Amira menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Bias mentari pagi menyusup lewat celah tirai yang sedikit terbuka. Menyilaukan mata Amira yang masih terpejam. Ototnya yang kaku sudah sedikit lemas. Ia mengerjapkan matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang menerpa wajah cantiknya sebelum ia sadar dan merasakan perutnya tertindih sesuatu.
Amira melihat tangan kekar yang melingkar di perutnya. Padahal suaminya sudah dua minggu tidak di rumah, karena sedang berada di luar kota. “What! Tangan siapa ini?” pekik Amira terperanjat. Lalu manik matanya bergerak, melihat siapa yang memeluknya.
“Regi? I—ini kenapa aku tidur sama Regi?” Amira tertegun melihat Regi sang adik ipar yang sedang memeluknya dengan bertelanjang dada, dan ia pun sama. Tubuhnya yang polos hanya tergulung selimut tebal, bersama dengan Regi. Dalam satu selimut.
Tubuhnya bergetar, setelah mengingat-ingat apa yang terjadi semalam dengan adik iparnya. Amira melihat baju yang ia kenakan semalam berserakan di lantai, bersama baju milik Regi. Amira terus mengingat kejadian semalam. Kejadian panas di atas ranjang yang biasa ia gunakan untuk bercinta memadu kasih dengan Romi, suaminya. Semalam ia melakukannya dengan Regi, yang tak lain adalah adik kandung suaminya.
Amira mengingat semalam begitu liar bermain dengan Regi. Sekelebat bayangan semalam muncul, dan terngiang juga racauan mulutnya saat mengeluarkan ******* kecil, ketika tubuh Regi menguasai tubuhnya.
“Ti—tidak! Ini tidak mungkin!” pekiknya dengan mata mengembun.
“Regi! Bangun, Regi!” Amira mengguncang-guncangkan tubuh Regi, hingga Regi bangun.
Regi menggeliat, lalu matanya mengerjap perlahan. Setelah separuh nyawanya berkumpul, matanya terbuka lebar, seakan bola matanya akan lolos keluar, saat melihat Amira, sang kakak ipar berada di sebelahnya dengan tubuhnya terbungkus selimut putih bersama dirinya.
“Mbak Mira? I—ini kenapa aku di kamar, Mbak?!” tanya Regi, dia pun kebingungan, tidak sadar dengan keadaan.
“Semalam apa yang kita lakukan, Regi?” desah Amira kacau dengan berlinang air mata.
Regi menerawang, masih mengumpulkan sisa nyawanya. Regi kembali mengingat kejadian semalam yang membuat dirinya bisa tidur di kamar kakaknya, dan bergulung satu selimut dengan tubuh polos bersama kakak iparnya. Yang ada diingatan Regi adalah, semalam dia habis pesta minuman dengan teman-temannya. Biasa, kalau ada yang merayakan sesuatu, pasti pesta minuman keras. Biasanya hanya minuman beralkohol rendah yang disedikan, tapi semalam minuman yang disediakan temannya adalah minuman yang memiliki kadar alkohol cukup tinggi, hingga dirinya mabuk berat.
“Oh, Shitt! Apa yang sudah aku lakukan semalam?!” erang Regi dengan meremas kepalanya frustrasi. Manik matanya tertuju pada Amira yang masih terisak di sebelahnya dengan keadaan kacau dan berantakan. “Ma—maafkan aku, Mbak,” ucap Regi dengan suara parau.
Amira masih menunduk, mencengkram selimutnya, dan menangis. Ia juga mencoba mengingat-ingat kejadian semalam, kenapa pagi ini dia berdua di kamar dengan adik iparnya, dalam keadaan berantakan, tubuh polos, dan bergulung di dalam satu selimut bersama adik iparnya.
Semalam Amira mendapatkan izin suaminya untuk pergi hangout dengan teman-teman kuliahnya dulu. Seperti biasa, setiap malam minggu pasti geng mereka kumpul. Kadang pasangan mereka juga ikut berkumpul, tapi semalam semua teman Amira tidak ada yang membawa pasangan.
Semalam Amira memang minum minuman yang berlakohol. Dan, ia tahu kadar alkohol dalam minuman itu cukup tinggi. Amira ingat semalam dia minum minuman tesebut karena harus menerima tantangan dari temannya. Mereka bermain truth or dare. Bagi siapa yang tidak bisa menjawab dengan jujur, maka akan diberikan tantangan oleh teman-temannya.
Semalam Amira mendapat giliran kedua setelah Citra dari permainan itu. Putaran kedua, ujung botolnya mengarah ke Amira.
“Yeay ... Amira, Nyonya Romi yang makin hari makin seksi saja,” ucap Alya girang. “Truth or dare, Beib?”
“Truth dong,” jawab Amira dengan yakin.
“Oke, aku tanya nih, berapa kali kamu orgasme, saat bercinta dengan Romi dalam waktu semalam?” tanya Alya dengan terbaahak.
“Pertanyaan macam apa ini? Ini privasi banget lho?”
“Hmmm ... sudah biasa kali ... ayo jawab, kau juga tahu soal aku dan Dion?” desak Alya.
“Okay, aku jawab. Tapi berapa kali, ya? Satu, dua, tiga .... ah ... aku lupa, beib. Yang jelas Mas Romi selalu hebat di atas ranjang,” jawab Amira dengan terkekeh.
“Dasar gila, lo! Jawabanmu ambigu sekali, kau harus menerima tantangan dari kami,” seloroh Citra.
“Ih kok gitu? Kan aku jawab sebenar-benarnya?”
“Kalau jawab sebenar-benarnya, itu jawabannya pasti, beib? Kau tadi jawab lupa, kan?” ujar Alya.
“Ayo terima tantangan dari kami!” cetus Citra dengan semangat. “Nih, kau harus meminum ini!” Citra menuangkan minuman ke dalam sloki untuk Amira. “Gak ada suami, kan? Aman deh kalau kau mabuk nanti saat pulang?” ujar Citra.
“Gila ... ini alkoholnya agak banyak, Cit? Gak ada yang lebih rendah dikit?” tanya Amira.
“Sudahlah, paling beda tujuh persen saja kok, dari yang biasa kita minum kalau kumpul?” ujar Dian.
“Haduh, Di ... kalau aku mabuk gimana?” tanya Amira.
“Sudah biasa teler juga!” tukas Citra. “Mumpung gak ada suami, kamu mau balik teler mah bebas. Aku ada suami saja biasa saja?” imbuhnya.
“Beda dong, Cit? Aku kan sedang promil, masa mau minum gini?”
“Sudah Cuma malam ini saja kok. Kesepakatan lho, kalau jawabannya kurang pas kan harus terima tantangan? Lagian tadi Citra sudah minum satu sloki saja belum teler tuh,” ujar Dian.
“Okay ... okay ... sini aku minum!” Amira mengambil sloki yang sudah terisi minuman tersebut. Sekali tegukkan langsung tandas. “Sudah, ini habis, kan?” Amira membalikkan slokinya, supaya temannya melihat minumannya sudah tandas habis diteguk olehnya.
“Wah ... okay, kita lanjut!” ucap Citra dengan semangat.
Mereka berempat memang satu geng dari SMA, hingga kuliah, dan sampai sudah berkeluarga juga masih solid persahabatannya. Mereka juga melanjutkan minum-minuman hingga tambah satu bolot lagi untuk menemani perbincangan mereka yang sudah semakin kacau.
Pukul satu malam mereka pulang. Sopir pribadi Dian mengantarkan satu persatu temannya. Amira berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya, sepatu hak tingginya ia jinjing, mulutnya meracau tidak keruan. Dan di saat yang sama, Regi juga baru pulang dari pesta minuman bersama temannya. Ada teman Regi yang berulang tahun, mereka pesta minuman seperti biasanya, sampai mabuk berat.
Regi juga mengingat, semalam ia pulang pesta minuman dengan temannya dalam keadaan mabuk. Ia masuk ke rumah kakaknya dengan langkah yang gontai, mulut meracau tidak jelas, dan dia melihat Amira yang juga berjalan gontai. Dengan langkah yang gontai juga Regi langsung memapah Amira ke kamarnya. “Kau mabuk, Mbak? Mentang-mentang suamimu tiga bulan di Surabaya, Mbak?” racau Regi.
“Kau juga mabuk, Regi! Mentang-mentang Masmu gak di rumah?” jawab Amira dengan suara khas orang mabuk, dengan cekikikan tidak jelas.
Mereka masuk ke dalam kamar Amira. Regi menidurkan Amira, tapi tubunya menindih Amira, dan karena seperti itu, perbuatan mereka berlanjut lebih panas dan brutal lagi, hingga pakaian yang mereka kenakan berserakan di lantai.
Regi dan Amira masih saling diam, masih sama-sama mengingat kejadian semalam. Mengingat kenapa sampai seberantakkan ini keadaannya.
“Kau sudah melakukannya padaku, Regi ...,” desah Amira pilu.
“Mbak, aku semalam tidak sadar, dan mbak juga sama, kan? Mbak juga mabuk. Kita sama-sama terpengaruh oleh alkohol, Mbak!” jawab Regi.
“Re, kamu tahu mbak sedang program hamil, kan? Dan, mbak baru selesai haid seminggu yang lalu. Kamu tahu sekarang adalah masa suburku, Re?” ucap Amira ketakutan.
“Iya, aku tahu semua itu, Mbak. Mbak takut kalau mbak hamil?” tanya Regi, dan Amira hanya menjawabnya dengan menganguk saja.
“Tidak mungkin mbak hamil. Kita melakukannya sekali, Mbak. Mbak yang berkali-kali dengan Mas Romi, dan sudah tujuh tahun pula, sampai sekarang tidak hamil, kan?” cetus Regi.
“Kau bicara seolah aku ini mandul, Re!” pekik Amira pilu. “Aku normal, rahimku sehat!” cetus Amira dengan menangis.
Regi merengkuh tubuh Amira, ia peluk Amira yang sedang kacau. Iya, dirinya mengaku salah sudah bicara seperti itu, barangkali benih yang ia semai di rahim kakak iparnya semalam adalah benih yang berkualitas, dan benih yang produktif.
“Aku akan tanggung jawab, kalau mbak hamil,” ucap Regi.
“Kau ini gila, hah?!” erang Amira. “Aku ini istri kakakmu, Regi ...!” pekik Amira.
Regi terdiam. Iya benar, Amira adalah istri kakaknya. Bagaimana bisa dirinya bertanggung jawab kalau Amira hamil anaknya?
Yang lebih membuat Amira bingung, jika dia hamil, Romi belum pulang dari Surabaya. “Mana baru dua minggu Mas Romi di Surabaya? Kalau satu minggu lagi pulang kan aku bisa cepat-cepat bercinta dengannnya, supaya kalau aku hamil, juga tahunya anak Mas Romi? Kalau nanti Mas Romi pulang, terus aku hamil bagaimana? Ini adalah masa suburku, kalender masa subur sudah menunjukkan hari-hari ini adalah masa suburku. Dan, kenapa aku semalam begitu liar, sepertinya aku menikmati permainan semalam dengan Regi, hingga aku ingat, aku orgasme berkali-kali dengan Regi, dan kami melakukannya tanpa jeda. Apa aku harus menyusul Mas Romi ke Surabaya? Tapi itu tidak mungkin!” batin Amira.
Regi masih diam terpaku, memikirkan yang terjadi, dan mengingat kejadian semalam. Regi memang sedang menginap di rumah Romi, karena rumahnya masih di renovasi untuk beberpa bulan ke depan. Biasanya tidak ada masalah, mau Regi menginap di rumah Romi sampai berbulan-bulan, dan tidak ada masalah juga, meskipun kadang Romi meninggalkan Amira bertugas di luar kota bersama Regi di rumah, tidak pernah ada kejadian semacam sekarang.
“Bagaimana bisa aku semalam bermain dengan kakak iparku? Dan dia begitu liar, hingga membuat aku semakin panas. Ya aku ingat, dia pun mengendalikan permaiannya di atas tubuhku dengan begitu bergairah,” batin Regi.
Amira berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia sebisa mungkin melupakan kejadian malam itu dengan adik iparnya. Ia ingin mengubur ingatannya dalam-dalamh soal kerjadian panas malam itu. Tapi, masih saja terlintas di pikiran Amira tentang malam yang penuh noda dan dosa.
Regi juga masih berada di rumah Romi. Romi memang meminta Regi memantau Amira setiap hari. Kadang kalau Regi sibuk dan tidak bisa menginap di rumah Amira, Romi pun meminta tolong pada adiknya lagi untuk menemani Amira saat dirinya di luar kota. Berungtung sekali, saat dia cukup lama di Surabaya, Regi juga menginap cukup lama di rumahnya, karena rumah Regi sedang di renovasi.
Memang Regi yang selalu Romi minta bantuan untuk menemani Amira kalau dirinya sibuk, karena hanya Regi yang masih free, dia belum berkeluarga, sedangkan kedua adik Romi lainnya, yang tak lain kakak Regi juga, mereka sudah berkeluarga semua, dan sudah memiliki anak. Regi adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kalau Regi sibuk, dan dua adiknya lagi sibuk, Romi meminta teman Amira untuk menemaninya, karena Amira tidak memiliki asistern rumah tangga.
Sejak kejadian malam itu, Regi dan Amira saling berdiam diri. Mereka bicara kalau ada hal penting yang memang harus dibicarakan. Setiap hari seperti itu, tidak ada obrolan yang akrab lagi antara Regi dan Amira, tidak seperti biasanya. Biasanya mereka akrab, apalagi Amira memang akrab dengan adik-adik Romi, dan menganggapnya seperti adiknya sendiri. Sekarang dia mendiami Regi. Pun dengan Regi, dia juga tidak berani menyapa kakak iparnya. Biasanya setiap pagi, suara Amira yang cempreng sudah berisik karena membangunkan Regi yang harus berangkat kerja. Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu tidur Regi, dan tidak Amira tidak lagi membangunkan Regi, tapi kalau sudah terlalu siang, Amira terpaksa membangunkannya.
Dua minggu setelah kejadian malam itu telah berlalu. Itu artinya sudah satu bulan Romi di Surabaya. Amira dan Romi hanya berkomunikasi lewat telefon dan Video call setiap harinya, untuk memberikan kabar. Setiap hari, kalau pekerjaan Romi senggang, ia selalu berkabar dengan Amira. Seperti pagi ini, Romi melakukan video call dengan Amira. Biasanya jam delapan pagi, Regi juga sudah berada di ruang makan dengan Amira, tapi Romi dari tadi hanya melihat Amira sendirian di depan meja makan, dia tidak melihat adiknya yang biasanya juga sudah sama-sama dengan Amira menikmati sarapan pagi.
“Sayang, mas dari kemarin kok gak lihat Regi ikut sarapan?” tanya Romi dari seberang sana.
"Hmm ... Regi masih di kamarnya, sudah aku bangunin, katanya berangkat siangan, kalau kemarin, dia malah berangkat pagi-pagi sekali,” jawab Amira berbohong. Padahal dia sama sekali belum membangunkan Regi pagi ini.
“Kamu ke toko bunga kan hari ini?” tanya Romi.
“Iya, ini habis sarapan, terus mau mandi, habis itu ke toko bunga,” jawab Amira.
“Ya sudah, aku mau lanjutkan pekerjaanku dulu. Kamu hati-hati, Sayang. I love you ....”
“Love you more, Sayang.”
Amira mengakhiri video call dengan suaminya. Ia bilang, ia akan ke toko bunganya, tapi rasanya ia malas sekali. Toko bunga peninggalan orang tuanya, yang berada di sebelah rumah peninggalan orang tuanya Amira, sampai sekarang masih ramai pengunjung. Amira tidak jadi beranjak dari tempat duduknya, ia malah scrool hapenya lagi, lihat video-video lucu, dan sesekali ia juga membuka aplikasi belanja online.
Regi keluar dari kamarnya dengan tergesa. Ia berjalan ke arah meja makan dengan memakai dasinya gugup. Hari ini ada meeting penting di kantor, tapi ia kesiangan, karena Amira tidak membangunkannya.
“Mbak, sampai kapan sih diemin aku? Biasanya mbak kan bangunin aku, aku kesiangan, Mbak! Ada meeting penting pagi ini, aku terlambat datang ini mbak,” ucap Regi dengan wajah manja dan memelas pada kakak iparnya.
Selama ini, Regi memang begitu dekat dengan Amira. Ia menganggap Amira sudah seperti kakaknya sendiri, ia juga kerap kali menunjukkan sisi manjanya dengan kakak iparnya.
“Malas saja bangunin kamu, yang gak sekali dua kali dibangunin, lalu langsung bangun!” cetus Amira.
“Teriakin dong, Mbak? Kan baisanya mbak teriak-teriak kalau bangunin aku? Teriak sampai aku bangun biasanya? Kok sekarang gak? Sampai kapan mbak akan diemin aku? Sampai Mas Romi pulang? Nanti malah dia curiga dengan sikap mbak yang seperti itu padaku?” ucap Regi.
“Terserah aku dong mau bagaimana? Kau mambuat moodku semakin hancur saja!” tukas Amira, lalu pergi meninggalkan Regi ke dalam.
Regi hanya menggeleng. Memang Regi akui, dia salah sudah berbuat seperti itu saat malam itu. Tapi, kejadian itu di luar kesadarannya, pun dengan Amira. Amira juga sedang mabuk, tidak sadarkan diri melakukan hal seperti itu dengan Regi.
“Kalau begini terus, yang ada Mas Romi curiga denganku dan Mbak Mira. Biasanya aku sama dia bercanda tak tahu batasan, seperti dengan kakak kandungku sendiri, sekarang malagh diam-diaman gini?” guman Regi.
Seperti itu setiap hari, Regi dan Amira saling diam. Mereka hanya bicara kalau memang ada hal penting yang harus dibicarakan, sampai dua bulan mereka saling diam, dan bicara hanya sekadar saja.
Dua bulan setelah kejadian itu, Amira benar-benar berusaha melupakan semua yang terjadi. Lupa segalanya hingga ia tidak sadar, kalau dirinya terlambat datang bulan. Pengingat di aplikasi saat tiba menstruasi sudah menyala dua minggu yang lalu, tapi ia abaikan. Biasanya sebelum peringatan itu muncul, Amira malah sudah menstruasi. Atau kadang selang dua hari dari peringatan di aplikasi bunyi, Amira baru menstruasi. Sekarang sudah dua minggu dia belum menstruasi, dia hanya santai saja.
Amira pulang dari toko bunganya. Sore ini Amira mampir beli asin mangga di seberang jalan, dekat dengan toko bunga miliknya. Setelah mendapatkan tiga cup asinan mangga, ia dengan perasaan girang membawanya pulang. Amira masih belum sadar dengan keadaanya yang banyak perubahan. *********** terlihat menonjol dan padat, kata Citra saat tadi Citra ke toko bunga Amira. Dan, kata dian, Amira sering terlihat pucat, tapi terlihat berisi badannya.
Amira menghabiskan dua cup asinan mangga, padahal biasnya kalau beli satu saja dia tidak habis, pasti makan barengan dengan Romi atau Regi, ini dua cup sekaligus ia makan.
Amira tersadar, dia memutar otaknya, mengingat ucapan Citra yang katanya postur tubuhnya sekarang seperti orang yang sedang isi, atau sedang hamil, juga ucapan Dian tadi, katanya dirinya agak gemukan. Amira mengambil ponselnya, lalu dia membuka aplikasi yang ia gunakan untuk program hamil. Ia melihat siklus menstruasinya, dan mata Amira membeliak, melihat sudah dua minggu lewat, dia harusnya sudah menstruasi, dan sekarang adalah jadwal ovulasi.
“What! Aku kok bisa-bisanya mengabaikan semua ini? Sudah dua minggu aku terlambat datang bulan? Ah mungkin ini gangguan hormon saja. Nanti sore aku coba ke dokter kandungan saja,” ucap Amira lirih setelah menyadari dirinya terlambata menstruasi.
Amira berpikir sejanak, mengingat kejadian malam itu. Kejadian bulan kemarin saat mabuk bersama Regi, dan malakukan hal yang tak sepantasnya ia lakukan dengan adik iparnya. “Masa aku hamil? Ini tidak mungkin! Aku melakukannya dengan Regi sekali, tidak mungking aku hamil!” batin Amira.
Amira bergegas mencari kunci sepeda motornya, dia ingin ke apotek membeli testpack untuk memastikan dirinya hamil atau tidak. Tidak mungkin dia langsung ke dokter kandungan, apalagi dokter kandungan yang biasa ia datangi adalah istri dari teman Romi.
Sepulang dari apotek, Amira melihat Regi yang sudah di rumah. Dia duduk di depan meja makan dengan menikmati sisa asinan milik Amira yang tinggal satu cup. Regi tahu pasti itu punya kakak iparnya, karena sudah biasa asal serobot dan asal makan makanan milik kakak iparnya, dia makan saja asinan itu.
“Mbak dari mana? Ini asinan mangganya mbak?” tanya Regi.
“Iya, makan saja, Re. Mbak sudah makan tadi, itu cupnya malah belum mbak beresin. Nanti beresin sekalian, ya?” jawab Amira dengan gugup dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
Regi melanjutkan makan asinan mangganya, sambil mengecek email dari kantor. Ia baru sadar kalau di depannya ada dua cup kosong bekas asinan. “I—ini Mbak Mira makan dua cup asinan? Gak salah? Biasanya satu saja gak habis?” ucap Regi lirih. “Kayak orang ngidam saja ih,” lanjutnya.
Namun, setelah bicara seperti itu, Regi kembali berpikir dengan ucapannya. Ia menghentikan mengunyah mangga yang sudah masuk ke dalam mulutnya. “Sebentar, kalau ngidam berarti Mbak Mira hamil anakku?”gumamnya.
Regi masih tercenung melihat dua cup asinan, ia terus berpikir, apa kakak iparnya sekarang tengah hamil? Dan, dialah yang menghamilinya. Selang beberapa menit, Regi dikagetkan dengan Amira yang berdiri di depannya, dengan mata sembab, dan tangannya bergetar hebat saat Amira menyodorkan sebuah benda pipih pada dirinya.
“Aku hamil, Re.” Dengan tangan bergetar Amira memberikan benda pipih sepanjang jari telunjuknya pada Regi –Adik Iparnya– yang menunjukkan dua garis merah pada benda tersebut. Tulang di kakinya serasa melunak, dan membuat tubuhnya merosot ke bawah.
Regi menerima benda tersebut, dengan tangan bergetar pula. Dia meraih tubuh Amira yang terperosot ke bawah. Dengan gemetar dia melihat dua garis merah di benda pipih tersebut. “Ha—hamil? Maksudnya ini bagaimana, Mbak?” ucap Regi tidak percaya.
“Aku hamil, Regi .... aku harus bagaimana? Kamu tahu kan, bulan kemarin saat malam itu kita ngapain? Haruskah aku mengugurkannya, Re? Aku takut, ini bukan anak suamiku,” ucapnya dengan terisak.
“Mbak sudah menunggu selama tujuh tahun. Dan, apa mbak tega mau membunuh anak yang tak berdosa di dalam perut, mbak? Aku yakin mbak tidak akan sekejam itu,” ucap Regi.
Amira masih menangis di pelukan Regi. Dia tidak tahu harus bagaimana menyampaikan kehamilan dirinya pada suaminya.
Suaminya tiga bulan ada tugas di luar kota. Baru dua bulan suaminya di luar kota, dirinya tengah berbadan dua. Tapi, bukan dengan suaminya, karena saat suaminya berangkat ke luar kota, dia masih dalam keadaan haid. Kejadian malam itu, membuahkan hasil di rahim Amira.
Tujuh tahun ia menantikan hamil, ia tak kunjung hamil. Hingga beberapa macam program hamil sudah Amira dan Romi lalui. Sekarang, hanya kesalahan satu malam dengan adik iparnya, dia diberikan kehidupan di rahimnya. Benih yang Regi semai di rahimnya, tumbuh menjadi kehidupan baru di dalam rahimnya.
“Regi ... mbak harus bagaimana? Mana mungkin mbak bilang pada Mas Romi kalau mbak hamil? Mas Romi ke Surabaya saja mbak masih haid, Re?” ucap Amira.
“Mbak tenang, nanti aku akan bantu bicara dengan Mas Romi. Aku antar mbak ke dokter, ya? Biar tahu berapa usia kandungannya. Iya, aku akui anak di perut mbak anakku, aku akan bertanggung jawab, dan aku akan buat seolah ini anak Mas Romi, mbak. Aku akan melakukan apa pun, supaya Mas Romi percaya,” ucap Regi.
Amira terus merayu suaminya supaya bisa mempercepat kepulanagannya dari Surabaya. Amira tidak ingin terlalu lama menunggu suaminya pulang, karena kalau kelamaan sampai menunggu tiga bulan, kandungan Amira terus bertambah usianya. Usia kandungan Amira sudah memasuki minggu ke empat. Tidak mungkin dia menunggu bulan depan, yang ada kandungan Amira semakin bertambah usianya.
“Mbak sudah membujuk Mas Romi pulang?” tanya Regi.
“Sudah, katanya akan diusahakan, Re,” jawab Amira.
“Mbak kalau lagi begituan hati-hati ya? Nanti kalau kandungan mbak kenapa-napa, Mas Romi kan jadi curiga, mbak hamil sama siapa?” tutur Regi.
“Itu bisa mbak atur, Re. Mbak hanya takut saja, sepertinya mbak merasa perut mbak udah gede. Nanti kalau Mas Romi pulang, perut mbak sudah kelihatan gimana, Re? Ini baru empat minggu perut mbak sudah kelihatan sedikit buncit, keras juga, gimana nanti bulan depan? Bulan depan berarti tujuh atau delapan minggu usia kandungan mbak?” keluh Amira.
“Mbak tenang, jangan gugup. Anggap saja tidak ada apa-apa. Kalau aku tega, aku akan akui semua perbuatanku, Mbak. Tapi kalau aku begitu bagaimana nasib rumah tangga Mas Romi dan mbak?”
“Sembarangan kamu! Jangan bilang apa-apa sama Mas Romi!”
“Makanya mbak tenang, jangan gugup, jangan buat Mas Romi curiga,” tutur Regi.
“Iya aku akan coba sebisa mungkin,” jawabnya.
Amira masuk ke dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang meratapi apa yang terjadi pada didinya. Air matanya lolos dari sudut matanya. Bayangan malam itu bersama Regi lagi-lagi muncul diingatannya. Amira semakin terisak, ia menjerit, meraung, mengeluarkan semua beban dalam pikirannya.
Regi mendengar kakak iparnya menjerit dan menangis, dia bergegas masuk ke kamar Amira. Regi melihat Amira sedang terusngkur di lantai dengan manangis, meraung-raung sambil memukuli perutnya. “Mbak, jangan gini. Aku mohon, Mbak ....” Regi memeluk tubuh Amira yang sedang kacau. Ia menghentikan tangan Amira yang sedang memukuli perutnya.
“Aku ingin gugurkan bayi ini, Re! Izinkan aku gugurkan anak ini!” erang Amira.
“Mbak, tenang, tenang ya mbak? Sudah tenang dulu, kita bicara baik-baik ya? SSsttt ... tenang, Mbak. Aku mohon jangan gini.” Regi terus menenangkan Amira, ia memeluknya, memberikan rasa nyaman Amira, supaya tenang.
“Regi ... aku mohon, izinkan aku gugurkan anak ini. Antar aku ke mana pun, yang bisa menggugurkan kandungan,” pinta Amira dengan sesegukkan.
“Iya ... iya ... nanti aku cari di mana tempatnya. Mbak tenangkan dulu emosi mbak, ya?” ucap Regi dengan lembut.
“Aku takut Mas Romi tahu, dia pasti akan murka pada kita, Re,” ucap Amira.
“Iya, makanya mbak sebisa mungkin terlihat biasa saja. Mbak pasti bisa, kalau mbak mau gugurin kandungan mbak, apa mbak tega? Bukannya mbak sangat mengharapkan anak?”
“Ya, sangat, Regi, tapi dari suamiku, bukan kamu!” cetusnya dengan mentap Regi tajam. “Antarkan aku ke mana pun, tempat untuk menggugurkan kandungan, Re! Sekarang!”
Regi tidak bisa berkata apa-apa lagi, Amira memaksa dirinya untuk mengantar ke tempat untuk menggugurkan kandungan. Ia turuti apa yang Amira mau, biar saja, toh dengan begini juga dia tidak akan menanggung beban. Tapi, tetap saja Regi tidak mau calon anaknya yang kata doker kandungan keadaannya sehat di rahim Amira harus digugurkan.
Regi sudah berada di tempat dukun beranak yang membuka praktik aborsi secara tertutup. Amira masih di dalam mobil, dia belum mau turun. Regi pun masih mendampinginya di dalam mobil. Regi tahu kakak iparnya itu sebetulnya tidak tega menggugurkan janin yang ada di rahimnya.
“Bagaimana? Ayo turun!” ajak Regi dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.
“Sebentar, Re, lihat perempuan itu.” Amira menunjukkan perempuan yang baru saja keluar dari dalam rumah dukun beranak yang praktik aborsi tersebut. “Ih dia pingsan, Re! Darah ....” Tubuh Amira bergetar melihat perempuan itu pingsan dan dari kakinya mengalir banyak darah segar. “Pulang, Re! Gak aku gak mau!”
Regi tersenyum lega, akhirnya dengan melihat kejadian tadi, Amira mengurungkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya.
Amira mengusap perutnya dengan lembut. Hatinya tergugah, ia menyesal saat akan mengaborsi janin yang tidak bersalah di dalam rahimnya.
“Kamu tidak salah apa-apa, Nak. Ibu yang salah. Maafkan ibu, yang sempat berpikir akan melenyapkanmu. Apa pun yang terjadi nanti, temani ibu, Nak. Ibu akan jaga dan rawat kamu, meskipun ibu harus bohong pada suami ibu. Ibu minta kerjasama yang baik ya, Nak? Ibu ingin kamu tumbuh sehat,” ucap Amira dalam hati.
Amira pulang. Ia lebih tenang dan ia berusaha menerima keadaan. Tinggal ia susun rencana supaya suaminya tidak curiga dengan kehamilanya.
Amira mendapat kabar, dua minggu lagi suaminya akan pulang. Amira sedikit lega, karena tidak menunggu sampai akhir bulan.
“Kamu ini jadwal datang bulan kan, Mir?” tanya Romi.
“I—iya, minggu-minggu ini memang jadwalku haid. Kenapa mas?”
“Ya, berarti pas aku pulang, tepat saat masa suburmu. Kamu di situ tetap minum suplemen promilnya, kan?”
“Iya, aku masih meminumnya?”
“Ya sudah, mas nanti pulang kurang lebih dua minggu lagi. Mas akan ngebut kerjanya, karena mas sudah kangen berat sama kamu.”
“Jangan terlalu berat, susah bawanya, Mas!”
“Nanti mas minta bantuan Dilan, dia kan yang kuat menampung Rindu yang berat?”
“Ih mas bisa saja ... buruan kerjanya, aku kangen banget, Mas,” ucapnya manja.
Mendengar istrinya yang sudah merindukannya. Romi langsung semangat ngebut menyelesaikan pekerjaannya.
^^^
Romi pulang ke rumah, setelah kurang lebih tiga bulan di Surabaya. Ia disambut hangat oleh istrinya. Ia peluk dan cimu istrinya berkali-kali karena saking rindunya.
“Di mana Regi?” tanya Romi.
“Belum pulang, kayaknya dia pulang malam. Kalau kemalaman dia pulang ke rumahnya, katanya sih sudah hampir selesia renovasi rumahnya,” jawab Amira.
“Ya sudah, mumpung Regi gak di rumah. Aku sudah kangen kamu, Sayang.” Romi langsung membopong tubuh Amira, membawanya masuk ke dalam kamarnya. Dan langsung meleburkan rindunya yang sudah lama tidak tersalurkan.
“Kamu sudah selesai haid, kan?” bisik Romi, lalu menciumi tengkut Amira dengan penuh gairah.
“Sudah, lima hari yang lalu,” jawab Amira dengan suara parau, karena menahan sentuhan Romi yang semakin panas.
“Ayo sayang ... ini masa suburmu. Aku ingin sekali kita menimang anak. Kamu siap, Sayang?” ucap Romi.
“Hmmm ... lakukanlah, aku sudah merindukan hal seperti ini, Sayang,” jawab Amira.
Romi melakukannya dengan begitu lembut dan penuh gairah. Ia hati-hati sekali saat melakukan penetrasi, karena ia ingin sekali istrinya hamil. Romi melakukannya dengan begitu hati-hati dan penuh gairah.
“I love you,” bisik Romi setelah melakukan ritualnya di sore hari.
“I love you more ....” Bisik Amira, lalu menciumi leher Romi.
“Jangan gini, aku nanti mau lagi. Kita lanjut nanti malam. Biar benihku di dalam rahimmu bersatu dulu, jangan banyak bergerak,” tutur Romi.
“Hmmm ... baiklah.”
Beruntung Romi melakukannya sangat lembut, jadi tidak membuat perut Amira kram. Amira mengusap perutnya. Ia takut janinnya akan bermasalah setelah bercinta dengan Romi.
“Baik-baik ya, Nak? Ibu mohon kamu yang kuat di rahim ibu,” ucap Amira dalam hati.
^^^
Romi sudah satu bulan di rumah. Seperti biasa, dia yang paling perhatian soal jadwal menstruasi istrinya. Apalagi setelah menjalani program hamil, Romi sangat proteks pada Amira. Dia yang hafal jadwal menstruasi istrinya.
“Kamu belum haid, Sayang?” tanya Romi dengan memeluk istrinya.
“Belum,” jawabnya dengan tersenyum.
“Kok senyum?” tanya Romi penasaran.
“Pegang perutku, Mas.” Amira membawa tangan Romi mengusap perutnya.
“Apa ada kabar baik dari dalam perutmu, Sayang?” tanya Romi dengan wajah berbinar.
“Ehm ... menurut, Mas?” Amira membalikkan badannya, lalu menatap wajah suaminya dengan wajah penuh bahagia.
“Apa kau hamil? Apa ada berita baik malam ini, Sayang?” tanya Romi, lalu mencium kilas bibir Amira.
“Ini, lihat.” Amira memberikan amplop cokelat yang bertuliskan nama klinik bersalin.
Dengan tergesa Romi membukannya. Ia membaca hasil lab pemeriksaan kandungan Amira. Raut kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya. Ia menatap kembali istrinya. “Ka—kamu hamil, Sayang?” tanya Romi dengan wajah berbinar.
“Ya ... aku hamil, tadi pagi, selepas kamu berangkat ke kantor aku periksa, karena aku merasa ada yang gak beres dengan tubuhku, dan ternyata aku malah disuruh ke dokter kandungan, dan itu hasilnya,” jelas Amira.
“Ya Tuhan ... terima kasih sudah mengabulkan doaku. Aku akan menjadi ayah, makasih, Sayang ....” Romi memeluk Amira dan menciumi wajah Amira. Lalu, ia berjongkok di depan perut Amira. “Sehat-sehat di perut bunda ya, Nak?” ucapnya lalu mencium perut Amir.
Sebelum memberitahukan kehamilannya pada Romi, Amira dan Regi memainta bantun temannya yang bekerja di rumah sakit, untuk mengubah data-data hasil pemeriksaan Amira. Beruntung ada ibu hamil yang usianya baru empat minggu, jadi petugas dengan cepat mengganti data Amira dengan data pasien yang hamil dengan usia janin empat minggu. Padahal usia janin Amira sudah sepuluh minggu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!