NovelToon NovelToon

PRIA Di Toko Bunga

Penopang Harap

Hai, perkenalkan namaku Evlyn Cassandra Dewi, sejak kecil aku sudah tinggal beedua bersama seorang kakak laki-laki, Rehan Syaputra namanya. Dari kecil aku sudah tinggal berdua dengan Bang Rehan. Jadi cerita bagimana akhirnya bisa tinggal berdua dengan kakak lelakiku itu karena keluarga kami yang broken home. Orang tuaku memutuskan buat bercerai, yang ending akhirnya aku harus ikut Papa, dan Bang Rey ikut Mama.

Aku adalah anak yang paling manja, dan sedari kecil selalu ikut Bang Rey kemanapun dia pergi. Jadi, Abangku adalah seseorang yang paling tidak bisa jika melihat aku sedih, hingga akhirnya aku dibawa ikut dia. Jadi, jika kamu bertanya, kenapa orang tua kami tidak mencari kita berdua? Aku juga tidak tahu, mungkin mereka sudah tidak begitu peduli pada kita berdua, tapi aku bersyukur memiliki kakak yang seperti kakakku. Bayangkan saja, di usianya yang cukup muda, dia bisa mengurusku tanpa keluhan apa-apa.

Oh iya! Satu hal lagi, kakaku itu resek, menyebalkan, tapi dia care, juga pastinya sangat menyayangiku, dia selalu tampil didepan buat ?mellindungiku, dari gangguan anak nakal lainnya, dan Itu terjadi ketika 15 tahun yang lalu.

“Dek, gimana naskahnya, keterima gak?!.” tanya Bang Rey.

“Gak, Bang. Malah katanya naskahku hancur,” jawabku santai.

“Haha, Aku bilang juga apa dek! Mending gak usah lanjutin,” ejek Bang Rey.

“Apaan sih, Bang, gak lucu tahu,” balasku ketus.

“Terus, kamu gimana sekarang?.”

“Ya aku down-lah, Bang,” jawabku sambil tiduran di meja.

“Yaudah deh, siap-siap sana. Aku mau ngajak kamu jalan. Biar Lo gak malas trus mukanya kayak kucing gitu,” ajak Bang Rehan.

“Eh, apaan sih, Bang,” pekikku, sementara Bang Rehan langsung menarik tanganku mengajak beranjak.

“Iyadeh, aku siap-siap dulu.”    

“Yaudah, aku tunggu kamu didepan aja.”

Bang Rehan ternyata mengajak aku ke mall, itu Abang tahu aja, adeknya yang cantik ini suka belanja. Dalam perjalanan menuju ke mall, aku memeluk Bang Rehan. Buat orang yang tidak tahu, aku dan Bang Rehan Kakak-adek pasti mikirnya kita pacaran.

Setelah selesai belanja, aku dan Bang Rehan memutuskan buat pulang ke rumah. Nah, tahu sendirikan yang namanya pusat perbelanjaan itu selalu ramai. Pada saat kami akan pulang, kami melihat sekumpulan cewek-cewek hitz berjalan melewati kami.

“Eh, Dek, liat tuh cewek, cantik amat!.” kata Bang Reyhan. Sementara aku hanya mendengarnya malas, dan aku memutar mataku bosan.

“Dek, aku mau cari istri,” kata Bang Rey tiba-tiba, sontak membuatku kaget.

“Ih, apaan sih Bang,” kataku memelas.

“Biar ada istri yang ngurusin gue,” sahutnya meyakinkan.

“Loh, aku kan rajin, Bang, kadang aku nyuciin baju lo.”

“Iyaa, tapi lebih sering gue yang nyuci, baju lo juga,” ucap Bang Rehan malas.

“Makanya aku bilang, “kadang”  Bang!. Haha.” kataku sambil nyengir tidak jelas.

“Dasar, Adek gila,” umpat Bang Rehan menarik hidungku gemas.

~~~                                                               

Hari ini aku pergi sekolah bareng Bang Rehan. Kami satu sekolahan, Hanya beda kelas. Bang Rehan kelas tiga SMA, sementara aku masih kelas 2, kami selisih satu tahun saja, sebab itu kami akrab. Ah, kami memang harus akrab, bukan?. Karena kami saudaraan, dan aku adik satu-satunya. Kami sekolah di SMA ternama dijakarta. Sesampainya disekolah, seseorang menghampiriku. Lelaki yang kukenal beberapa hari yang lalu, Iqbal Syafikra namanya.

“Hai, Lin! Mau ke kelas, ya? barengan yuk!.” kata Iqbal. Aku hanya terdiam melirik kearah Bang Rey, Bang Rey yang sengaja berjalan dibelakang aku pun menghampiri kami.

“Ngapain Lo gangguin cewek gue.!” ujar Bang Rey sok cool. Aku yang mendengarnya sedikit tidak terima. What? Ceweknya, sontak membuatku terkejut sekaligus kesal, tapi aku hanya diam saja menatap wajah Iqbal.

“Jadi, Lo udah punya pacar yah, Lin! Oh sorry, gue gak tahu,” ucap Iqbal padaku. Iqbal yang tidak mengetahui aku dan Bang Rey adalah saudara, lantas bergegas pergi menjauh dengan kesalnya. Bang Rey pun hanya tertawa geli.

“Abang apa-apaan sih! Iqbal kan cuma mau nganterin gue,” protesku kesal pada Bang Rey.

“Belain, nih!.” kata Bang Rey sambil mengacak rambutku.

“Ih, Abang apaan sih! berantakan nih rambutku,” ucapku kesal pada Bang Rey, sementara ia hanya tersenyum.

“Aku gak mau ada yang gangguin Kamu! Nanti aku gak ada teman jomblo,” urai Bang Reyhan kembali mengacak rambutku, lalu pergi berlalu ke hadapan teman-temannya.

“Abaaang,..!.” pekikku kesal pada Bang Rey. Dia hanya tertawa sambil melambaikan tangannya. Dasar Abang resek, jeritku.

~~~                                                            

Iqbal adalah seorang lelaki yang dikagumi oleh para gadis dan memiliki fans club karena ketenarannya. Oh iya, satu lagi Iqbal itu kelas 2A sementara aku kelas 2B. Jadi, kelas kami sampingan. Selain itu Iqbal adalah sepupu dari sahabatku, Rara Auderia Putri.

Kata sahabatku yang kebetulan satu ruangan dengan Iqbal, Iqbal itu menyukaiku dan sedang mengincarku. Aku hanya mendengarkan dan mengiyakan penjelasan panjang lebarnya, yang sebenarnya tidak kumengerti. Bagaimana mungkin dia menyukaiku, itu tidak masuk akal sekali, kami hanya kenal baru-baru ini. Ehem, tapi setelah kejadian itu, dia tampak cuek dan acuh padaku, namun, aku membiarkannya saja, lagi pula aku juga tidak menyukainya.

“Lin,” panggil Rara sambil menepuk pundakku. Rara adalah gadis yang kuceritakan, tepat! Dia satu ruangan dengan Iqbal.

“Hei, Ra,” balasku menyapanya. Seperti biasa kami berdua menuju ke kantin. Setelah memesan, kami pun duduk sambil menunggu pesanan.

“Lin, kenapa gitu, cowok, Lo?.” tanya Rara sambil melirik Iqbal yang kebetulan sedang duduk dimeja yang tidak terlalu berjauhan dengan meja kami.

“Tahu ah,” jawabku santai.

“Cieee, yang udah mulai nih,” ucap Rara dengan mengedipkan matanya.

“Hush, apaan sih, Lo.” kami bercerita panjang lebar. Sampai akhirnya aku menceritakan kejadian yang kemarin. Rara tampak senang, karena dia yang paling ingin aku jadian dengan Iqbal, yang merupakan sepupunya sendiri. Kami pun pergi ke kelas, karena bel masuk sudah berbunyi.

~~~                                                            

“Hei, Bal,” sapa Rara.

“Hei juga, Ra,” balasku cuek.

“Lo kenapa sih?, kayak siput tuh muka, galau nih yee.”

“Lo, sih, udah tahu Evlin punya cowok, masih aja, males gue,” ucapku memutar mataku bosan.

“Hahaha, jadi, Lo percaya, itu tuh Abangnya lagi!.” pekik Rara sambil tertawa.

“Serius Lo, Ra?.” tanyaku antusias.

“Dua rius malah,” sahut Rara meyakinkan.

“Jadi, Evlyn belum punya pacar gitu?.” tanyaku penasaran.

“Iya, Bal, belum. ya Allah!.”

“Thanks, ya, Ra,” kataku berlalu pergi dengan semangatnya. aku dengar kata Rara, yang heran melihatku. Aku segera berlalu dan mencari Evlyn. Akhirnya aku melihatnya ada di taman belakang sekolah. Aku menghampirinya, sepertinya dia terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

“Thanks, ya, Lyn,” ucapku tiba-tiba, dia menatapku bingung.

“Kenapa sih, Lo, datang-datang maen terima kasih aja,” ucapnya bingung. Sedangkan aku, hanya tersenyum karena senangnya.

Bel pulangpun berbunyi, seperti biasa saat pulang, Rara selalu menungguku didepan pintu. Atau terkadang aku yang menunggunya. Bagiku dan Rara hal seperti itu sudah menjadi kewajiban, Hihi. Karena kelas kami berdampingan, jadi, siapa yang keluar lebih dulu, maka dialah yang harus menunggu. Seperti saat ini, aku yang menunggu Rara. Sesaat kemudian Rara keluar dari kelas. Namun, Rara terlihat sedikit berbeda. Sepertinya dia sakit, Rara berjalan dengan terus memegangi perutnya. Akupun berjalan mendekati Rara, belum sempat aku bertanya, Rara sudah berlari ke arah toilet.

“Lin, Lo pulang sendiri aja ya, gue sakit perut,” teriaknya dari kejauhan.

“Tapikan, gue udah larang Bang Rey buat jemput! masa harus suruh jemput lagi,” balasku berteriak pada Rara yang sudah hilang di kejauhan. Tak sadar, Iqbal ternyata berdiri disana, Iqbal yang melihat itupun, berjalan menghampiriku.

“Pulang bareng aku aja,” tawarnya.

“Ga usah, gue tunggu Rara aja,” tolakku.

“Rara bohong! itu akal-akalan dia aja, biar kita bisa pulang bareng,” jelasnya tersenyum.

“Terus, Rara?”

“Dia pulang lewat pintu belakang,” jelas Iqbal.

“Jadi, Rara bohong gitu?.”

“Tanya terus, jadi pulang gak!.” kata iqbal berlalu meninggalkanku.

“Ehh, tunggu!.” teriakku pada Iqbal. Dia hanya tersenyum, kami pun sampai di tempat parkiran. Iqbal memberiku helm, dan aku langsung memakainya. dalam perjalanan pulang, Iqbal melajukan motornya kencang. Akupun memukul bahunya.

“Pelan-pelan dong, ntar aku jatuh gimana.”

“Makanya peluk,” ucapnya sambil melirik ke belakang.

“Dasar mesum,” sahutku kembali memukul bahunya. Iqbal hanya tersenyum melihat tingkahku. Akhirnya kamipun sampai dirumah, tanpa mengatakan apa-apa, aku pun langsung berjalan masuk, tapi Iqbal menarik tanganku.

“Apaan sih maen pergi aja,” sahutnya.

Abang Rehan yang melihat itupun, berjalan kearah kami, Dan,..

“Ehem,” ngapain-- ,"

“Ngapain Lo nganterin cewek gue, maksudnya?!."kata Iqbal memotong ucapan Bang Rehan. Aku yang mendengar itupun tertawa.

"Jadi Lo udah tahu, kalo gue abangnya," tanya Bang Rehan.

"Udah tahu Bang, gue salut sama Abang! Yang ngelakuin hal sederhana buat jaga Evlin."

“Alah modus Lo!” sahutku.

“Modus banget malah,” tambah Bang Rehan.

“Idih! ngapain Abang ikut-ikut,” sahutku pada Bang Rehan.

“Biar aja!." celetuk Bang Rehan. Iqbal yang mendengar itupun terdiam, melihat ekspresi wajah Iqbal, Aku dan Bang Rehanpun tertawa. Iqbal yang melihat itu, mungkin merasa bingung dengan tingkah kakak-adek ini. Namun, akhirnya Iqbalpun ikut tertawa.

“Oh iya, Dek, gue mau keluar bentar, Lo jangan kemana-mana.”

“Siap, Bos!.” sahutku dengan gaya hormat.

“Gue duluan yah, Bal,” pamit Bang Rehan pada Iqbal.

"Iya Bang," Bang Rehanpun berlalu pergi, meninggalkan kami berdua, aku dan Iqbal.

"Yaudah Lin, aku pulang dulu."

"Gak masuk dulu nih," tawarku.

"Lain kali aja, gak enak, gak ada Abang Lo."

"Oh, yaudah," balasku ketus.

"Jangan kecewa gitu dong, nanti aku gak mau pulang," kata Iqbal menahan tawa.

"Ih apaan sih, gak jelas, Pulang sana."

"Yaudah aku pergi dulu, bye Honey,” kata Iqbal kemudian berlalu.

\*\*\*                                                               

Sementara ditempat lain terlihat banyak pemuda yang sepertinya sedang menunggu kawanannya yang lain. “Rehan mana sih? Dari tadi kita tungguin gak muncul-muncul!."

“Eh, itu si Rehan!." kata Diego. Diego adalah salah seorang teman sari rehan.

"Hai, Bro!." sahut Rehan.

"Kemana aja, baru muncul," ucap Diego.

"Ada gue."

"By the way, Adek Lo, Lina, cantik juga ya!"

"Evlin, adek gue."

"Ya itu sudah," balas Diego.

"Kenapa Lo, tanya-tanya adek gue! Jangan macam-macam Lo yah, ntar gue hantam," ancam Rehan kepada Diego. Rehan yang mengenal dekat Diego, tahu persis bagaimana Diego, dia seorang playboy yang senang bermain-main dengan wanita. Rehan khawatir jika Diego sedang mengincar adeknya.

"Iya tenang aja," sahut Diego dengan senyum sinis khasnya, menatap ke arah Rehan yang sekarang juga tengah sedang menatapnya.

\*\*\*

“Dek, Lo pacaran yah, sama—, siapa namanya?.” tanya Bang Rehan.

“Iqbal Bang, Iqbal.”

“Yah santai aja lagi, Dek, gak usah kek mau makan aku gitu.”

“Idih, siapa juga yang mau makan Abang, dagingnya keras,” sahutku melarikan diri. Bang Rehan yang mendengar itu pun mengerjarku. Tak butuh waktu lama, Bang Rehan sudah menangkapku dan menggelitikku.

“Haha, ih Abang udah, bisa mati aku,” kataku menahan geli.

“Makanya gak usah jail jadi orang.” Setelah kelelahan berlari, kami berduapun memutuskan untuk duduk diteras rumah. Hening beberapa saat, Bang Rehan memecahkan keheningan dengan pembicaraan seputar Iqbal.

“Dek, Iqbal itu kelihatannya anak baik-baik.”

“Apa sih Bang, tiba-tiba bahas Iqbal aja,” kataku salah tingkah.

“Lo, suka yah, sama Dia?” kata Bang Rehan menatapku.

“Jelas gaklah,” sahutku menahan malu.

“Gak gimana cobak, orang pipi merah gitu,” sahutnya menggodaku.

“Abaaaang,” teriakku memekik telinga.

“Ga usah teriak gitu juga kali, Dek! Lo sangka gue budek apa,” katanya sambil menarik hidungku. Aku yang mendengar itu hanya nyengir sok imut depannya.

“Lo suka juga gapapa, abang cuma pengen Lo dapet laki-laki yang bisa jaga Kamu,” lanjutnya lagi. Aku yang mendengar penuturan terakhir dari Bang Rehan pun terharu dan langsung memeluknya.

“Abang yang terbaik!.” kataku masih memeluknya. Tak terasa air mataku jatuh, menyadari hal itu Bang Rehan mengusap punggungku.

“Lo nangis yah, Dek!” katanya memastikan. Tak harus menunggu jawabanku, Abang yang mengerti hal itu pun semakin membenamkan Aku di dada bidangnya. Begitupun aku, aku juga semakin memeluknya erat.

“Dek, udah ya, gak bisa nafas gue,” ucap Bang Rehan. Melihat Aku yang tak menjawab sama sekali.

“Hmmm dasar, kebiasaan suka tidur anak ini,” samar kudengar Bang Rehan mengucapkan itu.

\*\*\*

Aku terbangun dari tidurku, Aku terkejut mendapatkan diriku sudah terbaring di atas tempat tidur. "Kapan aku nyampe disini? Perasaan tadi lagi sama Bang Rehan. Ah, mungkin Bang Rehan yang ngantar aku kesini," gerutuku pada diriku sendiri. Kulirik hpku, kulihat ada sebuah pesan masuk dari nomor baru, dan isi pesannya:

¤¤¤¤

§  082453112xxx :

v  Hai, Honey,.!

¤¤¤¤

Tak perlu kutanya itu siapa, aku langsung tahu kalau itu dari Iqbal. Aku yang mendapat pesan seperti itu sangat senang. Mungkin saja, aku sudah mulai menyukai Iqbal. Akupun membalas pesan itu, tapi tak menunjukan jika Aku senang mendapat sms darinya.

"Apaan sih, Bal," balasku cuek.

"Idih, tau aja Lo ini gue, padahal belum di kasih tahu, rindu yah?!." balas Iqbal lagi. Akupun sengaja tak membalas pesannya, nanti Iqbal pikirnya aku suka sama dia lagi, yah meskipun itu dapat dibenarkan.

Akupun memutuskan untuk menemui Bang Rehan, saat berjalan menuruni tangga. Mataku langsung terpusat keruang tamu, di situ kulihat ada Iqbal. Tak menunggu lama, Akupun langsung memundurkan langkahku. Pelan, agar tak terdengar oleh Iqbal dan juga Bang Rehan. Sesampainya di kamar, Aku pun langsung menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukaku, yang tadi tak sempat kubasuh. Kemudian aku menuju lemari baju, untuk memilih pakaian mana yang akan aku kenakan sekarang.

Setelah selesai bersiap, Aku pun berpura-pura tengah sedang membaca buku di meja belajarku. Karena kutahu, Bang Rehan akan memanggilku. Dan benar saja, sesaat kemudian kudengar suara langkah kaki menuju kamarku. Akupun makin berpura-pura sibuk dengan kegiatanku, dan seolah tidak memperhatikan ada yang datang. Bang Rehan membuka pintu, dan dia melihatku tengah sibuk membaca.

"Dek, gue tahu, Lo, bohong, Lo udah tahukan dibawah ada Iqbal," kata Bang Rehan.

"Ih Abang, apaan sih, sok tahu betul," sahutku salah tingkah.

"Iya yang gak, tapi pipinya merah kayak gitu," balasnya lagi. Aku pun semakin salah tingkah di buat oleh Bang Rehan.

"Yaudah yuk," ajak Bang Rehan. Akupun menggangguk. Kami berdua pun berjalan menuju lantai bawah, untuk menemui Iqbal. Dengan aku yang berjalan mengikuti Bang Rehan di belakang.

"Bal, nih cewek Lo, udah siap dari tadi ternyata," kata Bang Rehan cekikikan.

"Abanggg," teriakku memenuhi ruangan.

"Iya-iya, canda aja aku Bal," ucap Bang Rehan melirik ke arah Iqbal. Wajahku seketika menjadi panas, sementara Iqbal hanya tersenyum melihat tingkah kami.

Abang Rehan adalah orang pertama dan satu-satunya orang yang paling kusayangi, tanpa dia mungkin sekarang kehidupanku akan menjadi sangat tidak jelas. Karena aku tidak ingin tetap tinggal bersama orang tuaku, karena waktu saat kami bersama hanya mereka isi dengan keributan, keributan, dan keributan setiap harinya.

Aku juga sudah tak ingin mengingat tentang mereka, karena hari-hari yang kujalani saat disana hanya tentang kebencian, orang tuaku tak lagi memberikan cinta seperti keluarga lain yang kuharapkan, tapi Abangku membawaku menjauh dari sana, kami pergi ke tempat dimana hanya ada kebahagiaan disana. tak ada luka, yang harus menyayatmu setiap hari. Abangku memberikan semuanya untukku, tawa, cinta, dan kebahagiaan.

Dia menjagaku, menggantikan tugas mereka yang tak bisa memberikannya, aku bersyukur memiliki seorang kakak yang hangat, dan penuh kasih. Ia selalu menjagaku dan melindungiku. Suatu hari, aku ingin melakukannya, aku ingin membalas kebaikan yang telah kakakku lakukan untukku.

Saat dia tak bisa, aku akan melindunginya. Meski tak kuucapkan tapi aku sangat berterima kasih. Hal-hal seperti itu memang sangat sulit untuk di ucapkan, kau pun pasti pernah merasakannya. Ingin berterima kasih pada seseorang, tapi tidak tahu harus memulainya dari mana.

                                                             

Bersambung,....

Lelaki Baru

Hari ini, tidak seperti biasanya Diego datang ke rumah. Padahal dia biasanya hampir tak pernah kesini, tapi semenjak dia mulai berbicara mengenai Evlyn dan mengakui kekagumannya, kurasa ia mulai tampak berbeda, entah apa yang diharapkannya. Semoga apa yang kupikirkan tidak benar terjadi, dan semoga itu hanya berasal dari pikiranku saja.

"Ngapain kamu kesini?." tanyaku, pada saat dia begitu sampai.

"Memang kenapa? aku tidak boleh yah!." sahutnya.

"Gak gitu, jarang aja lo kesini," ujarku lagi.

“iya sih,” katanya tersenyum ke arahku.

"Yaudah masuk yuk," ajakku pada Diego lagi.

"Adek lo mana?." tanya Diego.

"Ngapain Lo masuk-masuk tanya Adek gue?!."

"Ih, kenapa sih Lo, parno amat!."

"Ya iyalah parno, karena itu Lo juga."

"Sama temen sendiri aja gitu," ucap Diego.

"Tuh Evlin," kata Rehan kepada Diego. Aku yang berjalan didepan mereka pun menghampiri keduanya  di ruang tamu.

"Kenapa, Bang?." tanyaku pada Bang Rehan tanpa melirik ke arah temannya.

"Ini teman abang, mau liat kamu katanya." ujar Bang Rehan menatapku, dan aku langsung menyapa temannya.

"Hai, Kak," sapaku canggung.

"Hai juga, Dek. Kenalin aku diego!." jelasnya sambil mengulurkan tangan. Aku pun membalasnya dengan ikut mengulurkan tangan juga.

"Aku, Evlin, Kak," sahutku pada Diego.

"Eh iya, Abang Lo udah cerita!."

"Kalian mau minum apa?." tawarku.

"Apa aja deh," balas Diego. Akupun mengangguk, kemudian berlalu pergi menuju ke arah dapur.

***

"Rehan, gue mulai suka sama, Lyn!." ucap Diego tiba-tiba. Aku yang hendak mengantar minuman yang kubuat tadipun, tersontak kaget mendengar pernyataan Kak Diego. Aku menghentikan langkahku, dan memilih mengatur posisiku, untuk mendengar percakapan mereka lebih lanjut.

"Diego, Lo gak usah macam macam yah, gue tahu Lo siapa!." ucap Bang Rehan dengan menekankan kalimatnya.

"Iya, gue tahu, tapi beri gue kesempatan." kulihat Bang Rehan hanya diam, dia tampak bingung. Dia tahu Aku sudah menyukai Iqbal, Namun, disatu sisi Diego adalah sahabatnya. Tak ingin berlama-lama, khawatir mereka curiga. Aku memutuskan untuk mengantar minuman kemeja mereka.

"Nih, Bang, minumannya," kataku seolah tak mendengar apa pun.

"Han, gue boleh gak ngomong sama Lin dulu?," pinta Diego. Masih dengan ekspresi yang sama, rehan hanya diam saja. Tampak kekhawatiran di wajahnya.

"Bang, yaudah eh!." kataku seolah tak apa-apa. Abangku hanya mengangguk, lantas berlalu, meninggalkan aku dan Kak Diego di ruang tamu.

"Duduk dulu, Lyn!." kata Diego. Aku pun duduk di kursi yang bersebelahan dengan Kak Diego. Jujur aku merasa tidak nyaman. Kak Diego sebenarnya tidak juga jelek, ia memiliki wajah yang cukup tampan, dengan postur tubuh yang cukup atletis. Hanya saja aku tak nyaman karena dia kuperkirakan seusia dengan Abangku.

"Kakak suka sama? Lo, Dek! Bisa?." tanya Kak Diego. Tiba-tiba saja aku merasa badanku kaku, bibirku seolah tak bisa bergerak. Ada bingung di hatiku, antara cintaku atau perasaan Abangku. Aku diam beberapa saat, meski belum jadian dengan Iqbal, tapi aku merasa, aku sekarang seolah tengah mengkhianatinya, tapi ingatanku tentang Bang Rehan lebih kuat, dia yang merawatku, menggantikan posisi Mama dan Papa.

"Iya," ucapku tiba-tiba. Aku memaksa untuk tersenyum di depan Kak Diego.

"Makasih, yah, Dek!."ucapnya lagi. Aku tak menjawab, Abangku yang tadi keluar. Kini kembali menemui kami.

"Udah selesai?." tanya Bang Rehan kemudian.

"Iya udah, gue sama Evlin udah resmi jadian," kata Kak Diego antusias. Jujur aku kembali dikejutkan oleh ungkapan tiba-tiba Kak Diego. Aku tidak bermaksud begitu tadi. Bang Rehan hanya menatapku, aku pun membalas tatapan mata itu, yang seolah bertanya, “Kenapa, Dek?." Mungkin aku hanya bisa menjawabnya lewat tatapan juga, "demi Abang." Aku tidak mau Abang merasa sungkan pada Kak Diego.

"Yaudah, adek mau ke kamar dulu, Bang," kataku lantas berlalu pergi. Sempat aku dengar  Bang Rehan mengatakan pada Kak Diego “jangan Lo sakitin Adek gue!.” itu yang sempat kudengar.

Aku termenung, menatap langit-langit kamar. Hatiku menangis, mengapa juga Kak Diego harus suka padaku! Apa yang harus kukatakan pada Iqbal?

***

Hari ini seperti biasa Bang Rehan berangkat bersamaku ke Sekolah. Aku memeluknya di sepanjang perjalanan kami seperti biasanya. Hanya bedanya, kali ini tak ada pembicaraan. Mungkin Bang Rehan mengerti perasaanku dan dia tidak menggangguku dengan menghujamkan berbagai macam pertanyaan.

Seorang lelaki yang tak asing bagiku, berdiri didepan kelas. Ya, dia Iqbal! Melihatku, Iqbal pun langsung berjalan menghampiriku, tapi, sebelum Iqbal mendekat, seseorang sudah lebih dulu memegang lenganku.

"Hai, Sayang!" sapa Kak Diego. Netraku masih terfokus jelas pada Iqbal, mendengar itu, Iqbal pun tersenyum sinis, tampak jelas tergambar ada kekecewaan di sana.

"Aku antar ke kelas yuk!" ajak Kak Diego lagi.

"Gak Kak, gak usah!" jawabku masih melihat kearah Iqbal. sekali lagi, Iqbal tersenyum dan langsung berlalu ke kelasnya.

***

"Bal, Lo kenapa? Ngelamun aja dari tadi!" ucap Rara.

"Tanya aja sahabat Lo!" Bel keluar main pun berbunyi, seperti biasa Rara mengajakku ke kantin.

"Ke kantin, yuk, Lin!"

"Males gue, Ra, Lo aja."

"Lo kenapa sih? Berantem sama Iqbal?" tanya Rara. belumku menjawab, Kak Diego sudah ada saja di depanku.

"Hai, Sayang! Ke kantin yuk!" Rara yang mendengar itu pun tersontak kaget.

"Sayang? Maksudnya apa, Lin?!" tanya Rara. Diego yang mendengar itu pun, langsung menjelaskan semuanya, Dan memperkenalkan diri sebagai pacarku. Dari raut wajahnya, Aku tahu Rara marah. dia langsung pergi setelah itu, meninggalkan aku dan Kak Diego. Aku ingin mengejar Rara, tapi ia berlalu pergi dengan begitu cepatnya, kenapa juga Kak Diego harus datang di tempat dan waktu yang salah? Aku kesal dengannya, dia selalu membuatku berada di posisi rumit.

Bersambung,...

Antara Dua Pilihan

Kulihat Rara tengah asik berbincang bersama teman-temannya, aku menghampirinya. Namun, Rara seolah tak peduli dengan kehadiranku. Aku membiarkan hal itu, karena kupikir, Rara mungkin masih kesal aku tidak memberitahunya, tapi, hal itu terus berlanjut sampai jam istirahat berlangsung, tak kulihat Rara menungguku di depan kelas seperti biasanya, padahal teman sekelasnya hampir sudah keluar semuanya. "Mungkin Rara masih di kelas!." gumamku pada diri sendiri.

Aku memutuskan untuk menemui Rara di kelas, Namun, ternyata Rara tak ada juga disana. Dimana Rara? Tidak biasanya dia seperti ini! Saat beranjak pergi, kulihat Iqbal ada disana. Aku memutuskan untuk bertanya saja pada Iqbal dimana Rara. Mungkin saja dia tahu, sebab selain satu kelas, mereka juga akrab, karena mereka sepupuan.

"Bal, Lo liat Rara gak?." tanyaku pada Iqbal yang sedang sibuk memainkan henfon-nya. Hening, Iqbal tak menjawab tanyaku. Ia masih sibuk memainkan hp-nya. Apa dia tak mendengarku? tanyaku pada diri sendiri. Tak menyerah, aku kembali berusaha bertanya pada Iqbal, dengan nada yang sedikit lebih besar dari sebelumnya.

"Bal, Lo-- ," belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Iqbal sudah berdiri dari duduknya dan berlalu pergi.

Setelah lama mencari Rara ke berbagai ruangan, bahkan tempat yang kuyakini didatangi oleh Rara. Aku akhirnya, melihat Rara sedang duduk dikantin. Ah, kenapa tadi aku tak kepikiran mencari Rara di sini? Aku melewatkan kantin saat mencari Rara, aku berjalan mendekati Rara yang sedang duduk, kulihat Iqbal juga menghampirinya. Aku mendudukkan diri di kursi samping Rara, masih sama, Rara seolah tak melihatku. Ada apa dengan Rara? Apa dia masih marah?

"Bal, pulang yuk!." ucap Rara membuka keheningan.

"Ya udah," kata Iqbal cuek. Kulihat Rara memegang lengan Iqbal, mesra. Ah, mungkin itu wajar mereka sepupuan. Kenapa ini, kenapa hatiku merasa sakit? Padahal aku sudah memiliki Kak Diego, tapi sikap dingin mereka, yang tak menunjukan sikap pertemanan buatku, membuatku merasa jauh lebih sakit.

"Lo, udah dengar gak, kalau Iqbal sama Rara mau tunangan?." kata seseorang yang entah siapa.

"Ah, masa sih? Bukannya mereka sepupuan?!." sahut seorang yang lain lagi.

"Emang kenapa kalo sepupuan! Zaman sekarang yang penting cinta." Ya, beberapa hari terakhir, desas-desus seperti itu mulai terdengar disekolah. Entah benar atau tidaknya, aku tidak tahu. Karena hubunganku dengan Rara, sudah tidak baik.

Seseorang menghampiriku yang sedang duduk diruangan kelas. Ya, itu Rara. Aku senang melihatnya. Kupikir persahabatan kami akan berakhir, tapi tidak, dengan hadirnya Rara disini, maka semua persoalan kami akan segera selesai.

"Hai, Ra!." ucapku tersenyum melihat ke arahnya.

"Lo, udah dengarkan?!." ucap Rara tanpa basa-basi, apalagi sekedar membalas sapaanku.

"Dengar apa?." Tanyaku memutar mataku, seolah tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Rara.

"Gue sama Iqbal, sebentar lagi tunangan!." jelasnya. Aku terkejut mendengar itu langsung dari Rara, tapi aku berusaha menyembunyikannya.

"Oh ya, selamat ya!." ucapku tersenyum. Rara berlalu dengan senyum sinisnya. Ada apa ini? Bagaimana bisa mereka? padahal dia tahu aku menyukai Iqbal. Jadi, apa ini yang membuat Rara menjauhiku, kupikir karena aku dan Kak Diego yang tiba-tiba jadian tanpa berbicara dengannya.

Aku mencoba biasa saja dengan apa yang terjadi, aku meyakinkan diriku, bahwa Iqbal mungkin memang bukan untukku.

\*\*\*                                                         

Setibanya dirumah, aku kembali mencoba untuk menulis semua naskahku yang hampir tak pernah diperhatikan lagi olehku.

"Lanjut nulis, Dek?." tanya Bang Rehan.

"Um," jawabku singkat. Bang Rehan mendudukan dirinya disofa, di samping tempat yang kududuki untuk menulis. Karena pikiranku sedang kemana-mana, hal itu mempengaruhi mood menulisku. Ralat, sebenarnya aku memang sedang tidak niat untuk menulis, hanya saja, tak ada yang bisa kulakukan. Jadi, aku memutuskan untuk menulis saja. Karena kejadian kemarin masih terus berputar di pikiranku, itu membuat tulisanku kacau, ambu radul semuanya, akhirnya kudelete semua tulisanku.

"Kenapa sih, Dek?." tanya Bang Rehan yang sedang duduk di sofa di samping, alih-alih sedang santai, ternyata dia memperhatikan yang kulakukan. Aku menoleh ke arah Bang Rehan yang sedang menatapku.

"Kepoooo!." jawabku malas dan langsung kembali fokus kearah laptop.

"Dasar, Adek gak ada akhlak!." katanya dengan nada sinis.

"Bang, galau gue," kataku manja beralih ke tempat yang Bang Rehan duduki.

"Giliran lagi mau aja, baik," ucapnya.

"Apa Bang?!." tanyaku dengan suara sedikit memekik, memastikan apa yang baru saja aku dengar.

"Rara marah yah sama Lo?! Lo, selingkuhin sepupunya," ucapnya yang kini sambil tertawa.

"Gak nyangka, Abang ternyata tahu serinci itu tentang kehidupan gue," kataku sembari memeluk Bang Rehan kesenangan.

"Hadeuh, Lo pikir apaan sih! Secara gue liatnya di buku harian Lo." Masih memeluk  Bang Rehan, mendengar itu aku langsung melepas pelukanku.

"Abaaaaang! Kebiasaan deh!." pekikku memelas.

"Apa, emang Lo pikir apaan!." katanya menjitak kepalaku.

"Makanya lain kali, Diary Lo, simpan hati-hati!." ejeknya menertawakanku.

Saat bercengkrama bersama Bang Rehan. Hp-ku berbunyi, pesan masuk dari Iqbal. Dia mengajakku bertemu di taman. Ya, Aku belum sempat menghapus nomornya. Akupun langsung bergegas, agar segera sampai di sana.

"Bang, gue keluar dulu!." kataku pada Bang Rehan yang tengah sibuk memainkan gamenya.

"Ok, 5 menit!." Inginku protes, tapi sudahlah.                                                                 

~~~                                                               

"Hai, Bal!." sapaku sesampainya disana.

"Gue, mau kasih ini!." katanya menyerahkan sebuah amplop.

"Ini apa?." tanyaku gugup menatap wajah itu. Perlahan kubuka surat itu, jelas sekali jika itu adalah undangan pesta pertunangan. Yang membuatku kaget adalah nama gadis itu.

\*\*\*                                                              

Aku tahu, kabar pertunanganku dengan Rara sangat menimbulkan berbagai tanda tanya bagi orang-orang yang mengenal kami. Terlebih aku dan Rara adalah saudara sepupuan. Awalnya aku pun bingung, ketika Mama dan Papa Rara ke rumah, untuk membicarakan pertunangan yang akan di lakukan olehku dan juga Rara. Sekaligus meminta pendapat Ayah dan Bunda.

Ayah sempat menolak, begitu pun Bunda. Alasannya karena kami sepupuan, tapi, orang tua Rara tak mau kalah, mereka bahkan menjanjikan infestasi besar ke perusahaan Ayah. Tentu, siapapun pasti akan tertarik dengan iming-iming besar, begitu juga dengan Ayah.

Rara, yang ada disitu-pun, sekilas kulihat dia tersenyum, Apa dia menyukaiku, heh? Awalnya aku sempat kecewa pada Ayah dan Bunda, tapi melihat situasinya, aku harus memanfaatkan Rara. Kesempatan brilian ini tak mungkin kulewatkan.

Meski terdengar sedikit kejam, tapi ini harus kulakukan. Aku ingin melihat bagaimana reaksi Evlyn, ah, nona “Evlyn Cassandra Dewi”. Selain itu, ini sebagai hukuman bagi Rara. Memang benar, Evlyn sudah memiliki kekasih, dan sempat membuatku kecewa, tapi tak membuatku putus harapan, tapi Rara, justru melakukan ini pada sahabatnya. Aku tahu, ide murahan ini berasal dari dia.

“Jadi, gimana?, kapan pertunangan ini, akan kita lakukan?.” tanya Papanya seketika. Kulirik sejenak, tampak Ayah dan Bunda sedang memikirkan, kapan hari baik itu dilakukan. Hari baik, ckk.

“Secepatnya,” kataku tersenyum memecah keheningan.                                                  

Tampak senyum puas kemenangan diwajah Rara, dan itu cukup memuaskan bagiku. Rara menatapku tersenyum, aku langsung membalas senyumannya, meskipun sedikit kupaksakan. Agar dia tidak tersinggung, sebelum acara pertunangan itu dimulai.

“Soal undangan, biar iqbal aja yang buat,” kataku pada mereka, dan mereka setuju dan langsung mengiyakan, ini seperti hari baik seolah sedang memihakku.

                                   \*\*\*

Satu jam sebelum bertemu dengan Evlyn.

Aku tengah berada di kamar, ketika terpikir olehku, kabar baik ini harus kusampaikan pada Evlyn. Aku meraih hp-ku yang terletak di kasur, dan mencari nomor dengan nama , “Gadisku” Aku tersenyum ketika melihat foto gadis itu. Tak berbohong, aku sangat menyayanginya, aku hanya sedikit ingin bermain. Aku mengetik sebuah pesan dan segera mengirimnya pada:

v  Gadisku :

“Boleh kita bertemu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan, aku tunggu di taman.”

\*\*\*                                        

Dari kejauhan, tampak seorang gadis berjalan mendekat. Ia menghampiriku yang sedang duduk di kursi taman.

“Hai, Bal,” sapanya. Aku tak membalas sapaannya, kulihat ia tampak gugup, dan ini yang kuharapkan. Aku menyerahkan sebuah kertas undangan, ya, sebuah undangan yang sengaja kubuat hanya untuk Evlyn.

“Ini apa?.” tanyanya kemudian. Ah, gadis ini apa begitu bodoh, tentu saja aku memberikannya untuk dia baca, dan dia malah bertanya balik padaku.

“Lihat saja,” jawabku acuh dan memasang wajah datar tanpa ekspresi. Perlahan Evlyn mulai membuka surat itu. Tampak kebingungan di wajahnya, dia mungkin sangat tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ini moment yang kutunggu, membuatnya bingung, seperti dia yang membuatku bingung saat itu.

Perlahan Evlyn mulai membaca surat itu, aku tahu dia terkejut melihat nama gadis dalam undangan itu. Itu “Rara Auderia Putri.” Kini Evlyn kembali menatapku.

“Iya, itu Rara dan aku!.” ucapku dengan senyum sinis khasku. Dari sudut matanya, aku tahu, Evlyn ingin aku menjelaskan semuanya, tapi, aku langsung berlalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Dalam perjalanan pulang, aku tersenyum penuh kemenangan. Saat melihat ekspresi kekecewaan yang berhasil kucetak, diwajah gadis manis itu. Aku cukup paham, bahwa perasaan kami masih sama, cukup kuat dan bahkan belum mati. Bahkan belum sempat kami mulai.

Aku janji pada diriku sendiri, aku akan mendapatkan apa yang kumau, semuanya, tak terkecuali gadisku. Soal undangan itu, itu sengaja kubuat hanya untuk Evlyn.

Beberapa hari yang lalu, saat aku berjalan menyusuri koridor kelas. Dan berniat menemui Evlin di kelasnya. Aku berhenti ketika mendengar seseorang tengah berbicara dengannya. Sesuatu yang tak kumengerti, itu Rara. Dan dia membicarakan tentang masalah pertunangan kami. Ah, hubungan antara wanita memang sulit untuk di mengerti. Terkadang, mereka menunjukan sikap persahabatan, dan di lain waktu mereka balik menyerang, dan dengan jelas mengakui bahwa mereka musuh.

“Bal, kenapa murung gitu?.” tanya Bunda menghampiriku.

“Gapapa, Bunda. iqbal cuma capek aja!” tuturku.

“Apa keputusan Ayah dan Bunda, tepat buat Iqbal? Apa ini tidak tergesa-gesa?” tanya Bunda, khawatir.

“Tidak, Bunda!” ucapku membuatnya agar tenang.

“Beri tahu, Bunda ya, Bal. Jika Iqbal suatu waktu tidak suka dengan perjodohan ini, biar Ayah dan Bunda bisa batalkan.”

“Iya, Bunda,” ucapku membalasnya tersenyum.

\*\*\*                                                                                                                                                                                                                                   

“Kak, kita pulang yuk!” ajakku pada Kak Diego, saat berada di taman.

“Iya, Dek, tapi mampir dulu di rumah makan ya, kita makan dulu!” katanya sambil melirik jam di tangannya.

“Aku takut Bang Rehan marah, kalau aku lama,” ucapku memberi alasan.

“Udah aku kasih tahu Rehan kok, dia bilang gapapa,” ucapnya lagi tanpa merasa bersalah. Aku menarik nafasku kesal, Kak Diego selalu berbuat semuanya, tanpa tanya apa aku setuju atau tidak.

“Ini,” katanya memberiku helm. Aku menatapnya kesal, dia hanya tersenyum melihatku. Tanpa aba-aba dariku, Kak Diego langsung memakaikannya dikepalaku.

“Gak boleh kesal gitu, kalau gak mau. Yaudah, kita langsung pulang aja!” ucapnya tersenyum, mengusap kepalaku yang sudah memakai helm.

Entah mengapa, hatiku bergetar mendengar itu. Aku merasa bersalah, mungkin saja Kak Diego merasa lapar. Tapi aku menolaknya, sepanjang perjalanan kami hanya diam, aku juga diam karena dia tak mengajakku berbicara.

\*\*\*

“Turun udah, kita udah sampai!” ucap Kak Diego, memecah keheningan yang sedari tadi.

“Udah sampai?” tanyaku yang tak sadar, lantas melihat sekeliling, benar saja kami sudah sampai dari tadi.

“Udah sampai ternyata,” kataku lagi.

“Mikirin apa sih!”

“Gak kok, gak mikirin apa-apa,” ucapku cuek.

“Trus mau ikut aku pulang yah!” katanya dengan nada setengah menggoda.

“Apaan sih, Kak,” ujarku jengkel.

“Trus kenapa gak turun!” Katanya menahan tawa,

“Oh iya,” kataku tersadar dan langsung beranjak turun dari motor. Aku berjalan masuk dengan menutupi wajahku yang saat ini mungkin sudah memerah karena menahan malu. Dari kejauhan, kudengar Kak Diego hanya tertawa seperti menahan geli.

Baru saja aku masuk ke dalam rumah, Aku sudah di kejutkan dengan tatapan aneh dari Bang Rehan, dia menatapku seolah baru melihatku saja.

“Semangat amat sih, Dek, kencannya!”

“Hum, gak bisa liat orang senang,” celetukku asal.

“Senang amat, yak!” goda Bang Rehan lagi sambil menggelitikku.

“Malas, gue!” ucapku meraih gelas berisi air di atas meja, lantas meminumnya.

“Hem masa malas, sampe helm-nya gak Lo, lepas-lepas gitu!”

“Maksudnya?” aku langsung menarik tubuhku di depan cermin, dan benar saja ada helm yang masih terpasang di kepalaku. Sementara Bang Rehan sudah melepaskan tawanya dari tadi.

“Dasar, Adek gila,” katanya cekikikan. Tak merespon, aku langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Sesampainya di kamar aku langsung histeris sendirian. Itukah alasan Kak Diego tadi tertawa? Oh astaga.

“Yaelah, begok amat. Mau bilang apa sama Kak Diego, gue besok!” teriakku histeris menahan malu.

“Gak, kesurupan kah, Dek?” teriak Bang Rehan, dari kamar sebelah.

“Apaan sih, ikut-ikut,” celetukku sirik.

~~~                                                             

“Lo, gak sekolah, Dek?” kenapa gak siap-siap?” tanya Bang Rehan saat sarapan pagi.

“Gak pergi, gue, Bang.”

“Trus helm-nya gimana? Gak mau dibalikin yah!” celetuk Bang Rehan, entah mengapa, dia begitu rewel. Padahal dia laki-laki.

“Abang ihh, tanya terus. Gue malu tahu.”

“Gue kan, cuma tanya, heran deh!” aku menatapnya heran, bingung memiliki Abang yang super duper bawel, padahal di sekolah, dia cuek-cuek aja.

“Yaudah, maunya gimana? Gak sekolah?” tanyanya lagi.

“Iya pergi, yaudah gue siap-siap dulu,” ucapku dengan menekan kan, kata pergi.

“Cepetan, telat nanti.”

“Iya, Bang. bawel amat.”

\*\*\*                                                              

Saat di parkiran, tidak sengaja aku berpapasan dengan Rara juga Iqbal. Rara berjalan menghampiriku. Mungkin dia sengaja melakukannya, apa dia sedang mencoba memanasiku, dengan berita pertunangannya dengan Iqbal? Ya, walaupun begitu, setidaknya dia tidak perlu melakukannya, hanya membuatku murka saja.

“Eh, ada Lin ternyata!” kata Rara dengan sedikit sinisnya. Aku membalas ucapannya dengan senyum sinis yang di paksakan. Jika tidak, dia pasti akan merasa aku tidak menyukainya, biar bagaimana pun dia pernah menjadi sahabatku, kami juga tidak begitu saling membenci, seperti orang-orang umum kebanyakan, jika mengalami hal yang serupa.

“Yaudah, gue, ke kelas dulu,” ucap Iqbal kepada Rara. kemudian Iqbal berlalu pergi dari hadapan kami, Rara menatap Iqbal kemudian tersenyum dengan senyum termanisnya, sungguh aku tidak begitu menyukainya.

“Iyadeh,” kata Rara lagi. Iqbal kemudian  berlalu meninggalkan parkiran.

“Lo, bawa apaan, Lin!?” ucap Rara setengah menyelidik.

“Bukan urusan, Lo,” kataku berlalu meninggalkan Rara sendirian. Ya, tak ada yang harus di perbaiki dari hubungan kami. hubungan kami memang sudah berakhir kini.

Walaupun sebenarnya, aku masih berharap bisa berbaikan dengannya, biar bagaimana pun dia adalah sahabatku, dan kami cukup sangat dekat.

Sebenarnya, kurasa Rara juga menginginkan hal yang sama, tapi kami sama-sama enggan untuk memulainya, dan mungkin kami masing-masing menunggu siapa yang akan mengatakannya lebih dulu.

Egois sekali, entah dari mana sikap seperti itu di dapatkan, yang jelas aku benar-benar tidak menyukainya. Dia terlihat lebih menyebalkan dari biasanya.                                               

Bersambung,....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!