Dunia yang begitu indah, dengan hamparan hijau yang amat luas, hutan-hutan yang subur, dan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya dengan air jernih serta menyegarkan. Pegunungan di mana-mana, serta danau dan banyak sekali bioma yang bermacam-macam. Dunia yang sangat luas, tak semua tempat dan wilayah terjamah oleh manusia. Masih lestari dengan alam yang begitu indah serta berbagai macam satwa yang hidup di dalamnya.
Di balik luasnya dunia, terdapat banyak sekali keajaiban serta rahasia yang tidak banyak manusia ketahui. Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang memiliki kurang lebih dua puluh satu sifat, salah satunya adalah sifat tamak yang menjadi sumber perusak segalanya. Namun di dunia yang penuh dengan keajaiban serta kerahasiaan ini, rupanya tak hanya manusia yang hidup di atas muka bumi ini.
Dunia ini adalah tempat yang sangat luas, bahkan hingga terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa dan benua. Tak hanya bangsa manusia, di dunia yang penuh dengan kehidupan ini juga hidup bangsa lain selain manusia, tentu dengan sifat-sifat yang menjadi khas mereka serta berbagai keajaiban yang ada di baliknya.
Di tengah hamparan pasir yang sangat luas, tidak ada air, dan tidak ada sumber kehidupan. Terlihat sekelompok orang tengah melakukan perjalanan mereka dari suatu negeri menuju ke negeri lain dengan menaiki unta-unta yang mereka bawa. Rasa lapar tidaklah terlalu terasa, namun tenggorokan kering dan rasa haus seakan-akan ingin membunuh mereka.
Beberapa dari mereka hampir tumbang di tengah perjalanan, ditambah dengan persediaan air yang semakin menipis. Namun mereka terus melanjutkan perjalanan, karena tidak ada pilihan lain dan sudah berada di tengah-tengah hamparan pasir yang sangat luas seolah menandingi luasnya lautan. Langkah demi langkah mereka mendaki salah satu bukit pasir, dan terus melakukan perjalanan ke arah Timur.
Di kala mereka mendaki sebuah bukit pasir tersebut, salah satu pemuda laki-laki dari mereka yang telah berada di puncak bukit tiba-tiba saja berteriak, "air! Aku melihat danau di sana!"
Seorang pria dewasa melangkah mendekatinya, dan melihat ke arah yang sama. Kedua matanya juga melihat apa yang dilihat oleh pemuda itu. Dari kejauhan terlihat seperti oasis yang amat menyegarkan serta menyejukkan. Di sana terdapat sebuah danau dengan air yang bersih dan jernih, di sekitar danau tersebut dikelilingi oleh rerumputan serta pepohonan rindang yang terlihat sangat menyegarkan dan cocok untuk digunakan sebagai tempat peristirahatan.
Namun pria dewasa tersebut tidak terlalu percaya dengan apa yang ia lihat, "apakah mungkin yang kita lihat adalah fatamorgana?" ucapnya bertanya-tanya sendiri.
"Sebaiknya kita mendekat dan memeriksanya secara langsung!" seru pemuda laki-laki itu, kemudian berlari menuruni bukit menuju ke oasis yang terlihat menakjubkan serta menggoda untuk didekati.
"Tu-tunggu! Bisa berbahaya jika sembarangan mendekati sesuatu yang tidak kita ketahui!" teriak pria dewasa itu, namun perkataannya tidak dihiraukan oleh pemuda tersebut.
Merasa tidak ada pilihan lain, pria tersebut pun memimpin kelompoknya yang terdiri dari tiga orang pria dewasa dan dua orang pemuda laki-laki itu untuk berjalan menuju ke oasis yang terlihat. Tak hanya dirinya yang melihat oasis tersebut, rekan-rekan regunya juga melihat hal yang sama. Hal itu tentu semakin melemahkan dugaannya yang mencurigai bahwa oasis yang ia lihat hanyalah ilusi atau fatamorgana.
Sekelompok pengembara itu melanjutkan perjalanan menuju oasis yang mereka lihat. Semakin mendekat, oasis itu semakin jelas terlihat, bahkan membesar. Hal itu meyakinkan mereka bahwa oasis itu asli. Pemuda laki-laki yang di awal melihatnya merasa sangat senang, bahkan ia tinggal beberapa langkah lagi untuk bisa menginjak rerumputan oasis yang tampak menyegarkan dengan warna hijaunya.
"Ini benar oasis!! Ini bukanlah ilusi!" teriak pemuda itu berseru kegirangan, dan langsung berlari ke arah sumber air yang menyegarkan dengan niat ingin meminumnya.
Tak hanya pemuda laki-laki itu, tetapi sekelompok pengembara yang ikut di belakangnya juga terlihat sangat senang dan bersyukur menemukan sumber air. Mereka langsung turun dari unta-unta yang mereka kendarai, dan kemudian berlarian menuju ke danau dengan air yang tenang dan sangat jernih menyegarkan. Beberapa dari mereka juga tidak lupa untuk membawa tempat minum mereka untuk diisi ulang oleh air sebagai perbekalan.
Ketika beberapa dari mereka telah meminum serta melakukan isi ulang persediaan air minum mereka. Sesuatu yang aneh pun tiba-tiba saja terjadi dengan danau tersebut. Air danau yang sebelumnya tenang, tiba-tiba beriak dan menimbulkan gelombang seperti ada yang bergerak-gerak di dalamnya. Melihat keanehan yang terjadi, tentu membuat sekelompok pengembara itu ketakutan dan langsung menjauh dari danau.
Air danau semakin tidak bisa tenang, bahkan hingga tumpah ruah membasahi rerumputan di sekitarnya, dan warna dari air tersebut perlahan berubah menghitam. Suara gemuruh juga terdengar dan berasal dari dalam danau. Dalam waktu yang sangat singkat, tiba-tiba saja makhluk besar yang sangat mirip seperti ular naga dengan sisik berwarna ungu kegelapan muncul dari dalam danau. Makhluk itu menatap ke arah sekelompok pengembara yang mengambil serta meminum air danau, dan seketika keanehan berikutnya pun terjadi.
"ARGHHH ...!!!!"
Sekelompok pengembara yang meminum air danau tersebut tiba-tiba saja ambruk dan mual-mual mengeluarkan cairan berwarna merah darah. Kulit mereka perlahan berubah menjadi sisik-sisik berwarna gelap dan kelam, serta masing-masing mata mereka seketika berubah menjadi warna merah dengan iris seperti mata ular.
Sakit, pedih, mungkin itu yang dirasakan oleh mereka. Mereka tak henti-hentinya berteriak, merintih kesakitan, dan meminta tolong. Namun tidak ada satupun yang dapat mendengar rintihan, teriakan, serta permintaan tolong mereka.
Makhluk besar yang terlihat seperti naga namun berbentuk ular itu hanya diam menatap sekelompok manusia yang sedang kesakitan itu. Tatapan mata berwarna biru muda terus memancarkan cahaya. Semakin cahaya itu bersinar, semakin sakit yang diderita oleh orang-orang itu, hingga rintihan serta suara mereka tidak terdengar lagi. Tubuh-tubuh mereka terlihat sudah lemas, tersungkur, dan tergeletak tidak bergerak sama sekali. Banyak darah yang mengalir keluar dari setiap lubang yang ada pada tubuh manusia-manusia itu.
Setelah orang-orang itu tergeletak dan tersungkur tak bernyawa. Makhluk besar itu perlahan keluar dari tengah danau, mendekati serta melingkari jasad orang-orang itu, dan kemudian dengan perlahan membawanya serta menyeretnya untuk masuk ke dalam danau.
Situasi oasis yang sebelumnya sangat kacau, perlahan kembali tenang kembali. Darah-darah yang sempat berceceran di rerumputan, perlahan luntur dan menghilang karena percikan air yang tercipta akibat makhluk itu berenang dan kembali ke dalam danau. Ketika semuanya kembali tenang, danau tersebut juga kembali dengan ketenangannya serta daya tariknya yang sangat menggoda siapapun yang lewat. Air yang sebelumnya berwarna hitam, kini secara cepat berubah jernih dan menyegarkan kembali.
***
Di sebuah negeri yang begitu indah dan subur serta amat luas, memiliki hamparan hijau yang luas, hutan-hutan, pegunungan, serta wilayah pesisir. Negeri tersebut bernama Negeri Zephyra, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Zephyra yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Aiden Zuhair Zufar, seorang pria tampan berambut hitam pekat, dan Ratu bernama Caitlyn Zemira Zanitha, wanita cantik dengan rambut berwarna cokelat muda.
Kerajaan yang begitu makmur dan damai, dengan rakyat yang terlihat sangat bahagia di setiap harinya. Sangat jarang sekali terlihat adanya gelandangan atau rakyat miskin, hampir semuanya yang hidup di negeri ini berkecukupan, apalagi dalam masa periode Raja Aiden memimpin kerajaan. Semuanya dikelola dengan sangat baik.
Seorang pemuda laki-laki terlihat sedang menghabiskan waktunya seperti biasa, untuk berjalan-jalan menikmati suasana kota. Dengan pakaian sederhana dan santai, baju berwarna krem dan sebuah jubah berwarna cokelat, celana panjang berwarna cokelat tua serta sebuah sabuk dan sarung pedang yang bergelantung di pinggangnya. Ya, hanya sarung pedangnya saja, tidak ada pedang alias ia tidak membawanya.
Laki-laki tersebut terlihat berjalan dan mulai memasuki area pasar, area yang menjadi pusat perdagangan di kerajaan ini. Ketika berjalan-jalan di area tersebut, pemuda itu terlihat menutupi kepalanya dengan sebuah tudung yang melekat menjadi satu dengan jubah yang ia kenakan, menutupi rambut pendek berwarna hitam pekatnya.
Suasana pasar yang sangat amat ramai, terjadi berbagai transaksi di wilayah tersebut. Suara-suara para pedagang yang menawarkan barang dagangannya, dan para pembeli yang melakukan negosiasi harga dengan pedagang. Terlihat juga tidak hanya pedagang di negeri tersebut yang terlihat sedang menawarkan barang dagangannya, namun juga terpantau banyak pedagang yang datang dari luar negeri, tentu setelah melewati berbagai ketentuan untuk mereka dapat melakukan perdagangan di dalam area kerajaan.
Beberapa langkah membawanya kepada seorang pedagang yang terlihat menjual buah-buahan. Buah-buah itu terlihat sangat segar, ada apel, jeruk, pear, dan masih banyak lagi.
"Selamat datang, silakan!" ucap pria yang menjual buah-buahan itu dengan sangat ramah menyambut calon pembelinya.
"Apel ini harganya berapa?" tanya pemuda itu dengan mata yang tidak terlalu terlihat karena tertutup tudung jubah yang ia pakai. Laki-laki itu menunjuk ke arah keranjang yang berisikan banyak sekali apel berwarna merah segar, di sebelahnya juga ada keranjang apel namun dengan warna hijau segar.
"Satu buah cukup dua koin perunggu," jawab pedagang itu.
"Baiklah, saya beli satu ...!" ucap pemuda tersebut, kemudian transaksi pun ia lakukan, membayar harga untuk satu buah apel berwarna merah yang ia pilih.
Setelah transaksi tersebut, dan satu buah apel kini berada di tangannya. Pemuda itu melanjutkan berjalannya. Beberapa kali ia melihat banyak penjaga kerajaan yang sedang melakukan patroli, beberapa kali juga ia terlihat terpaksa harus berpapasan dengan mereka. Namun dirinya merasa beruntung karena para penjaga itu tidak begitu memperhatikannya, dan wajahnya juga tidak terlalu terlihat.
"Merepotkan," gumam pemuda itu, berjalan mengarah ke salah satu bagian dinding kerajaan, dan kemudian naik ke sebuah menara yang ada pada dinding yang tinggi itu.
Di atas menara tersebut, si pemuda laki-laki berdiri dan bersandar pada salah satu pilar sembari memandang ke arah pemandangan luar dinding dengan menikmati manisnya apel yang ia beli dari pedagang itu.
Angin di siang hari tiba-tiba saja bertiup kencang nan lembut, menghempas tudung yang dikenakan oleh si pemuda laki-laki, sehingga membuat rambutnya yang berwarna hitam menari-nari tertiup angin.
Kedua iris mata yang berwarna hitam pekat sama seperti warna rambutnya itu terus memandangi setiap hamparan hijau serta hutan-hutan yang terlihat luas dan jauh. Beberapa kali ia menghela napas, beberapa kali juga angin menerpanya, hanya dirinya serta di sekitarnya. Angin yang bertiup lembut itu seolah tidak ingin beranjak jauh-jauh dari tempat pemuda itu berada.
Pemuda itu tiba-tiba saja tertawa kecil dan berkata, "kira-kira ada apa saja di luar sana, ya? Apakah kau mengetahuinya? Aku yakin kau telah menjelajahi berbagai tempat di luar sana, 'kan!" ucapnya berbicara dengan sendirinya.
Sesaat setelah berbicara, angin kembali bertiup lembut mengelilingi tubuhnya, seolah memberikan respons dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum dan berkata, "terkadang ... aku merasa ingin sepertimu, bisa berhembus dan terbang dengan kebebasan untuk menjelajahi berbagai tempat di luar sana."
Angin kembali bertiup lembut hingga membuat salah satu tangannya sedikit tertarik dan terangkat. Lagi-lagi seolah angin di sekitarnya dapat mengetahui serta berbicara dengan pemuda itu.
Pemuda itu kembali tertawa dan kemudian berkata, "bukan terbang secara harafiah, jika secara harafiah aku tahu kau dapat membawaku terbang dengan mudah. Tetapi yang ku maksud adalah kebebasan itu."
"Tak selamanya memiliki hak istimewa itu menyenangkan," lanjutnya dengan intonasi yang terdengar cukup rendah dan pelan.
Waktu yang begitu tenang dengan pemandangan indah hamparan hijau di negeri ini. Pemuda laki-laki itu terlihat sangat menikmati waktu luangnya, waktu yang benar-benar tenang tanpa ada gangguan dari apapun itu. Laki-laki itu menggunakan waktu luangnya untuk bermain-main dengan angin yang setia bersamanya. Beberapa kali ia mengangkat sedikit telapak tangannya, dan kemudian diikuti oleh embusan angin lembut, membawa sehelai daun berwarna hijau yang kemudian mendarat tepat di atas telapak tangan tersebut.
Tanpa berucap atau merapal, hanya dengan tatapan kedua iris mata berwarna hitam indah itu. Sehelai daun yang berada di telapak tangannya perlahan sedikit terangkat dengan putaran angin kecil dan terasa lembut. Namun tak berselang lama, sehelai daun itu robek dan hancur menjadi potongan kecil seperti debu dalam hitungan detik, dan kemudian potongan-potongan kecil itu tertiup terbang bersama dengan angin.
"Bagaimana dengan sesuatu yang lebih berat?" tanya pemuda itu berbicara dengan sendirinya. Ia kemudian mengambil apel bekas miliknya yang sudah hampir habis dari dalam saku, dan kemudian meletakkan buah tersebut di atas telapak tangan kanannya.
Pemuda itu menarik napas panjang, dan kemudian menghembuskannya secara perlahan. Ia kelihatannya sedang ingin mencoba trik yang sama seperti dirinya menghancurkan sehelai daun menjadi potongan-potongan kecil layaknya debu. Lagi-lagi tanpa merapal atau berucap sesuatu, embusan angin lembut kembali datang dan terasa, namun kini mengelilingi tubuhnya.
Angin lembut itu terus berputar dan semakin kencang, sebelum kemudian angin yang berhembus itu bergerak berkumpul tepat mengelilingi apel bekas yang ada di atas telapak tangannya. Secara perlahan buah apel itu terangkat dan sedikit lebih tinggi daripada sehelai daun sebelumnya. Di saat itu juga embusan angin yang berkeliling di sekitar tubuhnya perlahan ikut berkumpul mengitari buah apel yang melayang-layang di atas telapak tangannya, hingga membuat wujud dari apel bekas itu cukup sulit untuk terlihat karena angin yang semakin kencang.
Perlahan namun pasti, dalam waktu beberapa detik kemudian, buah apel bekas miliknya langsung terpotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, bahkan lebih kecil daripada sebuah dadu. Pemuda itu seketika tersenyum senang melihat apa yang terjadi di depan matanya, apalagi ketika melihat potongan-potongan apel itu kini berada di telapak tangannya.
Tap ... Tap ... Tap ...!!
Mendengar suara langkah kaki yang perlahan menaiki anak tangga menara, pemuda tersebut langsung menoleh ke belakang dan bersiap untuk segala kemungkinan jika seseorang yang muncul bukanlah orang baik. Namun niat tersebut langsung ia urungkan ketika melihat sosok yang sangat tidak asing baginya.
"Astaga, saya sudah mencari anda ke mana-mana, ternyata anda berada di sini," ucap seorang laki-laki dengan pakaian zirah santai kesatria kerajaan.
"Mengapa kau mencari ku? Bukankah hari ini adalah hari libur untukku?" ucap pemuda itu, bersandar santai pada salah satu pilar menara.
"Memang, sih. Hanya saja ... rasanya ... saya tidak bisa meninggalkan tanggung jawab yang sudah diberikan kepada saya," ucap laki-laki berpakaian kesatria kerajaan itu kepada si pemuda.
"Kembalilah ke istana, Kenan ...! Nikmatilah waktu luang mu! Jangan khawatir, aku bisa jaga diri sendiri," ucap pemuda laki-laki itu kepada lawan bicaranya.
Kenan, atau nama lengkapnya adalah Kenan Va Valeeqa. Laki-laki berambut hitam pekat itu berusia 19 tahun, dan memiliki peran sebagai salah satu kesatria kerajaan, sekaligus mengemban amanah untuk menjadi seorang pengawal atau ajudan si pemuda laki-laki. Kenan bisa dibilang masih baru dalam mengemban tugas atau amanah tersebut, karena baru seminggu ia menjadi seorang pengawal pribadi.
"Tetapi, Yang Mulia. Saya---"
"Jangan memanggilku seperti itu, aku tidak suka dengan cara bicara formal!" sahut si pemuda menghela napas.
"Maaf," sahut Kenan dengan sedikit menundukkan kepalanya.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis dan berkata, "sudahlah, tidak perlu meminta ma--"
DUAAARRR ...!!!
Sebuah ledakan tiba-tiba saja terdengar dari pusat kota, dan sangat mengejutkan bahkan hingga memotong perkataan pemuda laki-laki itu. Beberapa detik setelah ledakan itu terdengar, terlihat banyak sekali penjaga kerajaan yang langsung berlarian ke lokasi kejadian, merespons apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa yang terjadi?" tanya pemuda laki-laki itu, memandang ke arah pusat kota, dan dari kejauhan terlihat kepulan asap hitam yang perlahan membumbung tinggi.
"Mungkin perampokan? Kalau tidak salah di sana terdapat toko permata," jawab Kenan.
Tanpa berbasa-basi dan berbicara, pemuda laki-laki langsung melompat dari atas menara, dan mendarat dengan sempurna berkat bantuan dari angin yang setia bersamanya, sebelum akhirnya ia berlari menuju ke lokasi kejadian. Tentu pergerakan tiba-tiba itu sangat mengejutkan Kenan yang melihat, terlebih dirinya sebagai pengawal, namun ditinggal oleh tuannya. Kenan segera bergegas turun dari menara melalui anak tangga, dan kemudian berlari untuk menyusul pemuda itu.
Tak berselang lama, pemuda laki-laki itu sampai di lokasi kejadian, dan benar apa yang dikatakan oleh Kenan sebelumnya. Sebuah toko permata tengah dirampok oleh tiga orang berjubah hitam, dan sepertinya mereka ahli dalam mengendalikan sihir. Tempat itu sudah dikepung oleh para penjaga, namun mereka cukup kesulitan untuk bergerak melawan dan meringkus para pelaku, karena terkendala keahlian.
"Tunggu, ini bisa sangat berbahaya! Saya mohon untuk tidak terlalu gegabah ...!" ucap Kenan, akhirnya sampai tepat di sebelah pemuda tersebut.
Pemuda laki-laki itu bersama dengan Kenan untuk sementara hanya melihat dari kejauhan, dari balik kerumunan masyarakat yang juga menyaksikan kejadian tersebut. Tindakan kriminal seperti ini sudah umum terjadi, apalagi di pusat kota. Namun sangat jarang tindakan kriminal tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang sihir.
Setelah mendapatkan barang-barang rampasan, ketiga pelaku itu berusaha untuk melarikan diri dengan keahlian mereka. Salah satu dari mereka terlihat tengah merapal sesuatu, sebelum kemudian sebuah bola api yang amat besar muncul dari kedua telapak tangannya yang sedikit terangkat. Melihat bahaya tersebut, orang-orang yang ada di sekitar langsung berusaha untuk melarikan diri mencari tempat untuk berlindung.
"Apa yang dilakukan oleh pihak keamanan sihir kerajaan? Di mana mereka saat ini?" gumam pemuda itu, terlihat sudah geram sekali, apalagi melihat adanya potensi bahaya yang meningkat.
"Mereka sedang dalam perjalanan, satu menit lagi sampai." Kenan menjawab pertanyaan tersebut.
"Yang ada tempat ini akan hangus terbakar," sahut pemuda tersebut, dan kemudian langsung berlari menyela kerumunan orang-orang yang berlarian ke arah sebaliknya.
"Tu-tunggu! Anda bisa dalam bahaya! Anda juga tidak membawa pedang anda!" teriak Kenan, kemudian segera menyusul laki-laki itu.
Pemuda laki-laki itu berlari menuju ke arah toko permata, dengan dikelilingi oleh angin lembut yang berhembus mengelilingi tubuhnya. Di saat ia berlari, ia sempat berkata, "aku akan menggunakannya, tetapi jangan terlalu besar skalanya, ya ...?" ucapnya berbicara sendiri.
Beberapa detik setelah berbicara demikian. Angin yang berada di sekitarnya seketika berhembus kencang, dan semakin kencang seiring langkah kakinya berlari mendekati tiga orang pelaku. Bola api yang dibuat oleh pelaku semakin membesar, sebelum akhirnya melesat ke arahnya. Menyadari hal tersebut, laki-laki itu mengulurkan satu telapak tangannya ke depan, dan kemudian menciptakan gumpalan angin yang bertiup sangat kencang. Gumpalan itu berukuran sangat besar, bahkan lebih besar daripada bola api yang sedang terbang ke arahnya.
Tabrakan pun tidak dapat dielakkan, dan seketika angin milik pemuda laki-laki itu terlibat reaksi elemen dengan api yang ditabraknya. Api semakin membesar bahkan lebih besar daripada bangunan-bangunan di sekitarnya. Namun api tersebut tidak menyebar, justru dikelilingi oleh sebuah pembatas angin yang bertiup sangat kencang serta semakin tinggi, dan membatasi penyebaran kebakaran yang bisa saja terjadi.
"Apa yang terjadi?!"
"Tidak mungkin!!"
"Siapa?!"
Melihat sesuatu yang sangat mereka tidak duga-duga, tentu membuat mereka terkejut serta tidak menyangka. Terlebih dengan reaksi elemen antara angin dan api yang seharusnya membuat api semakin membara dan menyebar. Namun dalam kejadian ini, api tersebut tidak menyebar, justru malah dikurung oleh angin di sekitarnya.
"Siapapun kalian, tetapi kurasa kalian pantas mendapatkan hukuman dari apa yang kalian buat." Pemuda laki-laki itu berjalan dengan santainya, sedikit memutar dari balik putaran angin yang ia buat, dan kemudian secara perlahan mendekati tiga orang pelaku.
Tatapannya tajam, kedua iris mata berwarna hitam indah itu kini seolah memiliki kesan yang sangat menyeramkan, menyimpan hasrat yang bisa saja menghabisi atau membunuh siapapun di hadapannya.
Mata masing-masing pelaku langsung terbelalak, terkejut dengan apa yang mereka lihat. Mereka seolah tidak menyangka akan berhadapan langsung dengan pemuda laki-laki itu. Tidak ingin melawan, mereka justru memilih untuk berlari dan mencoba untuk melarikan diri. Pergerakan mereka bertiga tidak mendapat respons dari pemuda laki-laki itu, yang justru terlihat tenang dan santai.
"Kalian mau ke mana? Buru-buru banget?" celetuk pemuda itu, bertanya dengan intonasi merendahkan ketiga orang pelaku. Namun mereka tidak peduli dengan apa yang ia katakan, dan terus berlari menjauhi lokasi kejadian.
Namun sayangnya langkah mereka terhenti karena dinding penghalang yang terbuat dari angin yang berhembus sangat kencang ke atas. Salah satu dari mereka ada yang nekat menerobos pembatas tersebut. Tetapi nahas, tubuh pelaku yang nekat menerobos itu langsung tergores dan membuatnya terpental hingga mengalami patah tulang ekor. Kedua tangannya yang sempat menyentuh pembatas angin terlebih dahulu harus mengalami luka yang sangat berat, bahkan ia harus kehilangan beberapa jemarinya.
"Percuma, jika kalian nekat menerobosnya, yang ada nyawa kalian akan melayang sia-sia," ucap pemuda laki-laki itu, terlihat seolah tidak memiliki belas kasih sama sekali, apalagi ketika berhadapan dengan pelaku tindak kejahatan.
"Ba-baik! Baik, kami menyerah! Tolong ampuni kami, Yang Mulia! Kami masih ingin hidup!" seketika mereka langsung berlutut dan tunduk tepat di hadapan pemuda laki-laki itu, dengan penuh penyesalan.
Melihat lawannya sudah mengibarkan bendera putih alias menyerah, pemuda itu pun melepas sihir pembatas angin yang ia ciptakan, dan membuat semua orang di luar pembatas dapat melihat serta masuk ke dalam lokasi kejadian. Para penjaga kerajaan langsung merespons, bergerak serentak masuk ke lokasi setelah pembatas dihilangkan, dan kemudian meringkus para pelaku. Tak lupa, mereka juga terlihat sempat menundukkan kepala mereka di hadapan pemuda laki-laki itu ketika berjalan melewatinya.
Kenan segera menghampiri pemuda tersebut dan kemudian berkata, "anda sungguh nekat! Sebisa mungkin jangan tinggalkan saya, jika terjadi sesuatu kepada anda, saya yang akan terkena hukuman."
Pemuda laki-laki itu tertawa kecil dan kemudian berbicara, "maaf, maaf, aku tadi sudah terlalu geram untuk hanya diam dan menonton."
Di tengah perbincangan mereka berdua, seorang pria dengan seragam petinggi Akademi Pedang dan Sihir Kerajaan Zephyra berjalan menghampiri keduanya, sebelum kemudian menatap tajam kepada pemuda laki-laki itu.
Melihat serta menyadari sosok pria terhormat itu, Kenan langsung menundukkan wajahnya dan menyapa, "selamat siang, Yang Mulia."
"Kau ... benar-benar nekat ...! Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk padamu!" ucap pria itu, tegas kepada pemuda laki-laki.
Pemuda itu menundukkan pandangannya dan kemudian berkata, "maaf, habisnya ... kalian terlalu lama."
Pria itu kemudian tersenyum tipis, kemudian melangkah lebih dekat kepada pemuda itu, dan perlahan memeluknya sembari berkata, "syukurlah, yang penting dirimu baik-baik saja."
"Tetapi, Altezza, sebaiknya jangan tinggalkan Kenan, ya ...! Dia masih baru sebagai pengawalmu, kasihan jika kau seenaknya meninggalkannya," ucap pria itu, kemudian tersenyum dan sempat melirik ke arah Kenan, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah pemuda laki-laki bernama Altezza di hadapannya.
"Ba-baik, Kak Welt," jawab Altezza, kemudian menghela napas.
Pria itu bernama Welt Zafran Zeeshan, usia 20 tahun, dan memiliki peran sebagai petinggi serta kepala sekolah dari Akademi Pedang dan Sihir Kerajaan Zephyra. Selain peran sebagai petinggi akademi, pria itu juga memiliki peran sebagai seorang kakak kandung dari Altezza.
"Oke, sekarang ... bagaimana caranya kita membereskan api itu ...?" cetus Welt, kemudian menoleh dan memandang ke arah api yang masih membara di tengah-tengah pembatas angin yang dibuat oleh Altezza.
Altezza tertawa kecil seolah tak bersalah. Namun laki-laki itu tidak memiliki ide yang buntu. Ia langsung berbicara menyampaikan idenya dengan berkata, "gunakanlah sihir air, dan akan ku gunakan angin ku agar terjadi reaksi elemen untuk memadamkan api itu ...!"
"Baiklah, mari kita bereskan!" sahut Welt, menarik pedang dari sarungnya yang bergelantungan di pinggangnya, dan kemudian menyelimuti pedang tersebut dengan sihir air yang ia kuasai. Sedangkan Altezza, ia bersiap dengan angin yang setia bersamanya.
"Altezza Zachery Zephyra, aku mendapat laporan mengenai apa yang terjadi di pusat kota, apakah benar kau terlibat?"
Pemuda laki-laki bernama Altezza itu kini tengah menghadap kepada Raja atau ayahnya sendiri dengan pakaian formalnya. Ia berlutut di depan kursi singgasana, dan harus menjawab pertanyaan yang langsung diberikan oleh Sang Raja kepadanya. Laki-laki itu tidak sendirian, ia berlutut di sana didampingi oleh pengawal setianya yakni Kenan.
Altezza sedikit mengangkat pandangannya dan menatap langsung Raja atau ayahnya itu dengan tatapan serius sebelum kemudian menjawab, "benar, lebih tepatnya aku yang melibatkan diriku sendiri," jawabnya dengan lugas.
Raja Aiden menghela napas panjang setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh putra bungsunya, karena tentu apa yang telah diperbuat adalah tindakan yang cukup berbahaya.
"Aku tidak melarang mu untuk menghentikan tindak kejahatan, namun tindakan yang kau lakukan sangatlah nekat dan berisiko tinggi. Maju sendirian meninggalkan pengawal mu, tanpa memberitahu siapapun, membuat penghalang angin, dan bertindak sendirian menghadapi tiga orang pelaku yang memiliki keahlian sihir. Beruntung mereka menyerah, dan kau selamat. Jika tidak, apa yang akan terjadi selanjutnya?"
Altezza kembali menundukkan pandangannya, ketika wejangan dari ayahnya terdengar dan ditujukan pada dirinya. Laki-laki itu tidak berbicara sama sekali, hanya bisa diam sampai Sang Raja selesai memberikan wejangannya.
"Sudah, berdirilah putraku ...!" suara seorang wanita paruh baya terdengar dari belakang Altezza, dan kemudian langkahnya terhenti ketika sudah berada tepat di sebelah laki-laki itu. Wanita yang sangat cantik, anggun, dan lemah lembut, ditambah dengan mahkota Ratu yang ada di kepalanya yang membuat kecantikannya seolah tidak ada yang dapat menandingi. Siapa lagi jika bukan Caitlyn Zemira Zanitha, seorang Ratu dari kerajaan tersebut, juga seorang ibu dari Altezza.
"Kau juga ikut berdiri, Kenan ...! Jangan terlalu lama berlutut, nanti lututmu sakit," lanjut Caitlyn berbicara dengan intonasi yang sungguh lembut kepada Kenan.
"Oh, ba-baik," jawab Kenan, gugup.
"Kalian, bisakah kalian keluar dari ruangan ini sebentar? Aku ingin berbicara secara keluarga saja," ucap Ratu Caitlyn, melirik dan menatap beberapa menteri serta satu orang kepercayaan Raja yang kebetulan ada di dalam satu ruangan yang sama.
Mereka langsung mematuhi permintaan Caitlyn, dan dengan sigap bergegas keluar dari ruangan tersebut tanpa berbicara atau berkomentar lebih. Orang-orang itu terlihat sangat patuh sekali atas permintaan yang dikatakan oleh Ratu Caitlyn. Setelah di dalam ruangan itu hanya ada dirinya, Altezza, Kenan, Welt, dan Sang Raja. Wanita cantik itu pun mulai berbicara.
"Tidak apa, sayang. Namanya juga anak muda, pasti sering bertindak seperti itu. Lagipula putra kita bukanlah manusia biasa, dia dapat menguasai sihir dan ahli dalam berpedang. Selama dia dapat menggunakan kekuatannya dengan baik, kurasa dia akan selalu baik-baik saja." Ratu Caitlyn berbicara kepada Raja Aiden atau suaminya dengan sikap serta nada bicara yang terdengar lembut. Ia begitu tahu kekhawatiran yang dirasakan oleh suaminya, apalagi tindakan yang dilakukan oleh Altezza baru saja bukan yang pertama kalinya.
Raja Aiden terlihat tidak berbicara lebih mengenai kejadian serta keterlibatan putra bungsunya, terlebih setelah Ratu Caitlyn angkat bicara. Ia hanya berbicara, "Altezza, sebisa mungkin jaga dirimu baik-baik, dan jangan jauh-jauh dari Kenan ...!"
Altezza hanya mengangguk patuh, "baik," jawabnya singkat.
***
Altezza telah menghabiskan waktunya di hadapan Sang Raja dengan banyak sekali wejangan yang ia terima. Namun dirinya merasa beruntung Ratu Caitlyn muncul di momen yang tepat, sehingga membuat dirinya tidak harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk terus tunduk dan mendengarkan banyak sekali nasihat dari ayahnya.
Bersama dengan Kenan, laki-laki itu berjalan melalui lorong istana dan kemudian keluar dari istana yang megah dan besar itu. Ia berjalan melalui jalanan utama ke arah pusat kota, dan berbelok kiri di perempatan untuk menuju ke sebuah tempat. Beberapa kali ia bertemu dengan masyarakat setempat, dan mereka selalu terlihat ramah serta tunduk menyapanya. Altezza juga menyapa balik mereka dengan ramah, meskipun dirinya tidak terlalu suka jika ada seseorang sampai harus menundukkan kepalanya ketika bertemu dengan dirinya. Tak hanya dari kalangan laki-laki yang terlihat kagum serta menghormati dirinya, beberapa gadis di kerajaan yang sempat ia lewati juga melakukan hal yang sama, terlebih dengan tatapan mereka yang terlihat terpesona dengan kehadiran Altezza. Namun sayangnya, Altezza terlalu cuek dan dingin untuk memperhatikan hal-hal yang baginya terlalu kecil untuk diperhatikan.
"Kita ... mau ke mana? Ini sudah sore, bukankah sebaiknya anda kembali ke istana?" ucap Kenan, bertanya ketika berjalan berdampingan dengan laki-laki berbaju formal layaknya seorang pangeran yang identik dengan warna putih.
"Ke perpustakaan kerajaan, ada buku yang sedang ku cari," jawab Altezza, tenang dan santai, terus berjalan menyusuri jalanan tersebut.
"Selamat sore, Yang Mulia." Seorang wanita paruh baya menyapa dirinya dari pinggir jalan dengan wajah tertunduk, bersama dengan wanita itu terlihat dua orang anak perempuan dan laki-laki yang terlihat begitu senang ketika melihat dirinya melintas.
Merasa perhatiannya tertarik oleh ketiga orang itu, Altezza menghentikan langkahnya sejenak untuk menyapa mereka, "selamat sore juga," ucapnya. Kemudian pandangannya ramah tertuju kepada kedua anak itu dan berkata, "kalian ceria sekali, teruslah tersenyum, ya ...!"
"Kakak, bolehkah kami berjabat tangan dengan Kakak?" cetus si anak perempuan kepada Altezza.
Ibunya cukup terkejut dengan panggilan yang digunakan oleh anaknya dan langsung berkata, "panggil Yang Mulia, jangan seperti itu, tidak sopan ...!" ucapnya memeringati putrinya dengan intonasi lembut.
Namun Altezza tidak marah sama sekali, justru terkekeh kecil dan tersenyum melihat hal tersebut, "tidak apa, aku juga tidak keberatan dipanggil Kakak," ucapnya kepada wanita paruh baya itu, kemudian lanjut berbicara kepada kedua anak tersebut dan memberikan jawaban, "tentu saja."
Anak laki-laki dan perempuan itu langsung mengulurkan tangan kanan mereka untuk bisa berjabat tangan dengan Altezza. Wajah riang mereka terus terpampang, seolah tidak akan atau ingin pudar, terus terihas oleh senyuman manis mereka. Mereka terlihat semakin senang ketika Altezza menjabat masing-masing tangan mereka, dan tak lupa mereka mengucapkan, "terima kasih!"
Setelah interaksi singkat dengan tiga orang rakyatnya, laki-laki itu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke perpustakaan kerajaan. Ia sempat menoleh ke belakang dan melambaikan tangan kepada dua anak itu yang terlihat bersemangat melambaikan tangan ke arahnya.
"Anda suka dengan anak-anak?" cetus Kenan, bertanya.
"Enggak tahu, kebetulan lewat dan mereka menarik perhatianku," jawab Altezza, kemudian pandangannya sedikit terangkat menatap langit senja berwarna jingga yang terlihat sangat indah.
"Ngomong-ngomong buku apa yang sedang anda cari? Apakah tidak ada di perpustakaan istana?" tanya Kenan, sedikit mengalihkan topik pembicaraan.
"Entahlah, nanti coba kita lihat apakah buku yang sedang ku cari ada di perpustakaan kerajaan atau tidak," sahut Altezza, tersenyum tipis.
Tak jauh dari posisinya berjalan, di depan sana sudah terlihat sebuah bangunan yang cukup besar dan terkesan megah dengan cat berwarna putih. Di dalam bangunan itu, menyimpan banyak sekali buku dan bermacam-macam. Tidak semua buku di dunia ini, namun tempat itu bisa menjadi tempat yang menyenangkan karena ketenangan yang menjadi kewajiban ketika sudah berada di dalamnya. Perpustakaan kerajaan adalah perpustakaan publik, dan dapat diakses oleh siapapun tanpa terkecuali, berbeda dengan perpustakaan istana yang sempat disebutkan oleh Kenan yang tidak bisa sembarang orang masuk ke dalam perpustakaan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!