"Kakek kamu, sebenarnya adalah seorang pejuang," ucap Wirja pada Taupan, anaknya. Saat keduanya sudah lelah berlari dan kini bersembunyi dari kejaran polisi. Keduanya kini menghela napas di balik dinding beton yang gelap. Entah kenapa tiba-tiba bapaknya berucap demikian.
"Tapi kenapa kita jadi perampok?" tanya Taupan pada bapaknya itu yang lantas terkekeh.
"Nanti kamu tahu sendiri jawabannya," ucap Wirja sambil menyerahkan satu tas uang yang tadi digondolnya. Sontak Taupan tidak mengerti.
"Bapak sudah capek hidup, dan dunia ini semakin bau busuk," ucap Wirja sambil satu tangannya menggenggam tangan Taupan. Taupan tidak mengerti apa yang barusan bapaknya katakan, terlebih sekarang genggam tangan bapaknya begitu kuat. Bapaknya itu memang suka menalar sesuatu berbeda dengan nalar manusia biasa. Seperti saat ia pulang membawa daging kurban pemberian orang kampung, bapaknya itu langsung membanting daging itu sambil melotot dan ngamuk-ngamuk.
"Darimana kau dapat racun itu! Itu racun, laknat dan Pahit!!" Sekarang bapaknya itu menyebut dunia sudah bau busuk.
Perlahan Taupan merasakan seluruh otot-ototnya melembek perlahan jadi seperti kapas, lalu tulang belulang di sekujur tubuhnya juga terasa linu. Ia berusaha untuk melepaskan genggaman tangan bapaknya itu. Tapi tidak bisa. Genggaman itu terlalu kuat atau tubuhnya sama sekali tidak bertenaga.
Kesadaran Taupan perlahan hilang, seperti mengalami mimpi, kesadarannya memudar. Tapi tidak lama kemudian ia merasakan seluruh urat syarafnya berdenyut hebat seperti tersengat aliran listrik ribuan volt. Seketika itu pula kesadarannya utuh, tenaganya pulih, urat-uratnya seperti tanaman ajaib yang merambat dan tumbuh dengan cepat.
Taupan merasa jauh lebih baik, dan rasa lelah setelah berlari berjam-jam tadi pun sirna begitu saja berganti kesegaran dan gairah yang bugar.
Genggaman tangan bapaknya mulai kendur. Anehnya, otot-otot di tangan Bapaknya juga mengendur sampai keriput. Sekujur tubuh bapaknya tampak ciut seperti sayuran yang layu terjemur.
"Sekarang kamu pergi dan bersemedi lah di goa rahasia kita dan cari sebuah peti. Kalo tidak salah di bawah tempat sesaji. Pergi, cepat!" perintah Wirja diikuti batuk.
"Uhuk! Uhuk!"
"Tapi Pak, Kenapa Bapak gak ikut???"
"Bapak sudah bosan hidup. Dunia sudah bau busuk. Bapak tidak tahan lagi. Isi di dalam peti itu memuat mantra dan tata cara tarekat yang harus kamu jalani untuk menyempurnakan ilmu leluhur kita itu," ucap Wirja panjang lebar.
"Sudah, sekarang pergi, pergi!!" hardik Wirja. Taupan tidak pernah membantah bapaknya itu. Mungkin sekarang juga ia menurut dan membiarkan bapaknya itu ditangkap polisi dan dihukum mati, seperti yang bapaknya pinta. Tidak pernah sekalipun ia berkata 'tidak' pada bapaknya itu. Tapi seiring waktu dan usianya yang sudah lewat masa remaja, kadang ia juga merasa dongkol. Ia sebenarnya ingin bergaul dengan anak-anak seusianya. Tapi bapaknya begitu keras melatihnya beladiri dan menyepi di dalam goa. Goa sialan, goa yang penuh kutukan.
Taupan sudah putuskan, ia akan menurut pada bapaknya. Sangat mungkin ini akan menjadi titah terakhir bapaknya yang otoriter itu. Tidak bisa dipungkiri, ia juga merasa kasihan. Bagaimanapun itu bapaknya sendiri. Anak mana yang tega meninggalkan bapaknya menghadapi tiang gantungan. Sendirian. Tapi satu hal lain yang ia pikir menarik, kalo ia pergi sendiri? Ia ingin sekali bebas dan sekarang ia menggenggam dua kantong uang tunai.
Taupan segera pergi dan tak menoleh lagi pada bapaknya yang bersandar tak berdaya.
Taupan berlari menembus malam. Ia merasa tubuhnya lebih ringan dan tenaganya bertambah berkali-kali lipat.
Mungkin tadi Bapak menyalurkan semua tenaga dalamnya
Taupan terus melesat sampai ke dalam hutan. Ya, selama ini ia tinggal di dalam hutan lindung yang jauh dari kota tempat ia suka merampok bersama bapaknya. Tapi sekarang ia pulang sendiri. Ia tidak punya siapa-siapa lagi selain bapaknya itu. Konon cerita bapaknya, ibunya meninggal saat melahirkan dirinya. Saat itu sedang terjadi badai topan di laut selatan. Malahan, karena itulah ia dinamai Taupan (Topan). Tapi Taupan merasa dirinya adalah anak pungut. Ia merasa begitu karena selalu tidak sepaham dengan bapaknya itu.
Ia sudah sampai ke muka rumahnya. Lebih pantasnya itu disebut gubuk reot. Padahal bapaknya adalah seorang perampok dan punya banyak uang. Bisa saja ia pindah ke desa terdekat dan membeli sebuah rumah. Tapi aneh, bapaknya itu selalu membagi-bagikan uang hasil rampokan pada penduduk miskin di desa-desa sekitar hutan itu dan hanya mempergunakan uang seperlunya saja. Tapi sekarang, bapaknya tidak ada dan Taupan sendiri yang menentukan, mau diapakan uang itu?
Semalaman ia merasa gusar dan seperti tidak sabar. Besoknya Taupan bangun dengan semangat. Membersihkan diri dan makan lahap sekali.
Taupan menyeringai nakal. Ia punya rencana. Ia ingin menikah seperti sahabatnya dari kampung Unggul. Jamin namanya, perawakannya gempal dan hitam legam.
"Kalo si Jamin jelek saja bisa menikah, kenapa saya tidak?" protes Taupan dalam hati. Ia mengenakan pakaiannya yang menurutnya paling bagus. Ia menyesal punya seorang bapak yang kuno dan tidak pernah membelikannya pakaian yang bagus.
Kini Taupan sudah mengenakan celana jeans dan jaket jeans pemberian warga yang dibantu biaya mendirikan rumah oleh bapaknya.
Taupan hanya punya karib seorang Jamin. Sedari kecil, Jamin suka bermain dengannya. Awalnya, bapaknya si Jamin itu menderita patah tulang lalu meminta jampi dan obat pada bapaknya. Alih-alih memberikan obat, bapaknya itu malah meludahi kaki bapaknya si Jamin yang tulang lututnya sampai menonjol keluar itu karena terjatuh dari jurang. Tapi ajaib, penyakit bapaknya si Jamin sembuh total hanya dengan ludah dan sedikit ramuan dedaunan. Sejak saat itulah keluarga Jamin suka datang berkunjung. sekedar memberikan sayuran atau singkong. Lewat Jamin juga, bapaknya jadi terkenal sebagai tabib. Waktu itu Jamin dan Taupan masih berusia Sebelas tahun. Mereka seumuran. Taupan tidak sekolah, bahkan membaca, menulis dan berhitung pun Jamin yang ajarkan. Bapaknya hanya mengajarkan bahasa kuno dan simbol-simbol kuno. Dalam hal ini, Taupan yakin dirinya adalah anak pungut. Bahkan ia pikir, bapaknya tidak pernah disukai wanita. Tampangnya seram dan ucapannya kasar.
Jamin sudah menikah dan menceritakan pengalaman malam pertamanya pada Taupan. Taupan sampai terpingkal-pingkal.
"Apanya yang lucu?"
"Kau bilang tadi apa?"
"Istriku suka berciuman? apanya yang lucu??"
"Mulut kau bau petai begitu, mual aku membayangkannya haha?"
Taupan sudah sampai ke rumah si Jamin. Ia membawa dua gepok uang di saku celananya. Niatnya mau menikah seperti si Jamin. Ia dapati Jamin sedang membelah kayu.
"Min! Jamin!! Hey," panggil Taupan. Jamin pun menoleh dan menghentikan kegiatannya.
"hey, kebetulan kamu datang Pan, lagi kere nih, bagi duit dong." Jamin memang sudah biasa diberi uang oleh Taupan. Bahkan cincin kawinnya pemberian Taupan. Tapi Kali ini, Taupan menahan uang yang sengaja ia kibarkan ke muka Jamin.
"Eit! Sabar dulu, kau bantu aku kawin dulu, baru aku kasih uang," tukas Taupan.
"Kawin?" Jamin menatap Taupan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambut Taupan gimbal, karena memang ia jarang cukuran. sekalinya potong rambut, si Taupan ini memotongnya sendiri dengan golok. Sejenak Jamin memutar otak.
"Sebentar-sebentar, kau mau kawin doang atau menikah?" tanya Jamin. Taupan seperti kesulitan untuk menjawab. Bukan tak paham perbedaan kawin dan menikah seperti yang sudah Jamin jelaskan tempo hari.
"Aku aku, aku mau menikah," jawab Taupan malu-malu. Jamin meraih bahu sahabatnya itu dan mulai berbisik dengan wajah serius.
"Perempuan mana yang mau jadi istri kau?" tanya Jamin.
"Justru itu masalahnya, kau bantu aku carikan perempuan yang mau jadi istri aku," jawab Taupan. Jamin menyerah sebelum mencoba membantu mencarikan gadis untuk dinikahi sahabatnya itu. Gadis mana yang mau menjadi Istri si raja hutan. Ya, Warga kampung menyebut Taupan dengan sebutan Tarzan, si Raja hutan. Taupan bertubuh kekar dan pandai berburu b*bi hutan. Mungkin macan pun bisa ia kalahkan. Buktinya, ia masih hidup dan sehat wal Afiat hidup di dalam hutan sampai detik ini. Masalahnya, sang Raja hutan tidak biasa pake sandal dan tidak pernah menyisir rambut.
"Jadi begini, dari pada susah-susah merayu perempuan buat jadi istri kau, mending kau kawin saja dulu, ayo, aku antar," saran Jamin dengan senyum kecil.
"Bagaimana kalo aku ditolak?"
"Kau punya banyak uang. Kawin hanya perlu uang, bagaimana? Kalau setuju, bilang dulu sama istri aku sana. Bilang kau ajak aku buat berburu b*bi hutan. Bagaimana?"
Sejenak Taupan berpikir, ia pernah tahu arti dosa. Bahkan Jamin sendiri yang jelaskan apa itu dosa. Tapi sekarang, Jamin pula yang menawarinya berbuat dosa.
"Ya sudah, bagaimana kau saja Jamin," jawab Taupan sambil nyelonong masuk ke rumah Jamin.
"Dia ada di dapur, sedang masak!" teriak Jamin.
Istrinya Jamin mengijinkan, awalnya banyak pertanyaan yang diajukan istrinya Jamin itu. Seperti berburu kemana? Dan berburu apa. Taupan tidak mau ambil pusing dan ia pun menutup mulut istrinya si Jamin itu dengan uang. Jamin yang barusan masuk langsung tersenyum lebar.
"Ya sudah sana, tapi awas, jangan pulang malam!"
"Beres sayang, ayo Pan, kita berburu b*bi hutan!"
Hari sudah siang, ketika Jamin sampai membawa Taupan ke sebuah lokalisasi yang terpencil di bantaran kali. Jamin tampak bersemangat, tapi Taupan malah mencium bau busuk yang entah bersumber dari mana.
"Kau kenapa Pan?" tanya Jamin.
"Aku mencium bau busuk. Hih! Bau sekali."
"Mungkin itu cuma bangkai tikus di kolong sana," tunjuk Jamin ke lantai yang diinjaknya. Lantai yang terbuat dari kayu.
Seorang mucikari menghampiri Jamin dan Taupan yang sedang duduk di beranda depan di atas dipan.
"Hey, kalian mau apa kemari, tersesat yah?"
"Sembarangan! kami mau kawin, mau apalagi coba kami jauh-jauh datang kemari," jawab Jamin. "Pan, keluarin duit kau," ucap Jamin dengan nada sombong. Taupan pun mengeluarkan segepok uang dari saku kirinya. Ibu-ibu menor itupun melunak.
"Ya sudah, ayo masuk, pilih sendiri," ucap Ibu-ibu menor itu sambil membukakan pintu.
Begitu pintu terbuka, Jamin langsung sumringah, melihat dan mencium aroma wanita-wanita seksi yang sedang bercanda dengan sesamanya. Tapi Taupan malah mencium bau busuk yang semakin menusuk hidung.
"Kamu kenapa sih," heran Jamin melihat roman Taupan yang bergidik ngeri.
"Ayo masuk!" ajak Jamin membawa bahu Taupan.
semakin dekat dengan para wanita seksi itu, Taupan semakin tidak kuasa menahan mual karena bau busuk. Taupan pun muntah dan membuat seisi rumah bordir itu jadi aneh.
"Teman kamu mabuk yah?" ucap salah satu wanita menor itu.
Taupan tak tahan lagi dan berlari keluar. Jamin pun mengejar karibnya itu.
"Kau ini kenapa sih? Bikin malu saja," ucap Jamin penuh rasa kecewa.
"Tubuh mereka bau busuk, seperti bangkai," jawab Taupan sambil menghela napas. mereka sudah jauh dari deretan lokalisasi itu.
"Kamu ini ada-ada saja, kau sekarang seperti bapakmu, aneh." mendengar ocehan itu Taupan jadi menyadari sesuatu.
"Jangan-jangan?"
"Jangan-jangan apa?!"
"Aku pulang dulu!" tukas Taupan, otaknya menemukan sesuatu. Taupan berlari, kencang sekali. Mau tidak mau, Jamin pun mengikuti.
"Hey, tunggu Taupan! pelan lah dikit!"
Taupan berlari seperti kijang yang lincah. Bahkan di dalam hutan kemudian, akar-akar besar itu dengan mudah ia loncati. Jamin tertinggal jauh.
Sesampainya ke dalam gubuknya, ia mengobrak-abrik ruangan dan mengumpulkan kitab-kitab kuno koleksi bapaknya.
Satu jam kemudian Jamin baru tiba dan mendapati Taupan sedang membaca kitab besar yang terbuat dari kulit pohon. Pohon yang langka, mungkin sekarang sudah punah.
Jamin langsung mengambil minum dan terduduk lunglai. Keringat mengucur dari tubuhnya.
"Kencang kali kau berlari." Taupan tidak menanggapi, ia tetap serius membaca kitab-kitab itu.
"Bapak kau mana?" tanya Jamin. Taupan tetap serius dengan kitab-kitab itu. Dari dulu Jamin ingin sekali membaca kitab-kitab itu. tapi bapaknya Taupan selalu melarang. Sedikit banyak Jamin mengerti tulisan kuno itu. Dulu waktu mengajari Taupan membaca, ia juga di ajari Taupan cara membaca untaian tulisan kuno itu.
"Bapakku ditangkap polisi, mungkin sekarang dia sudah dihukum mati," ucap Taupan tiba-tiba.
"Bukannya bapak kau sakti? Kok bisa-bisanya tertangkap?"
"Bapak sudah tidak tahan, dunia sudah semakin bau busuk katanya," Jamin jadi berpikir, ilmu Kanuragan macam apa yang menjadikan pemiliknya jadi aneh macam itu, paling tidak penciumannya jadi bermasalah. Bagaimana bisa dunia yang segar tenteram ini jadi tercium bau. Bahkan, pe**cur-pe**cur aduhai itu tercium bau busuk seperti bangkai oleh karibnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!