NovelToon NovelToon

The Detective Love Story

Prolog

5 tahun yang lalu.

Suara tangisan seorang gadis menggema di dalam sebuah ruang rawat VIP di Rumah Sakit Edelstein. Meratapi kepergian ibunya, keluarga satu-satunya yang dia miliki karena gagal jantung.

"Maaf nona, ibu anda sudah meninggal dunia." ucap seorang dokter.

"Nggak mungkin mama meninggal. Dia baik-baik saja. Bahkan dokter sendiri tadi sudah bilang mama saya boleh pulang besok pagi." ucap Queen dengan air mata yang terus mengalir.

"Sekali lagi maaf nona.." ucap dokter dan perawat yang ada di sana. Mereka semua menundukkan kepalanya menandakan turut berduka.

Gadis malang itu terus memeluk ibunya. Sesekali dia menggoyang-goyangkan tubuh ibunya dan memintanya untuk bangun. Seperti mimpi rasanya. Tadi siang dia baru saja bercanda dengan ibunya tersebut. Dan mengatakan mereka akan pergi ke taman untuk piknik setelah ibunya pulang dari rumah sakit. Tapi malam harinya dia mendapatkan kabar dari rumah sakit bahwa ibunya meninggal karena gagal jantung.

"Maaf nona, kami harus segera memandikan jenazah ibu anda." ucap salah satu perawat.

Dengan berat hati Queen melepaskan pelukannya dan sedikit menjauh dari jenazah ibunya untuk memberikan ruang para perawat yang akan membawa ibunya untuk dimandikan. Dia memang belum rela dengan kepergian ibunya. Tapi dia tidak akan membiarkan ibunya menderita. Ibunya harus segera dimakamkan. Dia hanya bisa menangis sambil memeluk lututnya berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu. Dan semua akan kembali seperti biasanya ketika dia bangun. Tapi tidak, sayangnya ini adalah nyata. Queen benar-benar kehilangan malaikatnya hari ini.

Setelah perawat membawa ibunya keluar dari ruangan. Gadis itu bangkit dari posisinya yang tadi terduduk lemas di lantai. Di usapnya air matanya yang terus mengalir. Dia harus berhenti menangis. Queen memperhatikan sekelilingnya. Entah mengapa dia sangat yakin ibunya bukan meninggal karena penyakit Kardiomiopati yang di deritanya. Tapi karena seseorang sengaja membunuhnya.

"Ibu baik-baik saja. Dokter sudah mengizinkannya pulang artinya keadaan ibu sudah benar-benar baik." gumam Queen. Karena dia tahu betul kondisi ibunya, dokter tidak akan mengizinkan ibunya pulang jika kondisinya belum benar-benar baik.

Hal pertama yang menjadi fokusnya adalah CCTV yang ada di sudut ruangan itu. Tapi sialnya CCTV tersebut mati. Pandangan matanya beralih ke bekas infus yang tadi terpasang di tangan ibunya. Di lihatnya selang infus tersebut.

"Tunggu... apa ini?" gumam Queen.

Matanya yang tajam melihat bahwa selang infus yang tadi terpasang di tangan ibunya sedikit basah. Di amatinya selang tersebut, dan ternyata ada bekas tusukan jarum disana. Matanya melirik kantung infus yang cairannya berubah berwarna kekuningan.

"Sebelumnya bukankah cairan infus ini bening?"

Queen yang masih berusia 18 tahun masih polos dan tidak berfikir bahwa hukum itu benar-benar adil. Tapi tidak! Ketika dia melaporkan hal itu ke polisi, polisi malah menuduhnya mengada-ngada karena tidak ada bukti. Polisi memang melakukan penyelidikan di rumah sakit. Mereka mengecek rekaman CCTV tapi percuma CCTV di ruangan itu mati, kantung infus yang tadinya cairan berwarna kekuningan sekarang sudah bening. Selang infus juga utuh tidak ada bekas suntikan. Pelakunya benar-benar hebat dalam menghilangkan jejak perbuatannya. Dan pada akhirnya polisi tidak melanjutkan penyelidikan dan menganggap Queen hanya omong kosong karena tidak ada bukti.

*

Keesokan harinya, adalah hari yang paling berat hati Queen. Hari dimana dia harus benar-benar melepaskan kepergian ibunya untuk selama-lamanya. Hari ini adalah hari pemakaman ibunya Queen. Gadis itu memilih mengkremasi ibunya untuk menghemat uang karena saat itu keluarganya bukanlah orang yang kaya. Biaya rumah sakit ibunya saya ditanggung pemerintah karena termasuk keluarga yang tidak mampu.

"Mah... kenapa mama ninggalin Queen secepat ini?"

"Katanya mau piknik bareng kalau sudah sembuh?"

"Katanya mau lihat aku jadi detektif yang keren?"

"Kok mama pergi duluan?"

Lagi-lagi air mata Queen jatuh. Gadis itu mengusap air matanya.

"Queen masih nggak percaya kalau mama sekarang udah nggak ada di samping Queen lagi. Rasanya seperti mimpi. Padahal kemarin mama masih tersenyum dan tertawa bercanda bersamaku. Tapi sekarang?" gadis itu terisak lagi.

"Sekarang siapa yang peluk aku kalau takut petir ma? Siapa yang semangatin aku pas aku cape ma?"

Tap. Queen menoleh melihat siapa yang menepuk pundaknya. Dan itu adalah sahabatnya Arthur Ezaquiel. Satu-satunya sahabat yang dia punya. Queen langsung berdiri dan memeluk sahabatnya itu. Dia kembali menangis tersedu-sedu di pelukan sahabatnya.

"Gapapa. Nangis saja sepuasnya.." ucap Arthur sambil mengelus lembut kepala Queen.

"Kenapa mama pergi thur? Kenapa dia tega ninggalin aku sendiri?" tanya Queen dengan berderai air mata.

"Ikhlaskan Tante pergi ya.." ucap Arthur. Tangannya tidak berhenti mengelus kepala Queen. Matanya sudah memerah karena menahan air mata. Laki-laki itu sungguh tidak tega mendengar tangisan pilu sahabatnya itu.

Queen melepaskan pelukannya. Kemudian dia menghapus air matanya. Gadis itu menatap Arthur. "Nggak. Mama nggak pergi ninggalin aku. Orang yang buat mama pergi." ujar Queen dengan sorot mata penuh amarah dan tangan terkepal erat.

"Jadi sekarang kau mau bagaimana?" tanya Arthur.

"Aku akan mewujudkan impian mama. Aku akan menjadi detektif yang hebat. Aku akan menemukan siapa yang membunuh mama." ucap Queen dengan mantap.

Arthur tersenyum tipis. Dia tidak mengira Queen akan berubah pikiran. Sebelumnya gadis itu selalu menolak jika ibunya membicarakan tentang detektif. Katanya malas berpikir untuk memecahkan kasus. Tapi hari ini Arthur melihat keseriusan di dalam mata Queen. "Aku akan memambantumu." sahut Arthur.

-

Setelah lulus SMA Queen dan Arthur kuliah dengan mengambil jurusan Kriminologi untuk mewujudkan cita-cita mereka menjadi detektif. Tapi Queen lulus lebih dulu daripada Arthur dan berhasil menjadi detektif lebih dulu. Tapi bukan berarti Arthur gagal ya. Dua tahun kemudian Arthur berhasil lulus dan menjadi detektif yang ditugaskan di tempat yang sama dengan Queen.

Hari ini seorang gadis muda dengan seragam polisi berdiri di depan sebuah pohon dengan foto ibunya.

"Ma.. Sekarang Queen sudah berhasil jadi detektif sesuai impian mama. Queen janji. Queen akan mendapatkan keadilan untuk mama." gumam Queen sembari menatap foto mendiang ibunya.

...***...

...Tokoh lainnya menyusul....

Pembunuhan Berantai

Suasana di gudang sebuah pabrik minuman kaleng sangatlah ramai. Di tempat tersebut terjadi pembunuhan berantai dengan jasad para korbannya yang di awetkan di dalam sebuah ruangan pendingin yang menyebabkan jasad-jasad tersebut tidak membusuk. Dan baru terungkap setelah mesin pengawet ruang pendingin tersebut mati sehingga jasad didalamnya membusuk hingga baunya tercium sampai keluar.

Seorang detektif muda bersama polisi dan detektif lain ada di ruang pengawetan tersebut untuk menyelidiki tentang kasus pembunuhan berantai tersebut.

"Detektif Queen. Coba kemari." suruh salah satu detektif.

Merasa namanya dipanggil, Ayesha Queen Stephanie. Detektif muda tersebut segera menghampiri rekannya untuk melihat apa yang akan ditunjukkan.

"Ada apa?" tanyanya.

"Bukankah ini kepunyaan manager di pabrik ini?" tanya Arthur.

Queen mengambil pinsetnya dan melihat kartu tanda pengenal yang ditemukan rekannya tersebut. Di amatinya kartu itu, dan benar itu milik manager disini. Dia segera memasukkan kartu tersebut ke dalam kantong plastik dan menandainya sebagai barang bukti.

"Apa mungkin dia dibalik semua ini?" tanya Arthur.

"Terlalu dini untuk menyimpulkan itu Arthur." jawab Queen dengan nada yang cuek.

Arthur mengangguk mengerti. Dia tidak kesal dengan sikap cuek Queen. Karena gadis itu sejak masih SMA memang memiliki sifat yang sangat cuek. Tapi dibalik sosok Queen yang cuek, ada faktor yang menyebabkan dia memiliki sifat seperti itu.

Setelah sekian waktu menyelidiki di ruang pendingin tersebut Aiden sebagai senior mereka berdua memutuskan agar kembali dan melanjutkan penyelidikan di kantor polisi karena di ruangan itu sudah tidak ditemukan apapun.

Tapi Queen menolak dengan tegas. Karena dia yakin masih ada sesuatu di ruangan tersebut. Dia meminta waktu 10 menit lagi untuk melakukan penyelidikan.

"Kalian bisa keluar lebih dulu." ucap Queen.

"Keluar setelah 10 menit!" perintah Aiden dengan nada dingin.

"Baik." jawab Queen.

Setelah semua rekan-rekannya keluar dari ruangan tersebut, Queen merasa lebih leluasa dalam melakukan penyelidikan.

"Sepertinya aku tadi tidak melihat tombol ini?" gumam Queen.

Dia segera menekan tombol di samping lemari tersebut. Dan tiba-tiba lantai di belakangnya terbuka menunjukkan sebuah ruangan rahasia. Ketika ruangan tersebut terbuka tubuh Queen seketika menjadi lemas melihat banyaknya darah yang tergenang di bawah sana. Aroma anyir darah disertai bau busuk langsung menyebar di ruangan tersebut. Kakinya refleks melangkah mundur, hingga gadis itu terduduk lemas dengan mata berkaca-kaca. Perutnya terasa mual.

"Detektif Aiden!!" teriak Queen.

Aiden, Arthur dan beberapa polisi langsung berlari masuk kembali kedalam ruangan pendingin tersebut. Ketika baru di ambang pintu mereka semua langsung menutup hidung mereka.

"Detektif Arthur, bawa dia keluar." perintah Aiden.

"Baik!"

Arthur segera menghampiri Queen dan membantunya berdiri kemudian mengajaknya keluar dari ruangan tersebut

"Bajingan gila seperti apa yang melakukan semua ini?" batin Aiden melihat pemandangan mengerikan didepannya.

Ruangan gelap dengan lantai yang tergenang air berwarna merah gelap, beberapa tulang serta tengkorak berserakan di bawah sana. Artinya korban pembunuhan itu bukan hanya jasad-jasad yang mereka temukan tadi.

Di luar ruangan Arthur membawakan minuman untuk Queen. Tapi gadis itu tidak sanggup meminum air tersebut karena masih ingat dengan banyaknya darah yang dia lihat beberapa saat yang lalu.

Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Dan lama kelamaan itu berubah menjadi sakit. Tapi Queen berusaha menahannya, dia tidak ingin membuat rekannya itu khawatir.

"Kenapa lagi ini?" batin Queen sambil memegangi dadanya yang sebelah kiri.

"Detektif? Kau baik-baik saja?" tanya Arthur.

"Hm, aku baik-baik saja." jawab Queen. "Aku harus ke rumah sakit setelah ini." ucapnya di dalam batin.

Setelah itu mereka kembali ke kantor polisi untuk melanjutkan penyelidikan dari sana. Mereka masih belum menemukan pelaku dari pembunuhan tersebut. Tapi mereka sudah memiliki tersangka utama. Yaitu manager dari pabrik tersebut.

"Javas Schaefer. Manager pabrik minuman itu sudah tidak terlihat selama kurang lebih 2 minggu. Keluarganya sempat datang ke kantor polisi dan mencarinya." ucap Arthur sambil membaca data yang dia dapatkan di komputer.

"Bagaimana dengan owner-nya?" tanya Queen.

"Pemilik pabrik itu ada di Negara B." jawab Arthur.

Queen terdiam. Raut wajah gadis itu terlihat serius seperti memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat Queen mengatakan perintahnya.

"Masukkan owner perusahaan minuman itu ke dalam tersangka!" perintah Queen.

"Apa? Kenapa dengannya? Apa hubungannya?" tanya Arthur tidak paham.

"Apa menurutmu wajar jika pemilik perusahaan minuman itu mengetahui kasus di pabriknya dan tetap tenang seperti tidak ada apa-apa?" tanya Queen balik. "Seolah-olah dia sudah tahu bahwa kasus ini akan terjadi. Mendengar berita ini dia sama sekali tidak terkejut. Bahkan dia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya." sambungnya lagi.

"Jadi? Aku harus memasukkannya ke dalam tersangka?" tanya Arthur lagi.

"Kau ingin ke spesialis THT?" tanya Queen dengan ekspresi wajah datar.

Arthur tertawa cengengesan lalu segera melakukan perintah seniornya tersebut. Yap, Queen memang seumuran dengannya tapi karena Queen lebih dahulu terjun di pekerjaan ini maka secara otomatis dia adalah seniornya.

Disisi lain. Di sebuah rumah sakit besar. Seorang dokter tampan baru saja menyelesaikan operasi transplantasi ginjal pasiennya.

"Operasinya berjalan dengan lancar. Pasien akan segera dipindahkan ke ruang perawatan." ucap dokter tersebut kepada keluarga pasien.

"Terimakasih banyak dokter..."

Dokter tersebut tersenyum ramah, kemudian membungkuk sebentar dan segera pamit pergi untuk memeriksa pasiennya yang lain.

"Regan!" panggil seseorang.

Dokter tersebut menghentikan langkahnya. Bibirnya mengukir senyuman kemudian berbalik. "Bagaimana dengan kasus yang kau tangani kali ini?" tanya Regan.

"Biasa saja." jawab Aiden.

"Kau bisa tunggu di ruanganku. Aku masih harus memeriksa beberapa pasien." ucap Regan.

"Hm."

Regan segera pergi memeriksa pasien-pasiennya. Sedangkan Aiden pergi ke ruangan Regan.

Regan adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam yang terkenal ramah dan murah senyum. Banyak perawat wanita yang menyukainya, bahkan tidak jarang pasiennya juga menyukainya karena keramahan yang ia miliki. Dia sudah menekuni profesinya sebagai dokter spesialis penyakit dalam selama 8 tahun sejak lulus kuliah. Saat ini dia sudah menginjak usia 30 tahun. Tapi di usia itu wajahnya masih tetap terlihat seperti saat SMA.

"Baiklah, nona karena keadaanmu sudah membaik besok nona sudah diperbolehkan untuk pulang." ucap Regan dengan senyum yang selalu ada di bibirnya.

"Terimakasih dokter." ucap gadis muda itu.

"Baiklah, saya permisi." pamit Regan.

Di luar ruangan Regan bersama perawat yang mendampinginya sedang berjalan menuju kamar pasien terakhir yang harus dia periksa. Sebelum masuk ke kamar pasien tersebut Regan menghela napas panjang.

"Dokter harus mengatakan itu kepada keluarganya." ucap perawat yang ada disamping Regan tersebut.

Regan hanya mengangguk. Pasien ini adalah pasien lama di rumah sakit ini. Dia menderita kanker paru-paru dan Regan harus memberitahukan kepada keluarganya bahwa hidup pasien tersebut hanya tersisa 60 hari lagi. Memang berat, tapi dia harus mengatakannya.

Setelah selesai memeriksa pasien terakhir Regan kembali ke ruangannya ditemani perawat wanita tersebut.

"Dokter Regan!" panggil perawat itu.

"Ya?"

"Setelah selesai pekerjaan hari ini, apa dokter ada waktu?" tanya perawat wanita tersebut.

Regan diam sebentar, laki-laki itu melihat handphonenya sebentar kemudian baru menjawab pertanyaan perawat tersebut.

"Hm, sepertinya ada." jawab Regan.

"Kalau begitu, dokter bisa makan malam bersamaku?" tanya perawat tersebut.

Regan mengangguk. "Baiklah, nanti datanglah ke rumah saya." ucap Regan disusul senyumya. Kemudian segera masuk ke dalam ruangannya.

Mendapatkan jawaban dari Regan, perawat muda itu langsung jingkrak-jingkrak setelah Regan masuk ke ruangannya.

"Ahay, lampu hijau Stella!!" ucapnya.

...***...

...Bersambung... ...

Queen

Di dalam ruangan Regan, Aiden terlihat membaca berkas-berkas kasus yang sedang ia tangani. Beberapa foto dia letakkan di meja dan ia amati.

Regan yang melihat hal itu duduk di samping Aiden dan mengambil salah satu foto yang menunjukkan ruangan gelap dengan lantai tergenang air berwarna merah gelap.

"Ini kasus baru yang kau tangani?" tanya Regan.

"Hm."

Regan duduk di samping Aiden kemudian ikut mengamati foto-foto yang lainnya. Tatapan laki-laki itu terfokus ke sebuah foto tanda pengenal dengan bercak darah. Diambilnya foto tersebut.

"Itu foto barang bukti." ucap Aiden sebelum Regan bertanya.

"Dia korban atau tersangka?" tanya Regan.

"Sementara dia kami tetapkan sebagai tersangka." jawab Aiden.

Regan mengerutkan keningnya. Laki-laki itu kembali mengamati foto tanda pengenal tersebut. Dia merasa pernah bertemu dengan pria pemilik tanda pengenal tersebut.

Regan beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sebuah berkas kemudian kembali duduk di sebelah Aiden. Dibacanya berkas di tangannya tersebut dengan cepat dan teliti mencari data yang dia inginkan. Dan akhirnya dia menemukannya.

"Dia salah satu pasienku." ujar Regan.

Mendengar hal itu Aiden langsung menoleh dengan wajah terkejut. Detektif itu ikut memperhatikan berkas yang ada di tangan Regan. Dibacanya dengan teliti dan memang benar itu adalah pria yang sama. Pria bernama Javas Schaefer yang merupakan manager perusahaan minuman xx tersebut terdata sebagai pasien di rumah sakit Edelstein tempat dimana Regan bekerja. Dia terakhir kali memeriksakan penyakitnya dua Minggu yang lalu.

"Dia menderita penyakit jantung koroner?" tanya Aiden.

"Hm. Selain itu dalam catatan medisnya dia memiliki hemophobia. Kau yakin dia tersangkanya? Dengan darah sebanyak itu di TKP?" tanya Regan balik.

Aiden manggut-manggut mengerti. Laki-laki tersebut kembali mengamati berkas yang ada di tangan Regan. Dibacanya tanggal pemeriksaan Javas.

"Dua Minggu yang lalu? Itu waktu dimana dia menghilang." ucap Aiden antusias.

Regan menutup berkas berisi catatan medis pasien-pasiennya. Kemudian dia diam mengingat-ingat sosok pria bernama Javas Schaefer.

"Pria itu memiliki sifat yang lembut. Aku tidak yakin dia yang melakukannya." ujar Regan. "Sebelum dia pergi kami sempat berbicara sebentar. Dia terlihat terburu-buru dan bilang padaku akan pergi ke gedung perusahaan karena ada meeting." katanya lagi.

Aiden menyimak apa yang dikatakan Regan baik-baik. Laki-laki itu terkadang kagum dengan dokter yang merupakan sahabatnya sejak masa SMA tersebut. Profesi Regan adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam, tapi Regan sering membantunya menyelesaikan kasus-kasusnya.

"Sepertinya kau perlu datang ke perusahaan minuman itu. Aku yakin kau akan menemukan petunjuk lain disana." jelas Regan.

"Kau tidak ingin beralih profesi menjadi detektif?" tanya Aiden bercanda tapi tetap dengan wajah datarnya.

"Aku tahu kau bercanda, tapi bisakah kau merubah wajah datarmu itu saat bercanda?" tanya Regan balik.

"Tidak. Sudah setelan pabrik." jawab Aiden masih sama datarnya.

"Tcih.. Terserah." desis Regan disusul tawanya.

Aiden segera membereskan foto-foto dan beberapa berkas yang ia letakkan di meja, karena berniat segera pergi ke perusahaan minuman itu agar segera mendapatkan petunjuk. Sedangkan Regan kembali ke mejanya untuk merapikan berkas yang dia keluarkan tadi. Tapi sesaat sebelum pergi Aiden bertanya kepada Regan.

"Kau akan kencan malam ini?" tanya Aiden.

Regan menaikkan satu alisnya. "Kencan apa?" tanya Regan balik.

"Salah satu perawatmu mengajakmu makan malam bukan?"

"Ah itu. Itu hanya makan malam biasa. Aku juga akan mengajak perawat dan dokter lain. Kau juga bisa datang kalau mau." jawab Regan sambil merapikan meja kerjanya.

Aiden menggelengkan kepalanya. Dari SMA sampai sekarang sudah sukses menjadi dokter selalu tidak peka ketika seseorang gadis menaruh hati padanya. Dulu ada seorang gadis yang menyukainya diam-diam, tapi Regan tidak peka. Saat kuliah mereka menjadi idola kampus yang disukai banyak gadis. Tapi tetap saja Regan tidak peka jika mereka tidak mengatakan secara langsung dengan jelas 'Aku menyukaimu!'.

"Dasar tidak peka." sindir Aiden.

Regan tertawa kecil mendengar ucapan Aiden. "Aku bukannya tidak peka, mungkin aku sengaja tidak peka. Karena aku sudah menyukai seseorang." ujar Regan dengan tatapan menerawang jauh.

"Kau masih belum melupakannya?" tanya Aiden.

"Bagaimana bisa aku melupakan gadis kecil yang selalu menemaniku disaat aku terpuruk?" tanya Regan balik.

"Siapa nama gadis itu? Kau tidak pernah memberitahuku siapa namanya." tanya Aiden.

"Queen." jawab Regan sambil tersenyum tipis.

Aiden terdiam. Pikirannya sudah tertuju kepada detektif yang merupakan juniornya. Tapi dia menepis pikirannya itu, orang yang bernama Queen tidak hanya satu. Sebenarnya tidak ingin membuat Regan kecewa jika ternyata Queen yang dia kenal bukanlah orang yang Regan cari. Tapi dia merasa perlu memberitahu Regan.

"Salah satu detektif junior di kantor polisi Gerecht ada yang bernama Queen. Kau mau menemuinya?" tanya Aiden.

Regan mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Aku sudah menemui banyak pasien dengan nama Queen. Mungkin aku akan menemuinya untuk memastikan itu." jawab Regan.

"Kau mencarinya selama bertahun-tahun, apa kau tahu dia pergi ke negara apa? Dan nama lengkapnya siapa?" tanya Aiden lagi.

"Tidak." jawab Regan dengan santainya.

"Bodoh!" celetuk Aiden kesal dengan jawaban yang diberikan Regan.

Melihat hal itu Regan tertawa lepas. Karena jarang sekali melihat ekspresi kesal di wajah sahabatnya yang selalu datar itu.

Ditengah-tengah candaan mereka tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar ruangan Regan. Masuklah seorang gadis dengan kaos putih polos, jaket kulit berwarna hitam, dan celana jeans berwarna hitam juga.

"Detektif Aiden? Detektif kenapa bisa disini? Anda sakit?" tanya gadis itu.

"Tidak. Saya duluan." jawab Aiden kemudian segera pergi dari sana.

Setelah Aiden pergi keheningan menyelimuti mereka berdua. Regan menatap aneh gadis di depannya itu. Sedangkan gadis itu menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal memikirkan seniornya yang baru saja keluar.

"Maaf? Nona ada perlu apa?" tanya Regan.

"Oh? Saya mau memeriksakan kesehatan saya." jawab gadis itu kemudian segera duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Regan.

Regan melihat catatan medis yang ada di mejanya. Itu adalah milik gadis di depannya ini. Laki-laki itu seketika membelalakkan matanya saat melihat nama Queen yang tertera disana.

"Anda seorang detektif?" tanya Regan.

Queen mengangguk. "Saya datang ke rumah sakit ini setelah merasakan sesak napas disusul rasa sakit di dada sebelah kiri saya. Tubuh saya juga menjadi mudah lelah. Napas saya juga pendek setelah melakukan pekerjaan yang berat. Terkadang kepala saya juga pusing. Tadinya saya dari dokter umum, tapi dia mengarahkan saya kemari. Apa berarti penyakit saya parah?" tanya Queen dengan polosnya.

Regan tersenyum kikuk. "Bahkan aku belum memeriksa mu, bagaimana aku tahu keadaanmu parah atau tidak?" batin Regan.

Regan segera membaca keseluruhan catatan medis detektif didepannya ini. Setelah hening beberapa saat, suara Queen memecahkan keheningan tersebut.

"Jadi? Bagaimana? Penyakit saya tidak parah kan?" tanya Queen lagi.

"Apa sejak kecil anda merasakan gejala seperti ini?" tanya Regan.

"Tidak. Saya merasakannya baru-baru ini. Mungkin sebulan yang lalu." jawab Queen.

"Atau mungkin keluarga anda pernah merasakan keluhan yang sama?" tanya Regan.

Queen terdiam. "Ibu. Ibu pernah merasakan hal yang serupa sebelum meninggal di rumah sakit ini 5 tahun yang lalu." jawab Queen dengan nada suara yang berbeda dari tadi.

Regan yang memahami situasi segera mengganti topik pembicaraan dengan mengatakan diagnosisnya."Berdasarkan gejala yang nona sebutkan, kemungkinan nona mengidap Kardiomiopati. Atau biasa disebut lemah jantung. Tapi saya tidak bisa menyimpulkannya secara pasti sebelum melakukan pemeriksaan secara keseluruhan." ujar Regan.

Queen terdiam. Gadis itu tidak menyangka memiliki penyakit seperti itu. Ya, walaupun itu adalah diagnosis sementara tetap saja dia merasa terkejut. Selama ini tubuhnya terasa baik-baik saja, dan tiba-tiba di diagnosis mengidap Kardiomiopati?

"Isilah data-data ini untuk persyaratan melakukan pemeriksaan secara keseluruhan!" perintah Regan sambil menyerahkan beberapa lembar kertas.

"Baik."

Tanpa banyak berkata Queen segera pergi dari ruangan Regan untuk mengisi data-data yang diperlukan sebagai persyaratan untuk melakukan pemeriksaan.

Sedangkan Regan terdiam setelah Queen pergi dari ruangannya. Laki-laki itu mengingat-ingat bagaimana wajah Queen yang dia kenal ketika masih SMA dulu.

"Struktur wajahnya berbeda, dia bukan Queen. Tapi kenapa dia seperti Queen yang aku kenal?" gumam Regan.

...***...

...Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!