NovelToon NovelToon

Jodoh Untuk Papa

Bab 1. Kehidupan Artika dan Sang Ayah.

Sebuah mobil hitam tampak memasuki gerbang sekolah yang kini terlihat ramai. Mobil tersebut berhenti tak jauh dari lorong sekolah menuju pintu masuk gedung.

Tika, gadis berusia 16 tahun itu tampak mencibir, kala matanya menangkap wajah-wajah horor dari para gadis yang dia kenal.

"Kamu nggak turun? Kita sudah sampai," ujar Ari, ayahnya.

Tika melipat kedua tangannya di dada lalu menatap sang ayah tajam. "Besok nggak perlu mengantarku sampai sini deh, Pa!" katanya ketus.

"Loh, kenapa?" tanya Ari dengan wajah bingung.

"Ck, lihat tuh!" Tika mengalihkan pandangannya pada sekumpulan gadis-gadis yang berdiri tepat di ujung lorong dengan wajah sumringah. Mata mereka semua tertuju pada mobil mereka. "Tingkah mereka memalukan sekali tahu! Lagi pula Papa harusnya jangan bersikap ramah pada mereka!" sambungnya kesal.

Ari tertawa kecil. "Ya, ya, Papa akan pikirkan. Sekarang turun dari mobil dan belajar lah yang benar, ya?" Pria itu mengelus rambut hitam sang putri lalu mengecup dahinya lembut.

Tika mengeluh keras-keras. Namun, dia tetap menuruti sang ayah.

Begitu melihat Tika turun, keenam orang gadis tersebut langsung menghampirinya dengan langkah genit.

"Tik, ayahmu nggak ikut turun?" tanya salah seorang gadis cantik bermata sipit, Novi.

"Nggak!" jawab Tika ketus. "Kalian ini pagi-pagi selalu saja berulah. Nggak malu godain om-om?" sambungnya.

Keenam gadis tersebut tertawa kecil. "Kalau om-omnya itu ayahmu, tentu saja nggak masalah!" sahut Marta, yang langsung diikuti oleh kelima temannya yang lain.

"Dih!" cibir Tika. Tak tahan melihat kelakuan teman-temannya itu, Tika memutuskan mengajak mereka ke kelas. Namun, baru saja mereka berbalik, suara klakson mobil terdengar.

Ternyata sang ayah yang baru saja memutar mobilnya, bergerak melewati mereka sembari membuka kaca jendela.

"Pagi, Om!" sapa gadis-gadis itu serentak.

"Pagi!" jawab Ari. "Saya titip Tika ya, Anak-anak," kata pria itu kemudian.

Mendengar suara Ari yang dalam dan menenangkan, gadis-gadis itu langsung berteriak sambil mengangguk.

"Hahaha, tenang saja Om, Tika aman bersama kami!"

Ari tertawa lalu pamit pergi. Sementara para gadis itu heboh. Sebenarnya tak hanya teman-teman Tika saja yang menaruh perhatian pada Ari, melainkan anak-anak serta guru-guru lain meski tidak sebrutal mereka.

Maklum saja, Ari merupakan pria kaya raya yang sudah hidup menduda selama hampir lima tahun. Sang istri yang juga ibu dari Tika meninggal dunia setelah melahirkan anak kedua mereka. Malang tak dapat ditolak, adik Tika yang baru berusia 15 jam pun akhirnya pergi menyusul sang ibu.

Ari yang terpukul memilih fokus merawat dan membesarkan Tika seorang diri. Hingga kini dia tak pernah berniat untuk menikah lagi.

"Om kalau mau dititip ke kami juga tidak apa-apa." Bisik Winny, gadis bermata coklat, sambil menggigiti ujung jarinya yang lentik.

Mendengar hal itu, Tika langsung menggeplak kepala Winny.

"Hei, sakit tahu!" seru Winny tidak terima.

"Kalau mau jadi penggoda om-om, nggak perlu ayahku juga yang jadi mangsanya!" ketus Tika. Beruntung sang ayah telah pergi, jadi beliau tidak akan mendengar kata-kata kurang didikan temannya yang satu itu.

Keenam gadis itu pun mengelilingi Tika sembari memicingkan mata, sebelum kemudian merangkul gadis itu beramai-ramai. Tika sontak berteriak keras.

Sepanjang perjalanan ada saja seseorang yang menanyakan soal ayahnya. Bahkan beberapa orang guru pun terang-terangan menitip salam melalui dirinya.

"Barter ya, Bu," ujar Tika pada Bu Agnes, guru bahasa inggris mereka.

"Barter apa?" tanya Bu Agnes.

"Sama nilai ujian saya dong!" jawab Tika seraya menaik turunkan alisnya.

Wanita berusia 40 tahunan yang menyandang status single parent itu lantas memukul kepala Tika pelan menggunakan bukunya. "Dalam mimpimu!"

Tika refleks mengaduh seraya memegang kepalanya yang baru saja dipukul sang guru. Sambil bersungut-sungut, dia pun pergi meninggalkan Bu Agnes.

"Maunya gratisan gitu? Enak aja!" gumam Tika. Tak lama kemudian, seorang wanita yang tak lain adalah petugas TU datang menghampiri Tika sambil memberikan sebatang cokelat untuk gadis itu.

"Ini apa Kak Anne?" tanya Tika.

"Aku kebetulan memiliki kelebihan cokelat di rumah dan tiba-tiba langsung kepikiran kamu, Tik," jawab Anne.

Tika sumringah. "Terima kasih loh, Kak," katanya.

"Sama-sama. Emm, jangan lupa sampaikan salamku pada papamu ya, Tik? Kamu masih simpan fotoku, kan?" tanya Anne lagi.

"Beres! Ada nih, nanti aku kasih lihat papa deh!"

Anne mengacungkan ibu jarinya lalu pergi meninggalkan Tika dan teman-temannya.

Melihat Tika tersenyum-senyum sendiri karena sebatang cokelat, para gadis pun mencibir.

"Dih, demi sebatang cokelat, kamu mau menyampaikan salam Kak Anne? Yang benar saja!" cetus Yuli.

"Tahu nih! Bilangnya nggak suka orang-orang di sekolah menaruh perhatian pada ayahmu, tapi apa nyatanya? Kemarin bahkan kamu menukar salam dengan nilai dengan Bu Anita!" Kali ini Nadia yang buka suara.

"Hehehe, ada hal-hal tertentu yang bisa aku manfaatkan!" Tika tersenyum lebar yang langsung mendapat cemoohan teman-temannya. Mereka kompak meninggalkan Tika menuju kelasnya.

...**********...

"Pagi, Pak," sapa Vanessa, sekretaris Ari yang baru saja selesai membersihkan ruang kerjanya.

"Pagi!" Jawab Ari. Pria itu berjalan menuju meja kerjanya. Tak lupa Vanessa membantu Ari membuka jas dan menggantungkannya di standing hanger.

"Jam sembilan nanti, Bapak ada pertemuan dengan perwakilan PT. Wijaya Kusuma ya, Pak?" kata Vanessa memberitahu.

"Loh, pakai perwakilan?" tanya Ari.

"Iya, Pak. Tadi sekretaris Tuan Axel memberitahu kalau beliau tidak bisa hadir karena ada urusan penting ke luar kota." Jawab Vanessa memberi penjelasan.

"Ya sudah tidak apa-apa. Tolong ambilkan berkas kemarin saja, saya akan memeriksanya kembali," pinta Ari.

"Baik, Pak!" Vanessa bergegas keluar dari ruangan Ari menuju mejanya.

Sementara itu, Ari menyeruput kopi panas yang tergeletak di atas meja. Setiap pagi Vanessa memang selalu rajin membersihkan ruangan dan menyiapkan kopi untuknya. Belum lagi kinerjanya yang sangat baik dan cekatan. Oleh sebab itu, Ari tidak mengizinkan wanita itu resign saat dia dipinang kekasihnya setahun lalu, apa lagi Vanessa sudah bekerja hampir lima tahun bekerja di sini.

Mata Ari kemudian tertuju pada sebuah bingkai foto yang tertata apik di mejanya. Itu adalah foto keluarga yang diambil tepat beberapa hari sebelum Aruna, mendiang sang istri, melahirkan.

Mata pria itu menatap teduh foto tersebut. Tangannya terulur guna mengelus lembut wajah dan perut Aruna.

"Aku merindukan kalian," bisik Ari lirih. Meski lima tahun telah berlalu, perasaan pria itu masih tetap sama. Walau hidup dalam kehampaan, Ari tidak pernah berniat untuk menggantikan posisi Aruna di hatinya.

Bab 2. Jodoh untuk Papa.

"DOR!" Vira dan yang lainnya tiba-tiba menepuk punggung Tika yang sedang melamun. Bel jam istirahat sudah berbunyi tetapi Tika yang biasanya paling heboh kini tampak membisu di mejanya.

Tika berteriak lalu memandangi keenam temannya dengan wajah sangar. "Bisa kalem sedikit nggak?"

"Nggak!" jawab mereka kompak. Tika langsung mencibir.

"Kamu sendiri ngapain bengong-bengong sendirian? Biasanya juga langsung lari ke kantin macam orang kesetanan!" seru Nadia, gadis yang suka sekali mengikat rambutnya bak ekor kuda.

"Pusing!" jawab Tika singkat.

"Pusing kenapa?" Kali ini Marta bersuara.

"Mikirin wanita-wanita yang ngejar papa. Kira-kira gimana ya caranya biar para wanita itu berhenti nitip salam ke aku?" gumam Tika dengan raut wajah serius.

"Loh, tumben? Bukannya kamu nggak terlalu keberatan? Apa lagi kalau ada imbalannya seperti yang dilakukan Kak Anne tadi pagi,"ujar Marta.

Tika menghela napasnya. "Jenuh ahh, aku jadi nggak sempat mikirin diri sendiri ... percintaan maksudnya! Sebagai gadis belasan tahun yang sedang mengalami masa-masa muda, aku juga butuh kisah cinta sendiri!" kata Tika sedikit berteriak.

"Ya sudah, terima aja cintanya si Bastian sana! Nggak kasihan apa dia udah nguber-nguber kamu dari kelas satu!" Novi beringsut duduk di sebelah Tika dan menepuk-nepuk pundaknya.

"Ih, nggak mau lah sama yang pecicilan begitu! Aku maunya sama yang dingin dan pendiem kayak ...." Mata Tika tiba-tiba tertuju pada punggung seorang remaja yang duduk jauh dari tempatnya. Remaja itu bernama Devan, sang ketua basket yang jadi incaran gadis-gadis di sekolah.

Sebenarnya Tika tidak terlalu menaruh perasaan padanya, hanya sekadar mengagumi saja. Dapat syukur, tidak dapat ya sudah.

Sementara remaja bernama Bastian yang sempat disinggung oleh Novi, adalah teman sekelas Tika saat masih duduk di kelas satu. Bastian adalah pria berisik yang tidak pernah kehabisan energi. Tampaknya Bastian juga tidak memiliki urat malu karena dia sering memperlihatkan kekonyolannya yang akut.

Kendati demikian Tika tak pernah menjauhi Bastian. Justru terkadang Bastian bisa menjadi teman yang sangat dibutuhkan.

Melihat arah pandang Tika, keenam gadis itu mencibir.

"Jadi, apa solusimu?" tanya Yuli yang kembali membahas soal ayah Tika.

"Bantuin dong!" seru Tika.

Ketujuh gadis itu pun terdiam. Mereka sibuk memikirkan alasan yang paling masuk akal agar bisa menjauhkan wanita-wanita itu. Namun, disaat bersamaan seorang remaja dengan suara menggelegar masuk ke dalam kelas. Siapa lagi kalau bukan Bastian.

"HAI, GADIS-GADIS MANIS, TERUTAMA ARTIKA CELIA WIBOWO!"

"Berisik banget sih, Bas!" tegur Novi ketus.

"Jangan sembarangan ganti-ganti nama belakang orang dong!" seru Tika tak kalah ketus.

Bastian tertawa kecil. "Kalian tumben banget pada bengong nggak jelas di kelas, biasanya juga udah menguasai separuh bangku kantin." Pria muda itu mengambil salah satu kursi dan menyeretnya hingga ke sisi lain Tika. "Ada apaan, sih? Ada apa Tik?" tanyanya penasaran.

"Biasa, soal papa," jawab Tika lesu.

"Papamu kenapa memangnya?" tanya Bastian lagi.

"Sama cewek-cewek!" jawab Tika cepat.

"Cewek-ceweknya kenapa? Omong-omong papamu punya banyak cewek?" Bastian tanpa merasa bersalah kembali bertanya. Hal itu lantas membuat Tika dan yang lainnya mendengkus keras-keras.

"Ya Tuhaaan! Capek banget ngomong sama kamu tahu!"

"Ya maaf, aku, kan nggak ngerti." Bastian meringis, sembari menatap takut-takut para gadis yang tampak ingin menjambak rambutnya. Kendati begitu, Tika tetap menceritakan apa yang menjadi kegundahannya.

Mendengar cerita Tika, Bastian sontak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bilang saja papamu sudah punya pacar!" celetuknya cepat.

Tika terkesiap. "Benar juga!" katanya.

"Tapi harus pakai bukti. Nggak mungkin mereka percaya begitu saja tanpa melihat langsung!" seru Novi yang langsung disetujui oleh teman-teman lainnya.

Tika langsung mengeluh. "Benar juga. Lantas cari di mana ya? Sebenarnya sih, nggak perlu dicari karena pasti banyak yang mau sama papa, tapi aku nggak mau yang sembarangan."

"Memangnya kamu mau yang seperti apa, Tik?" tanya Bastian.

Tika mengelus-elus dagunya sambil berpikir. "Yang jelas cantik, baik, ramah, ngomongnya lembut, pinter, terus ...."

Perkataan Tika sontak terhenti ketika seorang guru wanita masuk ke dalam ruang kelas sembari membawa setumpuk buku.

Dia lah Bu Anissa, guru muda berusia 30 tahun yang menjadi idola para siswa karena kecantikan dan keramahannya. Selama mengajar hampir dua tahun di sekolah ini, beliau sama sekali belum pernah memarahi anak didiknya. Jangankan marah, menaikan nada bicara saja tidak.

Bu Anissa bahkan tak segan memberi hadiah kepada anak-anak kelasnya yang mendapat ranking.

"Bella, tolong bagikan buku teman-temanmu ya?" Suara Bu Anissa yang lembut mengalun indah ke seluruh penjuru kelas.

"Baik, Bu," jawab Bella, sang ketua kelas.

Tika tersenyum sumringah. Matanya tak lepas memandangi sosok Bu Anissa yang kini berjalan keluar kelas.

"Tik!" Novi menepuk keras bahu gadis itu. "Kok melamun?" tanyanya.

"Aku udah nemuin kriteri yang cocok!" seru Tika tiba-tiba.

"Hah? Siapa?" Keenam gadis dan juga Bastian segera mendekatkan diri pada Tika.

Tika menahan kepala Bastian yang hendak mengambil kesempatan. "Jangan mulai deh!" kata gadis itu, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan mereka dengan wajah sumringah.

"Bu Anissa."

Mendengar jawaban tersebut, mereka semua terdiam selama beberapa saat.

"APA?"

...**********...

"Hari ini bukan papa yang jemput, Tan?" ujar Tika ketika baru masuk ke dalam mobil.

"Pak Ari sedang ada pertemuan penting dengan klien. Kamu mau ikut Tante ke kantor?" tanya Vanessa yang memang sering dimintai tolong menjemput Tika bila Ari sedang sibuk.

"Emm, nggak deh, aku ngantuk!" jawab Tika. "Oh iya, Tan, aku mau tanya deh!" sambung gadis itu tiba-tiba.

"Tanya apa?" kata Vanessa tanpa mengalihkan pandangannya pada Tika, sebab wanita itu fokus menjalankan mobilnya untuk keluar dari wilayah sekolah.

"Tante kok bisa nikah sama suami Tante? Memangnya Tante nggak punya perasaan sama papa?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Vanessa sontak menginjak pedal rem kuat-kuat karena terkejut. Beruntung mereka sudah memakai seat belt dengan aman.

"Tan, ih, bahaya tahu!" pekik Tika.

"Kamu ngagetin Tante, sih!" sahut Vanessa kesal. Wanita itu pun sempat meminta maaf pada siswa siswi pejalan kaki yang terkejut dengan tindakannya.

"Ngapain Tante kaget?"

Vanessa melirik sepintas Tika yang duduk di sebelahnya. "Ya kaget lah, tahu-tahu kamu menanyakan hal aneh begitu!"

Tika mengangkat bahunya. "Ya kali aja gitu. Pasalnya, guru-guru, staf, bahkan siswi sekolah saja banyak yang naksir papa, masa Tante nggak!"

Tika kemudian beringsut mendekati Vanessa lalu bersandar di pundaknya. "Memang papa kurang menarik di mata Tante?" tanya gadis itu.

"Tidak!" jawabnya tegas. "Kamu ngapain tiba-tiba bahas papamu?" tanya Vanessa.

Tika menegakkan kepalanya. "Nggak apa-apa sih, cuma nanya aja."

Vanessa sontak menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap gadis itu yang tiba-tiba membahas ayahnya.

Bab 3. Jodoh untuk Papa.

Ari tiba-tiba menyemburkan makanan dari mulutnya setelah mendengar penuturan sang putri. "Tika!" seru pria itu dengan wajah jengkel.

Bagaimana tidak, sang putri yang memilih datang ke kantor sepulang sekolah untuk menemaninya, dengan gamblang malah membahas soal jodoh di sesi makan sore mereka.

Ari jelas terkejut, sebab Tika sejak dulu tidak pernah membahas hal yang berkaitan dengan itu. Ya, Ari tahu dan mengerti akan kekesalan Tika yang selalu menjadi korban dari wanita-wanita di luaran sana. Namun, bukan berarti gadis itu bisa seenak jidat menjodohkan dirinya, apa lagi dengan seorang guru muda yang usianya terpaut lima belas tahun dari pria itu.

"Tak ada yang salah dengan ucapanku, kan? Serius, Pa, aku sangat ikhlas kalau Papa mau menikah lagi," ujar Tika yang kembali membuka suaranya.

Ari terdiam. Makanan yang sebelumnya terasa nikmat kini mulai terasa hambar di lidah pria berusia 45 tahun itu.

"Pa, ini bukan hanya tentang aku yang tidak ingin direpotkan oleh para wanita pemuja Papa, tetapi juga tentang masa depan Papa. Aku tahu, Mama tidak akan pernah tergantikan di hati kita ... namun, hidup harus terus berjalan. Papa butuh pendamping dan aku sudah merestuinya," kata gadis itu panjang lebar.

Helaan napas keluar dari mulut Ari. "Papa akan mulai memikirkannya, tapi biarkan Papa sendiri yang mencari. Toh, Papa memiliki banyak kenalan, jadi kamu tidak perlu repot-repot menjodohkan Papa!" Tegas Ari kemudian.

Tika yang semula tersenyum sumringah sontak memajukan bibirnya beberapa milimeter. Gadis itu tahu benar seperti apa wanita-wanita yang ada di sekitar Ari. Bagi Tika, pergaulan di kalangan atas justru jauh lebih buruk. Hal itu membuat Tika enggan banyak mengenal orang di sekitar Ari. Itu lah mengapa dia melarang Ari banyak berinteraksi dengan mereka bila di luar kantor.

Tika sudah bisa membayangkan seperti apa wanita yang akan Ari pacari nanti. Wajahnya mungkin tampak cantik, tetapi dengan dandanan yang luar biasa mewah hingga membuat siapa pun yang melihatnya jadi sakit mata. Belum lagi gaya berpakaiannya dan gaya berjalan wanita itu.

Tika refleks menggelengkan kepala, merasa merinding sendiri. "Aku tidak mau Papa dekat dengan wanita-wanita sosialita kenalan Papa!" serunya tegas.

"Loh, kenapa? Mereka baik-baik kok!" kata Ari.

Tika mencibir. "Mereka baik karena bisnis dan status Papa!" jawabnya ketus.

Lagi-lagi Ari hanya bisa menghela napas. Benar kata orang-orang sekitarnya, bahwa mengurus anak remaja diusia pubertas adalah hal yang sangat menguras tenaga. Ari lebih baik dihadapkan dengan klien-klien paling menyebalkan dari pada harus berbicara dengan putrinya soal ini.

"Pa, a—"

"Pembicaraannya cukup sampai di sini, Nak! Sekarang habiskan makananmu dan kita pulang."

Tika bungkam. Dalam hati dia bersumpah akan menjambak siapa pun wanita yang menjadi pendamping sang ayah bila dari kalangannya.

Pokoknya aku harus mengenalkan Bu Anissa dengan Papa, entah bagaimana pun caranya! Batin gadis itu.

...**********...

Setelah melewati beberapa pelajaran hari ini dengan perasaan jenuh, akhirnya senyum Tika melebar kala guru yang ditunggu-tunggunya datang. Siapa lagi kalau bukan Bu Anissa, guru bahasa indonesia yang menjadi incarannya.

Seperti biasa, Bu Anissa tampil sederhana tetapi elegan dengan seragam batiknya. Rambut panjangnya terkuncir rapi menggunakan sebuah ikat rambut berbulu yang sangat cantik. Suaranya terdengar merdu saat menyapa, apa lagi saat memanggil nama murid satu persatu termasuk dirinya.

"Artika Celia Wiguna." Bu Anissa kembali memanggil nama Tika. Namun, gadis itu masih saja termangu sembari menatap wajah cantik sang ibu guru.

"Artika," panggil Bu Anissa sekali lagi.

Sebuah hantaman buku yang dilayangkan Vira tepat mengenai bahunya, membuat Tika langsung tersadar dan mengaduh kesakitan.

"Apaan sih!" seru Tika marah.

"Bu Anissa manggil tuh! Absensi!" seru Vira ketus.

Tika terkejut lalu menjawab kehadirannya. Gadis itu hanya bisa meringis kala Bu Anissa mengancam akan memberi alfa bila dia tak kunjung menjawab.

"Maaf, deh, Bu," ucap Tika malu.

Bu Anissa menggelengkan kepala sebelum kemudian melanjutkan absensinya hingga selesai.

Tak seperti biasanya pada pelajaran Bu Anissa kali ini Tika dengan penuh semangat selalu rajin menghampiri meja beliau untuk menanyakan beberapa hal tentang pelajaran. Hal tersebut tentu membuat seisi kelas keheranan.

Tika memang termasuk siswi aktif. Nilainya pun tidak terlalu buruk dan selalu mendapat sepuluh besar. Namun, rasanya kali ini ada yang berbeda dari diri gadis itu. Tika kelewat bersemangat. Tampaknya sudah belasan kali dia datang ke meja Bu Anissa hanya untuk menanyakan hal sepele.

"Kamu ngapain sih, Tik?" tanya Marta yang jengkel melihat kelakuan Tika.

"Ck, mau ngetest ingatan calon ibu tiri! Jangan sampai beliau lupa sama aku, gtu!" jawab Tika santai.

"Dih, yang ada Bu Anissa ilfil sama kamu. Kalau pun ingat ya karena tingkahmu yang cari-cari perhatian itu!" celetuk Yuli.

Mendengar hal tersebut, Tika langsung menutup mulutnya dengan mata terbelalak. "Beneran?" tanya gadis itu.

Mereka menganggukkan kepala.

Tika tercengang selama beberala saat sebelum kemudian tersenyum santai."Biarin ahh!" serunya seraya menjulurkan lidah ke arah Marta dan Yuli yang duduk tetap di sebelahnya.

...**********...

Wajah Tika mendadak tertekuk, tatkala mendapati sang ayah tengah dikerubungi oleh beberapa orang ibu-ibu yang merupakan penghuni sekolah, seperti guru dan karyawan. Satu dua orang pemilik kantin pun tampak hadir di sana.

Mereka semua terlihat sangat bahagia berbincang dengan sang ayah. Bahkan tawa pun keluar dari sekumpulan orang-orang itu.

Tika tentu saja tidak senang melihatnya. Namun, tidak dengan sang ayah. Beliau tampak selalu ramah menanggapi wanita-wanita tersebut, meski tahu niatan mereka Jika dilihat secara kasat mata, Ari tak ubahnya seorang pria playboy yang gemar berdekatan dengan lawan jenis, padahal aslinya dia hanya mencoba untuk ramah agar tidak menyakiti hati mereka.

"Tika!" Melihat kedatangan Tika, Ari bergegas memanggil. Pria itu lalu terlihat berbincang singkat pada mereka seraya membungkukkan badannya sekilas, sebelum akhirnya menghampiri Tika.

"Papa udah dari tadi sampai?" tanya Tika.

"Lima belas menit." Jawab Ari.

"Jangan ramah-ramah sama mereka apa, Pa!" seru Tika.

"Mereka siapa?" tanya Ari yang tidak mengerti.

"Ck, sama wanita-wanita yang mendekati Papa tadi!" sahut Tika ketus.

"Oh ... ya tidak mungkin, Nak. Papa tidak enak. Lagi pula mereka hanya mengajak Papa berbincang saja, tidak lebih."

Tika mengerucutkan bibirnya. "Di mata Papa mungkin iya, tetapi tidak di mataku yang peka ini. Jelas-jelas mereka ada maksud terselubung ke Papa!"

"Ya sudah, ya sudah, sekarang ayo kita makan siang, Papa hari ini pulang cepat," ujarnya demi mengalihkan pembicaraan.

"Kalau begitu, jangan langsung pulang ya Pa!" kata Tika.

"Oke!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!