Beberapa tahun kemudian
Usia Syasa kini 33 tahun dan Dewa 42 tahun. Mereka selalu harmonis, hanya sesekali bertengkar dengan hal kecil. Namun, itu tak bertahan lama, sebab mereka memilih untuk menyelesaikannya baik-baik.
"Sayang, pagi ini biar aku saja yang mengantarkan metha kesekolah," ucap Dewa sembari mengenakan sepatunya di sofa ruang tengah.
"Iya, terima kasih!" jawab syasa lalu mengecup pipi sang suami.
"Tolong jaga Krisna dengan baik, aku akan pergi mengantarkan metha sekolah,” ucap dewa lalu meraih pinggang Syasa.
"Pergi? Dewa ... bahasa kamu seolah akan pergi jauh, sudah pasti aku akan menjaga krisna dengan baik, karena dia pengeran keluarga balder.”
"Terima kasih, kamu memang istri dan ibu terbaik!" jawab Dewa lalu mengecup kening syasa dan memeluknya sangat erat seolah tidak ingin berpisah.
"Dewa jangan terlalu erat, aku tidak bisa bernafas!" Syasa sedikit mendorong Dewa agar melonggarkan pelukannya.
"Aku takut tidak bisa melihatmu lagi.”
"Memangnya kamu mau pergi kemana? " tanya syasa heran, ucapan Dewa seolah kalimat terakhir.
"Mengantarkan metha!” Dewa tertawa kecil membuat Syasa sedikit kesal dan menepuk dadanya.
"Sayang, nanti kalau aku tiada, aku izinkan kamu untuk menikah lagi!”
Syasa melihat Dewa begitu heran,Apa maksud ucapannya tersebut.
"Dewa...! Apa maksudmu, menikah dengan siapa?” tanya syasa kesal.
"Siapa saja yang bisa membahagiakanmu dan anak anak.”
"Bercandamu itu lucu sekali Dewa!" ujar syasa lalu tertawa di yang ia buat-buat lalu menatap tajam Suaminya.
"Bercandamu tidak lucu!” pekik Syasa lalu memukul dadanya Dewa pelan.
Dewa hanya tertawa lalu memeluknya.“ Ya sudah, aku berangkat.” Dewa kemudian mencium kening syasa.
"Hati-hati, nanti biar metha aku yang menjemput.”
Dewa mengangguk dan sekilas mengusap lembut rambut Syasa kemudian mencari keberadaan sang Anak. “Sayang...! Metha! Aao nak kita berangkat!” panggil Dewa yang tidak melihat keberadaan sang Anak.
"Papa! Metha sudah menunggu Papa di depan!” jawab metha dari ruang tamu
"Astaga! Anak itu!” Dewa kemudian keluar.
Setelah Dewa berangkat, Syasa pun mengurus Krisna bersama baby sisternya sedangkan Laras sudah berangkat sekolah terlebih dahulu bersama sopir dan baby sisternya dan juga satu bodyguard.
Sepanjang beraktivitas Syasa gelisah dengan ucapan Dewa yang mengatakan akan pergi dan mengizinkan dirinya menikah lagi jika dirinya tiada.
"Kenapa aku teringat terus ucapan Dewa! Ckk! Dew kamu itu bisa saja membuatku cemas," gumamnya dalam hati sambil membuatkan susu untuk krisna.
Baru selesai membuat susu Ponselnya pun berdering lalu ia pun memberikan botol susunya pada baby sitternya lalu Menerima panggilan sambungan ponselnya.
"Ya hallo..."
"Apa benar ini dengan nyonya balder?” tanya seseorang di seberang sambungan ponselnya
"Ya saya sendiri, maaf dengan siapa? " tanya syasa heran.
"Maaf nyonya ini dari rumah sakit harapan. Saya suster Diana. Saya ingin memberi tahu bahwa suami dan anak Anda mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit Harapan.”
Jantung syasa berdegup kencang berharap anak dan suaminya baik-baik saja. Namun, saat suster menjelaskan kondisi Suami dan anaknya Syada menjerit histeris sampai menggema keseluruh ruangan membuat semua asistennya terkejut dan menghampirinya.
"Non syasa! Ada apa? " tanya mbok Titin heran.
"Dewa Mbok ..., Dewa kecelakan! Ayo mbok kita ke rumah sakit!" aja Syasa disela tangisnya.
"Ami, tolong kamu jaga Krisna, aku mau kerumah sakit.”
"Ya Tuhan ...! Baik nyonya, semoga tuan Dewa baik-baik saja,” balas Ami cemas sambil menggendong Krisna.
"Ok, aku berangkat, ayo mbok." ajak Syasa pada mbok Titin lalu bergegas menuju rumah sakit setelah mengambil tasnya.
Saat di rumah sakit, Syasa lalu menghampiri dokter dan menanyakan keadaan suaminya.” Dokter bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Syasa.
"Maaf Nyonya, keadaan suami Anda cukup parah! Ada benturan di kepalanya dan kemungkinan untuk sadar sangat tipis, "jelas dokter saat keluar dari ruang ICU
“Maksud Dokter suami saya koma?"tanya syasa yang sedari tadi berlinang air mata, Dokter pun membenarkan pertanyaan Syasa.
Syasa terdiam, tubuhnya lunglai hampir terjatuh di lantai beruntung Mbok Titin memapahnya.
"Sabar Non,” ucap mbok Titin mencoba menenangkan Syasa.
"Lalu bagaimana keadaan anak saya Metha, Dok? " tanya syasa baru teringat sang anak.
“Maaf Nyonya, putri Anda Metha tidak bisa kami selamatkan, putri Anda banyak kehilangan darah, Putri Anda meninggal dunia!” jelas dokter ikut bersedih dan berduka.
"Tidak..!Tidak mungkin... ! Metha...! " teriak syasa yang langsung berlari ke ruang IGD dan mendapati tubuh anaknya terbujur kaku
"Metha bangun sayang, ini Mama, metha!" Syasa merengkuh tubuh kecil nya dan air mata semakin deras.
Dunianya terasa hancur melihat anaknya tiada dan suaminya koma.
"Mama...! " Seru Laras yang baru sampai bersama pengasuhnya
“Laras! " Syasa menoleh kearah Laras.
Laras berjalan menghampiri Mamanya.“Apa yang terjadi, Ma? " tanya laras,
"Metha, adikmu sudah tiada Laras! Metha sudah meninggalkan kita!” jawab Syasa lalu memeluk laras.
Gadis yang beranjak remaja itu pun juga menangis walau begitu ia berusaha menenangkan Mamanya.
"Ma, jangan seperti ini. kita harus sabar! " ucap laras yang masih memeluk Syasa.
"Maaf, Nyonya. Izinkan kami untuk mengurus jenazah putri Anda,” ucap salah satu suster.
"Iya,Sus. Tolong urus semuanya," jawab syasa lalu ke luar dari ruang IGD bersama Laras.
"Kenapa semua ini terjadi?" Syasa begitu histeris saat keluar dari IGD. Ia merasa seperti mimpi tetapi begitu nyata.
"Kak...!” panggil Abi yang baru sampai bersama rombongan Wina.
"Abi.” Syasa lalu memeluk adiknya, sedangkan Bram berbicara dengan dokter yang menangani Dewa
"Metha Abi ... Metha," lirih Syasa yang suaranya terasa berat.
"Sabar kak. kita harus tabah, ini sudah jalanNya,” balas Abi. Abi sudah mengetahui kabar dari sopir Syasa jika Metha dan Dewa kecelaka.
"Sya!” panggil Bram menghampiri syasa.
"Papa,” Syasa pun memeluk Bram dan menangis sejadi-jadinya.
"Sabarlah, jangan seperti ini. Kita semua harus berdoa untuk kesembuhan Dewa dan ketenangan Metha.” Bram mengusap punggung putrinya, ia juga bersedih sang cucu Pergi untuk selamanya.
"Abi kamu urus semua pemakaman Metha, Reza juga sudah di rumah kakakmu,” titah Bram pada Abi untuk mengurus semuanya.
"Baik, Pa.” Abi segera mengurus semuanya.
"Syasa...,” panggil Wina, Syasa melepas pelukan Papanya lalu memeluk sang Mama.
"Sabar sayang. Kita semua ada disini untukmu, kamu tidak sendirian, adik-adikmu semua datang kesini,” ucap Wina menenangkan Syasa
“Semua pasti ada hikmahnya, Jalani dengan sabar. Tuhan tidak akan menguji diluar kemampuan hambanya.” Wina terus memeluk Syasa.
“Tapi Syasa belum bisa percaya dengan semuanya, Ma. Metha tadi pagi baik-baik saja!”
"Kita tidak tahu rahasia Tuhan, Sayang! Ini adalah cobaan dan sudah takdir Tuhan.”
Laras melihat mamanya dan hanya bisa memeluk pengasuhnya, ia juga tidak menyangka adik kesayangannya sudah tiada.
"Pa, om Dewa kecelakaan," ucap Siena saat membantu Bryan mengemas baju.
"Apa? Kapan?” tanya Bryan terkejut dan berhenti melipat baju lalu duduk di tempat tidur.
"Sudah satu minggu, Pa. Om Dewa koma dan aku tahu dari Laras, metha juga meninggal karena waktu kecelakaan Metha sedang bersama Om Dewa, " jelas Siena yang ia juga baru tahu kabar tersebut dari sahabatnya, Laras.
"Astaga.” Bryan menghela nafas panjang sambil membayangkan keadaan Syasa, sudah pasti Syasa sangat terpukul.
“Lalu, sekarang di ramah sakit mana? " tanya Bryan cemas
"Rumah sakit harapan.” Siena duduk di samping sang papa.
"Baiklah, sebelum kita berangkat ke New York, nanti papa akan menyempatkan untuk menjenguk om Dewa di rumah sakit," ucap bryan lalu melanjutkan mengemas baju
Siena mengangguk mengerti lalu melihat foto Syasa yang ada dimeja laci nakas.“Pa, ini foto tante Syasa?Kenapa papa bisa bersama tante Syasa?” tanya Siena heran sang papa mempunyai foto Syasa ibu dari sahabatnya yang disimpan di kotak kecil.
Bryan tersenyum, mungkin saatnya ia jujur tentang masa lalunya dengan putri semata wayangnya.“Mungkin ini saatnya Papa jujur, tapi janji kamu tidak marah dengan papa?”
“Siena janji.”Siena lalu tersenyum dan masih memegang foto Syasa.
“Sebelum Papa menikah dengan mamamu. Papa mempunyai hubungan dengan tante Syasa dan sempat bertunangan, tapi karena kebodohan papa yang membuat kecewa tante Syasa, akhirnya kami putus hubungan dan tante Syasa menikah dengan om Dewa dan Papa menikah dengan mama kamu,” jelas Bryan hati-hati karena Bryan tidak mau mengatakan yang sebenarnya karena ulah sasmi MB putrinya.
“Kalau Papa masih menyimpan foto ini, berati Papa masih mencintai tante Syasa?” tanya Siena memandang Bryan yang menunduk melihat kotak kecil berisi kan cincin pertunangannya dulu bersama Syasa.
“Ya,” jawab Bryan singkat
“Mama?” tanya Siena ingin tahu perasaan sang papa pada ibunya.
“Papa mencintai mama kamu karena dia yang melahirkanmu,” ucap Bryan ambigu. Namun Siena sudah tahu dari buku diary Sasmi.
Siena tersenyum tipis. dan berucap dalam hati, “Aku sudah mengetahui semua, Pa. Karena mama sudah menceritakan semua dibuku diary-nya. Aku tahu Papa sangat mencintai tante Syasa, makanya sampai sekarang Papa belum menikah lagi.”
“Sudah, kamu istirahat. Siang nanti kita berangkat,” ucap Bryan lalu menyimpan foto syasa kembali ke dalam kotak dan memasukkan kedalam koper, sedangkan cincin nya ia masukan ke dalam jas yang nanti nya ia pakai.
“Iya, Pa, aku juga mau menulis surat untuk laras, karena aku tidak sempat berpamitan dengannya,” ucap Siena.
“Kenapa tidak kamu telpon saja?”
“Siena tidak berani telpon kalau Laras masih bersedih, Pa.Dia tidak mau diganggu, kecuali Laras telpon lebih dulu.”
“Begitu? baiklah, Papa harap kalian menjaga persahabatan kalian sampai nanti,” Jawab Bryan
“Iya, Pa. Laras teman yang baik, sama seperti tante Syasa.” Siena kemudian keluar dari kamar sang Papa.
Bryan mengambil kembali cincinnya dari kantong jasnya dan melihat cincin tersebut. kenangan kembali saat-saat indah bersama Syasa. Tetapi mengingat Syasa saat ini ia juga sangat sedih.
“Sya, kamu pasti kuat. Aku yakin itu.” Bryan masih memandangi cincinnya. Tak lama ia pun bersiap ke rumah sakit untuk menjenguk Dewa dan memberikan dukungan pada Syasa.
Sementara itu keluarga Syasa datang dari Surabaya ke Jakarta untuk menemani laras dan Krisna, sedangkan Syasa menjaga Dewa ditemani kakak iparnya, Agnes. selain itu Syasa juga disibukkan dengan urusan kantor. Sungguh Syasa begitu lelah.
“Dewa, apa kamu mendengarku? Dewa ayo bangunlah, sudah satu minggu kamu koma. Apa kamu tidak merindukan aku,”bisik Syasa di telinga dewa sambil menangis,
“Anak kita laras dan Krisna membutuhkanmu,”ucap Syasa lagi.
Air matanya tidak bisa dibendung melihat suaminya terbaring lemah dan entah sudah berapa lama ia menangis.
Tanpa disadari Syasa, Bryan ada dibelakangnya."Sabar, Sya. Dewa pasti sembuh,” ucap Bryan memegang pundak Syasa.
"Bryan.”Syasa sedikit terkejut.
"Aku baru pulang dari Singapore kemarin. Maaf aku juga baru tahu dari Siena kalau Dewa masuk rumah sakit. Aku turut berdua cinta atas meninggalnya Metha,” ucap Bryan memandang syasa yang masih menangis
"Terima kasih, kamu sudah menyempatkan untuk menjenguk suamiku,” Balas Syasa sembari mengusap air matanya
“Sama-sama. Maaf, Syavaku tidak bisa berlama-lama,” ucap Bryan lalu mengeluarkan amplop surat pada Syasa.
“Amplop? untuk apa dan apa ini?” Syasa heran mengapa Bryan memberikan amplop
“Surat untuk Laras dari Siena. aku dan Siena mau pergi ke New York,” Jelas Bryan sambil duduk di kursi satunya.
“New York?”
“Ada urusan pekerjaan di sana, mau tidak mau Siena pindah sekolah di sana , mungkin tiga atau empat tahun lagi aku dan Siena baru kembali ke Indonesia,”jelas Bryan memandang Syasa yang tampak tertunduk.
“Sampaikan salamku pada Siena, tetap jadi anak yang baik dan manis, " ucap Syasa lalu sekilas tersenyum melihat Bryan.
“Aku pamit, kamu yang sabar, kamu wanita yang kuat, hm.” Bryan tersenyum tipis sambil memegang pundak Syasa. Berat rasanya meninggalkan Syasa dalam kondisi kehilangan anak dan suaminya masih terbaring koma.
"Kamu hati-hati di jalan dan, maaf rapikan kerah kemejamu,” balas Syasa sambil memperhatikan kerah kemeja Bryan.
Bryan mengangguk lalu merapikan kerah bajunya, ia teringat saat-saat dulu bersama Syasa. Syasa sering kali merapikan kerah, dasi bahkan rambutnya. Bryan kemudian keluar setelah mereka bersalaman.
sebelum melanjutkan langkahnya keluar dari rumah sakit. Bryan duduk di kursi tunggu, sekali lagi ia memikirkan Syasa.
"Ingin sekali aku memelukmu Sya. Empat belas tahun rasa ini tidak pernah hilang. Kenapa rasa ini tidak pernah hilang? Kenapa? Dada ku sesak melihat dirimu seperti saat ini,” ucap Bryan dalam hati lalu merogoh saku jasnya dan melihat cincin pertunangannya dulu bersama Syasa. Cinncin itu yang selalu ia bawa untuk menjadi kekuatannya mengenang masa masa indah saat bersama.
Tidak terasa air matanya menetes."Aku pernah mengatakan, aku akan tetap mencintaimu walaupun kita tak lagi bersama. Yah, sampai sekarang dan selamanya aku akan tetap mencintaimu. Aku akan mencintaimu dalam diamku. Iaku selalu berharap ada kesempatan untuk bisa bersamamu, tapi aku sadar kesalahanku di masa lalu membuat mu terluka, dan ini adalah hukuman yang pantas untukku," ucap Bryan dalam hati lagi lalu mengusap air matanya.
“Semoga suamimu cepat pulih. Tuhan jaga selalu Syasa dan keluarganya, jangan engkau ambil kebahagiaan orang yang aku cintai,” lirih Bryan lalu ia segera meninggalkan rumah sakit
Langkah Bryan begitu berat meninggalkan syasa dengan keadaan saat ini. Syasa pasti membutuhkan dukungan tapi, ia tidak bisa berada di dekatnya, ia sadar akan dirinya. Entah sampai kapan ia akan menunggu cinta itu hadir kembali untuk orang lain.
“Kakak,” sapa Banyu, adik Syasa yang juga seorang dokter yang ikut menangani Dewa.
“Banyu.”Syasa melihat Banyu datang lalu menghapus air matanya.
Mereka berdua berpelukan.“Tenang, Kak. Banyu akan menangani kak Dewa langsung. Dokter Wildan sudah memberitahu semua kondisi kak Dewa padaku,” ucap Banyu menghibur Syasa sedangkan dokter Wildan memeriksa kondisi Dewa.
“Bantu Kakak Banyu, tolong kakakmu Dewa. Kakak percaya padamu kamu yang lebih tahu apa yang terbaik untuk Dewa,” ucap Syasa sambil kembali meneteskan air matanya lagi.
“Iya,Kak. Sekarang tenanglah, besok Banyu dan tim dokter lainnya akan melakukan tindakan operasi kak dewa, karena ada pembekuan darah yang harus cepat ditangani. Walau kemungkinan tipis, jika kakak setuju, Kakak tanda tangan surat pernyataannya,” ucap Banyu sangat hati-hati
“Kemungkinan tipis? Maksud kamu?”
“Lima puluh persen berhasil, Lima puluh persen bisa gagal. tapi, kak Dewa harus cepat mendapat penanganan, jika dibiarkan bisa koma selamanya. jika memang gagal maaf setidaknya kita sudah mencoba dan mungkin semua sudah takdir," jelas Banyu begitu hati-hati dan menyampaikan dengan logis.
"Kamu menyampaikannya seolah tidak ada beban dan memikirkan perasaan kakakmu Banyu, " ucap Syasa sedikit mendorong tubuh Banyu karena membuat Syasa takut kehilangan.
“Kak, kami para dokter memang harus mengatakan yang sebenarnya, agar kakak juga tahu kondisi kak Dewa yang sebenarnya, " jelas banyu meraih kedua pundak syasa lalu memeluknya.
Tangis Syasa pecah dipelukan Banyu. Banyu hanya bisa menenangkan Syasa.“Sabar Kak, berdoa saja agar kak Dewa cepat sembuh.”Banyu tahu Syasa takut kehilangan suaminya
"Dokter Banyu, kondisi tuan Dewa masih sama belum ada perubahan, tapi detak jantungnya sudah normal. Nyonya, saya harap jangan bersedih, sebisa mungkin berbicara lah dengan tuan Dewa , itu akan membantu mengembalikan kesadarannya,” jelas dokter Wildan saat Banyu melepaskan pelukannya.
Syasa hanya mengangguk pelan lalu meraih tangan suaminya.“Berikan yang terbaik pada suamiku, Dok.” Tatapan Syasa begitu memohon pada dokter Wildan dan sang adik.
Keesokan harinya Dewa akhirnya menjalani operasi di kepalanya. Syasa dan keluarganya harap-harap cemas menunggu Dewa di depan ruang operasi. Syasa berdiri begitu cemas, berjalan kesana kemari sampai ia melupakan makan siangnya. Tidak terasa enam jam sudah 6 jam Dewa berada di ruang operasi. syasa pun tak henti berdoa dan menangis untuk keselamatan suaminya.
Abi dan Bram menghela nafas panjang melihat kecemasan Syasa.“Kak, tenang, operasinya pasti berhasil, ” ucap Abi yang merangkul Syasa.
“Bagaimana aku tenang, Abi. Suamiku sedang bertaruh nyawa di dalam.”
“Kita berdoa dan percayakan pada Banyu.” Abi membantu Syasa duduk di kursi tunggu.
“Kak, kalau boleh tahu, bagaimana kronologi kak Dewa kecelakaan?” tanya Abi penasaran.
"Kejadianya begitu cepat. Waktu itu Dewa mengantar Metha ke sekolah sekaligus berangkat ke kantor. Saksi mata mengatakan jika ada truk dari sisi kanan menabrak mobil Dewa, dan–” Syasa tidak sanggup menceritakan semuanya.
“Abi, sudah,” sela Bram
‘Ceklek.’ Suara pintu ruang operasi dibuka oleh suster. dan keluarlah Banyu dan tim dokter yang lain. Seketika Laras bangkit dan menghampiri Banyu.
“Banyu, bagaimana operasi kakakmu?” tanya Syasa dengan ketidaksabarannya
“Alhamdulliah lancar, Kak. Semua berkat doa kita semua, dan sebentar lagi kak Dewa akan di pindahkan ke ruang observasi dulu untuk memantau keadaannya pasca operasi," ucap banyu percaya diri dan menenangkan syasa.
Abi dan Bram pun mengucap syukur operasi Dewa berhasil. “Syukurlah,” gumam Bram mengusap punggung Syasa.
“Apa kakak nanti bisa langsung menemui Dewa, Banyu,” tanya syasa
“Boleh, tapi sebelumnya Kakak ikut ke ruangan dokter Wildan, akan banyu jelaskan sesuatu pada kakak,” ujar Banyu yang memang membantu dokter wildan untuk mengoperasi Dewa. Syasa mengangguk lalu mengikuti banyu dan dokter Wildan keruangannya, sedangkan abi dan bram menunggu dewa di pindahkan ke ruangan observasi.
Syasa duduk di kursi dihadapan dokter Wildan ditemani Banyu duduk di sampingnya. Dengan rasa cemas khawatir ia menunggu dokter Wildan menjelaskan semuanya.
“Nyonya, mungkin sudah sedikit mengetahui efek dari operasi bagian kepala, dan pemulihan juga sedikit memakan waktu, ” jelas dokter Wildan hati-hati.
Syasa pun menatap kearah Banyu seolah mencari jawaban. Banyu hanya mengedipkan matanya tanda agar dokter Wildan menjelaskan lagi.
“Kemungkinan terjadi adalah hilang ingatan, kelumpuhan, dan jika terjadi komplikasi pasca operasi mohon maaf kemungkinan meninggal dan itu yang sering terjadi, tapi kita akan terus memantau kondisi tuan Dewa selama pemulihan, " jelas dokter Wildan membuat Syasa hampir syok.
“Lumpuh? Jilang ingatan? Meningga ? Tidak mungkin?” Syasa mulai menangis.
Banyu seketika merangkul Syasa.“Sabar, Kak. Ini baru kemungkinan. Banyu sendiri nanti yang memantau perkembangan kak Dewa,” ucap Banyu menenangkan Syasa.
“Kakak hanya belum siap kehilangan suami Kakak, Banyu. Bagaimana dengan Laras nanti. Laras begitu menyayangi papanya.”
“Banyu tahu, tapi kita harus berdoa, hanya ini yang bisa kita lakukan setelah kita berusaha.” Banyu mengusap punggung Syasa.
“Kami akan memberikan yang terbaik, Nyonya. Nyonya jangan khawatir,” sambung dokter Wildan.
“Iya, Dok. terima kasih atas usaha dokter dan tim lainnya. Terima kasih.” Hanya itu yang bisa terucap dari Syasa, karena ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!