayo ke sana. Tapi jangan lupa kesepakatannya. Kamu tahu, 'kan kalau aku paling nggak suka dibohongi."

Anyelir memutar bola mata malas. Mendorong pelan sebelah wajah Axton yang ingin kembali menciumnya.

"Dan aku bukan orang tipe ingkar janji. Stop it! Aku butuh waktu satu jam lebih untuk make up ini. Jangan berani-beraninya merusak," tegas Anyelir menahan dada Axton sekuatnya yang masih berusaha menjangkau bibirnya.

Axton mencibir. Menarik bibir Anyelir ringan yang selalu berhasil membuat Axton gemas sendiri ketika melontarkan kalimat pedas seperti barusan.

"Kenapa kamu selalu menggemaskan," gumam Axton tanpa sadar.

Anyelir yang masih dalam posisi tertekan, sontak menghentikan dorongannya. Lekas mendongak, menatap Axton yang demi Tuhan—terlalu memuakkan.

"Kamu tadi bilang apa?" tanya Anyelir dalam suara mencemoohnya. "Nggak salah?"

Axton memalingkan wajah, mengumpat pelan. Bisa-bisanya memuji ular berbisa dalam bingkai wajah kelinci.

"Nggak." Axton menarik dirinya hingga berdiri dengan benar. "Emang aku bilang apa? Nggak ada. Telinga kamu aja kali yang salah dengar. Budek."

Anyelir yang semula hanya menganggap ucapan Axton sebatas angin lalu dan sudah tidak memperdulikannya lagi, mendadak berubah 'sangat peduli' mendengar kata terakhir yang baru saja dilontarkan Axton.

"Apa? Budek? Telingaku, budek?" tanya Anyelir memastikan. Layangan kilat diberikan pada Axton yang sudah berulang kali meneguk ludah kasar. Ngeri melihat sorot dingin dari manik mata amber Anyelir.

"Telingaku," putus Axton cepat. Mulai mengajak Anyelir berjalan. Bisa mampus Axton kalau Anyelir masih belum puas atas kilahnya. "Sudahlah. Jangan berantem lagi. Nggak capek apa tiap hari berantem terus?"

Pasalnya, tiada hari dalam rumah tangga mereka sepi dari yang namanya bertengkar. Mulai dari masalah sepele seperti; lupa mencuci gelas setelah minum, hingga yang paling besar soal rumor panas Axton yang pernah terlibat skandal dengan salah satu aktris kenamaan negeri ini.

Beruntung Anyelir tak sampai melayangkan gugatan cerai. Justru Anyelir-lah yang membantu Axton mengerahkan segala usaha hingga rumor itu meredup dan hilang dengan sendirinya.

Akan tetapi, beberapa hari setelahnya, sikap Anyelir yang semula biasa saja dan memperlakukan Axton layaknya suami sungguhan meski keduanya tidak saling mencintai, mendadak berubah total. Anyelir berubah dingin, jarang sekali terlibat obrolan lagi dengan Axton. Mungkin karena tidak suka dikhianati meskipun keduanya hanya menikah main-main, Anyelir sampai tega tidak pernah lagi membantu menyiapkan kebutuhan Axton.

Anyelir yang sekarang adalah gambaran Anyelir yang Axton temui untuk kali pertama, setelah baru berani keluar dari persembunyiannya begitu rumor lenyap. Tapi sekarang sudah lebih baik. Anyelir sudah mau kembali melayani Axton meski seringnya diselingi gerutuan tanpa henti.

Axton menunduk, menatap dalam Anyelir yang masih belum bersuara. Hanya sepasang manik matanya yang masih menyorot lurus memerhatikan jalan.

"Capek?" Axton menarik kepala Anyelir. Direbahkan di dada. Mengusap-usap pelan.

Anyelir bergumam tidak jelas. Lekas menarik kepalanya menjauh begitu keduanya mulai memasuki wilayah tempat acara.

Sudah banyak kamera milik wartawan di depan sana. Tentu saja akan meliput serangkaian acara malam ini. Malam ulang tahun televisi swasta. Aset pertama dan paling berkembang dari PT. Heaven Media, sebuah perusahaan multimedia milik Axton dan Anyelir.

Umurnya masih terbilang jagung. Baru tiga tahun. Sama dengan umur pernikahan Axton dan Anyelir. Meski begitu, sudah memiliki dua program. Media umum; gratis dan khusus olahraga; berbayar. Semuanya berkembang pesat dan diterima positif oleh masyarakat luas.

"Jangan buat malu."

Axton menoleh. Anyelir baru saja melepaskan diri darinya. Berjalan menghampiri MC acara, tengah berbincang-bincang serius.

Seulas senyum Axton tunjukkan. Kembali menatap ke depan.

Selain wartawan dan beberapa aktor-aktris baik milik perusahaan maupun di luar yang diundang khusus untuk memeriahkan acara, juga sudah banyak para masyarakat yang sangat antusias ingin menyaksikan penampilan demi penampilan yang ada.

Mereka rela datang dari siang karena, takut tidak kebagian tiket yang bisa terjual habis dalam hitungan menit. Tiketnya dijual secara online. Masyarakat tidak perlu mengantri lagi dan berdesak-desakan.

Nantinya bagi hasil dari penjualan tiket itu, delapan puluh persen akan Axton sumbangkan ke panti asuhan dan yayasan-yayasan yang sekiranya membutuhkan uluran tangan. Itu semua atas arahan Anyelir. Lagi-lagi, Axton hanya tinggal menjalankan.

Dibilang ngenes, ya begitu faktanya. Anyelir terlalu mandiri, serba bisa. Memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Mirip sekali dengan almarhumah papa mertuanya yang sudah meninggal satu tahun lalu.

Terkadang, Axton sampai merasa tidak layak bersanding dengan Anyelir. Sekalipun Axton juga ikut andil mengolah perusahaan, tetap saja Anyelir-lah yang mengkoordinasi semuanya meski di sana Axton yang memimpin perusahaan.

Malahan, Axton merasa lebih cocok menjadi asisten yang tinggal iya-iya saja. Karena bisa dihitung jari berapa kali Axton bisa menjalankan perusahaan tanpa ada uluran kendali dari Anyelir.

"Damn it."

Axton mengumpat lirih, mundur cepat menghindari tumpahan jus yang masih mengarah ke jasnya. Segera mengibas-ngibaskan. Kalau ketahuan Anyelir, habis sudah kena ceramah.

"Maaf-maaf, saya tidak sengaja."

Dari suaranya yang lembut, pasti perempuan.

Axton yang masih menunduk, perlahan mendongakkan wajah. Menatap penasaran perempuan bergaun putih yang ujungnya gaunnya sampai menenggelamkan kakinya meski sudah memakai high heels. Terlihat jelas dari renda ujung gaunnya yang menerawang.

Penampilan yang sederhana. Tapi entah kenapa begitu memikat Axton dalam pandangan pertama. Tetap terlihat berkelas, sesuai dengan tema acara.

"Ada apa?"

Pundak Axton seketika kaku. Anyelir sudah berdiri di sebelahnya. Tatapan Anyelir yang kontan tertuju pada jasnya yang sudah kotor, mampu membuat Axton menengguk Saliva berulang kali.

Axton sudah sangat siap jika Anyelir langsung memarahinya tanpa henti.Terus mengungkit-ungkitnya seperti kejadian yang tak lebih sama juga pernah menimpanya.

Sebelum asumsi negatif Axton itu terjadi, syukurlah dunia tengah berpihak baik padanya. Sang pelaku penyiraman tadi kembali mengakui perbuatan cerobohnya.

"Sekali lagi saya minta maaf. Saya sungguhan tidak sengaja. Sebelah pijakan heels saya patah. Saya akan ganti—Axton." Perempuan pelaku penyiraman mengangkat wajah, kontan terkejut mendapati Axton. Menoleh cepat kepada Anyelir. Lebih terkejut lagi. "Anye," panggilnya sampai membeliakkan mata lebar.

Tidak hanya perempuan itu seorang yang terkejut, tapi juga Axton dan Anyelir. Bahkan, Axton sampai tidak berkedip ketika tidak sengaja bersitatap dengan perempuan berwajah lembut itu.

Sorot mata layunya berhasil menghipnotis Axton. Seolah-olah menghentikan pergerakan dunia detik itu juga.

Kenapa dia harus kembali?

****

Budek\=Tuli

Hi, aku Nilwa. Salam kenal semua. Ini karya pertamaku di sini, semoga cukup menghibur. Kalau suka, jangan lupa di like ya. Terima kasih ♡

Pernikahan Terbuka

"Lama tidak bertemu."

Axton masih bergeming meski perempuan bergaun putih itu sudah mencoba sok akrab dengan Axton. Di depan Anyelir, di depan para staf, aktor-aktris, dan banyak lagi. Sama sekali tidak takut jika tingkah lakunya itu dapat membuahkan kekacauan besar jika sampai tertangkap kamera media.

Beruntung, Anyelir gesit mengambil tindakan. Menarik pelan lengan Axton, mengapit erat-erat hingga mampu menyadarkan si empunya dari lamunan.

"Apa-apaan maksudnya?" geram Axton mengibas-ngibaskan jasnya. Bukannya lumayan bersih, justru lelehan tumpahannya makin menyebar ke mana-mana.

"Lepas aja, jasmu udah kotor. Ganti dengan yang baru."

Axton menoleh pada Anyelir, istrinya balas mengulas seuntai senyuman tipis. Sama sekali tidak ada indikasi kemarahan di wajahnya.

Lewat kacamata orang lain memang tidak ada. Tapi, bagi Axton yang sudah mengenal Anyelir kurang lebih tiga tahunan, jelas berbeda. Dari sudut-sudut bibir Anyelir yang jelas tertarik terpaksa, Axton menyimpulkan setelah ini nasibnya tidak akan aman.

Sejenak Axton memejamkan mata. Mengumpat sepuasnya di dalam hati. Gara-gara perempuan si pengacau masa lalu dan sekarang kedatangannya pasti ingin kembali mengacaukan hidupnya lagi, Axton tengah dalam masalah besar.

Anyelir tidak akan melepaskannya begitu saja. Anyelir akan terus memberondong Axton dengan segelintir pertanyaan mengenai perempuan bergaun putih. Hingga ke akar-akarnya, sampai memenuhi tangki egonya.

"Sudah lama kita nggak bertemu."

Perempuan bergaun putih turut merangkul Anyelir dalam sebuah pelukan singkat. Menepuk-nepuk pundaknya beberapa kali sebelum melepaskan.

Anehnya, Anyelir juga membalas memperlakukan sama. Seolah-olah mereka kawan lama yang sudah lama sekali tidak berjumpa.

"Baik bukan keadaan kalian? Ah, aku lupa belum mengucapkan selamat atas acara malam ini. Dan juga ...." Ekor mata perempuan bergaun putih melirik Axton sekilas. Ujung bibirnya terangkat sekilas. "Selamat atas pernikahan kalian. Aku nggak nyangka kalau sahabat aku sendiri yang menjadi pengantin pengganti dari calon suamiku," ungkapnya diiringi senyuman manis.

"Mantan." Axton menyanggah cepat. Jangan biarkan perempuan penuh tipu muslihat itu semakin mengacaukan keadaan.

Axton menurunkan apitan lengan Anyelir, berganti merangkul posesif pinggang ramping sang istri. Balas tersenyum manis, mau membalas sang mantan dengan cara yang sama. Elegan dan berkelas, tanpa perlu sampai beradu urat.

"Begini Nona Lilyana Justine, saya dan Anyelir baru menikah setelah satu tahun saya gagal menikahi seorang perempuan tidak tahu diri seperti Anda. Anyelir memang pernah menjadi sahabat Anda. Tapi, mulai detik ini tidak lagi."

"Axton!"

"Bisa diam dulu nggak, Darling?" Axton menoleh pada Anyelir, mengulas tampang serius. "Ini urusanku sama masa laluku, kamu cukup diam dan dengarkan."

"Tapi—"

Axton menjauhkan bibirnya setelah membungkam suara Anyelir dengan kecupan ringan. Menggeleng memperingati, menekankan pada Anyelir untuk tidak ikut campur.

Anyelir menurut, perempuan itu memilih diam. Sekelebat saling bertukar pandang dengan Lily yang lagi-lagi mengulas senyum. Bedanya diiringi tatapan intens seperti menyimpan sesuatu.

"Kami memang menikah karena dijodohkan, sama seperti kita dulu. Tapi bedanya, saya dan Anyelir saling mencintai." Omong kosong! "Jadi saya mohon dengan sangat, jangan sekali-kali berani mengusik hidup saya. Apalagi kehidupan rumah tangga saya. Kami sudah bahagia, kami anti dengan yang namanya orang ketiga." Lebih omong kosong!

"Apa aku terlihat seperti perempuan perebut suami orang?" tanya Lily kalem. Seutas senyum kembali ditampilkan. "Ayolah, Axton. Aku juga sudah menikah meski sekarang suamiku berada di luar negeri. Kamu tenang aja, aku nggak mungkin merusak rumah tangga sahabatku sendiri. Eh, maksudnya mantan sahabat karena baru aja kamu mendeklarasikan itu."

Lily memasang wajah sedih. Ditunjukkan pada Anyelir yang masih tenang-tenang saja.

"Maaf, ya Anye. Tapi suami kamu sendiri yang bilang begitu."

Anyelir mengangguk, malahan mengulurkan tangan pada Lily hingga si empunya terkesiap. Tidak menyangka akan mendapat balasan kelewat bersahabat.

"Terima kasih sudah mau ikut mengisi acara malam ini. Terima kasih juga telah menyetujui pemutusan persahabatan kita. Aku terima ini sebagai kado terindah dari mantan sahabatku."

"Ppfffttt."

Axton segera membungkam mulutnya. Tak kuasa menahan tawa mendengar lontaran sarkasme dari Anyelir. Mana pula dikatakan dengan nada kelewat halus. Tenang, ramah. Sangat berkelas.

Istri siapa dulu.

Melihat wajah Lily yang meski tetap dipaksa tersenyum tapi nampak kesal dari sorot matanya, tawa Axton meledak tanpa bisa ditahan. Beruntung, mulutnya masih dibungkam sendiri. Jadi, yang keluar hanya suara tertahan seperti kentut sapi.

"Ayo pergi."

Mendengar titah permaisuri, Axton segera melaksanakan. Tanpa perlu mengatakan apa-apa lagi pada Lily, Axton mengajak Anyelir ke belakang untuk menemaninya berganti.

Acara yang diselenggarakan perusahaan jauh lebih penting, ketimbang meladeni Lily yang tak akan ada habisnya.

***

"Lilyana makin cantik."

Axton yang baru keluar kamar mandi dan tengah mengeringkan rambut basahnya, sontak menoleh pada Anyelir yang tubuhnya sudah terbungkus jubah mandi. Pun dengan rambutnya yang disembunyikan dalam gulungan handuk.

Mereka belum lama pulang dari tempat acara. Acara yang digelar sukses, meriah, tidak ada yang mengecewakan. Mungkin yang disayangkan hanya ceceran sampah yang menyebar di penjuru area.

Sudah menjadi kebiasaan buruk masyarakat yang sampai sekarang belum juga ada solusinya. Belum tumbuh kesadaran diri untuk turut menjaga lingkungan jika mau diberikan balasan yang setimpal.

"Cantikan Istriku ke mana-mana." Axton meraih tangan Anyelir, ditariknya menuju ranjang. Menyerahkan handuknya untuk dibantu mengeringkan rambut.

Mereka habis selesai mandi. Apa mandi bersama? Untuk hari ini tidak. Keduanya butuh rileksasi sebentar. Kalau mandi bersama, sudah dipastikan akan berakhir seperti apa. Dan Axton tidak mau sampai lepas kendali yang akan makin memperburuk bad mood Anyelir. Yang meski tidak ditunjukkan secara terang-terangan, Axton tahu jika saat ini Anyelir sedang butuh banyak ketenangan.

Anyelir tak protes, menerimanya dan lekas mengusap-usap rambut basah Axton.

"Kamu nggak ada niatan tidur dengannya? Siapa tahu bisa memuaskan fantasi kamu dulu."

Axton yang tadinya memejamkan mata menikmati usapan lembut Anyelir, sontak membuka sedikit. Melempar sorot malas pada Anyelir.

"Emang kamu gapapa kalau aku sampai tidur dengan Lily?" Pasalnya, Axton tahu kalau di luar masalah ini, Anyelir punya masalah pribadi dengan Lily. Entah apa itu, Axton tak mau terlalu ikut campur sekalipun sekarang Anyelir sudah menjadi istrinya.

Anyelir menghentikan gerakannya. Hanya untuk sekadar saling bersitatap sebentar dengan Axton. Melanjutkan lagi dengan seulas senyum tertahan di bibir.

"Kenapa aku harus kenapa-napa? Bukankah selama ini kamu sudah sering tidur dengan perempuan lain. Bagiku Lilyana sama aja. Nggak ada bedanya."

"Kalau aku malah jatuh cinta lagi, gimana? Masih bisa bilang gapapa?" tanya Axton gemas sendiri.

Entah terbuat dari apa hati Anyelir. Kenapa bisa masih bersikap setenang ini saat membahas masa lalu pahit Axton.

Namun, lama-lama kenapa Axton malah menyesali pertanyaannya. Karena jawaban yang Anyelir berikan nanti, barang kali lebih menyakitkan dari apa yang ditanyakan Axton.

Apalagi ketika Anyelir sudah benar-benar menatapnya, Axton tak bisa hanya sekadar tersenyum meringis. Lekas saja menarik tubuh Anyelir yang meski punya body goals, tetap mungil dalam dekapan Axton.

"Aku bercanda, nggak usah dijawab."

Seringnya realita suka mengkhianati ekspektasi. Anyelir membungkam telak pernyataan Axton dengan kenyataan yang sialnya, kenapa dulu diciptakan dan disepakati.

"Gapapa. Kamu bebas jatuh cinta dengan perempuan manapun. Aku nggak akan membatasi. Sesuai perjanjian pernikahan kita waktu itu, open marriage. Aku ... kamu, bebas menjalin hubungan dengan siapa saja."

****

Kalau suka dengan ceritanya, bisa kasih like dan ulasan ya. Dukungan kalian cukup berarti untukku. Terima kasih ♡

Peringatan Batasan

"Apa nih. Pagi-pagi udah berisik di dapur."

Anyelir tidak memperdulikan suara Axton yang semakin terdengar jelas seiring langkahnya yang mendekat. Hanya perlu fokus melanjutkan masakannya sebelum gosong karena meladeni ucapan Axton yang seringnya unfaedah.

"Udah, siniin." Axton merebut spatula kayu dari tangan Anyelir, setelahnya menggeser tubuh sang istri untuk menyingkir dari depan kompor listrik. "Biar aku yang lanjutin. Sesuai kesepakatan kita, hari ini kamu nggak boleh nolak apapun perintah dari aku," katanya diiringi seringai. Meringis ngilu sewaktu tanpa persiapan, Anyelir main menyerang memukul lengannya yang mau asal mencomot tempe goreng tepung.

"Cuci tangan dulu. Jangan kebanyakan makan, lanjutin dengan benar. Awas kalau gosong."

"Iwis kilii gising," cibir Axton yang baru berani dilontarkan setelah kepergian Anyelir.

Sebetulnya berani-berani saja dikatakan sewaktu masih ada Anyelir. Hanya saja Axton sedang 'agak tidak' mood, tidak mau juga membuat hubungan keduanya memanas di pagi hari. Kurang berkah.

Setelah memastikan Anyelir tidak akan kembali memasuki area dapur, Axton yang belum sempat cuci tangan, melanjutkan mencomot tempe goreng tepung yang berhasil digoreng Anyelir dengan warna keemasan yang begitu memanjakan mata. Pun lidah, rasanya tak kalah enak dari tampilan. Gurih, kriuk, sedap sekali.

"Terus aja makan. Tahu-tahu rumah kebakaran baru sadar."

Axton langsung tersedak, berlari kecil menuju bak cuci piring, menepuk-nepuk kuat punggungnya untuk mengeluarkan potongan tempe yang belum sempat dikunyah.

Anyelir yang seringnya suka sekali bicara ketus dan terkesan tidak peduli, lekas menghampiri Axton. Mengangkat tangan kanan rampingnya. Lalu, dilayangkan kuat ke punggung Axton hingga hanya butuh satu kali percobaan, potongan tempe yang ternyata cukup besar berhasil keluar.

"Serasa mau dieksekusi mati," desah Axton loyo. Menghempaskan tubuhnya ke belakang. Yang dengan tanggap disangga Anyelir jika tidak mau kepala Axton berakhir bocor.

"Sayang banget, ya sama aku?" tanya Axton terkekeh. Buru-buru berdiri sebelum sanggahannya dilepaskan Anyelir. Kan begitu cara kerja otak sang ratunya. Sekali diledek, hancur sudah ketenangan Axton.

Anyelir melempar tatapan malas. Berbalik menuju pintu dapur, karena niatnya ke dapur lagi hanya untuk mengambil sarapan rutinitasnya yang berupa satu tangkup roti tawar. Hanya itu, tidak ada tambahan selai, susu, maupun sayuran untuk nanti dijadikan salad. Yang bagi Anyelir sudah enak, tapi tidak dengan Axton.

Sarapan model seperti itu sama saja menyengsarakan diri sendiri. Dan sudah ratusan kali Axton memperingati, yang sayangnya cuman dianggap angin lalu oleh Anyelir. Lagi dan lagi, Anyelir masih suka melanjutkan gaya hidup sehatnya yang kata Axton justru membawa semakin dekat dengan Tuhan.

"Lanjutin kalau kamu masih mau sarapan. Kalau nggak, ya udah. Biarkan saja. Silahkan cari sarapan sendiri di luar."

Mendengarnya tak lantas membuat Axton sakit hati. Sudah terbiasa, sudah hapal di luar kepala. Anyelir kepribadiannya memang begitu. Dan untuk ukuran orang yang sudah membersamainya dalam kurung waktu tiga tahun terakhir, Axton sudah cukup memaklumi.

Karena terlanjur terbiasa, Axton balas menggoda Anyelir. Berbalik ke depan kompor, menyalakan kompor listriknya yang sebelumnya dimatikan Anyelir sebelum membantunya terbebas dari tempe nyangkut.

"Kalau aku makan di luar, berarti gapapa, 'kan kalau sama perempuan lain! Sama Lily misalnya! Boleh, 'kan?!"

"Terserah! Tapi awas kalau sampai ketahuan media, aku masak kamu bareng Yetti!"

Axton mendengkus geli. Geleng-geleng kepala tak habis pikir. Membalik telur dadarnya yang sisi sebaliknya sudah terlalu matang. Hampir saja gosong.

Sekedar info saja. Yetti itu nama anjing chihuahua peliharaan keduanya. Anggap saja sebagai pengganti anak yang belum tahu kapan direncakan launching.

Selesai memindahkan telur dadarnya ke piring yang sebelumnya sudah disiapkan Anyelir—lagi istrinya itu memang berjiwa terlalu baik hati sekali. Axton bergerak ke meja makan. Tinggal menikmati hasil masakannya—oke hanya melanjutkan masakan Anyelir.

Salah sendiri sudah Axton bilang dsri jauh-jauh hari, hari ini gantian tugasnya menjadi bapak rumah tangga, Anyelir tetap tidak bisa mempercayai. Tetap mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Dan entah tadi bangun jam berapa. Bangun-bangun, Axton sudah mendapati rumahnya dalam keadaan bersih, rapi, semua barang tertata di tempatnya masing-masing.

Memang bakat sekali istrinya menjelma menjadi babu dadakan. Gemuk-gemuk deh kantung Axton yang tak perlu sampai menyewa jasa ART.

"Darling! Sarapannya udah siap! Kamu nggak mau nemenin aku makan gitu?!" teriak Axton tak tanggung. Tidak tahu di mana keberadaan Anyelir sekarang. Jadi, lebih baik berteriak ketimbang nanti dibilang rakus, karena makan tidak pakai tawar-menawar. Serba salah.

"Bentar!"

Axton langsung bersorak kesenangan. Selalu suka dengan sahutan yang diberikan Anyelir. Tidak pernah menolak ajakannya sekalipun itu bertentangan dengan prinsip hidup sang istri.

Tak lama, Anyelir bergabung dengan Axton yang sudah sarapan duluan. Tidak kuasa menunggu lama, cacing-cacing di perutnya bolak-balik berdemonstrasi meminta jatah asupan bergizi.

"Makan," tawar Axton menyodorkan satu suapan ke depan mulut Anyelir yang masih mengatup.

Tanpa protes, Anyelir ikutan memegang sendoknya. Lalu, mengarahkan ke dalam mulutnya sendiri. Padahal kondisinya sudah gosok gigi.

Axton tersenyum dalam kunyahannya. Meski kondisi pernikahannya tak seperti kebanyakan orang lain, Axton masih sangat bersyukur Anyelir yang menjadi istrinya, yang sepakat tidak akan pernah saling meninggalkan meski seringnya suka menyakiti tanpa sadar.

"Oh, iya. Aku nanti agak telat datang ke kantor. Mau ketemu sama orang dulu."

"Siapa?" Axton menyuapi Anyelir lagi yang kali ini diterima dengan baik.

Anyelir menelan makannya lebih dulu sebelum menjawab dengan nada kelewat tenang. "Pacarku."

Sendok stainless steel terlepas dari pegangan Axton. Membentur pinggiran piring hingga menimbulkan bunyi denting cukup nyaring.

"Kenapa kamu?" tanya Anyelir dengan nada mulai naik satu oktaf. Menarik piring Axton ke arahnya, memeriksa piringnya apakah ada yang tergores—pecah.

Melihat Anyelir yang lebih peduli dengan keadaan piring sialan itu ketimbang hatinya, sontak tak mampu membuat Axton untuk tidak menguarkan kekehan singkat. Sarkas. Memandangi Anyelir tanpa putus, yang sialnya kenapa masih bisa bersikap setenang itu setelah membuat suasana hati Axton gonjang-ganjing.

"Aneh kamu. Tadi tiba-tiba kayak orang kesambet. Sekarang malah ketawa-ketawa sendiri. Kamu nggak beneran kesambet, 'kan?"

Axton menggeleng lemah, mengambil segelas jus jeruknya. Menenggak rakus hingga jangkungnya terlihat naik turun cepat.

Selagi minum, pandangan Axton tak lepas dari Anyelir. Mengamati perubahan wajahnya yang mendadak lebih berseri-seri ketika mendapati ponselnya berdering.

Axton menaruh kuat gelas kosongnya di atas meja. Anyelir tersentak karenanya. Layangkan teguran lewat pukulan pelan di lengannya, tak juga membuat api terbakar di dalam diri Axton langsung padam.

"Putuskan pacarmu."

Anyelir mengerutkan dahi kasar, menatap Axton aneh.

"Kamu kenapa?"

"Apa kurang jelas. Putuskan pacarmu. Sekarang juga."

"Cemburu?"

"Iya," sahut Axton lugas dan sudah tidak peduli kalau setelahnya akan menjadi bulan-bulanan Anyelir.

Melihat ponsel Anyelir yang tergeletak di atas meja masih menyala-nyala, Axton dengan cepat mengambilnya. Sayangnya tidak dapat, keduluan Anyelir yang selalu dengan mudah dapat menebak tindak-tanduk Axton.

"Sini."

Anyelir mengangkat ponselnya yang mau diraih Axton. Bangun berdiri cepat karena Axton makin beringas ingin merebutnya.

"Nggak. Menjauhlah. Kamu nggak punya hak mengatur-atur hidupku."

"Aku suamimu," desis Axton masih berusaha menjangkau ponsel Anyelir dari tangan sang istri.

Axton tak segan melonjak dan menangkap cepat lengan Anyelir. Mungkin karena terlalu bersemangat—bukan ponsel Anyelir yang Axton dapat, melainkan dorongan yang terlalu kuat dari dirinya sendiri hingga membuat tubuh keduanya nyaris terjungkal ke belakang, andai satu tangan Axton yang bebas tak gesit berpegangan pada meja. Sementara Anyelir sendiri, tanggap memegangi kuat masing-masing pundak Axton.

Keduanya terengah-engah, saling menatap lekat. Lalu, mendengkus berbarengan sebelum saling beranjak berdiri sendiri-sendiri.

"Ganti rugi." Anyelir menunjuk ponselnya yang sudah mati di lantai. "Aku memang bisa membelinya sendiri, tapi itu ulahmu. Jadi tanggung jawablah."

Axton mencibir. Mengibaskan tangan malas. "Iya, Bunda Ratu." Kemudian meraih cepat lengan Anyelir yang sudah mau melarikan diri. "Putuskan. Aku nggak suka."

"Alasannya?"

"Nggak ada alasan lain selain nggak suka," tekan serius Axton yang ditanggapi tak kalah serius oleh Anyelir.

"Coba gini, coba posisinya dibalik. Kalau aku minta kamu untuk berhenti main-main, nggak lagi tidur dengan perempuan di luaran sana, nggak asal nyosor kalau ketemu perempuan yang bagi pandangan kamu cukup menarik, tutup pandangan kamu dari perempuan lain dan cukup hanya lihat aku, apa kamu mau? Apa sanggup menahan semua godaan itu yang udah kamu lakukan jauh sebelum kita menikah?"

Satu, dua, empat puluh detik tidak ada sahutan dari Axton, alhasil Anyelir membuat jawabannya sendiri.

"Pasti nggak bisa."

Anyelir terkekeh singkat. Menggeliatkan lengannya hingga berhasil terlepas. Melempar tatapan dingin pada Axton yang sudah mengepalkan kedua tangan.

"Jangan lagi ikut campur urusan hidupku di luar skenario yang sudah kita sepakati. Kita memang suami-istri, tapi posisinya tentu beda dengan pasangan lainnya. Kamu harus selalu ingat dan pegang kuat-kuat, jangan melanggar batasan masing-masing. Sampai kamu berulah lagi kayak tadi, aku nggak segan minta pisah detik itu juga," tandas Anyelir melenggang pergi dengan langkah lebar-lebar. Meninggalkan Axton yang kontan menggebrak kesal meja makan. Membebaskan emosinya yang sukanya meledak-ledak.

"Damn it, Anyelir."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!