NovelToon NovelToon

Wanita Lain Milik Suamiku

Bab 1. Adelia Cempaka Maharani.

Suasana sarapan pagi yang seharusnya bisa dilalui dalam damai, kini menjelma menjadi beban tak kasat mata bagi Adelia, wanita bersurai hitam yang baru saja menginjak usia tiga puluh empat. Pasalnya, Ratna, sang ibu mertua, kembali menorehkan luka, dengan menyinggung masalah yang menjadi momok bagi tiap pasangan, terutama wanita.

Apa lagi kalau bukan soal anak?

Adelia sesungguhnya mengerti pada kerinduan Ratna yang mendambakan seorang cucu di tengah-tengah keluarga mereka. Apalagi Wisnu, sang suami, adalah satu-satunya putra yang dimiliki keluarga tersebut. Namun, takdir berkata lain.

Selama lebih dari sepuluh tahun mengikat janji di pelaminan, rumah mereka masih tetap sunyi dari tangis ataupun tawa seorang anak.

Sejak usia pernikahan mereka yang ke-lima, Adelia sebenarnya sudah mulai rutin memeriksakan diri ke dokter. Sebab, nyatanya ia memang memiliki sedikit masalah.

Namun, Adelia kini telah dinyatakan sehat sepenuhnya.

Lalu, mengapa tak juga hadir kehidupan kecil dalam rahimnya? Adelia pun tak tahu.

Pernah suatu ketika, dengan segenap kelembutan yang tersisa, Adelia menyarankan Wisnu untuk turut memeriksakan diri. Barangkali masalah itu tidak hanya ada padanya.

Namun, saran itu ditolak mentah-mentah. Ia dihardik, dituduh, dituding sebagai istri yang berani menistakan kesempurnaan anak lelaki Ratna.

Sejak saat itu, Adelia pernah lagi membahasnya.

Dan kini, ia hanya bisa pasrah, menjadi sasaran empuk dari tiap tatapan penuh curiga dan tiap kata yang dilontarkan dengan nada getir.

Tinggal terpisah pun menjadi mustahil. Ratna tak pernah mengizinkan Wisnu meninggalkan rumah, beralasan bahwa anak tunggal tak pantas menjauh dari orang tua.

“Jadi, hasilnya negatif lagi?” Ratna membuka percakapan pagi itu dengan nada tinggi, nyaris seperti interogasi.

Adelia menunduk, menyembunyikan luka di balik diam, tanpa mampu berucap.

“Kamu ini gimana, sih, Del? Katanya kondisimu sudah membaik, tapi, kok, hasilnya tetap saja nihil!”

Adelia merapatkan bibirnya, saat Ratna dengan pandangan mata tajam, menyalahkan kegagalannya lagi secara tidak langsung. Makanan lezat yang tersaji di depannya pun, kini terasa hambar.

"Kamu benaran sudah sembuh, kan, Del?" Wanita itu sekali lagi menekan Adelia.

Adelia perlahan mengangkat kepalanya, lalu mengangguk samar. "Sudah Ma. Kata dokter, aku sudah sehat. Mama juga sudah pernah melihat laporannya, kan?"

Ratna sontak menatap sinis sang menantu satu-satunya itu. "Alaaah, jangan-jangan kamu bohong ya? Jangan-jangan kamu memanipulasi laporan kesehatan itu! Iya, kan?" tudingnya tak berperasaan.

Adelia sontak terbelalak. Luka di hatinya semakin menganga. "Ya Allah, tidak, Ma! Adel tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu!" jawab wanita itu tegas. Mencoba mempertahankan harga dirinya yang lagi-lagi dicoreng oleh sang mertua.

"Ma, jangan menuduh sembarangan!" Hariadi, sang ayah mertua, kini turut membuka suaranya. Di antara mereka bertiga, hanya beliau lah yang memang lebih sering membela Adelia, meski tetap saja ujung-ujungnya akan selalu kalah dengan argumen sang istri.

Sementara Wisnu, tidak pernah sekali pun melakukan pembelaan untuk melindungi Adelia. Terlebih, hubungan mereka berdua memang agak merenggang sejak dua tahun belakangan.

Wisnu yang dulu begitu perhatian padanya perlahan-lahan mulai menjaga jarak dan sering bersikap dingin.

"Loh, Papa kenapa membela Adel? Bisa saja tuduhan Mama benar! Katanya sudah sehat, tapi mana hasilnya? NIHIL! NOL BESAR!" seru Ratna marah.

Hariadi tampak enggan menanggapi celotehan sang istri, lalu mengalihkan pandangan pada Wisnu dan berkata, "Wisnu, sepertinya saran Adelia benar. Coba saja kamu ikut memeriksakan diri ke dokter, Nak."

Wisnu tersentak dan langsung memperlihatkan mimik tersinggungnya. "Aku jelas baik-baik saja, Pa!" kata pria itu tegas.

"Papa ini bagaimana, sih? Wisnu itu sehat! Riwayat keluarga kita pun bersih dari masalah semacam itu! Tidak seperti keluarga Adel, yang kakak kandungnya saja butuh delapan tahun untuk punya anak. Delapan tahun, Pa!”

Situasi di meja makan itu mulai memanas. Adelia yang menjadi topik utama, mencoba memadamkan percikan tersebut. Ia tak ingin pertengkaran ini semakin berlarut, hanya karena sang ayah mertua membela dirinya.

“Aku akan ke dokter lagi, Ma. Jangan khawatir,” janji terucap dari mulut Adelia pelan.

Ratna mengalihkan pandangannya pada Adelia, dan berkata, "lakukan, kalau kamu masih mau bersama Wisnu!”

Ucapan itu menghunjam jantung Adelia sekita. Ia menahan airmatanya sekuat tenaga, mencoba meraih tangan sang suami sebagai bentuk mohon pengertian. Namun, Wisnu menepis pelan. Tak ingin disentuh. Tak ingin turut campur, seolah itu adalah masalah Adelia sendiri.

Mendung sekali lagi menyelimuti wanita itu.

...**********...

“Loh, Del, kamu datang sendirian lagi, Nak?” Aini, ibu kandung Adelia, muncul dari balik pintu dengan senyum lembut yang menyimpan ribuan doa.

“Iya, Bu,” jawab Adelia sembari melangkah masuk ke dalam rumah masa kecilnya yang penuh kenangan.

Di rumah sederhana inilah Adelia tumbuh, dengan cinta, kesabaran, dan segala kekurangan yang tak pernah dijadikan alasan untuk berhenti bahagia.

Wanita itu memang bukan berasal dari keluarga kaya raya, berbanding terbalik dengan Wisnu. Pertemuan keduanya terjadi saat masih sama-sama mengenyam bangku kuliah, dan Adelia menjadi adik kelasnya.

Paras Adelia yang cantik dan menenangkan sontak menarik hati beberapa pria kakak tingkatnya. Terutama Wisnu. Dan Wisnu keluar sebagai pemenang hatinya

Setelah lulus kuliah, Wisnu memberanikan diri melamar wanita itu dengan berbagai seserahan mewah.

"Wisnu pasti sibuk sekali, sampai-sampai tidak pernah sempat datang berkunjung?" kata Aini sembari berjalan menuju dapurnya yang sederhana dan beraroma lembut. Aroma yang selalu dirindukan Adelia.

Beliau rupanya sedang menyiapkan bekal makan siang untuk suaminya yang tengah berjaga di warung grosiran milik mereka. Setelah pensiun dari PNS, sang ayah membuka sebuah warung grosiran demi menyibukkan diri.

"Iya Bu, pulang saja selalu telat. Tapi, Mas Wisnu menitipkan salam untuk Ibu dan Bapak," ujar Adelia penuh dusta. Sebuah kebohongan kecil yang sengaja ia jaga, demi mempertahankan harga diri pada rumah tangganya, agar tetap utuh di depan keluarganya.

Aini mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sampaikan salam kami juga, ya, Del? Terutama pada kedua mertuamu."

"Iya Bu," balas Adelia lirih. "Omong-omong, Mbak Dinda mana, Bu?" ujar gadis itu guna mengalihkan pembicaraan.

"Lagi mandiin Tiwi. Tadi, sepulang sekolah, sambil nunggu mbakmu, dia main hujan-hujanan."

Adelia tersenyum kecil. Keponakannya itu memang selalu memiliki energi lebih, seolah tenaganya tak pernah habis. "Pasti Mbak Dinda ngomel-ngomel," kelakarnya.

"Tentu saja. Telinga Ibu sampai sakit mendengar teriakan mereka berdua!" Keduanya pun tertawa.

"Bundaaaaa!" Baru saja dibicarakan, sesosok gadis kecil berusia 8 tahun masuk ke dalam rumah sambil berlari. Penampilannya sudah cantik dan wangi, khas anak-anak.

"Tiwi, kata Mbah, kamu habis main hujan-hujanan, ya? Nanti bisa sakit, Sayang," ucap Adelia yang menerima pelukan brutal sang keponakan.

"Tiwi tidak gampang sakit kayak Mami!" cetus gadis tomboi itu seraya melirik ke arah ibunya yang juga ikut masuk ke rumah.

Dinda mencibir. "Kamu sendirian lagi, De?" tanyanya.

"Iya, Mbak. Mas Wisnu masih sibuk," jawab Adelia.

"Alaaah, sibuk terus! Dia kan punya banyak bawahan, masa nggak bisa luangin waktu sekali pun ke sini!" seru Dinda ketus.

Dibandingkan dengan sang adik, Dinda memang memiliki sifat yang sedikit judes dan ceplas-ceplos.

Adelia hanya bisa meringis.

"Adel itu lebih tahu daripada kamu, Din! Sudah, sekarang kalian bantu Ibu. Kasihan, Bapak, pasti sudah nungguin."

Kedua wanita itu pun menurut. Mereka membantu sang ibu menyiapkan makan siang, sembari sesekali melempar candaan hangat yang selalu Adelia rindukan.

Dunia Adelia terasa ringan sesaat. Adelia seperti menemukan kembali dirinya yang biasa. Dirinya yang telah lama bersembunyi, sejak mengikrarkan janji suci dengan Wisnu.

Satu hal yang Adelia sadari adalah, bahwa rumah dan keluarga memang satu-satunya tempat untuk menghilangkan segala kerisauan dan pahitnya jalan hidup.

Bab 2. Perlakuan Wisnu.

“Jadi, gimana, gimana? Mertuamu masih suka nyinyirin kamu nggak, Del?”Dua kakak beradik itu kini duduk di atas ranjang kamar Adelia semasa remaja. Dinda lah yang menarik sang adik ke ruangan itu, setelah mereka kembali dari mengantar makanan untuk sang ayah.

“Tidak, kok, Mbak. Sikap Mama sudah jauh lebih baik sekarang,” dusta Adelia, mencoba tersenyum meski terasa dipaksakan.

Dinda langsung memicingkan matanya. Mematri kecurigaan pada sang adik yang telah hidup senadi dengannya. “Jangan bohong sama Mbak, Del. Kamu mungkin bisa menipu ibu sama bapak, tapi nggak dengan Mbak. Kamu itu punya keluarga, Del. Jangan dipendam sendiri. Cerita ... seenggaknya biar hatimu lebih tenang.”

Mata Adelia berkaca-kaca. Dinda memang selalu menjadi pelabuhan tempatnya menepi. Kegundahannya selalu bisa ia tumpahkan padanya. Selisih usia sepuluh tahun membuat Adelia merasa terasa seperti memiliki dua orang ibu.

“Kemarin Mama memaksaku pakai testpack lagi, Mbak, dan hasilnya masih negatif,” lirih Adelia.

Dinda menghela napas. “Lalu?”

“Seperti biasa, Mama marah-marah. Tapi Papa membelaku. Beliau menyuruh Mas Wisnu ikut periksa ke dokter,” jawab Adelia pelan.

“Dan suamimu mau?” Dinda menatapnya lekat

Adelia menggeleng lemah. "Aku tidak bisa memaksa, Mbak. Aku tidak mau, hanya karena masalah ini hubungan kami jadi semakin memburuk. Biarlah semua kesalahan dilimpahkan padaku, toh bisa saja aku memang belum pulih benar."

Adelia buru-buru menyematkan kalimat terakhirnya, saat Dinda hendak mengeluarkan suara.

"Kamu itu jangan bodoh kenapa, sih, Del! Jangan jadi wanita lemah! Sebisa mungkin kamu harus menyeret Wisnu ke dokter, karena Mbak yakin banget dia juga ikut bermasalah!" seru Dinda dengan raut wajah geram.

Bila saja Adelia tidak terus membelanya, Dinda pasti sudah sejak dulu melabrak keluarga Wisnu, terutama ibu mertuanya yang seperti nenek lampir itu.

Selama ini ayah dan ibu memang tidak tahu soal perlakuan ibu mertua Adelia. Mereka selalu menganggap rumah tangga tangga si bungus baik-baik saja.

Bahkan, ibu dan bapak menganggap keluarga Wisnu sangat baik, karena telah sudi menerima kekurangan Adelia.

"Akan kuusahakan Mbak," ucap Adelia seraya menganggukkan kepala.

"Jangan cuma usaha doang, Del! Kalau kesabaran Mbak sudah habis, Mbak nggak akan segan-segan datang ke rumahmu, loh!" ancam Dinda.

"Jangan, Mbak! Aku nggak mau ribut-ribut. Biarlah, nanti akan kuusahakan meski tidak dalam waktu dekat ini," pinta Adelia sembari menggengam erat tangan Dinda.

Dinda hanya bisa mendengkus keras-keras. Wanita itu terkadang kesal dengan sifat Adelia yang cenderung lembut dan pemurah. Berbeda sekali dengannya. Sifat ibu mereka benar-benar menurun pada sang adik.

...**********...

Tepat pukul tiga sore Adelia tiba di rumah. Ratna yang sedang asyik menonton tayangan televisi di ruang tamu, sontak mencibir saat melihat kepulangan sang menantu.

"Enak betul, disaat suami kerja, kamu malah pergi keluyuran! Mentang-mentang ada pembantu, bukan berarti kamu bisa seenaknya saja keluar masuk rumah ini, dan mengabaikan tugas rumah, Del!"

Adelia menunduk, lalu menghampiri Ratna untuk mencium tangannya. Namun, tangan itu ditepis kasar oleh Ratna.

“Maaf, Ma. Tadi aku hanya berkunjung ke rumah ibu dan bapak," jawabnya memberi alasan.

“Alaaah, sama saja! Kamu itu sering sekali pergi dari rumah! Nggak betah, apa? Kalau nggak betah, sana balik aja ke rumah orang tuamu sendirian, jangan balik-balik lagi ke sini!"

Adelia hanya diam, saat sang mertua lagi-lagi melontarkan kalimat menyakitkan untuknya. Ia berkali-kali membisikkan mantra ketenangan dalam hati, agar tak terpancing emosi.

“Maaf, Ma,” katanya lirih.

“Maaf, maaf ... itu saja yang bisa kamu ucapkan! Jadi istri nggak becus, jadi ibu juga gagal! Apes betul Wisnu menikah dengan kamu!”

Jantung Adelia terasa diremas paksa, tatkala Ratna mengatakan hal demikian. Ia berusaha menahan diri untuk tidak menangis di depan wanita itu.

"Ma, aku permisi dulu ya," ucap Adelia dengan suara pelan, sambil berlalu meninggalkan sang mertua.

"Tuh, kan, diajak bicara malah pergi begitu saja! Dasar menantu kurang ajar!" pekik Ratna seraya menatap punggung Adelian bengis.

Sesampainya di kamar, Adelia menyandarkan punggungnya di daun pintu, dan membiarkan airmata turun membasahi pipi wanita itu.

Adelia benar-benar tidak tahan tinggal satu rumah dengan sang mertua. Jiwanya sangat tertekan. Ingin rasanya ia pindah dan hidup berdua saja dengan Wisnu. Namun, pria itu tak pernah sudi meninggalkan tempat ini.

...**********...

Adelia sempat merasa lega saat melihat kepulangan suaminya tepat waktu. Namun, Wisnu pulang dalam keadaan kusut dan tidak bersemangat, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.

“Mas, kenapa? Dari tadi Mas kelihatan murung. Ada masalah di kantor?” tanya Adelia sambil memijit kaki suaminya dengan lembut.

Bukannya menjawab, Wisnu malah terlihat sibuk memainkan ponselnya. Sesekali wajah pria itu tampak gusar, terutama saat dering ponselnya berbunyi tiap beberapa waktu.

Akhi-akhir ini, Wisnu memang lebih banyak fokus dengan ponselnya. Ia bahkan tak pernah melepaskan benda itu, dan selalu membawanya ke manapun.

Adelia menatap ragu Wisnu. Intensitasnya yang berlebihan terhadap ponsel, membuat Adelia tak kuasa bertanya.“Mas sedang chatting sama siapa?”

Wisnu bungkam. Ia mengabaikan pertanyaan istrinya.

Hal tersebut tentu membuat rasa penasaran Adelia timbul. Dengan penuh keberanian, wanita itu mendekati Wisnu untuk ikut melihat ponselnya.

Namun, belum sempat wanita itu melihat, Wisnu yang terkejut dan bergegas menyembunyikan ponsel itu di belakang tubuhnya.

"Mau apa kamu? Lihat apa? Jangan kurang ajar kamu, Adel!" bentak Wisnu marah.

Adelia terkejut dan panik. "Ma—maaf, Mas. Aku hanya penasaran karena Mas sama sekali tidak menanggapi pertanyaanku tadi," ucap Adelia ketakutan. Wanita itu tidak berani menatap mata tajam Wisnu.

Wisnu yang kesal segera mendorong Adel, hingga tubuhnya terlentang di atas tempat tidur. "Lancang sekali kamu, padahal sudah kubilang untuk jangan coba-coba mengganggu dan ikut campur urusanku!" Telunjuk pria itu menyentuh kening Adelia keras.

Adelia sontak meringis. Ia buru-buru terbangun dari posisinya, saat Wisnu hendak beranjak dari sana. "Ma—maaf, Mas, aku benar-benar minta maaf," katanya memohon,bsambil memegang erat tangan sang suami.

"Lepaskan, Bodoh!" hardik Wisnu seraya melepaskan kasar tangan Adelia dan pergi meninggalkannya.

"Mas mau ke mana?" tanya Adelia.

"Diam, kamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adelia, Wisnu membantung pintu kamar mereka dengan keras, seolah memberi Adelia tanda akan amarah Wisnu yang membuncah.

Di lain sisi, Adelia mencengkeram dadanya yang kini terasa panas dan nyeri, sambil terisak-isak.

Bab 3. Fakta menyakitkan.

Tepat pukul setengah tiga pagi, Wisnu kembali masuk ke dalam kamarnya. Di sana, dalam balutan cahaya lampu temaram, Adelia terbaring pulas di ranjang mereka dengan wajah damai. Namun, di balik kedamaian itu, tersisa jejak-jejak airmata yang telah mengering di pipi.

Wisnu menarik napas panjang. Dengan gerakan perlahan, ia merebahkan diri di sisi istrinya, lalu menatap langit-langit kamar yang gelap dengan pandangan yang sulit diartikan.

Jujur saja, selama sepuluh tahun menikah, Wisnu hanya merasakan getaran-getar cinta pada Adelia di tiga tahun pertama. Dua tahun setelahnya ia mencoba mempertahankan perasaan itu dengan tetap menjadi suami idaman yang bisa dibanggakan.

Namun, tepat setelah dokter menyatakan, bahwa Adelia mengalami ketidaksuburan dan harus melakukan beberapa prosedur medis secara rutin, rasa itu perlahan menipis hingga akhirnya sirna.

Bagaimana tidak, sebagai pria yang lahir menjadi anak tunggal, memiliki keturunan adalah segalanya. Ia dididik untuk menjadi penerus, pilar yang akan menguatkan fondasi keluarga dan usaha yang telah dirintis turun-temurun.

Namun, Adelia, istri yang dinikahinya ternyata tak mampu memberikan seorang anak. Bahkan setelah bertahun-tahun dilalui, dalam hasil medis yang sehat, rahimnya tetap saja hampa.

Kekecewaan jelas terpancar dari diri Wisnu. Impiannya untuk menjadi seorang ayah, dan pria sempurna gagal karena salah dalam memilih wanita.

Cinta yang dulu selalu berkobar dalam jiwanya mendadak padam. Cintanya yang hilang membuat pria itu memilih untuk mencari wanita lain.

Sebagai pria tampan dan mapan, bukan hal sulit baginya untuk menarik perhatian lawan jenis. Namun, sejak dua tahun terakhir, ia melabuhkan pilihannya pada seorang wanita muda berusia dua puluh tiga tahun, yang merupakan karyawannya sendiri.

Di mata Wisnu, sosok gadis itu sangat berbeda dan sangat menarik. Perbedaan usia tiga belas tahun pun tak cukup untuk meredam hasrat dan keinginan Wisnu, agar bisa menjalin hubungan terlarang bersamanya.

Dua tahun ia sembunyikan semuanya rapat-rapat. Namun, kini, rahasia itu terancam pecah. Sang kekasih datang membawa kabar kehamilan, dan menuntut tanggung jawab.

Meski Wisnu telah mengubur cintanya pada Adelia, tapi ia tetap tak sanggup melepaskannya.

Adelia adalah bentuk perjuangannya di masa lalu. Wanita itu patut dipertahankan dengan semestinya.

Wisnu mengacak rambutnya frustrasi. 'Apa yang harus kulakukan?" gumam pria itu dengan suara rendah, nyaris berbisik.

***********

Pagi itu, Adelia turun lebih awal dari biasanya. Dengan harap-harap cemas, ia menyiapkan sarapan untuk sang suami dan kedua mertuanya.

Meski tidak mahir memasak, ia tetap mencoba. memenangkan hati sang mertua, demi membuktikan diri, bahwa ia masih layak bersanding dengan pria itu.

Namun, harapan itu runtuh seketika.

"Makanan apa ini, Del? Asin sekali!" seru Ratna ketika baru memasukkan sesendok nasi dan lauk yang dimasak sang menantu.

Lagi-lagi hati Adelia dihancurkan. Kepercayaan diri yang ia bangun sejak saat memasak sontak menguap. Ratna menggunjingnya terang-terangan. Wanita berusia enam puluhan itu bahkan langsung meminta asisten rumah tangga mereka untuk membuatkan makanan yang baru.

"Bukannya sudah Mama bilang berkali-kali untuk tidak ikut campur dalam urusan dapur? Kamu itu tidak becus memasak Adelia!" hardik Ratna.

Adelia hanya bisa tertunduk. Tangannya yang semula memegang sendok makan kini terkulai di sisi tubuhnya.

"Semua makanan jadi tak layak dimakan dan harus dibuang. Di mana otakmu, Adeeel? Kamu pikir cari uang itu gampang!" pekik Ratna seraya berdiri.

Hariadi mencoba menenangkan Ratna dan memintanya untuk duduk kembali di kursi.

Ratna tentu saja menolak. Ia dengan kasar malah menepis tangan sang suami. Wanita itu terus saja mengoceh dan menghina Adelia dengan segala kata-kata menyakitkan, sampai tiba-tiba Wisnu dengan keras meminta sang ibu untuk diam.

"Wisnu, kamu berani membentak Mama!" pekik Ratna dengan wajah terkejut.

Wisnu menghela napas. "Mama sudah kelewatan kali ini. Adelia memang tidak pandai memasak, tapi dia masih mau berusaha menyenangkan hati Mama. Kalau pun Mama tidak menyukai masakannya, Mama bisa mengatakannya dengan bahasa yang lebih baik!" jawab Wisnu.

Ruangan sunyi seketika. Tak hanya Ratna yang terkejut, Adelia pun tak percaya, sebab ini adalah pertama kalinya Wisnu membela. Sebuah hal kecil yang terasa besar bagi seorang istri yang hanya ingin diakui.

Ratna yang syok dengan tingkah sang putra lalu membanting sendok dan pergi dengan marah. Adelia refleks hendak menyusul, tapi Wisnu menahannya. "Biar Papa saja."

Mereka kembali duduk. Hening sesaat, lalu Adelia memberanikan diri bertanya, "Kenapa Mas membelaku? Kan, memang aku yang salah," ucapnya lirih.

"Mama sekali-sekali harus diberi pengertian. Beliau tak bisa terus membencimu seperti itu," jawab Wisnu.

Hati Adelia mengembang. Padahal, baru semalam ia menangis sesenggukkan karena dibentak Wisnu. Namun, pagi ini, Wisnu sudah menunjukkan sikap lain. Pria itu berubah.

Mungkin Wisnu melakukan ini sebagai wujud permintaan maafnya semalam, dan Adelia tidak mempermasalahkan itu. Yang jelas Adelia bisa mendapat perlindungan dari suami, seperti yang selama ini ia harapkan.

Dalam kesempatan ini, Adelia akhirnya mengutarakan satu keinginan besar yang selama ini terpendam dalam hatinya. Dengan nada hati-hati, wanita itu meminta Wisnu untuk pindah rumah dan hidup berdua saja.

"Kamu tahu Del, Mas anak tunggal. Mas tidak bisa meninggalkan papa dan mama." Wisnu menatap Adelia tegas.

"Aku tahu, Mas. Makanya aku cari tempat tinggal yang cocok untuk kita dan tak jauh dari rumah. Kita masih bisa tetap bolak-balik ke sini." Adelia meraih tangan Wisnu dan menggenggamnya.

Wisnu terdiam. Perasaan risih hadir ketika sang istri memegang tangannya. Selama ini Wisnu memang selalu memaksakan diri melakukan kontak fisik dengan Adelia, termasuk hubungan mereka di kamar yang baginya tak lebih dari sekadar nafkah batin saja, bukan cinta.

"Mas akan pikirkan." Hanya itu sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Wisnu. Pria itu pun meminta Adelia untuk melanjutkan sarapannya.

"Jangan dimakan Mas, nanti sakit perut!" sergah Adelia, saat Wisnu hendak menyantap kembali makanannya.

Wisnu tidak peduli. Ia dengan santai menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulutnya.

Adelia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Meski kecil, pembelaan tadi terasa besar baginya. Adelia merasa bahwa cinta masih ada di antara mereka. Harapannya untuk selalu bersama semakin besar.

Namun, sayangnya, harapan itu segera hancur. Kini, Adelia menyadari, bahwa perubahan sikap yang ditunjukkan pria itu semata-mata hanya untuk menutupi drama bejat yang selama dua tahun ia sembunyikan. Drama yang semakin menambah keretakan dalam rumah tangganya.

"Aku hamil anak Mas Wisnu, dan aku menuntut pertanggungjawaban darinya!"

Dunia Adelia runtuh seketika. Luka yang ia selalu tambal selama bertahun-tahun, akhirnya berdarah lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!