NovelToon NovelToon

Separuh Nyawa Suamiku

Satu Miliar

POV Hafizah💔

~ Suara mobil jenazah terdengar mengaum, dari kejauhan sudah mengisi gendang telingaku. Selepas kabar dari pihak kepolisian memberitahukan bahwa suamiku telah mengalami kecelakaan dan tewas ditempat. Sungguh aku tidak percaya.

Beberapa menit yang lalu, dia baru saja berpamitan dengan mesra ketika akan berangkat bekerja di sebuah pesantren milik Abi, dimana suamiku mengajarkan ilmu agama kepada santri di sana. Tidak ku sangka, pada hari Jumat pagi ini, Allah telah mengambilnya.

Meninggalkan aku, mengakhiri kebahagiaan yang baru empat tahun ku rasakan begitu sempurna.

Dunia seolah runtuh seketika. Tidak terbayangkan bagaimana sakitnya kehilangan seorang imam, teman suka dan duka, sang belahan jiwa.

"Mas Azzam." lirihku dengan gemetar.

Ingin menjerit tapi tak cukup tenaga, bahkan suara yang biasanya tinggi, kini tercekat. Hatiku seperti terbelah dua, jantungku seakan berhenti berdetak.

Mobil berwarna putih itu berhenti.

Adik dari suamiku mendekati mobil jenazah itu dengan menangis, meraih tubuh bisu Mas Azzam.

"Maaaassss...." pada akhirnya aku berteriak dalam tangis, mataku gelap, dunia sedang tidak bersahabat.

Dan tangis ku semakin menjadi ketika jenazah Mas Azzam di baringkan di tengah-tengah ruang tamu, tak sanggup aku menatap wajah tampan yang amat aku cintai kini sudah tidak bernyawa lagi.

"Yang sabar Fiza."

Aku merasa bisu mendengar kata sabar itu ribuan kali terucap dari tetangga dan sanak saudara datang melayat. Aku tidak sanggup menjawab...

Bagiku, Mas Azzam masih hidup.

"Ikhlas Kak Fiza, semuanya sudah ditakdirkan Allah yang maha kuasa. Mas Azzam meninggal dalam keadaan syahid, berwudhu dan wajahnya tampan tanpa terluka sedikitpun."

Begitu nasehat adikku, Nur.

Memang benar, Mas Azzam meninggal dengan wajah tampak berseri, bahkan tak ada kesan kesakitan di wajahnya, persis ketika ia tidur lelap dimalam-malam ia bersama diriku. Walaupun iya, kepala bagian belakangnya retak, dengan otak yang terkena benturan keras, tentu dia tidak akan selamat.

Air mata ku turun deras, bukan karena tak ikhlas. Tapi aku sedang berduka, kehilangan cinta yang luar biasa, laki-laki hebat, ayah dari anak semata wayang kami, Arafah.

Hingga selesai pemakaman.

Setetes air hujan jatuh tepat di hidungku.

Aku mendongak langit yang benar-benar gelap di sepertiga hari ini, aku menoleh Arafah yang masih belum mengerti apa-apa, dia hanya duduk menyaksikan onggokan tanah yang sejajar dengan dadanya.

"Sebaiknya kita pulang dulu Kak."ucap Adik dari suamiku.

Sungguh aku enggan beranjak, masih ingin tetap di samping makam Mas Azzam yang bagiku sungguh bisa di peluk untuk melepaskan rindu.

"Kasihan Arafah Kak." ucap Achmad Hairudin lagi, dia merupakan seorang Sersan muda. Adik suamiku itu baru saja selesai menempuh pendidikan militer dua hari yang lalu. Malah harus menyaksikan Kakaknya meninggal, sungguh diapun sedang merasakan kehilangan, mengingat selama ini Mas Azzam yang sudah menyekolahkan dan memenuhi semua kebutuhannya.

Akhirnya aku mengalah. "Aku pulang Mas." lirihku seraya menyapu air mata, pulang dengan hati yang berat.

Langit semakin gelap menjelang ashar, dari kejauhan hujan lebat sedang berjalan mendekat. Detik demi detik hingga menjadi menit yang mencekam, ketika air dari atas langit seakan tumpah di atap rumah sederhanaku, sedang menggambarkan kesedihan ku atas kehilangan mas Azzam.

"Orang yang menabrak sepeda motor Mas Azzam sedang sekarat."

Ahmad berkata setelah menutup panggilan ponselnya.

Aku tak bisa berkata apa-apa, toh andaikan dia tetap hidup dan kemudian di penjara, tentu itu tak juga bisa membuat nyawa Mas Azzam kembali. Secara tak langsung aku juga ingin si penabrak itu mati.

"Astaghfirullah." Hanya satu kata saja yang bisa ku ucapkan atas sakitnya kehilangan. Hanya Allah saja yang tahu, betapa hancurnya hatiku.

"Kita akan mendatangi kantor polisi besok pagi. Agar jelas semua perkaranya dan mereka tidak bisa lepas begitu saja." ucap Ahmad lagi, sebagai seorang Anggota militer tentu dia tahu harus mengurus perkaranya seperti apa, walaupun baru saja lulus dan hanya mendapatkan libur satu Minggu, tapi kehadirannya cukup membantu. Karena jika aku hanya sendiri datang ke kantor polisi, tentu aku tidak akan sanggup. Berdiri saja aku nyaris tak mampu.

Keesokan harinya.

Aku mendatangi kantor polisi dengan wajah pucat, mata sembab dan hidung yang merah. Tentu karena sepanjang malam aku menangis.

"Maaf, keluarga tersangka tak bisa datang karena tersangka sediri masih kritis. Namun demikian, saya sebagai kuasa hukum keluarga tersangka akan bertanggung jawab, dan memberikan uang santunan untuk mengurus korban, juga untuk kelanjutan hidup keluarga yang ditinggalkan sebesar satu milyar."

Aku berdiri cepat, dadaku sesak dengan air mata tak mungkin bisa di bendung.

"Nyawa Mas Azzam tidak bisa di tukar dengan uang." ucap ku dengan sangat emosi, membuat semua pihak terkejut dengan penolakanku.

"Tapi ini adalah wujud dari rasa tanggung jawab kami untuk keluarga Anda Nyonya Hafizah." pengacara itu kembali berbicara.

"Tanggung jawab tak hanya melulu kalian nilai dengan uang. Dimana keluarga tersangka yang identitasnya saja kalian tutupi!" tegasku lagi, aku marah.

"Bukankah sudah jelas bahwa tersangka sedang kritis?" Pengacara itu ikut tersulut emosi. "Jika di hitung kerugian, tentu pihak kami mengalami banyak kerugian bahkan berkali lipat, mobil yang dikendarai tersangka senilai 2 Miliar rusak total bagian depan akibat menabrak tiang listrik dan pengendaranya sendiri mengalami cidera parah, wajahnya hancur, kaki dan tangannya patah!"

"Lalu bagaimana dengan Mas Azzam yang sudah mati!" teriakku semakin tak bisa mengendalikan diri. "Apa karena suamiku hanya pengendara sepeda motor dan kalian seenaknya saja membayar nyawanya dengan uang?"

"Harusnya anda bersyukur kami masih_"

"Stop!" seorang polisi menghentikan perdebatan yang sudah bercampur emosi tersebut.

"Begini Pak, kami ingin bertemu dengan salah satu pihak keluarga, agar kakak Iparku ini tidak terlalu kecewa." Ahmad menengahi.

"Sudah saya katakan bahwa klien saya ini memiliki privasi! Tidak sembarang orang bisa bertemu dengan mereka!"

"Baiklah, kalau begitu katakan pada Tuanmu itu. Aku tidak butuh uangnya!"

"Nyonya!"

Aku memilih keluar dari ruangan itu dengan tangis yang semakin menjadi, hatiku tak cukup kuat untuk berdebat di hari ini.

"Kak!" Ahmad mengejar ku, meraih tanganku.

"Mereka pikir nyawa Mas Azzam bisa di beli!" marahku kepada Ahmad.

"Bukan seperti itu Kak, tapi uang itu bisa kakak gunakan untuk melanjutkan hidup bersama Arafah." Ahmad membujukku.

"Mereka ingin bebas dari rasa bersalah dengan cara yang mudah. Dengan menerima uang itu maka sama artinya aku sudah memaafkan pelakunya. Demi Allah, aku tidak bisa. Biarlah mereka hidup dengan rasa bersalah selamanya."

"Kak!"

Brugh!

Niat ingin meninggalkan Ahmad, malah tak sengaja menabrak seseorang yang sepertinya sedang terpaku mendengar pembicaraanku.

Tangannya menahan tubuhku yang limbung, dapat ku rasakan laki-laki tampan seumuran mas Azzam itu sedang gemetar. Bahkan jari yang tak sengaja menyentuh punggung tanganku itu terasa dingin.

"Maaf." Ucapnya seperti sedang ketakutan. ~ 💔

*

*

*

...Terimakasih sudah mampir....

...Jangan lupa like, vote dan ♥️ nya ya... 🙏🙏🙏...

Sedang Berhutang

Lepas Subuh di pagi ke dua.

Tubuh menggemaskan Arafah bergerak-gerak mencari sesuatu, kaki kecilnya mengayun kesana-kemari belum juga menemukan penyangga seperti pagi-pagi sebelumnya.

"Ayah..." lirihnya kemudian berbalik tengkurap meraih bantal di sisi kirinya.

Sungguh pemandangan itu semakin memperdalam luka di hati seorang ibu yang baru saja menjadi janda. 'Andaikan Mas Azzam masih ada...'

"Ayah." panggil Ara kemudian tak menemukan apa yang ia cari.

"Ara." Hafizah segera melepaskan mukena dan meletakkannya terburu-buru.

"Ibu..." rengeknya dengan mulut kecilnya tertarik kebawah, dapat di pastikan sebentar lagi dia akan menangis.

"Ara mau main ya?" ucap Hafizah dengan hati yang semakin nyeri, membawa tubuh kecil itu. Biasanya di pagi seperti ini Azzam yang menggendongnya, sedangkan ia sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka. Tapi berbeda di pagi kedua ini.

'Kami tidak akan menemui kehangatan itu lagi.'

"Hek....hek...emmmm..." Ara masih merengek dengan mata mulai basah, menoleh ke mana-mana mencari keberadaan Ayahnya.

Tak urung jua, air mata hangat itu turun lagi...

***

"Kak, bagaimana dengan uang santunan itu? Apakah sebaiknya Kak Fiza berdamai saja dengan mereka, bahkan pengendara mobil tersebut belum sadar hingga hati ini." Ahmad mengajak berbicara.

Fiza terdiam sejenak, dia tahu Achmad sedang menghawatirkan dirinya dan Ara.

Dan sepertinya hati Fiza masih saja membatu jika mengingat peristiwa yang menewaskan Azzam.

"Lusa aku harus kembali ke batalyon. Tentu jarak dan tugas membuatku tidak bisa mengurus Ara dan Kakak setiap waktu." ujarnya lagi.

Tentu maksud Ahmad adalah jika uang itu sudah di terima, dia tidak khawatir lagi dengan kehidupan Ara.

Riwayat Hafizah yang merupakan anak seorang kiyai yang semuanya adalah penghafal Alqur'an, membuat Azzam selalu mengistimewakannya. Meskipun uang yang ia dapat terbilang pas-pasan tapi untuk pekerjaan rumah dia selalu meminta seseorang untuk mengerjakannya dengan alasan istrinya tidak boleh terlalu lelah, takut ayat-ayat yang sudah di hafal hapus perlahan dari dari ingatan. Begitu ucapan Azzam selalu terdengar ketika Fiza menolak memakai asisten rumah tangga.

Mengingat itu, membuat ia semakin tak ikhlas atas kepergian Azzam.

"Aku tidak akan menerimanya." ucap Hafizah pada akhirnya.

"Kak, bukankah sesama manusia harus saling memaafkan. Allah saja maha pengampun."

"Aku sudah memaafkannya, bukankah dengan tidak menuntut apa-apa sudah membuktikan aku tidak ingin membalas?" ucap Hafizah yang tidak mungkin kalah jika sudah berbicara perihal ikhlas.

'Hah! Sungguh ikhlas yang mana yang sedang ku bicarakan, sulit sekali aku mengerti bahwa ikhlas yang sebenarnya bukanlah tidak membalas.'

"Baiklah, jika kakak tetap tidak mau menerima maka aku tak juga bisa memaksa. Setiap bulan aku akan mengirimkan uang untuk Arafah, sebagai nafkah dari keluarga Mas Azzam atas anaknya, dan aku adalah wali satu-satunya." ucap Ahmad akhirnya menyerah, dan ia cukup dewasa dalam memahami tanggung jawab dan kewajiban.

"Kakak tidak mau membebankan Ara padamu, kau sendiri baru bekerja." ucap Hafizah merasa bahu Ahmad masih terlalu muda.

"Ara tanggung jawabku Kak." ucapnya kemudian menghembus nafas lega.

***

Tapi, hari-hari yang berlalu tak sesuai dengan harapan. Entah karena rindu terpendam kepada ayahnya, atau memang Hafizah sedang di uji. Hari setelah dua Minggu Azzam meninggal, Ara sakit. Demam yang tak kunjung sembuh itu membuat Fiza panik setengah mati, mau tak mau ia mengajaknya ke rumah sakit pada malam itu, beruntung seorang tetangga bersedia membantu.

"Ayah..." lirih Arafah yang sungguh semakin hari semakin kurus. Makan tak lahap, tidurpun tak begitu nyenyak. Mungkin tak nyaman dengan guling yang hanya bisa dipeluk, tapi tak bisa membalas.

"Sayang... Ara." Fiza sungguh bingung, bagai mana cara agar Ara bisa mengerti bahwa ayahnya sudah tak ada, ia hanya bisa mengelus dan memeluknya.

"Ini resepnya Bu, silahkan di tebus di depan." Dokter berkaca mata itu memberikan kertas bertuliskan beberapa macam obat.

"Baiklah Dok." ucap Fiza setelah melihat Ara mulai tenang, tentu setelah dokter menyuntikkan obat tidur di dalam infusnya.

Jarak yang lumayan jauh, berjarak beberapa kamar dan harus berbelok.

"Suster, aku ingin menembus obat ini." memberikan kertas dari dokter.

"Tunggu sebentar ya." jawabnya yang kemudian mengangguk.

"Sembilan ratus empat puluh lima ribu." ucap suster tersebut mengeluarkan beberapa obat yang sudah di bungkus dengan plastik bening.

"Iya." sedikit gugup mendengar jumlah tersebut, lupa menghitung uang di dompet yang Fiza sendiri yakin jumlahnya tidak sampai dengan hitungan itu.

Dan benar. "Suster, uangku hanya ada enam ratus ribu saja. Bisakah aku mengambil obat ini dan nanti aku akan melunasi semuanya."

"Maaf Bu, untuk obat tidak bisa, ini belum termasuk biaya rumah sakit lainnya." jawab Suster itu dengan sopan.

"Tapi Suster, aku datang terburu dan lupa membawa uang." Fiza masih berusaha, ingin Suster itu mengerti dan memberikan obatnya.

"Maaf Bu, saya_"

"Biar saya yang membayarnya."

Seseorang membuatnya menoleh, laki-laki muda itu berdiri tepat di samping Hafizah sibuk mengeluarkan card dari dompetnya.

"Ah, tidak Mas, aku hanya lupa membawa uang." Tentu Hafizah menolak, ia tidak kenal siapa laki-laki itu.

"Tidak apa-apa, aku juga sedang membayar tagihan rumah sakit untuk kakak perempuanku. Sekalian saja semua tagihanmu." jelasnya seraya meminta kepada Suster yang kemudian mengangguk mengerti.

"Tapi Suster."

"Sudah, anggaplah sebagai permintaan maaf ku atas pertemuan tak sengaja tempo lalu." ucapnya tersenyum lembut.

"Kita?" Hafizah mencoba mengingat.

"Ya, kita bertemu di kantor polisi dan kita bertabrakan tidak sengaja." ungkapnya tersenyum lebar.

"Oh, maaf. Harusnya aku minta maaf saat itu. Aku ingat, tapi sebenarnya akulah yang tidak melihat jalan."

"Tidak masalah. Waktu itu kau sedang menangis." ucapnya memperhatikan wajah Hafizah.

Hafizah menunduk karena memang tak biasa mendapatkan tatapan dari laki-laki asing selain Ayahnya dan Azzam suaminya.

"Ini Pak, sudah selesai." suster itu membuat ia sadar bahwa sekarang ia sedang berhutang kepada seseorang.

"Baiklah, terimakasih." pria muda itu menyimpan card hitam miliknya lagi. Dan ia malah pergi tanpa mengucapkan apa-apa.

"Mas, tunggu." Hafizah sedikit mengejarnya.

Dia menoleh. "Ya."

"Aku harus mengembalikan uangmu." ucap Hafizah tak merasa ragu, kali ini dia sendiri menatap wajah pria itu.

"Itu tidak perlu." ucapnya tersenyum sangat tipis.

"Tidak, aku sedang berhutang dan itu harus ku bayar." tentu ia tak menyerah. "Berapa nomor ponselmu?" Hafizah sudah siap dengan ponsel yang menyala di tangannya.

"A..." Dia terlihat ragu.

"Aku mohon, aku tidak mau berhutang kepada siapapun." ucap Hafizah lagi.

"Baiklah." Laki-laki itu tersenyum lebar, lalu meraih ponsel di saku celananya, dan memperlihatkan layar lumayan besar itu.

"Terimakasih, nomormu bagus." ucap Hafizah sedikit tersenyum.

"Tentu saja." dia seperti terkagum dengan senyum yang setelah beberapa waktu tak terlihat.

"Sekali lagi terimakasih, aku permisi. Assalamualaikum."

"Ya." jawabnya mematung hingga Fiza menjauh dan sedikit menolehnya.

"Awal yang bagus." gumam pria itu tersenyum berkali-kali.

Semakin Parah

Satu Minggu sudah berlalu, tapi kondisi Ara tak juga membaik.

Sejak hari itu Nur lebih sering menemani Hafizah di rumah sakit. Selain Hafizah memang sedang butuh uang ia juga butuh tempat untuk berbagi beban.

"Aku harus menemui Dokter, tolong jaga Ara sebentar." ucap Hafizah di siang itu, tak hanya lelah tubuh, tapi hatinya pun hampir putus asa dengan keadaan Ara yang semakin lemas.

"Baiklah Kak." jawab Nur kemudian masuk ke dalam menggantikan Hafizah.

Dengan hati yang bimbang, tentu ia tak boleh menyerah begitu saja, jika obat sudah tak bisa memulihkan Ara, maka harus ada upaya lain agar Ara bisa lepas dari keadaan terpuruknya.

Ya, dia sedang kehilangan.

Hafizah berjalan sambil menyeka air mata, kepergian Azzam membuatnya sungguh kehilangan separuh jiwa.

"Dok mengapa kondisi putriku belum juga pulih? Apakah ada hal lain yang bisa dilakukan agar Ara bisa sembuh?" tanya Hafizah setelah berada di ruangan Dokter anak.

Dengan helaan nafas yang berat, Dokter wanita itu melepas kaca matanya. "Nyonya, sebenarnya Ara tidak memiliki penyakit."

Hafizah termangu dengan ungkapan dokter tersebut.

"Dia sedang merasakan situasi yang tidak pernah di inginkan, dan sebagai anak dia juga tidak bisa mengungkapkan bahwa hatinya sangat bersedih. Itu pula alasan kami hanya memberikan vitamin dan obat-obatan ringan seperti penenang saja. Dia tidak sakit."

"Lalu aku harus bagaimana Dok?" isak tangisnya terdengar menggema dengan tarikan nafas berat memenuhi ruangan dokter itu.

"Banyak berdoa Bu, hibur Ara dengan menghadirkan banyak orang yang mungkin bisa membuatnya lupa akan kehilangan ayahnya."

"Aku takut Dok, Ara terlalu mencintai ayahnya dan_" dia tak mampu melanjutkan kata-katanya lagi.

"Kami sedang meminta seorang psikolog anak untuk datang kemari, semoga setelah ini Ara akan lebih baik."

"Iya Dok, aku akan melakukan apapun agar Ara bisa sembuh."

Sedikit harapan, Hafizah keluar dari ruangan itu dengan mata yang yang masih basah, ia membuka ponselnya ingin menghubungi Ahmad. Hanya berniat memberi kabar, dan meminta doa untuk kesembuhan Ara, karena untuk memintanya pulang tentu Ahmad tak akan bisa.

"Assalamualaikum Kak." suara Ahmad terdengar di seberang sana.

"Wa'alaikum salam Ahmad, maaf kakak mengganggu." Hafizah berpikir lagi untuk memberitahukan kabar Ara Padanya.

"Ada apa Kak?" tanya Ahmad sepertinya tahu Hafizah sedang berpikir.

"Ah, Kakak hanya..."

"Kak?" suara Ahmad lagi.

Hafizah memilih mematikan ponselnya, tak sampai hati ia mengatakan tentang Ara. Sebagai anggota militer baru tentulah Ahmad sedang banyak sekali kegiatan, mana mungkin Hafizah sampai hati menambah beban pikiran adiknya yang masih terlalu muda.

"Kak!!"

Panggilan Nur yang terdengar berteriak membuat Hafizah terkejut hingga menjatuhkan ponselnya.

"Ara sesak Kak, cepatlah." Nur menarik tangan Hafizah untuk segera masuk ke ruang rawat anaknya.

"Ara." ucap Hafizah bergetar, berlari masuk melihat keadaan anaknya.

Tampak seorang dokter dan dua suster sedang mengelilingi Ara, berusaha menolong dan menenangkan Ara.

"Ara, Sayang..." Hafizah menangis sambil meraih tangan Ara yang terasa dingin.

"Hek....Ahh.." suara Ara tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan mata sendunya melihat ke langit-langit rumah sakit.

"Araaa..." Hafizah semakin menangis.

"Ibu tenang ya." salah satu suster membujuk, namun tak di hiraukan Hafizah.

Pikirannya benar-benar kalut, keadaan Ara yang semakin memburuk membuat Hafizah seolah berada di hari beberapa Minggu yang lalu, dimana kepergian Azzam yang begitu tiba-tiba.

"Tarik nafas Ara, lalu hembuskan pelan Nak." Dokter itu membujuk dengan lembut, berusaha mengalihkan pandangan Ara padanya.

Perlahan, ternyata Ara masih mendengarkan dokter itu bicara. Dada kecilnya mulai normal, tak lagi naik turun begitu cepat.

"Alhamdulillah." suster yang memakai hijab sama seperti Hafizah itu tersenyum lega.

"Ara Sayang, lihatlah Ibu Nak. Ibu sangat menyayangimu. Ibu mencintaimu. Ibu hanya memiliki Ara saja." Hafizah kembali terisak pilu.

Namun tak mendapat respon dari gadis kecil tersebut, bahkan pelukan Hafizah seperti tak di rasa.

"Ara." pelan Hafizah semakin khawatir.

Ara menatap satu titik dengan tak berkedip. Nafasnya teratur, tapi menangis tanpa suara. Air matanya turun pelan tanpa ada yang bergerak seluruh anggota tubuh kecilnya.

"Ara..."

Hening, ketika semua orang menunggu reaksi gadis kecil yang terbaring lemah, pucat dan semakin cekung kedua matanya.

Dia berkedip, tapi masih fokus di satu titik yang membuat semua orang menoleh.

"Ara." ucap pria yang mematung mengikuti panggilan yang beberapa kali Hafizah sebutkan.

"Ayah..."

Ara menyahut lemah, tapi kata-kata yang di sebutkan sungguh di luar dugaan.

"Nak." sungguh dengan dada yang sesak Hafizah mencoba menjelaskan.

"Ayah..." panggilnya lagi.

Tak hanya Hafizah, tapi semua orang saling pandang dengan apa yang disebutkan Ara, dan matanya tetap tertuju kepada laki-laki yang berdiri diujung ranjang.

Dan tidak di duga pria itu malah mendekati Ara, tepat di samping Hafizah ia berdiri dan meraih tangan kecil Ara.

"Ara?" panggil pria itu sangat dekat, kedua bola mata mereka beradu.

"Ayah...!" tangis Ara pecah menggema, entah dari mana ia mendapatkan tenaga hingga bisa menjeritkan panggilan ayah kepada laki-laki yang tidak ia kenal.

Dan begitu mengharukan ketika kedua orang asing itu berpelukan.

Tangis haru terjadi begitu saja dari beberapa orang termasuk dokter yang menyaksikan bagai mana Ara meluapkan tangisan rindu kepada laki-laki itu.

"Tenanglah Sayang." ucapnya pula, sungguh membuat Ara semakin tidak mau melepaskan pelukan di bahu kokoh laki-laki asing tersebut.

Semua orang bernafas lega setelah beberapa menit kemudian ada kemajuan pada Ara, mendadak ia ingin minum susu. Sungguh Allah sedang memberikan keajaiban atas doa yang selalu dipanjatkan seorang ibu setiap waktu dan disertai air mata.

"Terimakasih." Hafizah menunduk di hadapan pria yang lagi-lagi sudah memberikan pertolongan padanya. "Bahkan uangmu belum ku kembalikan, tapi sekarang aku malah berhutang lagi."

Dia memandangi Hafizah yang semakin menunduk. "Namaku Andra. Kau tidak perlu merasa terus-terusan berhutang, karena sebuah pertemuan bukanlah hanya sekedar kebetulan."

"Ma... maksudmu?"

"Ya, mungkin saja Allah sedang ingin aku menjadi penghibur hati Ara yang sedang kehilangan." jawabnya pelan, mata hitam pekatnya menatap wajah Hafizah.

"Darimana kau tahu Ara sedang kehilangan?" sedikit tak suka dengan kata-kata kehilangan itu, walaupun benar adanya.

"Jika ayahnya ada, tentu dia tidak akan memanggilku ayah." Dia tersenyum lalu kembali mengeratkan genggaman tangannya kepada Ara. "Atau aku memang pantas menjadi seorang ayah?"

Begitu kata-kata mengejutkan sekaligus membuat Hafizah tak nyaman.

Tiba-tiba dia bersikap aneh, ditambah lagi senyumnya yang menurut Hafizah sedikit mengganggu.

"Aku hanya bercanda." sambil mengecup tangan kecil Ara yang mulai memejamkan mata, dan satu tangannya memberikan ponsel Hafizah yang terjatuh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!