BAGI YANG NGGAK SABARAN DENGAN ALUR CERITA INI, SILAKAN SKIP TANPA MENINGGALKAN KOMENTAR-KOMENTAR BURUK!
...**********...
Suasana sarapan pagi yang harusnya bisa dilalui dengan penuh ketenangan, kini terasa sangat sulit bagi Adelia, wanita cantik bersurai hitam yang baru saja memasuki usia ke-34 tahun beberapa hari lalu.
Pasalnya, Ratna yang merupakan ibu mertua Adeli lagi-lagi kembali membahas persoalan lama yang memang menjadi momok tersendiri bagi wanita bersuami sepertinya.
Apa lagi kalau bukan soal anak?
Adelia sebenarnya memahami betul perasaan Ratna yang sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Terlebih, Wisnu, sang suami, merupakan anak satu-satunya yang dimiliki keluarga itu. Namun, mau bagaimana lagi, hingga memasuki sepuluh tahun usia pernikahan mereka, Adelia dan Wisnu harus tetap berbesar hati hidup berdua.
Sejak pernikahan mereka yang ke-lima, Adelia sebenarnya sudah mulai rutin ke dokter untuk memeriksakan diri. Sebab ternyata dia memang memiliki sedikit masalah. Namun, kini Adelia telah dinyatakan sehat sepenuhnya.
Lalu, mengapa mereka masih belum juga dipercaya memiliki momongan? Adelia tidak tahu.
Di lain sisi Adelia juga pernah menyarankan Wisnu untuk ikut memeriksakan diri ke dokter, karena mungkin saja pria itu juga memiliki masalah yang tidak diketahui. Namun, baik Wisnu mau pun kedua orang tuanya dengan tegas menolak saran Adelia. Ratna bahkan berani menghardik sang menantu karena secara tidak langsung sudah menuduh kesehatan sang putra kesayangan.
Kini Adelia hanya bisa pasrah akan perlakuan ibu mertua yang selalu saja memusuhinya secara terang-terangan.
Hampir setiap hari Adelia harus tabah mendengar tiap perkataan pedas Ratna yang mampir di telinganya.
Untuk tinggal terpisah dari mereka pun sangat sulit, karena beliau tidak pernah mengizinkan Wisnu untuk angkat kaki dari rumah, dengan alasan bahwa Wisnu merupakan anak tunggal.
"Jadi hasilnya negatif lagi?" Ratna kembali mengajukan pertanyaan yang sama dengan nada tinggi. Sementara Adelia yang duduk di seberang wanita itu hanya bisa tertunduk lesu.
"Kamu ini bagaimana sih, Del, katanya kondisimu sudah baik-baik saja, tetapi kenapa hasilnya masih negatif?" sambung Ratna tanpa merendahkan nada suaranya.
Adelia hanya terdiam membisu. Makanan lezat yang tersaji di depan matanya pun sama sekali tidak tersentuh.
"Kamu benar-benar sudah sembuh, kan?" Wanita itu sekali lagi menekan Adelia.
Adelia mengangkat kepalanya lalu mengangguk samar. "Sudah Ma. Kata dokter, aku sudah sehat. Mama juga sudah pernah melihat laporannya, kan?"
Ratna sontak menatap sinis sang menantu. "Alaaah, jangan-jangan kamu bohong ya? Jangan-jangan kamu memanipulasi laporan kesehatan yang pernah kamu tunjukkan pada Mama! Iya, kan?"
Adelia terbelalak. "Ya Allah, tidak Ma! Adel tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu!" jawabnya tegas.
"Ma, jangan menuduh sembarangan!" Hariadi yang merupakan suami dari Ratna sekaligus ayah mertua Adelia kini mulai membuka suaranya. Di antara mereka bertiga, hanya beliau lah yang lebih sering membela Adelia, meski tetap saja ujung-ujungnya akan selalu kalah dengan sang istri.
Sementara Wisnu tidak pernah sekali pun melakukan pembelaan untuk melindungi Adelia. Apa lagi hubungan mereka berdua sedikit merenggang dua tahun belakangan ini. Wisnu yang dulu begitu perhatian padanya perlahan-lahan mulai menjaga jarak dan sering bersikap dingin.
"Loh, Papa kenapa membela Adel? Bisa saja tuduhan Mama benar! Bagaimana tidak, Adel itu sudah dinyatakan sehat sejak tiga tahun lalu, tetapi mana hasilnya? NIHIL! NOL BESAR!" ucap Ratna marah.
Hariadi tampak enggan menanggapi celotehan istrinya, dia malah mengalihkan pandangan pada Wisnu dan berkata, "Wisnu, sepertinya saran Adelia benar. Coba saja kamu ikut memeriksakan diri ke dokter, Nak."
Wisnu tersentak dan langsung memperlihatkan mimik tersinggungnya. "Aku jelas baik-baik saja Pa!" kata pria itu tegas.
"Papa ini bagaimana sih, kok malah jadi menyuruh Wisnu ke dokter! Wisnu itu sehat, Pa! Dari riwayat keluarga kita saja sudah jelas ... beda dengan dengan keluarga Adel! Kakak pertama Adel saja butuh waktu delapan tahun untuk memiliki seorang anak, Pa! SEORANG!" Ratna turut membela putra kesayangannya tersebut.
Melihat keadaan yang semakin memanas, Adelia pun berusaha menghentikan mereka berdua. Dia tidak ingin pertengkaran lagi-lagi menghiasi keluarga ini.
"Aku yang akan ke dokter nanti, Ma. Jangan khawatir," ucap Adelia.
Ratna menatap Adelia tajam. "Lakukan kalau kamu masih ingin bersama Wisnu!"
Hati Adelia bergetar saat mendengar ancaman Ratna. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak menangis. Adelia mencoba meraih tangan kiri sang suami, tetapi pria itu malah menjauhkan tangannya.
Adelia menoleh ke arah Wisnu dan menatapnya dengan pandangan memelas, sedangkan Wisnu buru-buru memalingkan wajahnya seolah-olah tidak menyadari tatapan sang istri.
...**********...
"Adel, kamu datang sendirian lagi, Nak?" Seorang wanita berpakaian sederhana muncul dari dalam rumah. Beliau adalah Aini, ibu dari Adelia.
"Iya, Bu," jawab Adelia yang langsung masuk ke dalam rumah bersama Aini.
Di rumah sederhana ini lah Adelia lahir dan tumbuh besar. Wanita itu memang bukan berasal dari keluarga kaya, berbeda dengan Wisnu. Pertemuan keduanya terjadi ketika Wisnu satu kampus dengan Adelia yang merupakan adik kelasnya saat itu.
Paras Adelia yang cantik sontak menarik hati beberapa pria kakak tingkat, dan Wisnu lah yang jadi pemenangnya. Dua tahun setelah Adelia lulus, Wisnu memberanikan diri melamar wanita itu dengan seserahan mewah.
"Wisnu pasti sibuk sekali ya, Nak, sampai-sampai tidak pernah sempat datang berkunjung?" kata Aini sembari berjalan menuju dapur. Beliau rupanya sedang menyiapkan bekal makan siang untuk suaminya yang tengah berjaga. Keluarga mereka memang membuka usaha warung grosiran setelah sang ayah pensiun sebagai PNS di kantor kelurahan.
"Iya Bu, pulang saja selalu telat, tetapi Mas Wisnu menitipkan salam untuk Ibu dan Bapak," ujar Adelia.
Benarkah apa yang dia katakan? Tentu saja tidak sepenuhnya. Wisnu tidak pernah menitipkan salam apa pun untuk keluarganya. Jangankan salam, menanyakan perihal kesehatan Arwan, sang ayah, saat sakit beberapa hari lalu saja tidak.
Lalu soal pulang kantor, pria itu memang selalu telat akhir-akhir ini dan Adelia tidak ingin repot-repot menanyakan alasannya agar tidak menimbulkan percikan pertengkaran.
Aini mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sampaikan salam kami kembali kalau begitu."
"Iya Bu. Omong-omong, Mbak Dinda mana Bu?" tanya Adelia.
"Lagi mandiin Tiwi. Tadi sepulang sekolah tubuhnya basah semua karena habis main hujan-hujanan, sembari menunggu mbak-mu jemput." Rumah Dinda memang tepat bersebelahan dengan rumah orang tua mereka.
Adelia tertawa kecil. "Pasti Mbak Dinda ngomel-ngomel," kelakarnya.
"Tentu saja. Telinga Ibu sampai sakit mendengar teriakan mereka berdua!" Keduanya pun tertawa.
"Bundaaaaa!" Baru saja dibicarakan, sesosok gadis kecil berusia 8 tahun masuk ke dalam rumah sambil berlari.
"Tiwi, kata Mbah, kamu habis main hujan-hujanan? Nanti bisa sakit Sayang," ucap Adelia yang menerima pelukan brutal sang keponakan.
"Tiwi tidak gampang sakit kayak Mami!" cetus gadis tomboi itu seraya melirik ke arah ibunya yang baru masuk rumah.
Dinda mencibir. "Kamu sendirian, De?" tanyanya.
"Iya, Mbak. Mas Wisnu masih sibuk," jawab Adelia.
"Alaaah, sibuk terus! Dia kan punya banyak bawahan, masa tidak bisa meluangkan waktu sekali pun ke sini!" seru Dinda ketus. Dibandingkan dengan sang adik, Dinda memang memiliki sifat yang sedikit judes dan ceplas-ceplos.
Adelia hanya bisa meringis.
"Adel itu lebih tahu dari pada kamu, Din! Sudah, sekarang kalian bantu Ibu. Bapak pasti sudah menunggu."
Kedua wanita itu pun menurut. Mereka membantu sang ibu menyiapkan makan siang sembari sesekali bergurau.
Kesedihan Adelia pun sirna. Rumah dan keluarga memang satu-satunya tempat bagi wanita itu untuk menghilangkan segala kerisauannya.
"Jadi, gimana, gimana? Mertuamu masih suka nyinyirin kamu nggak, Del?" Dua kakak beradik itu saat ini tengah duduk di atas ranjang kamar milik Adelia semasa remaja dulu. Dinda lah yang menarik Adelia ke sana setelah mereka tiba kembali ke rumah dari mengantar makanan kepada sang ayah.
"Nggak kok, Mbak. Sikap mama sudah jauh lebih baik sekarang," jawab Adelia seraya memamerkan senyumannya.
Mendengar jawaban sang adik, Dinda langsung memicing. "Nggak perlu bohong sama Mbak, Del. Kamu mungkin bisa bohongin ibu sama bapak, tapi nggak ke Mbak. Kamu itu punya keluarga Del, jangan dipendam sendiri, minimal cerita ke Mbak biar hati tenang!"
Mata Adelia sontak berkaca-kaca. Dinda memang selalu menjadi tempatnya berkeluh-kesah dan bermanja. Usia mereka yang terpaut cukup jauh (sepuluh tahun) membuat Adelia seperti memiliki dua orang ibu.
"Kemarin mama memaksaku menggunakan testpack lagi Mbak, dan tadi pagi hasilnya negatif," kata Adelia lirih.
Dinda menghela napasnya. "Terus?" Mimik wajahnya sudah mulai berubah.
"Ya, seperti biasa ... tapi papa membelaku dengan menyuruh Mas Wisnu untuk ikut memeriksakan diri ke dokter," jawab Adelia.
"Lalu, suamimu mau?" tanyanya lagi.
Adelia menggeleng lemah. "Aku nggak bisa maksain mbak. Aku nggak mau hanya karena masalah ini hubungan kami jadi semakin memburuk. Biarlah semua kesalahan dilimpahkan padaku, toh bisa saja aku memang belum pulih benar." Adelia buru-buru menambahkan kalimatnya saat Dinda hendak mengeluarkan suara.
"Kamu itu jangan bodoh kenapa sih, Del! Jangan jadi wanita lemah! Sebisa mungkin kamu harus membawa Wisnu ke dokter, karena Mbak yakin sekali dia juga ikut bermasalah!" seru Dinda dengan raut wajah geram. Bila saja Adelia tidak terus membelanya, Dinda pasti sudah sejak dulu melabrak keluarga Wisnu.
Selama ini ayah dan ibu sama sekali tidak tahu soal perlakuan ibu mertua Adelia, Keduanya selalu menganggap bahwa rumah tangga mereka baik-baik saja. Bahkan ibu dan bapak menganggap Wisnu dan keluarga adalah orang baik karena sudah menerima kekurangan Adelia.
"Akan kuusahakan Mbak," ucap Adelia seraya menganggukkan kepala.
"Jangan cuma usaha doang, Del, kalau kesabaran Mbak sudah habis, Mbak nggak akan segan-segan datang ke rumahmu!" ancam Dinda.
"Jangan Mbak! Aku nggak mau ribut-ribut. Biarlah nanti akan kuusahakan meski tidak dalam waktu dekat ini," pinta Adelia sembari menggengam erat tangan Dinda.
Dinda hanya bisa mendengkus keras-keras. Wanita itu terkadang kesal dengan sifat Adelia yang cenderung lembut dan pemurah, berbeda sekali dengannya. Sifat ibu mereka benar-benar menurun pada sang adik.
...**********...
Tepat pukul tiga sore Adelia tiba di rumah. Ratna yang sedang asyik menonton tayangan televisi di ruang tamu, sontak mencibir saat melihat kepulangan sang menantu. "Enak betul disaat suami kerja kamu malah pergi kelayapan. Mentang-mentang ada pembantu bukan berarti kamu bisa seenaknya saja keluar masuk rumah ini dan mengabaikan tugas rumah, Adel!"
Adelia tertunduk lalu menghampiri Ratna untuk mencium tangannya. Namun, Ratna segera menampik tangan Adelia keras.
"Maaf, Ma, aku hanya berkunjung ke rumah ibu dan bapak, tidak ke mana-mana," jawab wanita itu lirih.
"Alaaaah, sama saja! Kamu itu sering sekali pergi meninggalkan rumah, memangnya tidak betah, hah? Kalau memang tidak betah lebih baik kamu tinggal di rumah orang tuamu saja sana, tapi jangan ajak-ajak Wisnu!" ketus Ratna.
Adelia terdiam. Berkali-kali dia mengucapkan kata penenang dalam hati agar tidak terpancing dengan perkataan menyakitkan Ratna.
"Maaf, Ma." Hanya itu sepatah kalimat yang bisa diucapkan Adelia.
"Maaf, maaf ... kamu itu bisanya apa sih, Del? Jadi istri tidak becus, jadi ibu tidak bisa! Apes betul Wisnu menikah denganmu!"
Jantung Adelia terasa diremas paksa, tatkala Ratna mengatakan hal demikian. Adelia berusaha menahan diri untuk tidak menangis di depan wanita itu.
"Ma, aku permisi dulu ya," ucap Adelia dengan suara pelan. Belum sempat sang mertua menjawab, wanita itu sudah meninggalkannya menuju lantai dua.
"Tuh, diajak bicara malah pergi begitu saja! Dasar menantu kurang ajar!" pekik Ratna seraya menatap punggung Adelian bengis.
Sesampainya di kamar, Adelia menyandarkan punggungnya di daun pintu. Dia membiarkan air mata turun membasahi pipinya.
Adelia benar-benar tidak tahan tinggal satu rumah dengan sang mertua. Jiwanya sangat tertekan. Ingin rasanya dia pindah dan hidup berdua saja dengan Wisnu.
...**********...
Wajah Adelia diliputi kebahagiaan, ketika mengetahui sang suami tercinta pulang ke rumah tepat waktu. Akan tetapi, wajah Wisnu terlihat sangat kusut seperti sedang memikirkan sesuatu yang rumit.
"Mas kenapa? Sejak pulang tadi, Mas jadi lebih pendiam, apa ada masalah di kantor?" tanya Adelia lembut seraya memijiti kaki sang suami. Keduanya kini sedang berada di dalam kamar mereka.
Bukannya menjawab, Wisnu malah sibuk memainkan ponselnya. Sesekali wajah pria itu terlihat gusar, terutama setiap dering ponselnya berbunyi.
Akhir-akhir ini Wisnu memang lebih banyak fokus dengan ponselnya. Dia yang tidak pernah sekali pun membawa ponsel ke mana-mana, sekarang bahkan menentengnya ke kamar mandi.
"Mas, ada yang mau aku bicarakan sama Mas, tapi aku minta Mas jangan marah ya?" Adelia kembali membuka suaranya. Namun, Wisnu lagi-lagi tidak menjawab.
Adelia mengerutkan keningnya dalam-dalam lalu bertanya, "Mas lagi chatting-an sama siapa?"
Wisnu diam saja. Hal tersebut membuat rasa penasaran Adelia semakin besar. Dengan penuh keberanian, Wanita itu akhirnya nekat beringsut mendekati Wisnu untuk ikut melihat ponsel pria itu. Namun, belum sempat dia melihat, Wisnu yang terkejut bergegas menyembunyikan ponsel itu di belakang tubuhnya..
"Hei, mau apa kamu lihat-lihat! Jangan kurang ajar kamu, Adel!" bentak Wisnu marah.
Adelia terkejut dan panik. "Ma maaf, Mas. Aku hanya penasaran sebab Mas sama sekali tidak menanggapi pertanyaanku sejak tadi," ucap Adelia ketakutan. Wanita itu tidak berani menatap mata tajam Wisnu.
Wisnu yang kesal segera mendorong Adel, hingga tubuhnya terlentang di atas tempat tidur. "Lancang sekali kamu, padahal sudah kubilang untuk jangan pernah coba-coba mengganggu atau mau tahu semua urusanku!" telunjuk pria itu menyentuh kening Adelia keras.
Adelia sontak meringis. Dia buru-buru terbangun dari posisinya saat Wisnu hendak beranjak dari sana. "Ma maaf, Mas, aku benar-benar minta maaf," katanya memohon sambil memegang erat tangan sang suami.
"Lepaskan, Bodoh!" hardik Wisnu seraya melepaskan kasar tangan Adelia.
"Mas mau ke mana?" tanya Adelia.
"Diam kamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adelia, Wisnu pergi meninggalkannya sendirian di kamar. suara bantingan pintu yang keras seolah memberi Adelia tanda sebesar apa kemarahan Wisnu.
Adelia mencengkeram dadanya yang kini terasa panas dan nyeri sambil terisak-isak.
Tepat pukul setengah tiga pagi Wisnu kembali masuk ke dalam kamarnya. Pria itu memandangi Adelia yang saat ini sudah tertidur pulas di ranjang tidur mereka. Jejak-jejak air mata yang di wajah sang istri pun masih jelas terlihat oleh Wisnu.
Wisnu menghela napas. Perlahan dia turut merebahkan diri di sebelah istrinya lalu sambil langit-langit kamar dengan pandangan yang sulit diartikan.
Jujur saja selama sepuluh tahun menikah, Wisnu hanya merasakan getaran-getar cinta pada Adelia di tiga tahun pertama saja. Dua tahun setelahnya dia mencoba mempertahankan perasaan itu dengan tetap menjadi suami idaman yang bisa dibanggakan. Namun, tepat setelah dokter menyatakan bahwa Adelia mengalami ketidaksuburan pada rahimnya, dan harus melakukan beberapa prosedur medis secara rutin (seperti meminum obat)selama berminggu-minggu, rasa itu perlahan menipis hingga akhirnya sirna.
Bagaimana tidak, sebagai pria yang lahir menjadi anak tunggal, keturunan merupakan hal yang paling penting di atas segalanya bagi Wisnu dan keluarga. Terutama untuk meneruskan usaha mereka. Akan tetapi, Adelia tidak bisa melakukan itu. Bahkan setelah tahun demi tahu berlalu dan dia dinyatakan sehat, Adelia tetap tak juga hamil.
Wisnu jelas kecewa. Impiannya untuk menjadi seorang ayah dan pria sempurna gagal karena salah dalam memilih wanita. Cinta yang dulu selalu berkobar dalam jiwanya mendadak padam.
Cintanya yang hilang membuat pria itu memilih untuk mencari wanita lain.
Sebagai pria tampan dan mapan tentu saja mudah bagi Wisnu untuk berpaling dari satu wanita ke wanita lainnya. Namun, sejak dua tahun terakhir dia melabuhkan pilihan pada seorang wanita muda berusia 23 tahun yang merupakan karyawan baru di kantornya. Usia mereka yang terpaut 13 tahun tidak menyurutkan perasaan Wisnu untuk tetap menjalin kasih dengan wanita itu.
Wisnu berhasil menyembunyikan hubungan gelapnya selama dua tahun. Akan tetapi, hubungan gelap tersebut terancam dibongkar oleh sang kekasih setelah diketahui bahwa wanita itu hamil anaknya.
Wisnu memang telah kehilangan perasaan cintanya terhadap Adelia, tetapi dia tak ingin melepaskan wanita itu hanya untuk menikahi sang kekasih. Entah mengapa, Wisnu lebih senang melihat Adelia menghamba dan terus mencintainya dari pada membebaskan.
Wisnu mengacak rambutnya pelan. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam pria itu pelan.
...***********...
"Makanan apa ini Del? Asin sekali!" seru Ratna ketika baru memasukkan sesendok nasi dan lauk yang dimasak sang menantu. Pagi ini Adelia berinisiatif untuk memasak sendiri sarapan pagi suami dan kedua mertuanya. Kendati tidak pandai memasak, tetapi Adelia cukup percaya diri melakukannya karena sering mendapat les pribadi dari sang kakak mau pun sang ibu.
Akan tetapi, kepercayaan diri Adelia sontak menguap kala Ratna menggunjingnya terang-terangan. Wanita berusia enam puluhan itu bahkan mengeluarkan makanannya lagi dan meminta asisten rumah tangga mereka untuk membuatkan makanan yang baru.
"Bukannya sudah Mama bilang berkali-kali untuk tidak ikut campur dalam urusan dapur, karena kamu tidak becus memasak Adelia!" hardik Ratna.
Adelia hanya bisa rertunduk. Tangannya yang semula memegang sendok makan kini terkulai di sisi tubuhnya.
"Lihat ini semua!" Ratna menunjuk satu persatu makanan yang terhidang di atas meja. "Semua ini tidak layak dimakan dan harus dibuang. Di mana otakmu, Adeeel!" pekik Ratna seraya berdiri.
Hariadi bergegas menenangkan Ratna dan memintanya untuk duduk kembali di kursi.
Ratna tentu saja menolak. Dia dengan kasar malah menepis tangan sang suami. Wanita itu terus saja mengoceh dan menghina Adelia sedemikian menyakitkan, sampai tiba-tiba Wisnu dengan keras meminta mereka semua untuk berhenti memulai pertengkaran.
"Wisnu, kamu berani membentak Mama!" pekik Ratna dengan wajah terkejut.
Wisnu menghela napas. "Mama sudah kelewatan pada Adelia. Dia memang tidak pandai memasak, tetapi dia masih mau berusaha menyenangkan hati Mama. Kalau pun Mama tidak menyukai masakannya, Mama bisa mengatakannya dengan bahasa yang lebih baik!" jawab Wisnu.
Ratna semakin terkejut. Tak hanya Ratna saja, Hariadi dan Adelia sendiri pun tidak menyangka Wisnu secara terang-terangan membela. Pasalnya pria itu tak pernah melakukan hal tersebut.
Mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari sang putra, Ratna pun membanting sendok makannya dan pergi meninggalkan meja makan. Adelia buru-buru hendak mengejar sang mertua, tetapi Wisnu langsung menahannya.
"Biarkan papa saja," ucap pria itu ketika melihat sang ayah pergi mengikuti istrinya.
Adelia menurut. Mereka pun kembali duduk. "Mas kenapa membelaku? Aku lah yang salah karena bersikeras untuk memasak, jadi seharusnya Mas biarkan Mama memarahiku," ujar wanita itu.
"Mama sekali-sekali harus diberi pengertian. Beliau tak bisa terus membencimu seperti itu," kata Wisnu.
Hati Adelia mengembang. Rasanya baru semalam dia menangis sesenggukkan karena dibentak Wisnu, tetapi pagi ini Wisnu menunjukkan sikap lain. Mungkin kah Wisnu melakukan ini sebagai wujud permintaan maafnya semalam? Entahlah, yang jelas apa pun alasannya Adelia tidak peduli asal sang suami bisa melihatnya lagi.
Mengambil kesempatan ini, Adelia pun akhirnya mengutarakan satu keinginan besar yang selama ini terpendam dalam hatinya. Dengan nada hati-hati Adelia meminta Wisnu untuk pindah rumah dan hidup berdua.
"Kamu tahu Del, Mas anak tunggal. Mas tidak bisa meninggalkan papa dan mama." Wisnu menatap Adelia tegas.
"Aku tahu, Mas. Oleh sebab itu, aku mencari tempat tinggal yang cocok untuk kita dan menemukannya tak jauh dari rumah. Kita masih bisa tetap bolak-balik ke sini." Adelia meraih tangan Wisnu dan menggenggamnya.
Wisnu terdiam. Perasaan risih hadir ketika sang istri memegang tangannya. Selama ini Wisnu memang selalu memaksakan diri melakukan kontak fisik dengan Adelia, termasuk hubungan mereka di kamar sebagai kewajiban saja, bukan cinta.
"Mas akan pikirkan." Hanya itu sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Wisnu. Pria itu pun meminta Adelia untuk melanjutkan sarapannya.
"Jangan dimakan Mas, nanti sakit perut!" sergah Adelia saat Wisnu hendak menyantap kembali makanannya.
Wisnu tidak peduli. Dia dengan santai menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulutnya.
Adelia menatap haru sang suami. Dalam hati ia berterima kasih karena pria itu mau membelanya.
Adelia pikir kehidupan rumah tangganya akan kembali membaik setelah melihat perubahan sikap Wisnu pagi tadi. Sebab, bagi wanita itu, meski seluruh dunia memusuhinya, tetapi bila Wisnu mau berdiri di depannya, itu semua sudah lebih dari cukup.
Akan tetapi harapan tinggal lah harapan. Kini Adelia tahu mengapa sikap pria itu berubah selama ini. Kini dia juga tahu apa yang membuat pria itu berubah peduli secara tiba-tiba tadi pagi.
Apa lagi kalau bukan hubungan gelap yang dia lakukan!
Adelia lagi-lagi berusaha menguatkan diri, kala wanita cantik berusia muda dengan percaya diri datang bertamu ke rumah mereka, dan mengaku sebagai kekasih Wisnu selama dua tahun terakhir. Namun, yang lebih membuat Adelia hancur adalah pengakuan wanita muda tersebut.
"Aku hamil anak Mas Wisnu, dan aku meminta pertanggungjawaban darinya!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!