Assalamualaikum, ini novel barunya El, ya. kalau suka silakan tulis komentar masukan dan pujian kalian. Jangan lupa kasih vote poin atau sumbang koin. Makasih.
🍁🍁🍁
"Mau jadi ayah dari anakku?" tanya Dinia Dirbia Kenan pada salah satu staf lelakinya. Ruangan kantor itu hanya ada mereka berdua. Langit di luar sana gelap, sedang cahaya lampu dari gedung-gedung dan jalanan di bawah seperti permata di dalam gua.
"Maksud Anda?" Lelaki itu bingung. Dia berdiri menghadap pimpinannya.
"Tugas kamu cuman asuh Ditrian dan mencantumkan nama kamu di akte lahirnya. Aku akan bayar kamu." Wanita itu bahkan mengipas selembar cek di tangan. Dia duduk dengan tubuh tegap, kaki berpangku ke atas kaki lainnya. Di atas kursi kebesaran dari bahan mahal berkualitas tinggi.
"Nona, seorang ayah meski hanya sebatas nama, tanggung jawabnya besar. Apalagi saya seorang lelaki lajang. Ini akan memengaruhi kehidupan saya ke depannya. Jika saya menikah nanti, akan saya jelaskan apa pada istri saya tentang Tuan Ditrian? Atau ketika Tuan Ditrian besar, bagaimana Anda jelaskan padanya tentang nama saya di sana?"
Taran Calisto Green, dia berangkat dari kota kecil di negara Livetown, New Green menuju Heren, ibu kota di mana kehidupan modern berkembang pesat. Lapangan pekerjaan yang banyak membuat Taran berjuang keras mengumpulkan uang, sebagai biaya perjalanan dari desanya ke kota itu.
Taran kini menjadi staf dari seorang Direktur pemilik brand fashion wanita, DWF bernama Dinia Dirbia Kenan, salah satu pewaris Kenan Group. Perempuan yang populer sebagai selebgram dan putri mantan artis Dira Kenan. Wajahnya mungil, dengan tubuh tinggi dan kulit putih seperti salju. Wanita yang cantik hingga menjadi incaran para pria di Livetown.
Bukan itu yang membuat Taran setia pada Dinia. Wanita di depannya memang angkuh dan kalau bicara kadang pedas. Hanya saja dia baik. Begitu banyak kebaikan Dinia, hingga Taran tak bisa menyembuhkannya.
"Kamu pernah bilang sama aku, kan? Kamu akan melakukan apa pun yang aku minta. Ingat?"
Taran terdiam. Iya, saat Dinia membiayai operasi ayahnya, Taran menjanjikan hal itu sebagai tanda terimakasih.
"Aku sedang menagihnya. Kamu pasti lihat berita di televisi. Banyak yang mempertanyakan status Ditrian. Aku tidak suka hidupku diusik. Apalagi anakku." Dinia memandang ke luar jendela. Jelas dia sudah sakit kepala menghadapi rumor di luar sana.
Sebagai salah satu keturunan langsung keluarga Kenan, keluarga terkaya di negara itu jelas banyak yang ingin tahu tentang hidupnya. Kadang pesaing bisnis menjadikan skandal dirinya untuk menjatuhkan perusahaan milik keluarga.
"Berikan saya waktu untuk berpikir, Nona." Taran menunduk. Dia pamit undur diri dan berjalan pergi meninggalkan kantor Dinia.
Pria itu membuka pintu. Dia tertegun, berpapasan langsung dengan Ditrian, putra semata wayang Dinia yang baru berusia tiga tahun.
"Talan, mau gedong," pinta Ditrian mengulurkan tangan.
"Kamu mau ke Mama?" tanya Taran penasaran.
"Mau bobo. Talan gedong aja," pinta Ditrian. Taran tak tega melihat anak itu. Setiap kali menatap matanya, dia merasa seperti dirinya saat kecil dulu.
"Sini." Diangkat tubuh Ditrian dan ditepuk pelan punggungnya. "Mau bobo di kamar?"
Kebetulan Ditrian punya kamar sendiri di gedung perusahaan itu. Dinia pasti membawanya ke tempat kerja.
"Talan, napa gak papa Ian?" Ditrian menatap Taran.
"Kenapa harus Taran?"
"Ian, cayang Talan. Gak Om lain." Ditrian memeluk Taran dengan erat. Di sana hati Taran terenyuh. Dia sayang pada Ditrian, tapi ini pilihan yang sangat sulit untuknya.
"Tidur, sudah malam. Nanti Mama marah kalau kamu belum tidur setelah jam delapan."
🍁🍁🍁
alurnya akan mulai dari sini ....
Tiga tahun lalu ....
"Aku gak mau nikah," tolak Dinia dengan tegas.
Di sana ada Om, Papa dan Kakeknya. Namun, dia dengan lantang menolak permintaan Kakeknya saat akan diperkenalkan dengan salah satu kolega bisnis.
"Dengar! Kakak-kakakmu semua sudah menikah. Mau jadi apa kamu kalau hidup sendiri? Kamu butuh suami yang bisa menopan hidup dan melindungi kamu. Papa kamu gak akan ada selamanya!" bentak Kakek.
"Lebih baik aku gak nikah daripada jadi janda," balasnya.
"Bicara apa kamu Dinia? Kamu lihat Kakak lelakimu. Keduanya bersikap baik pada istrinya. Papa dan Mamamu selama ini langgeng saja? Apa yang membuat kamu berpikir begitu?" Dira Kenan, ayah Dinia heran dengan keputusan putri bungsunya itu.
"Selain kalian, keluargaku. Gak pernah ada lelaki yang baik di mataku," jawab Dinia.
Dia menunduk, ada rasa trauma mendalam yang hingga kini tidak bisa terhapus.
"Nak, tidak semua lelaki begitu," balas Om Daren, anak tertua keluarga Kenan.
"Tidak semua ibu membesarkan anak lelakinya seperti Mama Bia. Aku gak peduli orang bilang apa. Yang jelas, aku gak mau menikah!" Dinia berdiri.
Kakeknya sampai mengusap dada. Ruang keluarga rumah besar Kenan mendadak gempar atas ucapan Dinia.
"Pa, biar aku jelaskan ke keluarga Rubey tentang ini." Dira berdiri dan mengejar putrinya. Sampai ditangga, dia tarik lengan Dinia.
"Papa mau bicara."
"Aku gak mau!" Dinia menepis lengan Papanya itu. "Kak Divan nikah bukan dengan bangsawan, Papa bisa mengerti. Kak Dio pindah agama pun, Papa iyakan. Kenapa aku tidak?" Dinia menatap tajam pada ayahnya.
"Papa tidak mau kamu sendiri seumur hidup. Temanmu semua akan menikah, mereka akan punya anak dan sibuk. Kamu akan habiskan waktu dengan siapa, Nak? Memang kamu tidak mau punya anak?"
Dinia mengeluarkan suara decakan dari mulutnya. "Papa gak ngertiin aku!" Dia berlari ke lantai atas, masuk ke kamar dan membanting pintu.
Bia melihat dari mezanin, saling bertatapan dengan suaminya. Dira hampiri sang istri. "Aku harus gimana?" tanya Dira menahan air mata.
"Tunggu dia mendingin. Saat ini keadaannya masih bergolak. Dia butuh waktu sendiri. Kamu tahu betul bagaimana Dinia sejak kecil. Dia jauh lebih sensitif tentang keadaan sekitar," nasihat Bia.
Dira tahu, dibandingkan dua anak lelakinya Dinia paling sulit dia selami isi pikiran dan hati. Dinia tak terlalu terbuka dan keras kepala. Persis seperti Dira saat muda dulu.
Sedang Dinia duduk di sisi tempat tidur. Dia lihat media sosial di mana banyak video curhatan wanita lewat. Komentar-komentar tentang sedihnya pernikahan terus memengaruhi Dinia.
[Aku gak mau menikah. Aku takut hanya dijadikan tulang punggung dan rumah yang dianggap, tapi tak dihuni. Aku takut mencintai, tapi tak dicintai. Aku tidak mau menyakiti anakku kelak hanya karena ayahnya menyayangi wanita lain. Aku ingin sendiri.]
Komentar itu dia kirim di salah satu postingan yang menanyakan alasan tidak ingin menikah. Dengan akun anonim. Dalam waktu satu jam, komentar Dinia mendapat seribu suka dan dikomen dua ratus akun.
[Kamu benar. Sulit mencari lelaki seperti ayahku]
[Aku jadi tulang punggung karena ayahku kabur dengan wanita lain]
Membaca itu semua hati Dinia sakit. Dia menutup mata, terbayang saat dia berdiri di atap sebuah gedung kampus.
"Dinia, sampaikan sama semua wanita di dunia ini. Cinta itu hanya kebohongan. Wanita hanya objek pemuas nafsu, perhiasan dan pembantu saja. Jangan sampai kamu jadi aku yang selanjutnya."
Tak lama Dinia tersentak kaget. Dia melirik ke sisi kanan dan kiri. Itu hanya bayangan masa lalu yang menakutkan.
🍁🍁🍁
"Kamu udah baikan?" Bia datang ke kamar Dinia pagi itu. Dia buka gorden, sementara anak gadisnya baru bangun dan melemaskan otot. Drabia Kenan—ibu kandung Dinia dan istri satu-satunya Dira Kenan, berbalik menatap putrinya yang masih ada di atas tempat tidur.
"Mama gak nyuruh aku nikahin Pablo Rubey, kan?" Dinia turun dari tempat tidur. Dia kenakan sandal kelinci kesukaannya.
"Tidak. Mana mungkin. Apalagi kalau kamu sudah nolak. Mama tahu, dia gak seganteng Kris Sulivan." Bia memperlihatkan wajah ceria. Dia tak ingin membicarakan ini dengan kaku. Tentu dia harus bersikap layaknya sahabat.
Dinia baru belajar menjadi wanita dewasa. Dia mulai memandang dunia dengan realista. Di sisi lain masa fiksinya belum berakhir. Dua jiwa yang saling bertentangan hingga membuat Dinia bingung dan labil. Jika Bia ikut keras, dia akan gagal mendekati putrinya itu.
"Gak usah bahas itu. Aku bilang, 'kan. Aku baik-baik saja. Hak dia menikah dengan siapa pun juga."
Lelaki yang Dinia ingin nikahi, menikah dengan perempuan lain hari ini. Cinta pertama yang Dinia paksa lupakan. "Kamu gak akan dateng?"
"Untuk? Biar dia bilang, 'hei Dinia. Kamu nolak lamaran aku, bukan artinya aku menderita. Lihat istriku secantik ini.' Males!" Dinia menirukan suara lelaki.
Bia terkekeh. "Ya sudah. Mama akan bilang kalau kamu sakit demam karena salah makan."
"Jangan! Bilang aja aku harus gantiin Papa ketemu sama siapa gitu. Kalau bilang sakit, dia mikir aku patah hati." Dinia menolak.
Bia duduk di samping putrinya. Dia peluk Dinia dengan erat. Diusap rambut panjang dan lurus Dinia. "Kamu mencintai dia?"
Dinia terdiam.
"Kamu bisa bilang ke Mama. Gak akan Mama bicara sama Papamu."
Meski awalnya ragu, Dinia mengangguk. "Aku gak bisa egois, Ma. Entah sampai kapan aku gak mau nikah. Tapi, Kak Kris sudah dewasa. Dia harusnya gak nunggu aku yang kayak gini. Jadi, biarlah."
"Dinia, kamu tahu tentang Papa dan Mama di masa lalu?"
Dinia anggukan kepala. "Dia ninggalin Mama sampai besarin Kak Divan sendiri?" terka Dinia.
"Pada akhirnya Papa kini temani Mama sampai kalian dewasa. Nasib setiap wanita beda, Dinia. Apa yang terjadi dengan teman kamu, belum tentu kamu alami."
Dinia menggelengkan kepala. "Aku tahu itu. Tapi aku gak mau percaya. Entahlah. Aku takut, Ma." Dinia peluk erat tubuh Ibunya. Tangannya gemetar. Wajahnya berubah pucat.
Dira mendengar itu dari luar. Andai kalau dia bisa memaksa Dinia pergi ke psikolog dan menyembuhkan penyakitnya psikis. Namun, Dira tak ingin membuat keadaan itu semakin parah. Dia hanya berharap, Dinia bisa lekas sembuh, meski mungkin itu menghabiskan waktu yang lama.
"Mama siap-siap dulu. Papa pasti udah nunggu. Minta maaf sama Mama karena bicara dengan nada tinggi. Mama yakin, Papa sekarang pasti sudah bisa menerima keputusan kamu," pinta Bia.
"Mama tahu dari mana?"
"Tentu Mama sudah bicara dengan Papa semalam. Kamu tahu, Papa gak bisa nolak Mama.
Dinia tersenyum kecil. "Mama mau anter aku ketemu Papa?"
Bia mengangguk. "Tapi kamu mandi dulu. Anak gadis Mama yang cantik harus wangi saat keluar dari kamar, ya?" pinta Mama.
"Siap. Makasih udah mau dengan perasaanku, Ma."
"Sama-sama. Mama sayang kamu. Karena itu, kamu harus tegar, ya? Tidak ada orang tua yang ingin memberikan hal buruk pada anaknya. Ingat itu, Sayang." Bia melambaikan tangan dan meninggalkan kamar Dinia.
🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!