NovelToon NovelToon

Unblessed Story

Terra, dunia modern

Suara seruling terdengar sangat merdu dari sebuah ponsel yang tergeletak tak berdaya di karpet merah, menemani seorang gadis yang sedang tidak melakukan apa-apa di malam hari.

Gadis itu hanya duduk di depan jendela sambil mendengar suara suling dengan mata yang terpejam, bahkan ia mengabaikan kacamata bulat yang merosot dari hidungnya. Kedua kakinya lurus di atas meja, sedangkan tangannya bersedekap dengan kepala menunduk hingga tak sedikit rambutnya yang tidak tersanggul berjatuhan menutupi wajahnya.

Sementara itu laptopnya menyala di atas meja menampilkan potret tiga orang manusia yang berteduh di bawah halte, seorang perempuan yang memegang payung berdiri di belakang kedua pemuda yang tersenyum padanya.

Tiba-tiba saja terdengar suara 'brak' yang sangat kencang dan pintu kamar yang tertutup rapat itu secara tiba-tiba terbuka hingga membuat gadis itu tersentak bangun dari tidurnya dan jatuh dari kursi.

"Apa? Kenapa? Ada apa? Sialan pintuku!"

Gadis itu berteriak kesal saat melihat pintu kamarnya terbaring di lantai, ia langsung berdiri dan melemparkan kotak pensil yang berada di sampingnya ke arah pelaku.

"Kecelakaan kecil, aku tidak sengaja."

Pemuda yang menjadi penyebab utama runtuhnya pintu itu menjawab dengan santai sambil menangkap kotak pensil yang melayang kearahnya, seakan tidak melakukan sesuatu sebelumnya.

Tanpa permisi, pemuda itu menyankan tubuhnya di atas kasur, memindai kamar yang terlihat sangat berantakan. Baju yang berhamburan tidak tau mana yang bersih dan yang kotor, bungkus makanan yang tersebar di seluruh penjuru kamar, belum lagi kotak-kotak besar yang tersimpan di tengah-tengah ruangan, hanya menyisakan meja belajar dan kasur yang sedikit terlihat layak.

"Omong-omong, Alin apa kau tidak membersihkan kamarmu lagi?"

"Aku tinggal sendiri, tidak perlu merepotkan diri untuk bersih-bersih."

Alin menjawab asal sambil mematikan musik yang ia putar di ponselnya setelah itu ia merenggangkan tubuh dan menjatuhkan tubuhnya di kursi menghadap pemuda itu.

"Omong-omong untuk apa kau kemari, Seka? Tidak sepatutnya seorang remaja lelaki masuk ke rumah seorang gadis." Sarkas Alin.

"Berdisko! Ya sudah pasti untuk mengantarkanmu makan malam. Bunda tadi sempat pulang dan memasak banyak makanan, membangunkanku yang sedang sibuk kencan dengan pacarku untuk mengatarkan makanan padamu. Aku sudah menyiapkan makanannya di meja, bangunkan aku jika kau sudah selesai makan, aku harus membawa tempat makan yang kosong sebagai bukti. Padahal sedikit lagi aku melihat wajah pacarku, kalian harus bertanggung jawab."

Setelah mengatakan itu, Seka menutup tubuhnya menggunakan jaket yang ia pakai, masih terdengar suara dumalannya lalu berganti hening, Alin hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya.

"Dikiranya apart-ku ini tempat penginapan."

Suasana menjadi hening, Alin mendekat untuk memastikan jika Seka tidur dengan nyenyak, ia membenarkan jaket Seka yang menutupi setengah wajahnya itu lalu bergegas mendirikan pintunya yang masih tergeletak tak berdaya.

Sepanjang jalan ke dapur, Alin asik bergumam, kadang kala ia melompat kecil dan meringis kala kakinya menendang sebuah balok kayu yang dengan iseng ia tempelkan.

"Aku mencintai hidupku, aku mencintai diriku, aku menyayangi semua yang aku kenal namun jika Xie Lian ge datang untuk memintaku menjadi pengantin untuk menangkap general Xuan Ji aku akan pergi! jika Xie Lian ge datang dan memintaku untuk merenovasi kuil-nya aku akan ikut dengannya! ji-"

"Jika Wei Wuxian memintamu untuk menjadi jendral hantu keduanya, kau akan pergi. Jika Wei Wei Wuxian datang dan memintamu untuk memakan makanan buatannya kau akan makan. Hei sadar diri, mereka tidak akan mendatangimu mereka hanya tokoh fiksi. berhenti bicara dan makan saja, aku ingin tidur dengan tenang." Potong Seka sambil melempar sendok ke kepala Alin yang entah darimana datangnya.

Alin kembali menggerutu kesal sambil memegang sendok yang mendarat dengan mulus di kepalanya.

"Lihat dia, ini rumahku, kediamanku, namun dia yang berkuasa ini tidak adil, kan. Aries." gumamnya lagi sambil melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.

Sesampainya di ruang makan, Alin mendudukkan dirinya di salah satu bangku. Kedua tangannya terangkat dan menopang wajahnya, menatap makanan dengan malas, tidak ada niat baginya untuk menyentuh makanan yang masih hangat itu, asap yang keluar seakan memanggilnya namun ia abai.

Kembali melamun, mengidarkan tatapannya ke sekitar yang terlihat gelap, mata Alin yang sensitif menjadi sebab dari kegelapan itu, makanya ia hanya menyalakan lampu-lampu kecil yang berada di tiap pojok ruangan untuk membuat matanya nyaman meski apartemennya terlihat temaram dan cukup dingin.

Apartemen yang terlihat luas itu menjadi semakin luas karena sedikitnya barang yang bisa masuk kedalamnya, ruang tamu yang hanya diisi oleh sebuah meja yang diatasnya ada sebuah pot bunga, sofa dan juga tv yang menggantung di tembok.

Tidak jauh beda dengan dapurnya, hanya tempati kulkas dan meja makan, satu kompor, satu panci dan satu dispenser, peralatan makan hanya ada satu set.

Alin tertawa kecil, "ah, malangnya."

Setelah itu, ia memaksakan dirinya untuk memakan makanan yang sudah dibuat oleh bundanya Seka. Alin makan dalam diam, sangat tenang dan pelan.

Sekitar lima belas menit kemudian, Seka datang dari kamar sambil membawa jaketnya, mukanya tertekuk masam, terlihat sangat mengantuk namun harus pulang ke rumah secepatnya.

"Kamu lama banget makannya."

Seka menelungkupkan wajahnya diatas meja makan, menatap Alin yang asik memakan tempura.

"Makanan yang enak harus dinikmati, untuk apa buru-buru." Jawab Alin.

"Supaya aku cepat pulang!"

Seka menyerobot kesal, tangannya dengan cepat mengambil salah satu tempura yang ada di depannya.

"Oh iya juga."

"Kakakmu menitipkan pesan padaku, 'selamat ulang tahun, semoga hari-harimu dipenuhi kebahagiaan, semoga tahun ini kamu tersenyum lebih banyak, semoga tahun ini kamu masih ingin menyusahkanku, dan jika aku boleh egois semoga tahun ini kamu mau pulang, sekali saja aku mohon tolong bolehkan aku melihatmu. tolong kirimkan pesan padaku, aku rindu' Begitu katanya, dia juga membawa sebuah kado, tadi aku buru-buru jadi tidak sempat membawanya."

Pesan yang dibawakan Seka membuat Alin mematung, gerakan mengangguk ia jadikan jawaban, sambil mendengar ocehan Seka tentang ini dan itu, yang sama sekali tidak di indahkan Alin.

Sudah satu jam setelah kepergian Seka, Alin masih duduk di tempat yang sama, menatap tv yang ia setel saat bersama Seka tadi. Wajahnya yang terlihat datar tanpa emosi itu menampilkan sedikit rasa putus asa, membendung lautan rasa sakit yang sampai sekarang belum juga mendapatkan sedikit pelampiasan.

Alin memijat keningnya, berusaha mengenyahkan pening yang tiba-tiba mendera, sambil menidurkan kepalanya di senderan sofa, Alin menghela nafas sangat panjang dan berat, kembali mengingat masa lalu yang sampai sekarang masih ia usahakan untuk melupakannya.

"Ah sudahlah, apa yang ku pikirkan ini." omelnya pada diri sendiri saat menyadari keadaannya yang kembali kacau.

ia membuka kopi kaleng dan beberapa cemilan yang ada di atas meja, semua makanan itu sebenarnya milik Seka, pemuda itu selalu membawa sesuatu saat berkunjung, entah itu makanan, komik, maupun nendoroid yang sampai saat ini menjadi penghuni di lemari.

"Sebenarnya apa motivasi mereka menayangkan film-film seperti ini? bukankah lebih baik menyiarkan anime atau vtuber daripada tentang perceraian dan orang ketiga yang entah apa maksudnya, membosankan."

Film berganti-ganti menuruti sinyal yang dipancarkan remote, potongan suara dari adegan-adegan memenuhi ruangan.

"Argh bagaimana aku akan melanjutkan hidupku jika seperti ini."

Alin merengek sambil berguling di sofa, merasa bosan karena tidak ada tontonan yang berhasil membuatnya terhibur. Ia terus berguling-guling hingga tanpa sadar ia sudah berada di ujung sofa, tak lama kemudian terdengar suara yang cukup kencang diiringi dengan suara ringisan.

Alin mengelus pinggangnya yang terasa ngilu karena terhantuk meja, dengan pelan ia duduk ke sofa dan lanjut menonton sampai akhirnya suara berisik dari ponselnya membuat Alin kesal.

Dirinya terus berguling-guling hingga tidak menyadari jika dirinya sudah berada di ujung sofa, tidak lama setelahnya terdengar suara 'bruk' yang sangat kencang.

Ya, dirinya terjatuh dari sofa dan pinggangnya terhantuk meja. Itu sakit, atau mungkin sangat sakit bahkan setelah di lihat terdapat lebam di pinggangnya.

"Hiks... Sial sekali." gerutunya sambil menidurkan kepalanya di sofa, membiarkan TV tersebut menyala tanpa ada yang menonton.

"Alin!" 

Seorang pemuda yang sedari tadi menjadi pusat perhatian sejak turun dari podium memanggil Alin lumayan kencang, membuat Seka yang berdiri di samping Alin langsung menarik kerah Alin hingga gadis itu menjerit marah.

"Bajingan, jika aku mati kehabisan nafas aku bersumpah akan- Rayyan! Selamat tidur, dunia hahaha ayo sarapan bersamaku."

Raut mendung Alin berubah cerah saat melihat pemuda yang baru saja masuk ke aula, dengan gesit gadis itu melepaskan tangan Seka dan merangkul pemuda sedikit lebih pendek darinya, total mengabaikan rengekan pemuda yang ia rangkul maupun dua pemuda yang memanggilnya di belakang.

Meski kesenangannya terhenti karena Rayyan memaksa berhenti dan menampilkan raut wajahnya yang kesal. 

"Semalam aku mengetik terbalik karena sudah mengantuk, kak. Maaf aku sudah sarapan bersama bunda, aku masih kenyang. Aku kesini ada perlu sama Kak Ala untuk mengurus beberapa berkas." 

Meski Rayyan terlihat marah, gadis yang menatapnya masih menampilkan raut wajah yang riang, tidak merasa terganggu sedikitpun karena ia tau jika Rayyan hanya main-main.

"Yah padahal aku berniat untuk mentraktirmu karena ini hari terakhirku disini." Ucap Alin dramatis.

"Kemana? Emang kakak mau kemana? Kakak tidak mungkin pindah, tahun pelajaran kan baru mulai, aku ingat sekali jika pendaftaran sekolah lain sudah ditutup, kakak juga tidak punya riwayat penyakit yang membuatmu harus tidak masuk dalam waktu yang lama." Raut wajah yang tadinya main-main menjadi sedikit serius.

"Apa yang kamu bicarakan? kan angkatanku camping. jadi benar dong hari ini hari terakhirku menjahilimu sampai kita ketemu lagi minggu depan." Alin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bingung dengan ucapan Rayyan yang menurutnya ngaco.

"Kenapa tidak bilang dari tadi, Kak Alin bodoh, aku marah besar!" 

Dengan wajah yang memerah, Rayyan pergi begitu saja menarik tangan Ala yang baru saja sampai di belakang Alin, menghiraukan panggilan Alin yang merasa putus asa, dramatis.

"Kau mendadak tuli atau gimana, huh?" Seka yang kesal memukul kepala Alin main-main. "Aku-"

"Hei Alin, kau sudah memiliki teman regu untuk camping? Jika belum, maukah kau bergabung bersama kami?" 

Seorang gadis memotong ucapan Seka, membuat pemuda itu memutarkan matanya malas.

"Oke. Omong-omong siapa namamu? Apakah kita saling kenal?" 

Mata Alin memindai gadis itu, dari wajah ke rambut hingga ke kaki, mencoba mencari kesan pada gadis itu karena ia tidak ingat jika pernah berbicara dengan gadis itu atau bisa dibilang ia hanya berbicara pada Seka dan Rayyan, menjadikan dirinya dicap sebagai ansos dan murid transparat yang tidak dikenal dan tidak kenal banyak orang.

"Kau lupa padaku? ekhem baiklah kenalkan aku Grace." ucap Grace sambil tersenyum, Alin hanya menganggukkan kepala dan berusaha mengingat gadis bernama Grace itu.

Belum sempat membalas, tangan Alin ditarik paksa oleh Seka, mengundang decakan kesal. 

"Entah mengapa aku merasa jika perempuan itu tidak sebaik tampilannya." Bisikan Seka membuat Alin menyernyitkan dahi, bisa-bisanya pemuda ini mengomentari orang yang mirip dengan orang yang ia rangkul paksa.

"Ingat umur, kau masih saja ingin diperbudak oleh makhluk yang lebih muda darimu. Jangan lupa beri pelajaran jika gadis tadi membuatmu kesusahan, aku tidak bisa mengawasimu karena aku harus menjalani tugasku sebagai OSIS." Lanjut Seka.

"Itu tidak pernah terjadi, lagi pula jika kau mencemaskanku sebaiknya kau lepaskan tanganmu dulu sebelum aku mati kehabisan nafas." kesal Alin sambil berusaha melepaskan tangan Seka dari lehernya.

"Oh iya, kau jadi ikut tidak?" Tanya Seka sambil memainkan hiasan rambut Alin, Alin kembali memikirkan pertanyaan yang Seka ajukan.

"ikut kemana?" Tanya Alin saat tak kunjung mengingat pertanyaannya semalam, sebelum pulang kerumah.

"Meminta dewi sinta untuk membalas cinta rahwana! Ya tentu saja daftar ke klub yang ingin aku masuki."

"Akan kupikirkan."

"Hari ini hari terakhir pendaftaran, cepat putuskan ikut atau tidak?"

"Baiklah aku ikut." Ucap Alin final sambil menyingkirkan tangannya dari hiasan rambut Alin.

Setelah lama berdiri, akhirnya guru itu menghentikan dirinya untuk tidak melanjutkan pidato tentang kebersihan dan kedisiplinan sebelum masuk kelas yang 99% tidak didengarkan oleh murid.

"Apakah kita pernah bertemu dengannya? Wajahnya terlihat sangat familiar." 

Alin menunjuk kearah pemuda yang memakai hoodie hitam membuat keningnya mengkerut dalam. Rambut pemuda itu menutupi mata yang hanya terlihat sedikit, berwarna biru muda, dan wajahnya tertutupi masker.

"Tidak tahu, sepertinya tidak pernah" Jawab Seka sambil menarik tas Alin.

"Aku baru tahu jika kita dibolehkan memakai hoodie, tahu begitu aku memakai hoodie saja." 

"Memang tidak boleh, dapat informasi dari mana jika sekolah kita dibolehkan memakai pakaian bebas, kamu ngaco sekali."

Keduanya kembali berjalan menuju ruang club, menaiki tangga untuk pergi ke lantai dua. Setelah sampai di tempat klub, di pintu depan terdapat sebuah kertas yang tertempel di pintu.

'... Dikarenakan banyak nya pendaftar dan para senior terlalu malas untuk mendata, maka pendaftaran akan dilakukan menggunakan aplikasi xxx, terimakasih...'

"Jangan mengomel, kan kau sendiri yang ingin masuk, ikuti saja perintahnya" Ucap Alin saat melihat Seka ingin protes.

Keduanya dengan malas-malasan akhirnya mendaftarkan diri dan pulang kerumah masing-masing, tentu saja mereka berdua membolos. tidak ada sekolah yang bubar jam 8 pagi, kalian tahu itu.

Dua Saudara

Suara ocehan lagi-lagi terdengar saat Seka melihat Alin memasukkan barang yang dipegang ke troli, sedangkan pelaku yang membuatnya mengoceh sama sekali tidak memperdulikannya, membuat Seka merasa kesal berkali-kali lipat.

"Sudah aku bilang, kita tidak membutuhkan ini. Alin kamu dengar tidak sih?"

"Kenapa sih? Aku hanya ingin memasukkannya, kalau kamu keberatan kan kita bayar masing-masing, apa sebenarnya masalahmu." Jawab Alin.

"Masalahku adalah jika bunda tau, aku yang akan dimarahi, sedangkan kamu hanya diam tidak membantuku meredam amarah bunda. Jika kamu masih asal memasukkan barang, aku adukan ke Rayyan-mu itu biar dia tau seberapa tidak bertanggung jawabmu terhadap uang."

Seka mengancam dengan serius, memperlihatkan ruang obrolannya bersama Rayyan, matanya menatap Alin dengan keji.

"Dasar pengadu!"

Dengan berat hati, Alin memilah barang-barang yang ia masukkan dan menaruhnya lagi ke rak, sedangkan Seka menatapnya dengan penuh kemenangan.

"Kak Alin! Kakak bolos sekolah kan tadi!"

Tanpa di duga, Alin dan Seka bertemu dengan Rayyan yang masih memakai seragam sekolahnya.

"Rayyan! Ngapain kesini? Eh tadi aku beli ini, liat deh lucu. Aku beli 2, buat kamu satu, buat aku satu."

Alin mendorong tubuh Seka sengaja, membuat pemuda yang tadinya berdiri dibelakangnya itu hampir jatuh mengenai rak, untung saja pemuda yang bersama Rayyan membantunya.

"Iya lucu tapi kakak tetep bolos sekolah. Aku tadi mencarimu tapi tidak ada. Oh iya, aku hampir lupa kakak tau ga sih tadi tuh...."

Ocehan Rayyan terdengar semakin jauh karena Alin menyeret Rayyan keluar untuk mencari bangku, meninggalkan Seka yang mengomel dan Ala yang masih diam mematung.

"Loh ini jadinya aku yang mengurus barang-barangnya? Sialan."

Dumalan Seka membuat Ala tersadar dari lamunannya. Pemuda itu mulai membatu Seka menaruh kembali barang-barang yang tidak diperlukan dengan dikte dari Seka tentu saja.

"Yah sayang sekali aku tidak melihat hal heboh itu, andai saja kalau tadi aku tidak membolos, pasti akan lebih seru."

"Salah kakak sendiri karena membolos. Oh iya, aku hampir lupa. Kak Ala tadi bilang jika dia ingin berbicara dengan kakak, uh aku lupa dia ingin bicara tentang apa. Nanti aku ingin bermain bersama Kak Seka ya? Jadi kakak bisa pulang bersama Kak Ala sekalian berbicara. Oh iya, kalian pernah bertemu sebelumnya? Kok aku tidak tahu kalau Kak Alin mengenal Kak Ala?"

"Huh? Eh iya, aku hanya kenal Kak Ala sebagai ketua OSIS, aku juga tidak tahu au dia kenal aku darimana, perasaan aku tidak melanggar peraturan sekolah."

Mendengar kalimat itu, Rayyan memicingkan matanya, menatap Alin penuh ragu.

"Apaan! Itu buktinya kakak bolos, aku tau ya kakak juga bolos berkali-kali, terus menjahili guru, oh aku juga ingat jika kakak selalu ditegur karena memakai sepatu yang tidak sesuai, memakai hoodie di jam pelajaran terus-"

"Oke, stop. Aku mengaku kalah! Kamu iseng sekali, kenapa hanya mengingat perilaku burukku tapi tidak ingat hal-hal baik yang aku lakukan."

"Habisnya lebih banyak hal- ahahaha ampun hahaha geli, Kak Alin udah hahahaha."

Ucapan Rayyan terpaksa berhenti saat Alin mulai menggelitik tubuhnya dan membuatnya tertawa lepas.

"Wah asik sekali, padahal aku sudah menghabiskan isi dompetku karena membayar belajaanmu."

Interupsi Seka seakan tidak membuat Alin terganggu, hal itu membuat Seka semakin merasa jengkel. Tanpa berperasaan, Seka memukul punggung Alin menggunakan roti yang ia beli. Hal itu berhasil membuat Alin dan Rayyan berhenti.

"Aku terselamatkan, terimakasih Kak Seka."

"Kemari kamu pengganggu! Kenapa sih kamu selalu mengacaukan agenda kencanku bersama Rayyan, pergi!"

"Udah dulu ah, Kak Seka ajari aku bermain game player vs player, aku tadi kalah terus, aku ingin membuktikan jika aku ini jenius game."

"Dasar anak kecil, main di rumahku pakai wifi, paket dataku habis. Alin sama Kak Ala mau ikut ga?"

Sambil menunggu jawaban, Seka membereskan barang belanjaannya yang tadi sudah acak-acakan karena dilempari oleh Alin saat mengejarnya.

"Jangan ajak mereka, kita berdua aja Kak Seka, nanti kalau kalah aku diketawain Kak Alin."

Alin yang mendengar itu hanya mendengus sebal.

"Aku tidak sejahat itu, Rayyan kamu jangan terbawa pengaruh buruk Seka. Aku ini hanya melindungimu dari segala keburukan Seka."

"Iyain aja, ayo Ray. Ini barangnya sama aku, besok aku kasih ke kamu. Jangan lupa packing baju-bajumu itu malam ini, biar besok tinggal berangkat."

Rayyan dan Seka berjalan tanpa menengok ke belakang, meninggalkan Alin dan Ala yang masih diam sampai siluet Rayyan dan Seka hilang dibalik tikungan.

"Jadi, ada apa? Kenapa mencariku lagi setelah mengusirku satu tahun yang lalu?"

Alin berbicara tanpa melihat Ala, matanya masih terpaku pada tempat menghilangnya Seka dan Rayyan lima belas menit yang lalu.

"Aku- Aku minta maaf, aku minta maaf jika kehadiranku membuatmu menderita. Aku minta maaf jika kehadiranku benar-benar menggantikan kehadiranmu selama ini. Aku minta maaf, Adik."

"Jika aku memaafkanmu, apa yang berubah? Jika aku tidak memaafkanmu, apa keuntungannya?"

"Aku-"

"Selama kau masih ada, mereka tidak akan memandangku. Bahkan jika kau tidak ada pun mereka tidak akan sudi melihatku, atau malah mereka akan membuatku menyusulmu. Jangan ganggu aku dan aku tidak akan pernah muncul di hadapan kalian, sesuai yang kalian mau."

"Setelah ini, aku bersumpah tidak akan mengganggumu lagi, biarkan aku membantumu kembali ke keluargamu. Aku mohon, Alin."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Ala menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh tepat di sisi Alin, berhasil mendapatkan perhatian penuh dari Alin.

"Apa-apaan! Bangun. Berhenti membuatku menjadi satu-satunya antagonis disini."

Dengan amarah yang meluap, Alin mencengkram pundak Ala dengan kencang, membuat pemuda itu mengikuti tarikan tangannya sambil meringis. 

"Bahkan jika aku dikirim ke dunia lain yang penuh dengan kesedihan dan kepedihan karena tidak memenuhi permintaanmu, aku tetap tidak akan mendengarkan perkataanmu, melihat kalian bahagia dengan menginjak harga diriku. Aku harap kita tidak bertemu lagi, aku sudak muak."

Alin melangkahkan kakinya, meninggalkan Ala yang berusaha mengejarnya dengan diiringi air mata yang kini berjatuhan membasahi pipi.

Cuaca yang cerah itu kini berubah mendung, angin berhembus lebih kencang menerbangkan dedaunan kering. Tetesan air menjadi semakin banyak berjatuhan, membasahi dua insan yang hatinya kacau.

Alin terus berlari menerjang hujan, membuang kertas foto yang selama ini ia simpan di dalam dompetnya, meninggalkan Ala yang masih berusaha mengejar, meninggalkan pemuda yang tidak ia ketahui isi hatinya. Alin meninggalkan semua hal yang ia anggap sebagai sumber kesakitannya selama ini.

Suara kerumunan para siswa tingkat dua memenuhi telinga Alin yang masih asik menutup kedua matanya sambil bersandar pada Seka yang duduk disampingnya.

"Alin, berat. Bangun." 

Tiga kata itu sudah sering terdengar namun Alin masih memejamkan matanya, membuat Seka kehabisan stok kesabarannya. Dengan tega, Seka langsung berdiri membuat Alin hampir jatuh jika saja gadis itu tidak memiliki spontanitas yang bagus. 

"Brengsek." Umpat Alin pada Seka.

"Kak Alin ngomongnya kasar." 

Interupsi itu membuat Alin dan Seka yang sudah siap-siap bertengkar jadi berhenti, melihat Rayyan yang baru saja datang. 

"Oh iya, Kak Alin tau ga Kak Ala kemana? Pembimbing OSIS tadi nyariin, ternyata dia belum dateng." lanjut Rayyan.

"Kak Ala mulu yang dicariin, padahal aku dikit lagi mau pergi, kamu ga mau ngucapin perpisahan gitu atau hati-hati, aku cemburu."

Alin menjawab dengan sedikit kesal, membahas Ala selalu berhasil membuat moodnya turun ke inti bumi, wajahnya yang ceria itu tidak berhasil menutupi tatapan matanya yang menajam.

"Halah cemburu, kalian kan tidak punya hubungan apapun selain adik kelas dan kakak kelas."

Tanpa bisa dicegah, Alin berhasil melayangkan tinjunya pada perut Seka dengan kencang, melihat pemuda itu meringkuk kesakitan sebelum kembali memperhatikan Rayyan yang salah tingkah di depannya.

"Soalnya lagi ada urusan, aku juga mau sekalian kasih kakak ini. Hati-hati pas camping, awas banyak nyamuk, ular, kodok, biawak, jangan sembrono loh kak ngomongnya. Harus kembali dengan sehat dan selamat. Ekhem, aku mau lanjut cari Kak Ala dulu, dadah Kak Alin, Kak Seka."

Bingkisan itu diterima oleh Alin yang baru saja ingin berbicara. Terlambat, Rayyan sudah berlari dan menghilang dengan cepat dari pandanganya. Hal itu membuat Alin merasa senang kembali, Seka yang melihatnya hanya memandang Alin kesal.

"Bisa tidak sih kau tidak mengacau Abhiseka."

Rasanya aura yang bergambar bunga-bunga disamping Alin kini berubah menjadi mendung, membuat Seka merinding sekujur tubuh.

Cepat sekali moodnya berubah.

Dunia Lain

Sudah empat hari Alin berada di tempat kemah, tempatnya tidak terlalu jauh dari kawasan apartemen-nya memudahkan dirinya untuk kembali jika dirinya bosan. 

Perjalanan membutuhkan waktu selama 3 jam menggunakan bus sekolah, karena saat di perjalanan para guru dan panitia penyelenggara mengadakan game dan penelitian untuk menghibur murid-murid.

Hutan tempat Alin berkemah terkenal dengan pemandangannya yang memanjakan mata. Pohon-pohon tumbuh dengan rindang, warna hijau menghias sepanjang mata memandang. Terdapat sungai yang jernih membelah hutan kecil itu dengan berani.

Suara binatang terdengar sangat merdu, membuat Alin merasa sangat tenang. Angin yang berhembus membuat ranting-ranting saling bersahutan, Alin merasa dirinya ingin tinggal di hutan kecil itu.

Dirinya selalu bermimpi pernah tinggal disebuah hutan yang lebih indah dari hutan ini. Embun pagi yang membuat pohon-pohon terlihat indah, jangan lupakan kabut saat pagi yang membuat dirinya merasa senang ikut menghiasi halaman rumahnya.

Suasana hutan ini membuat dirinya merasa rindu dengan rumahnya, seperti pohon yang ada di depanya. Pohon cendana yang menjulang tinggi dengan daun-daun hijau yang menunjukkan keindahannya. 

Biasanya ia memanjat dan duduk di atas pohon hingga siang hari, menangkap beberapa ikan di sungai lalu bermain-main di halaman rumahnya sampai rembulan menampakkan dirinya.

"Hah."

Suara helaan nafas terdengar dengan lirih, Alin kini sudah berdiri di atas salah satu pohon untuk menunggu kelompoknya yang tidak kunjung datang. Ia dari awal memang tidak terlalu suka dengan gadis bernama Grace itu. 

Saat hari pertama dirinya diharuskan untuk mencari ranting kayu untuk membuat kompor, mendirikan tenda bahkan dirinya dibuat tersesat saat perjalanan malam.

Pikiran-pikiran buruk kembali memasuki pikirannya, suara bisikan yang biasanya muncul saat malam, kini muncul di pagi hari membuatnya rasa marah menumpuk di hatinya.

Kedua tangannya mengepal dengan sangat kencang hingga buku-buku jarinya memutih. Tiba-tiba saja sebuah lubang portal menarik dirinya untuk ikut bersamanya.

"Aduh, sialan ini sakit sekali brengsek." 

Umpatnya kesakitan sambil menepuk pinggulnya yang terasa nyeri karena terjatuh dari atas pohon, Alin bangkit dan sambil membersihkan tanah yang mengotori pakaiannya. 

Matanya memindai pemandangan yang tersaji di depannya, sejauh matanya melihat hanya ada tanah lapang yang tertutupi rumput hijau, beberapa semak dengan bunga yang tumbuh lebih tinggi turut menambah keindahan.

Alin berjalan mendekati salah satu semak yang memiliki bunga serta buah berwarna ungu tua, jari lentiknya mengelus kelopak bunga tersebut kemudian memetik dua butir buah dan memakannya. 

Rasa buahnya sangat manis terlihat dari senyuman tipis yang tidak pernah mucul di wajahnya selama ini kembali terukir, saat matanya beralih kembali baru dirinya menyadari jika dibelakangnya terdapat sebuah hutan yang lumayan luas.

"GRRRRR" 

Suara geraman memasuki telinga membuat bulu kuduknya berdiri, Alin menoleh patah-patah ke arah geraman itu. 

Seekor singa raksasa berdiri dengan gagah di sampingnya, matanya yang merah memindai Alin dari atas rambut hingga kaki lalu terhenti disalah satu tangan alin yang masih menggenggam buah tersebut, singa itu mendengus kencang hingga rambut alin berterbangan.

Tubuhnya sudah basah karena ketakutan melihat singa itu, namun ketakutannya kembali memudar saat menyadari jika singa itu bersiap untuk menerjangnya.

Tangannya dengan cepat mengambil kedua hiasan rambut yang tidak pernah terlepas dari rambutnya. Dalam gerakan sepersekian detik, hiasan itu berhasil menusuk mata sang singa, darah menyiprat kewajahnya.

Keduanya terdiam membeku berusaha memproses kejadian yang baru saja terjadi, Alin meloncat dua langkah ke belakang dan menarik hiasan rambutnya membuat darah singa tersebut menyiprat lebih banyak.

Singa itu mengaum kesakitan dengan sangat lirih membuat Alin tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan dan menggumamkan kalimat "Aku hanya membela diri, maafkan aku." 

Singa itu membalas dengan dengus dan mengaum sekali lagi menunjukkan rasa amarah yang sudah bergumul di dadanya, dengan rasa amarah yang menyelimuti dirinya singa itu berlari kearah Alin dengan cepat membuat Alin mau tidak mau bergegas lari menghindari serangannya.

Alin terus berlari memasuki hutan tanpa menoleh kebelakang, semakin dalam hutan itu semakin gelap, pohon-pohon berukuran lebih besar daripada pohon di perbatasan hutan. 

Setelah lama berlari sebuah portal lagi-lagi tercipta di bawah pijakannya membuat dirinya lagi-lagi terlempar ke sebuah dimensi. Alin mendecak kesal karena banyak daun-daun kering yang menyangkut di rambutnya.

Sambil membersihkan dirinya, matanya lagi-lagi memindai tempat dimana dirinya berakhir. Sebuah sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman rotan, jangan lupakan atap yang dapat dilewati cahaya matahari yang pastinya tidak akan kuat menahan hujan.

Kakinya menjelajahi rumah itu dengan hati-hati, seakan-akan dapat roboh jika dirinya melangkah dengan cepat, tidak ada banyak benda dirumah itu hanya ada sebuah meja juga tungku dan lemari di dapur.

Ruangan yang tersedia hanya 3 ruangan, mungkin ruang kamar, dapur dan ruang tamu. Alin mendecak sekali lagi dengan kening yang mengkerut kesal. 

"Tidak, apa aku terlempar ke mimpiku? Aku menjadi miskin kembali?" Monolognya dengan lirih.

Baru saja dirinya akan menjatuhkan diri dikasur keras yang berada di kamar, seorang pemuda manis membuka pintu dengan santai, namun saat melihat Alin tubuhnya mendadak terhenti sambil menundukkan kepalanya.

Alin segera bangkit dari kasur dan mendekati pemuda itu lalu menuntunnya untuk duduk bersamanya di sisi ranjang, tiba-tiba saja sebuah cahaya terang memasuki retina matanya.

Kegelapan menyapa indera penglihatannya, ia terjebak disebuah ruangan yang sangat luas. Pilar-pilar yang tinggi berdiri kokoh di hadapannya, saat dirinya baru saja ingin menyentuh pilar tersebut, sebuah cahaya neon tiba-tiba muncul. 

"Sistem diaktifkan, memulai memindai ..98% .... 100% selesai

memulai memindai karakter

Marga: Je

Nama lahir: -unknown-

Nama umum: Lian, Alin

Title: -unknown-

Status: -unknown-

kekuatan: -unknown-

Skill: -unknown-

Kepuasan: 150 point

Kekuatan: 20 point

Ketahanan: -

Ultimate: 5 point

Cerita akan mulai bekerja pada lima... empat... tiga... dua... satu"

Lagi-lagi sebuah cahaya menyilaukan muncul di hadapan Alin, sontak saja Alin menutup matanya, semua informasi itu masuk kedalam pikirannya secara bersamaaan membuat kepalanya merasa sangat pening.

"Uh kapan dia akan bangun? Ini sudah tiga hari." Samar-samar terdengar suara lembut memasuki pendengarannya. Matanya mengerjap pelan membiasakan cahaya yang masuk kedalam retina matanya.

Alin duduk dengan tiba-tiba membuat pemuda manis itu merasa terkejut, pemuda manis itu meloncat kecil namun setelahnya kembali menunduk dan mengalihkan pandangannya kearah lain, seperti enggan melihat Alin.

"Hei kemari."

"Pelanggaran ooc, point ultimate dikurangi 20 point, karakter berhutang 15 point ultimate."

"Sial, aku baru memulai dan sudah punya hutang?! Apa kau bercanda? Aku bahkan baru saja bernafas selama 5 menit di sini." Protes Alin setelah mendengar peringatan dari sistem.

Saat Alin melihat pemuda itu lagi, sebuah kotak informasi terlihat di samping pemuda itu. Sebenarnya penampilan pemuda itu sangat manis hingga terlihat cantik. 

Rambutnya yang tersanggul rapih juga poni yang terurai menambah kesan cantik tersendiri, wajahnya terlihat sangat imut, bulu mata yang panjang menghiasi bola mata yang memiliki warna yang berbeda.

Sayang sekali bajunya terlihat lusuh dan pipinya tirus, terlihat seperti orang yang sangat miskin. 

"Oh benar, aku juga miskin sekarang." Desah Alin sambil menepuk dahinya. Pemuda itu masih tidak bergerak dari tempatnya, berdiri mematung sambil memandang alin dengan penuh kewaspadaan.

"Kau kenal denganku?" Tanya Alin sambil menunjuk dirinya, pemuda itu menjawab gelengan dengan ragu-ragu. 

"Baiklah dengarkan aku, aku juga tidak kenal denganmu, jadi mengapa kau tidak menyerangku atau mencurigaiku sedikitpun?" Tanya Alin sambil mendekat kearah pemuda itu. 

"Itu- aku hanya.. yakin jika kau orang yang baik, terlebih aku tidak berguna karena tidak memiliki kekuatan." Ucapnya dengan sangat pelan diakhir, membuat Alin membelalakkan matanya terkejut.

'Bagaimana ada manusia yang bilang jika dirinya berguna.'

"Baiklah sekarang mari kita buat dirimu berguna." Ucap Alin sambil mendorong pemuda itu keluar dari rumah, seperti dugaannya tempat ini adalah rumahnya dulu dan kini dirinya harus memulai dari awal lagi. Namun, kali ini akan sulit karena dirinya harus menemani seorang pemuda manis.

Tidak lama kemudian Alin dan pemuda itu sudah sampai di sebuah batu besar yang berhadapan langsung dengan sungai jernih yang mengalir deras. Pada detik berikutnya Alin meminta pemuda itu berkultivasi di atas batu besar itu. 

Setelah pemuda itu sudah memfokuskan dirinya untuk berkultivasi, Alin diam-diam membuka segel yang selama ini menutup inti kekuatan pemuda itu. 

Alin mengambil ranting kayu dan menajamkan sisinya hingga membentuk seperti tombak untuk menangkap ikan di sungai, ikan-ikan itu berukuran besar pasti cukup untuk menjadi bahan makanan mereka saat ini. 

Saat dirasa cukup Alin berhenti memburu ikan dan mulai menyalakan api unggun untuk membakarnya, suasana hatinya sepertinya sedang dalam keadaan yang baik karena senyum tipis tidak pernah berhenti terukir dari wajahnya.

4 ekor ikan ia tusukkan pada 4 ranting yang sudah ia bersihkan, bau ikan bakar menyerbak membuat perutnya mengeluarkan bunyi keroncongan. Itu sudah pasti karena dirinya sudah tiga hari ini tertidur tanpa ada makanan yang masuk ke tubuhnya.

"Hei kemari, sudahi dulu kultivasimu, kita akan makan terlebih dahulu." teriak Alin dengan lantang, pemuda itu tersentak kaget dan mengerjapkan matanya lalu turun dari batu besar itu dengan bantuan Alin.

Sarapan menjelang makan siang itu pun dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!