NovelToon NovelToon

Unblessed Story

Dunia modern, Bumi

Alunan musik yang tercipta dari tiupan seruling mengalun indah memenuhi ruangan, musik itu berasal dari sebuah ponsel berwarna hitam yang tergeletak tak berdaya di atas karpet, tak dihiraukan oleh pemiliknya yang terduduk di depan jendela.

Gadis itu memejamkan matanya, menikmati musik yang sengaja ia putar setelah melihat bulan purnama tepat berada di depan jendelanya. Gadis itu meluruskan kedua kakinya di atas meja, menyenderkan tubuhnya pada senderan kursi yang lebih pendek dari tubuhnya. Ia bersedekap dada, menatap bulan dibalik kacamata bulat yang entah sudah berapa lama bertahan di ujung hidungnya yang mancung.

Disebelah kakinya ada laptop yang menyala, menampilkan kurva yang bergerak naik turun beserta nominalnya. Sebuah foto kecil ia atur tepat di bawah kanan layar laptopnya, potret tiga orang siswa yang berteduh di bawah halte. Dua orang duduk di bangku sedangkan satu lagi berdiri dibelakang sambil merangkul mereka, berusaha melindungi tubuh mereka dari hujan menggunakan payung hitam miliknya. Meski begitu, mereka tetap tersenyum dengan bahagia.

Tiba-tiba saja terdengar suara 'brak' yang sangat kencang dan pintu kamar yang tertutup rapat itu terjatuh hingga membuat gadis itu tersentak bangun dari lamunannya dan jatuh dari kursi.

"Yak! ada ap- TIDAK PINTU KUU!"

Gadis itu berteriak tidak terima karena pintu kamarnya sudah terbaring tak berdaya, di injak oleh seorang pemuda. Ia meraih ponselnya dan melempar ponsel itu ke arah sang pemuda.

"Kecelakaan kecil, aku tidak sengaja."

Pemuda itu menangkap ponsel tanpa melihat, lalu berjalan masuk ke dalam kamar seperti tidak terjadi apa-apa.

"Omong-omong, Alin apa kau tidak membersihkan kamarmu lagi?"

Mata pemuda itu memindai kamar Alin, baju berhamburan memenuhi lantai kamar, bungkus makanan dan barang lainnya tersebar di penjuru kamar, hanya menyisakan meja belajar dan kasur yang sedikit layak dilihat.

Ia menatap miris, hasil kerja kerasnya dan niatnya untuk membantu temannya hanya bertahan selama sehari. Ia menghela napas, bahkan tirai jendela bisa lepas separuh. Entah apa yang telah dilakukan oleh gadis itu hingga kamarnya tidak pernah rapi.

"Ayolah. Tidak perlu merepotkan diri untuk bersih-bersih."

Alin bangun dari posisinya lalu mengambil ponselnya yang berada di tangan pemuda itu dengan kasar, ia mematikan lagu yang terputar sambil mengutuk pemuda itu lalu duduk di kursinya tadi.

"Untuk apa kau kemari?"

"Berdisko, sudah pasti untuk mengingatkanmu untuk makan malam. Bunda tadi pulang dan memasak banyak makanan lalu menyuruhku untuk mengantarnya padamu. Aku sudah menyiapkannya di meja makan dan sekarang aku mengantuk, bangunkan aku jam 1."

Setelah mengatakan itu, pemuda itu sedikit medumal karena sang bunda membangunkannya dengan tega hanya untuk mengantarkan makanan ke apartemen Alin yang jaraknya hampir dua kilometer dari rumahnya.

"Apartku bukan tempat penginapan Seka."

Alin memutarkan bola mata dengan kesal, keluhannya itu sudah pasti dianggap sebagai angin lalu oleh Seka yang kini sudah memejamkan matanya sambil memeluk bantal.

Suasana menjadi hening, Alin mengibaskan tangannya ke wajah Seka. Alin melenggang keluar ketika temannya itu tidak meresponnya. Setelah itu Alin keluar kamar dan menuruni tangga dengan ringan, terkadang bersenandung pelan seakan tidak ada rasa kesal yang tersisa.

"Aku mencintai hidupku, aku mencintai diriku, aku menyayangi semua yang aku kenal namun jika Xie Lian ge datang untuk memintaku menjadi pengantin untuk menangkap general Xuan Ji aku akan pergi! jika Xie Lian ge datang dan memintaku untuk merenovasi kuil-nya aku akan ikut dengannya! ji-"

"Jika Wei Wuxian memintamu untuk menjadi jendral hantu keduanya, kau akan pergi.. Hei sadar diri, mereka tidak akan mendatangimu mereka hanya tokoh fiksi. berhenti bicara dan makan saja, aku ingin tidur dengan tenang."

Alin mengalihkan pandangannya ke lantai dua, temannya yang tidur itu berdiri di sana setelah melempar sendok ke keningnya. Alin berdecak kesal sambil mengusap keningnya, ia menendang sendok entah ke mana dan berjalan kembali menuju ruang makan, begitu juga Seka yang sudah masuk ke kamar.

"Lihat dia, ini rumah ku, kediamanku. Namun dia yang berkuasa ini tidak adil, kan. Aries."

"Tunggu, aku menyebut Aries? Siapa itu Aries? Jelas-jelas aku ini Libra."

Sesampainya di ruang makan, Alin mendudukkan dirinya di salah satu bangku. Kedua tangannya terangkat dan menopang wajahnya, menatap makanan dengan malas. Ia kembali melamun, menatap sekitar yang gelap tanpa berniat untuk menyalakan lampu.

Ia menghela napas kasar, terlihat frustasi dan sangat putus asa. Matanya yang membinar kini menumpahkan air mata yang sudah tidak bisa di bendung. Tetesan demi tetes air mata jatuh membasahi meja, hingga gadis itu sadar dan menghapus air matanya dengan kasar, mengomeli dirinya sendiri.

Kala mendengar perutnya mulai berbunyi, ia memakan makanan di hadapannya dengan malas. Setelah selesai, ia membuat popcorn dan mengambil beberapa kopi kaleng yang sengaja ia sediakan di kulkas, kedua tangannya dengan lihai menaruh semua itu di atas meja.

Setelah berkeliling mencari remote yang entah kenapa menyelip di belakang TV, ia kini duduk di lantai lalu menyenderkan tubuhnya ke sofa. Film berganti-ganti, menuruti sinyal yang dipancarkan remote, tangannya yang lain tak berhenti, ia menyuapkan popcorn ke dalam mulutnya dan menggerutu.

"Sebenarnya apa motivasi mereka menayangkan film-film seperti ini? Bukankah lebih baik menyiarkan kartun daripada tentang perceraian dan orang ketiga yang entah apa maksudnya, membosankan."

"Argh bagaimana aku akan melanjutkan hidupku jika seperti ini."

Alin berguling di sofa, kini ia merasa bosan karena tidak ada tontonan yang berhasil membuatnya terhibur. Anime kesukaannya sudah selesai ia tonton, drama yang ia tunggu tak kunjung tayang. Ia merasa hidupnya sudah lama terhenti, dan sekarang hanya dipenuhi oleh aneka film berbagai genre.

Alin terus berguling-guling hingga tidak menyadari jika dirinya sudah berada di ujung sofa, tidak lama setelahnya terdengar suara 'bruk' yang sangat kencang.

Ya, dirinya terjatuh dari sofa dan pinggangnya terantuk meja. Itu sakit atau mungkin sangat sakit bahkan setelah di lihat terdapat lebam di pinggangnya.

"Sial sekali."

Ia mencengkeram pinggangnya yang terasa sakit lalu menyalakan ponselnya. Ia memilih untuk menggulir laman sosial media, membiarkan TV tersebut menyala tanpa ada yang menonton.

"Hei Alin, kau sudah memiliki teman regu untuk camping? Jika belum, maukah kau bergabung bersamaku?"

Sebuah pesan masuk dari aplikasi berlogo burung biru, ia mengernyitkan dahi saat melihat profil akun tersebut. Akun centang biru dengan ratusan ribu pengikut mengenalnya? Ia mengedipkan mata beberapa kali karena tidak percaya.

"Maaf, tapi aku tidak mengenalmu."

Pesan itu ia kirim, saat melihat kembali akun itu ia baru menyadari jika Seka berteman dengan pemilik akun. Pemilik akun itu kembali mengirimnya pesan dan memperkenalkan diri. Grace ternyata teman sekelasnya dan juga seorang beauty vlogger yang terkenal secara internasional. Ia yakin sekali jika gadis itu akan menekan kontrak dengan salah satu perusahaan kosmetik yang terkenal.

"Baiklah aku ikut kelompokmu."

Mau tidak mau, Alin menerima ajakan Grace agar gadis itu berhenti mengiriminya pesan. Sedetik kemudian ia menyesal, gadis itu kini mengiriminya pesan dua kali lebih banyak. Ia hanya bisa berdecak kesal, menyesal pun percuma lalu beralih untuk menggulir berandanya lagi.

Ia menghentikan jarinya ketika sebuah postingan terpampang di layar ponselnya, ia mengunjungi profil akun tersebut dan bersemu merah. Akun itu milik sosok yang selama ini mengambil hatinya dalam diam.

Pemuda itu tidak memiliki banyak pengikut, hanya sepuluh dan Alin salah satunya. Ia kembali melihat postingan terbaru pemuda itu lalu tertawa, merasa gemas karena caption pemuda itu seperti kuis.

'Selamat dunia tidur!'

Alin mengetikkan sesuatu di layar ponselnya, pipinya bertambah merah saat ia melihat foto pemuda itu. Mata pemuda itu memerah, sepertinya pemuda itu sudah sangat lelah dan tidak sadar jika ia mengetik secara acak. Dengan senyum yang tidak terhapus dari wajahnya, ia memperhatikan foto pemuda itu, hingga sebuah liontin dengan bandul bulan cembung membuat Alin mimisan, kalung itu adalah pasangan kalung miliknya!

'Selamat juga tidur, dunia.'

'Alin, aku salah mengetik.'

Ia berdiri secara tiba-tiba ketika komentarnya dibalas oleh pemuda itu, ia melompat dan berlari mengitari ruang tamu dengan senang sambil berteriak, ia menendang angin karena tak bisa menahan gemas lebih lama.

"Besok aku harus menghabiskan waktu bersamanya, tidak mau tahu."

Ya, besok adalah hari pertama mereka masuk setelah libur kenaikan kelas. Ia kini resmi menjadi siswa Angkatan tahun kedua dan harus mengikuti peninjauan kembali pengetahuan dan keahlian di alam bebas.

Sekolahnya memiliki tradisi khusus, mereka akan mengadakan sebuah Camping selama tujuh hari untuk siswa tahun kedua, yang artinya besok adalah kesempatan terakhirnya untuk bertemu pemuda manis itu sebelum berpisah selama tujuh hari.

Kini Alin berada di aula sekolah, kebetulan sekali hari ini ia tidak telat masuk karena tidak tidur semalam, merasa terlalu bahagia karena komentarnya dibalas sang pujaan hati.

Alin menunda tangannya untuk memakai earphone ketika Grace menyapanya, mereka berbincang sebentar sebelum Grace berkumpul dengan teman-temannya. Alin kembali memasang earphone dan mendengarkan lagu, menghiraukan kebisingan yang ada di sekitarnya

"Entah mengapa aku merasa jika perempuan itu tidak sebaik tampilannya."

Alin berbisik pada Seka, pemuda itu baru saja sampai di sisinya karena sibuk mengatur siswa yang masih bermalas-malasan di ruang kelas, maklum saja dia osis.

"Kau sedang membicarakan diri sendiri?"

Seka meringis kesakitan, tulang keringnya menerima tendangan Alin yang tidak pelan. Ia menatap Alin dengan tajam melayangkan protes, namun gadis itu malah asik mencari seseorang di barisan siswa tahun ketiga.

"Ingat umur, fokuslah belajar. Jangan bermain-main disini."

"Itu tidak pernah terjadi sialan, aku tahu apa yang aku tahu."

Alin menyingkirkan tangan Seka di bahunya, ia menepuk bahunya dengan ekspresi jijik. Seka hanya tertawa melihat hal itu, merasa bangga karena ia berhasil mengerjai Alin lagi.

"Oh ya, Kau jadi ikut tidak?"

Seka berbisik sambil memainkan hiasan rambut Alin, Alin mengernyitkan dahi mencoba ngulik ingatannya yang mendadak menjadi pendek. Pemuda itu menghela nafas kasar, ia tahu apa yang dipikirkan gadis itu sekarang.

Seka memukul kepala gadis itu dan membalikkan tubuhnya menghadap kepala sekolah yang sedang memberi sambutan di atas podium.

"Ikut kemana?"

"Meminta dewi Sinta untuk membalas cinta Rahwana! Tentu saja daftar ke klub yang ingin aku masuki."

"Sedang aku pikirkan."

"Hari ini hari terakhir pendaftaran, cepat putuskan."

"Oke, aku ikut. Kau puas?"

Setelah lama berdiri, akhirnya kepala sekolah menghentikan penyambutan karena ada dua siswa yang pingsan, sedangkan yang lainnya berbincang dengan teman disampingnya, mengeluh lelah berdiri selama dua jam lamanya.

"Apakah kita pernah bertemu dengannya? wajahnya terlihat sangat familiar"

Pertanyaan Alin hanya di balas dengan angkatan kedua bahu Seka, tanda ia juga tidak mengenal pemuda berhoodie hitam, rambut pemuda itu hampir menutupi matanya, hanya menyisakan sedikit ruang untuk kulit wajahnya karena pemuda itu juga memakai masker hitam.

Penampilan pemuda itu seharusnya sudah menjadi pusat perhatian karena semua orang menggunakan pakaian akademiknya masing-masing, guru yang berada di dekat pemuda itu bahkan tidak menegurnya.

Pemuda itu sudah berkali-kali tertangkap basah mengawasinya, Alin mengerutkan kening merasa curiga. Saat ia membulatkan keputusan untuk menghampiri pemuda itu, Seka secara tiba-tiba menarik tas Alin dan berjalan dengan cepat meninggalkan aula.

Sumpah serapah yang Alin keluarkan karena seorang pemuda menabrak tubuhnya kini berhenti tiba-tiba, ia membungkam bibirnya ketika pemuda yang ia sukai berada di pelukannya. Untung saja ia memiliki refleks yang bagus hingga pemuda itu tidak jatuh di lapangan. Ia menarik senyum setelah membantu pemuda itu berdiri dengan sempurna.

"Hai Rayyan!"

Alin melambaikan tangannya dengan semangat, wajahnya menjadi cerah ceria. Rayyan membalas lambaian tangan Alin, ia mengalihkan wajahnya yang memerah ketika Alin dengan tiba-tiba mengusak rambutnya.

Melihat itu, Alin membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah payung. Ia memberikannya pada Rayyan dengan senyum yang tidak luntur sedikitpun. Dengan ragu, Rayyan mengambil payung dari Alin yang tak lain adalah payungnya.

Akhir pekan kemarin mereka tidak sengaja bertemu, saat itu hujan turun tiba-tiba. Alin berlari ke supermarket terdekat untuk membeli payung, namun dua payung yang tersisa sudah dibeli oleh Rayyan. Karena kasihan, Rayyan memberikan salah satu payungnya kepada Alin.

"Terimakasih payungnya, aku akan mentraktirmu nanti."

Alin berteriak cukup kencang karena Seka sudah menarik kerahnya, Alin kini sibuk melepaskan tangan Seka dari kerahnya, mencoba mengambil napas. Temannya itu memang tidak kira-kira.

Setelah bebas dari maut, Alin kembali mengutuk Seka karena membuat dirinya berpisah dengan sang pujaan hati dengan sangat cepat. Ia bahkan belum memberikan sebuah susu putih yang sengaja ia beli untuk pemuda itu.

Setelah sampai di tempat klub, terdapat sebuah kertas yang tertempel di pintu.

'... Dikarenakan banyaknya pendaftar dan para senior terlalu malas untuk mendata, maka pendaftaran akan dilakukan menggunakan aplikasi xxx, terimakasih...'

"Jangan mengomel, kan kau sendiri yang ingin masuk, ikuti saja perintahnya"

Keduanya dengan malas-malasan akhirnya mendaftarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing–Lebih tepatnya mereka berdua membolos. Tidak ada sekolah yang bubar jam 8 pagi, kalian tahu itu.

Mimpi yang Nyata

Enam hari yang berat sudah Alin jalani di tempat kemah. Benar saja dugaannya jika Grace tidak lebih baik dari dugaannya. Gadis itu ternyata seorang perisak dan suka sekali membuat seseorang kesusahan. Alin korbannya entah yang ke berapa.

Selama berkemah, ia tidak bisa istirahat dengan tenang sedikit pun. Entah guru, pembina, maupun gadis itu selalu saja berhasil membuatnya tidak bisa beristirahat berkali-kali. Menunggu malam pun percuma, mimpi aneh yang membuatnya penasaran dan kepalanya terasa pecah selalu muncul dari hari pertama ia masuk ke hutan ini.

Sebenarnya hutan ini tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu satu jam maka ia bisa kembali ke apartemennya, jadi ia dan Seka akan kabur bersama ke apartemen ketika merasa malas atau lelah.

Hutan ini memiliki pemandangan yang memanjakan matanya. Pohon-pohon tumbuh dengan rindang, di bawahnya ada beberapa bunga liar yang menarik perhatian kupu-kupu untuk datang. Sebuah sungai berukuran lima meter yang jernih namun deras membelah hutan kecil dengan sangat berani, meski begitu tidak dapat menghentikan para siswi yang ingin bermain air.

Sepanjang mata memandang, Alin melihat pohon-pohon yang besar itu seperti semak. Ia memanjat pohon yang paling tinggi dan duduk di atasnya, setelah merasa nyaman, ia mulai memainkan suling yang sengaja ia bawa.

Suara gesekan daun dan serangga seakan mengikuti permainan sulingnya, Alin merasa puas hingga melupakan amarahnya seakan-akan tidak ada. Alin jadi merasa jika ia ingin pergi ke tempat yang berada di mimpinya.

Di dalam mimpinya, ia tinggal di sebuah gubuk yang berada di tengah hutan, hutan yang lebih indah dari hutan ini. Ketika pagi, bunga-bunga terlihat segar karena dilapisi embun. Kicauan burung selalu terdengar ketika matahari terbit, kepakkan sayapnya terdengar berada di sekitarnya.

Sebuah pohon cendana tumbuh di depan gubuk, biasa ia panjat duduki untuk melihat hutan membentang luas di bawahnya. Sama seperti yang ia lakukan Sekarang. Ketika sudah puas, ia akan pergi ke sungai dan menangkap beberapa ikan untuk ia makan, lalu bermain-main di halaman rumahnya sampai rembulan menampakkan diri.

"Hah."

Suara helaan nafas terdengar dengan lirih, Alin kini sudah berdiri di atas salah satu pohon untuk menunggu kelompoknya yang tidak kunjung datang. Sudah pasti rute yang ia lewati sudah diubah oleh Grace, tadi gadis itu beralasan ingin pergi ke toilet dan menyuruh Alin untuk pergi ke pos terlebih dahulu.

"Sialan."

Pikiran-pikiran buruk kembali memasuki pikirannya, suara bisikan yang biasanya muncul saat malam, kini muncul di pagi hari membuatnya rasa marah menumpuk di hatinya. Kepalan tangan Alin semakin mengencang sampai buku-buku jarinya memutih.

Satu pukulan Alin layangkan ke dahan pohon, suaranya terdengar sangat kencang, membuat kupu-kupu bersembunyi, pohon itu bergetar dan ia terjatuh, ada sebuah portal menariknya untuk jatuh ke bawah.

"Aduh, sialan ini sakit sekali brengsek."

Lagi-lagi ia mengumpat, kali ini ia mengumpat sambil menepuk pinggulnya yang terasa kebas. Pohon itu adalah pohon tinggi, dan portal itu berada di atas pohon lainnya. Alin merasa bersyukur karena tulangnya tidak patah, paling parah ia bisa mati!

Alin mengumpulkan tenaganya untuk berdiri, ia membersihkan tanah yang mengotori pakaiannya yang tiba-tiba saja berubah. Baju training khususnya kini berganti menjadi sebuah dress berwarna putih. Rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya, ia menjambak rambutnya berharap rasa sakit itu berkurang.

Setelah lama berkutat dengan rasa sakitnya, ia kini merasa jika tubuhnya menjadi lebih ringan dan hangat, sebuah asap melapisi tubuhnya. Alin berusaha menghilangkan asap itu namun asap itu tidak bergerak sedikit pun.

Karena merasa jengkel, ia memilih untuk memindai pemandangan yang tersaji di depannya, sejauh matanya melihat hanya ada tanah lapang yang tertutupi rumput hijau, semak-semak liar tumbuh dengan bunga yang lebih tinggi, aneh namun indah.

Alin berjalan mendekati salah satu semak yang memiliki bunga serta buah berwarna ungu tua, jari lentiknya mengelus kelopak bunga tersebut kemudian memetik dua butir buah dan memakannya.

Rasa buahnya sangat manis sampai-sampai bisa mengukir sebuah senyuman yang tidak pernah muncul di wajahnya selama ini, saat matanya beralih kembali baru ia menyadari jika di belakangnya terdapat sebuah hutan yang lumayan luas.

"GRRRRR"

Geraman itu membuat bulu kuduknya berdiri, dengan patah-patah ia melihat menoleh ke sampingnya.

Seekor singa raksasa berdiri dengan gagah tepat di sampingnya, matanya yang merah memindai Alin dari atas rambut hingga kaki lalu terhenti di salah satu tangan Alin yang masih menggenggam buah tersebut, singa itu mendengus kencang hingga rambut Alin berterbangan.

Tubuh Alin sudah basah karena keringat ketakutan setelah melihat singa itu, namun ketakutannya kembali memudar saat menyadari jika singa itu bersiap untuk menerjangnya.

Dengan cepat Alin mengambil kedua hiasan rambut yang tidak pernah terlepas dari rambutnya. Dalam gerakan sepersekian detik, hiasan itu berhasil menusuk mata sang singa, darah menyiprat ke wajahnya.

Keduanya terdiam membeku berusaha memproses kejadian yang baru saja terjadi, Alin pertama kali sadar langsung menarik salah satu hiasan rambutnya yang tertancap, mencipratkan darah lebih banyak ke arahnya, saat sadar kembali ia meloncat dua langkah ke belakang.

Singa itu mengaum kesakitan, Alin tersadar sepenuhnya atas apa yang sudah ia lakukan pada singa itu. Ia menggumamkan maaf berkali-kali hingga singa itu kembali memandang Alin dengan marah.

Singa itu mengaum sekali lagi menunjukkan amarah yang sudah bergumul di dadanya, dengan cepat singa itu berlari ke arah Alin yang entah sejak kapan berlari ke arah hutan. Alin terus berlari memasuki hutan tanpa menoleh ke belakang, semakin dalam hutan itu semakin gelap, pohon-pohon berukuran lebih besar daripada pohon di perbatasan hutan.

Setelah lama berlari sebuah portal lagi-lagi tercipta di bawah pijakannya membuat dirinya lagi-lagi terlempar ke sebuah dimensi. Lagi-lagi Alin berdecak kesal karena banyak daun-daun kering yang menyangkut di rambutnya.

Sambil membersihkan dirinya, ia kembali memindai tempat dimana dirinya berakhir. Sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman rotan dengan atap bolong yang bisa di lewati oleh hujan dan juga sinar matahari. Rumah ini benar-benar tidak layak dan harus di bumi hanguskan.

Kakinya menjelajahi rumah itu dengan hati-hati, seakan-akan rumah itu dapat roboh jika dirinya melangkah dengan cepat, tidak ada banyak benda di rumah itu hanya ada sebuah meja, tungku dan lemari di dapur.

Hanya ada 3 ruangan yang tersedia. Alin menyimpulkan jika yang ia tempati tadi adalah ruang tidur, dan ia berada di ruang tamu sekarang karena pintu yang mengarah keluar hanya ada di ruangan ini. Ruang ini lebih besar daripada kamar, juga lebih bersih daripada dapur.

"Tempat ini adalah mimpiku? Tapi di mimpiku tempat ini sangat bagus, luas dan juga bersih."

Monolognya terpotong karena rasa sakit di kepalanya kembali muncul, ia mendudukkan dirinya di meja, berusaha mempertahankan kesadarannya. Pandangannya memburam, potongan-potongan kisah masuk ke dalam memorinya dengan paksa.

Tubuhnya terasa sakit sekali, ia membelalakkan matanya ketika ia tidak bisa merasakan kedua kakinya. Bau amis perlahan masuk ke indra penciumannya, ia merasa hangat namun dingin di saat yang bersamaan.

Belum selesai memproses kejadian, Alin kembali dihadapkan oleh bencana. Seorang pemuda bersurai perak menghunuskan pedangnya ke perut Alin tanpa ragu. Seteguk darah keluar dari mulut Alin.

"Sial...an."

Umpatan itu keluar dari mulut Alin dengan terputus-putus, gadis itu merasakan sakit yang luar biasa. Rasanya ia akan mati sekarang juga. Ia meraih kerah pemuda itu, mencengkeramnya dengan kencang tanpa berniat untuk melepaskannya. Di rekamnya wajah itu dalam memorinya, sebelum pandangannya menggelap.

Samar-samar ia mendengar suara teriakan tepat di sebelahnya, Alin langsung menengok ke arah tersebut. Seorang pemuda bangkit dari duduknya, pemuda itu menundukkan wajahnya dan sangat berhati-hati, seperti takut jika ia akan menyinggung Alin yang menatapnya penasaran.

Alin merasa tenggorokannya terasa kering dan sakit, matanya tak sengaja melihat gelas berisi air putih, ia mengambil dan meminumnya tanpa ragu, air itu terasa segar melewati tenggorokannya, iya menebak jika pemuda itu baru saja mengisinya. Bau besi tercium ketika air itu masuk ke tenggorokannya, ia berhenti dan melihat air itu dengan seksama, mencium baunya lalu mengerutkan dahi. Merasa yakin jika masalahnya bukan ada di air itu, tapi pada tenggorokannya benar-benar terluka.

"Berapa lama aku tidur?"

"Tiga hari, nona."

Alin tersedak air liurnya sendiri setelah mendengar jawaban pemuda itu, tiga hari? Rasanya ia sudah berada di neraka selama seribu tahun! Seketika itu pula, tubuhnya merinding ketika ia kembali mengingat tentang apa yang ia lihat di mimpi.

"Bukan mimpi, aku benar-benar dibunuh."

Alin melihat kakinya yang dibalut perban, tangannya penuh dengan goresan, darah masih belum berhenti keluar dari tubuhnya saat ia bergerak. Alin mengorek telinganya yang sedikit gatal, mulai memikirkan hal-hal yang terjadi padanya.

Kejadian-kejadian aneh mulai mengikutinya setelah Alin melihat pemuda di aula itu, semenjak saat itu Alin mulai bermimpi aneh, tentang Alin yang sebenarnya adalah seorang raja iblis pertama, tempat ia seharusnya bukanlah di bumi, tapi disini di dunia antah berantah ini.

"Aku- Aku tidak membunuhmu. Saat aku kembali, kau sudah tidur di kasur dan tu- tubuhmu tiba-tiba saja terluka."

Pemuda itu berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya membuat Alin tersadar jika dikamar ini tidak hanya ada dirinya saja, masih ada pemuda lain disisinya. Jujur saja, menurutnya penampilan pemuda itu sangat manis hingga terlihat cantik.

Rambutnya yang panjang di sanggul rapih, poninya menutupi kening menambah kesan cantik tersendiri, wajahnya terlihat sangat imut, bulu mata yang panjang menghiasi bola matanya yang berseri indah, sekilas Alin merasa jika ia sedang menatap alam semesta.

Sayang sekali bajunya terlihat lusuh dan pipinya tirus, terlihat seperti orang yang sangat miskin.

"Oh benar, jika ini kenyataan, aku juga orang miskin sekarang."

Alin menepuk dahinya. Pemuda itu masih tidak bergerak dari tempatnya, berdiri mematung sambil memandang Alin dengan penuh kewaspadaan yang sedikit terpancar kala ia lagi-lagi melihat Alin berbicara sendiri.

"Kau kenal denganku?"

Alin bertanya sambil menunjuk dirinya, pemuda itu menjawab dengan gelengan ragu-ragu.

Helaan kasar kembali ia keluarkan, Bagaimana bisa pemuda itu menurutinya jika ia sendiri tidak mengenal orang yang ia turuti. Pemuda ini sebenarnya terlalu baik hati atau polos menyerempet dungu?

"Baiklah dengarkan aku. Kau tidak mengenalku namun mengapa kau merawatku? Bisa saja aku ini orang jahat yang sedang mencarimu meski aku juga tidak kenal denganmu tapi mengapa kau tidak menyerangku atau mencurigaiku sedikitpun?"

Alin mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda itu, ia menatap lamat bibir secerah cherry itu lalu menggelengkan wajahnya, berusaha menyadarkan dirinya dan fokus pada masalah utama. Pemuda itu terlihat memundurkan wajahnya, merasa tidak nyaman dengan Alin yang tiba-tiba mendekatinya

"Itu- aku hanya.. yakin jika kau orang yang baik, terlebih aku tidak berguna karena tidak memiliki kekuatan."

Alin membelalakkan matanya, rahangnya jatuh ketika mendengar ucapan pemuda itu. Ia menggeleng tidak percaya.

"Bagaimana bisa kau menganggap dirimu tidak berguna? Bahkan babi selalu sombong terhadap dirinya. Jika kau berbicara seperti itu, baiklah sekarang kita buat dirimu berguna."

Alin menarik tangan pemuda itu hingga keluar dari gubuk, jika dilihat dari luar gubuk itu benar-benar gubuk yang berada di dalam mimpinya. Dalam diam, ia mulai mengomel pelan sambil melihat gubuk itu lebih teliti.

"Kita anggap jika ini benar-benar rumahku, lalu setelah ini, apa? Aku harus berusaha dari awal lagi? Mencari pundi-pundi uang demi bertahan hidup? Bukankah seharusnya ada sebuah sistem yang memberikan misi? Atau menjadi pemandu perjalanan di dunia asing seperti novel the scum villain's self-saving system? Kalau tidak ada, aku benar-benar akan mati."

"Yaish sudahlah terserah kau saja."

Alin berteriak kesal, Ia menghentakkan kakinya ke tanah. Mengutuk siapa saja yang menyenggolnya. Hal ini membuat pemuda itu beringsut takut, ingin melarikan diri tetapi tangannya masih di genggam oleh gadis itu.

Setelah puas mengutuk, Alin melepaskan genggamannya dan berjalan ke arah hutan, ia sempat berhenti ketika menyadari jika pemuda itu tidak juga menyusulnya. Jalan setapak ini mengarah ke sebuah batu besar yang berhadapan dengan sungai jernih di depannya.

Alin lagi-lagi terdiam, tempat ini benar-benar sama seperti tempat yang ada di dalam mimpinya. Sebelum larut dengan pikirannya, Alin meminta pemuda itu untuk duduk di atas batu besar untuk berkultivasi.

Alin fokus memperhatikan pemuda itu, ia bisa melihat dengan jelas jika ada banyak asap putih yang mengelilingi pemuda itu, namun asap itu sama sekali tidak bisa masuk ke dalam tubuh pemuda itu. Berbeda dengan dirinya, asap itu dengan cepat masuk ke dalam tubuhnya hingga tubuhnya semakin terasa ringan.

Berbekal pengetahuan dari mimpinya, Alin menyalurkan energinya ke pemuda itu. Matanya terbelalak tak percaya karena energinya di terima dengan baik oleh tubuh pemuda itu. Alin memejamkan matanya, telinganya ia pasang dengan baik takut jika tiba-tiba ada sesuatu yang menyerang.

Matahari kian meninggi, menunjukkan waktu jika kini sudah siang hari. Alin membuka matanya, berhenti menyalurkan energi ke pemuda itu karena pemuda itu kini bisa berkultivasi sendiri. Ia berlari dengan semangat ke sungai, merendam kakinya di air dingin itu sedangkan tangannya sibuk menombak ikan menggunakan ranting yang berada di sekitarnya.

Saat di rasa cukup Alin berhenti memburu ikan dan mulai menyalakan api unggun untuk membakarnya, suasana hatinya sepertinya sedang dalam keadaan yang baik karena senyum tipis tidak pernah berhenti terukir dari wajahnya.

Keempat ekor ikan yang ia dapatkan, ia tusukkan pada empat ranting yang sudah ia bersihkan, bau ikan bakar menyerbak membuat perutnya mengeluarkan bunyi keroncongan. Itu sudah pasti karena dirinya sudah tiga hari ini tertidur tanpa ada makanan yang masuk ke tubuhnya.

"Hei kemari, sudahi dulu kultivasimu, kita makan terlebih dahulu."

Alin berteriak dengan lantang, pemuda itu tersentak kaget dan mengejapkan matanya lalu turun dari batu besar itu dengan bantuan Alin. Sarapan menjelang makan siang itu pun dimulai.

Chyou

Suasana hati Alin yang awalnya sangat baik kini hancur lebur bersamaan dengan hujan yang tiba-tiba saja mengguyurnya ketika sedang di perjalanan pulang, untungnya di dekat mereka ada sebuah gua batu, jadi kini mereka terjebak kedinginan di dalam gua.

Ia total melupakan niatnya yang ingin memperbaiki rumah reyotnya ketika ia mulai melihat gua batu tersebut dengan teliti, batuan di gua sangatlah padat tapi bagaimana bisa seorang manusia menggalinya? Tangannya meraba dinding gua dengan hati-hati, permukaan batu yang kasar menyapu kulitnya, semakin lama ia merasakan permukaan batu, ia merasa semakin kagum.

Tiba-tiba saja Alin teringat dengan pemuda bersamanya sedari-tadi, pemuda itu duduk meringkuk sambil memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar menahan dingin seperti kucing kecil, Alin merasa gemas dengan tingkah pemuda itu.

Ia sekali lagi melihat gua, berusaha menemukan barang yang berguna bagi mereka untuk menghangatkan tubuh. Tak lama mencari, ia menemukan sebuah batu yang lumayan tinggi untuk pemuda itu duduk. Di tariknya tangan pemuda itu hingga ke hadapan batu, lalu ia meminta pemuda itu untuk duduk di atasnya dengan paksa.

Alin memberikan jubah dalam miliknya yang tidak basah, menyuruh pemuda itu melepas jubah luarnya dan menggantinya dengan jubah miliknya.

"Nanti kau sakit."

Itu alasan yang di beri Alin setelah pemuda itu menolak jubahnya sebanyak tujuh kali. Alin kembali menutup mulutnya, menatap malas api unggun yang baru saja ia buat. Sedikit berpikir, mengapa tiba-tiba ia menjadi suka mengatur.

Pikirannya kembali melayang, seingatnya hanya ada satu dua orang yang bertahan di sisinya, menjadi temannya tanpa berniat meninggalkannya. Semua yang mendekat, selalu pergi. Beberapa dekat hanya untuk mengambil budi.

Hanya sedikit orang yang mengerti ceritanya, entah itu cerita hidupnya atau cerita buatannya. Kolot, aneh, dan menakutkan, tiga kata itu yang selalu keluar ketika ia bertanya apa alasan teman-temannya pergi menjauhinya.

Muak, itu satu-satunya yang Alin rasakan sampai sekarang.

Uap hangat menyapu wajahnya, Alin sedikit terbatuk karena menghirup abu tanpa sengaja. Air mata keluar dari matanya, hidungnya terasa sakit sekali membuatnya tak tahan. Segera ia berlari ke mulut gua, mencuci wajahnya agar rasa perih itu segera pergi.

"Apa tidak bisa lebih sial lagi."

Selesai mengutuk, ia masuk kembali ke dalam gua lantas bergabung bersama pemuda yang terlalu asik membaca sampai-sampai tidak sadar dengan kehadiran Alin yang berjongkok di sampingnya, ikut membaca tulisan yang terukir di batu.

"Wah ini cerita tentang sang Putri legenda, apakah aku boleh membawanya?"

"Tidak, siapa tau batu ini terkutuk, emm... Siapa namamu?"

Lagi-lagi pemuda itu terjatuh karena merasa kaget, sang pelaku hanya tertawa dan mengulurkan tangannya, berniat membantu pemuda itu untuk bangkit. Pemuda itu menerima uluran tangan Alin dan memperkenalkan dirinya.

"Aku.. Namaku Chyou, tapi nona, aku juga tidak tahu namamu."

"Haha kau benar, baiklah kau bisa panggil aku-"

Ucapan Alin terputus saat melihat kalimat yang terukir di batu tersebut, matanya terbelalak dengan mulut terbuka karena tidak menduga dirinya akan di beri kejutan seperti ini. Ia menjawab secara acak menutupi rasa terkejutnya. Rasa terkejut itu kini pindah pada Chyou saat Alin menyebutkan nama samarannya.

"Baobei? Ti-tidakkah itu...."

Pemuda itu menunduk guna menyembunyikan wajahnya yang sudah di penuhi warna merah merona, malu dengan perkataan Alin.

"Aku hanya bercanda, namaku Alin tapi aku lebih suka dipanggil Lian, baiklah karena hujan sudah berhenti kita harus bergegas kembali karena mentari sepertinya akan terbenam, ada banyak makhluk buas jika kita masih mengulur waktu."

Alin berjalan lebih dulu tanpa menunggu, ia berjalan lumayan cepat karena sudah terbiasa, namun Chyou harus mempercepat langkahnya agar tidak semakin tertinggal dari Alin yang berada enam meter di depannya.

Perjalanan hanya memakan setengah waktu daripada perjalanan awal, gua itu ternyata hanya berjarak dua puluh meter dari gubuk, Alin tersenyum puas ketika menyadarinya, ia bisa menghemat banyak tenaga.

"Kau masuklah, aku ada urusan sebentar."

Chyou hanya bisa menurut, melaksanakan perintah Alin tanpa bantahan meski gurat khawatir tercetak jelas di wajahnya, Chyou memandang Alin yang jalan masuk ke dalam hutan setelah mengantarnya masuk ke dalam gubuk.

"Jelaskan padaku apa maksud semua ini? Kau sistem? Namamu benar-benar sistem? Jelek sekali."

Sebuah hologram berwarna merah muncul di sampingnya, hologram itu berbentuk garis-garis seperti lagu di soundcloud, setiap ada suara keluar menjawab Alin, garis-garis itu memanjang menyesuaikan nada sistem.

"Owner tidak sempat memberi nama, jadi aku hanya mengarang. Semua mimpi itu benar kenyatannya, mimpi itu berasal dari kehidupanmu di celah dunia ini. Tapi, jika kau benar-benar ingin menjadi Alin, aku akan mengirimmu kembali."

"Tidak perlu, aku akan kembali jika aku ingin. Kau dari dunia modern? Bumi? Abad ke berapa? Dengar, aku tidak ingin melakukan hal yang sia-sia, jadi jelaskan apa maksud dan tujuan ownermu itu mengirimku ke sini. Pertemukan aku dengan ownermu."

Sambil berkacak pinggang, Alin memainkan genangan air menggunakan kakinya. Awalnya ia berniat untuk mencari kayu untuk membuat rumah, namun sebuah hologram tiba-tiba muncul dan menyebutnya sebagai master, mau tidak mau rasa penasarannya yang terpendam kembali keluar tak tertahan.

"Owner akan menemuimu setelah kau memiliki kediaman, owner sendiri yang akan menjelaskannya padamu. Aku hanya di kirim untuk membantumu membuat kediaman, setidaknya itu tugas yang harus aku selesaikan untuk saat ini."

Alin mendengus kasar, mencibir, "Semua perkataanmu seperti alien, untung saja aku memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi."

"Kenapa juga aku harus melayani dua tuan yang memiliki sifat yang sama, meskipun aku sistem aku juga memiliki perasaan!"

Protes yang di layangkan sistem hanyalah angin lalu baginya, Alin sudah sibuk menyiapkan banyak kayu. Ia mengarahkan kekuatannya ke ujung hiasan rambut yang ia pegang, setelahnya ia melemparkan hiasan itu seperti saat ia bermain papan dart. Meski ia melemparnya tak sekeras, nyatanya hiasan rambut itu bisa menghancurkan dua pohon sekaligus.

Alin tertawa canggung, tak mengira jika lemparannya berhasil.

"Ceritakan tentang Chyou."

"Seperti yang kau tahu nama pemuda itu adalah Chyou."

14 tahun yang lalu, tepatnya saat malam hari pada bulan purnama, sepasang kultivator berjalan kesana kemari berusaha menyewa kereta kuda, namun badai terjadi dimana-mana membuat aktivitas menjadi terganggu, penolakan terus mereka dapatkan.

Tak kunjung mendapat kereta, sepasang kultivator itu kembali ke penginapan, menjemput bayi mereka dan membawanya pergi. Pasangan kultivator itu sudah sangat lemah, tenaganya habis untuk mencari kereta, dan sekarang mereka harus melindungi bayi mereka.

Mereka berjalan tak tentu arah, kadang ke utara, kadang ke timur. Setiap badai lewat, mereka berusaha keras untuk melindungi bayi yang berada di pelukan sang istri. Pakaian mereka yang awalnya indah kini sudah lusuh dan kotor, kasar untuk kulit seorang bayi.

Setelah lama berjalan tak tentu arah, mereka sampai ke sebuah perkampungan terpencil yang letaknya sangat jauh dari kerajaan. Meski begitu, secercah harapan muncul di hati mereka, perkampungan kecil itu masih berpenghuni, asap keluar dari corong asap beberapa rumah. Dengan semangat yang sudah terisi penuh, mereka berjalan ke salah satu rumah yang ada di dekat mereka.

Kedatangan mereka ternyata di terima dengan baik oleh sang pemilik rumah, pemilik rumah itu menawarkan salah satu rumah miliknya yang tidak di tepati, hal ini tentu saja di sambut baik oleh pasangan kultivator itu.

6 tahun kemudian, desa yang kembali hidup itu di serang oleh bandit-bandit gunung yang mulai mengusik kehidupan mereka. Awalnya para bandit itu hanya merampas hasil alam milik warga, namun karena warga desa ingin merayakan nama baru Chyou, mereka menolak memberikan hasil alamnya.

Bandit-bandit itu mulai menggila, mereka merampas seluruh hasil alam dan membantai seluruh warga desa, malam itu purnama seperti berdarah, air yang mengalir di sungai sudah tercampur dengan darah, ladang makanan tertimpa mayat yang bergelimpangan dimana-mana.

Suara bising sudah menghilangkan, teriakan dan rintihan kini sudah tidak tersisa. Serigala mengaum, diikuti oleh sepasang tangan kecil yang berusaha keluar, mendorong tubuh yang menimpanya.

Chyou meneteskan air matanya, ayah dan ibunya terbaring tak sadarkan, tangan yang ia dorong tadi adalah tangan ibu, suara isakan terdengar lebih jelas, ibu tidak menjawab panggilan Chyou, begitu juga dengan ayahnya.

Chyou kecil itu bangkit dan berjalan dengan lemah, mencari orang-orang yang mungkin saja masih bisa terselamatkan. Rumah-rumah penduduk sudah hancur, menyatu dengan tanah. Api tersebar dimana-mana, membakar habis semua yang menyentuhnya.

Binar mata Chyou kini sudah padam, bahunya meluruh tanpa tenaga, bibir pucatnya berusaha untuk tersenyum setipis yang ia bisa. Namun itu semua tidak bertahan lama, air mata yang sudah lama ia tahan kini pecah, membasahi wajahnya.

Pundak mungilnya bergetar berusaha kuat menahan tangis, Kaki mungilnya ia paksa untuk meninggalkan desa.

Perjalanan panjang yang tak menentu di tempuh oleh Chyou, di usiannya yang masih sangat belia, Chyou harus pergi seorang diri berkelana di dunia yang luas dan asing ini. Meninggalkan jasad orang-orang yang ia sayangi, tak bisa memberi tempat peristirahatan yang baik untuk mereka.

Berhari-hari mengembara tanpa tujuan akhirnya Chyou sampai di ibukota, selangkah lagi ia berhasil masuk, namun pandangannya menggelap, ia tak sadarkan diri. Prajurit yang bertugas segera membawanya ke tabib, dan mengirimnya untuk tinggal di sebuah panti sosial.

Hidup di tempat asing dengan orang yang tidak ia kenal membuat sifat Chyou yang riang dan ceria berganti menjadi pendiam, Chyou yang tadinya suka bertemu banyak orang kini menutup dirinya, apalagi pemilik panti sering kali melakukan kekerasan pada anak-anak. Chyou merasa semakin tertekan karenanya.

Suatu hari setelah kunjungan rutin walikota ke panti, Chyou mencuri dengar percakapan antara pemilik panti dengan beberapa orang asing, ia tidak banyak mengerti namun ia paham jika ia dan beberapa orang lainnya akan di jual ke orang asing itu.

Malamnya Chyou melarikan diri dari panti dan pergi mengembara seorang diri ke arah hutan. Hutan itu sangat indah, ada banyak daun dengan ragam warna dan bentuk menghiasi pandangannya, buah-buahan yang segar melimpah di hutan, hal yang membuatnya sangat bahagia yaitu tidak ada orang di sana.

Chyou terus berjalan menapaki bekas jalan setapak yang sepertinya dulu sekali biasa di lewati, di sepanjang perjalanan binar matanya yang meredup perlahan kembali, senyuman yang biasanya tidak hadir kini kembali terukir.

Sepanjang perjalanan, Chyou tak henti-hentinya bersenandung, menyanyikan lagu yang ibunya ciptakan secara tak sengaja saat merasa bahagia, Chyou berhenti berjalan, ia mengusap air matanya dengan kasar, ia merindukan ibunya.

Sekali-kali ia berhenti, menyapa kupu-kupu dan bunga yang membuatnya tertarik. Terkadang, ia mengejar burung yang terbang dengan semangat, berlarian kesana kemari, hutan itu bagaikan taman bermain baginya.

Terlalu asik bermain, tanpa sadar Chyou sampai di sebuah rumah yang berada di tengah-tengah hutan, rumah itu dikelilingi oleh bunga-bunga yang cantik dan berbagai warna, kupu-kupu menari di atas bunga-bunga.

Sebuah pohon cendana berdiri dengan kokoh di depan rumah, seperti melindungi bunga yang berada di bawahya dari hujan.

Chyou memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah, meminta izin untuk singgah sementara. Namun, belum sempat tangannya mengetuk pintu, pintu itu terbuka sendiri menampilkan ruangan yang luas dengan sedikit barang di dalamnya.

Ia masuk ke dalam rumah itu dengan hati-hati, debu melapisi semua benda di rumah itu, Chyou menutup hidungnya, merasa jika ia bernapas, debu-debu akan masuk ke dalam hidungnya. Ia membalikkan tubuhnya, berniat keluar dari rumah itu namun ia mengurungkan niatnya.

Dengan tergesa, Chyou menyembunyikan dirinya di belakang tempat tidur. Ada kelompok bandit yang masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik rumah tersebut, rumah yang tadi rapi sekarang menjadi sangat berantakan.

Chyou menahan nafasnya, wajahnya panik bukan kepalang tatkala seorang bandit mendekat ke arahnya, beruntung pemimpin bandit itu menyuruh anak buahnya untuk mengambil barang yang tersisa di rumah itu, lalu pergi begitu saja, ia menghembuskan nafas lega, kini ia sudah merasa aman.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!