Di rumah yang sederhana, terdengar keributan kecil dari dua kakak beradik yang tengah merebutkan kamar mandi. Keduanya sama-sama tidak mau mengalah dan sama-sama ingin secepatnya mandi.
"MAMA...! ABANG NGGAK MAU NGALAH SAMA ADEk!" Teriak Sasa, mengadu kepada sang ibu.
Amar, sang kakak mendengus mendengar Sasa mengadu ke sang ibu, tapi Amar tetap tak mau mengalah sama adiknya. Pokoknya ia yang harus mandi duluan.
Kinanti yang tengah menyiapkan sarapan menghela napasnya mendengar teriakkan si bungsu. Hampir setiap hari kedua anaknya selalu rebutan, entah itu mainan, makanan atau yang lainnya.
Selisih umur anaknya tidaklah jauh. Si sulung, Amar berumur 8 tahun dan Sasa berumur 6 tahun. Maka tak heran, jika keduanya kerap kali bertengkar.
Kinanti segera menghampiri kedua anaknya dan menggelengkan kepalanya. Melihat Sasa tengah menggedor-gedor pintu.
"ABANG...! Buka pintunya!" Sasa berteriak, karena Sasa kalah cepat dengan kakaknya masuk ke kamar mandi.
"Siapa cepat dia dapat!" Sahut Amar, sambil tertawa keras. Tidak memperdulikan teriakkan penuh kesal dari adiknya
"Abang!" Kesal Sasa, sambil menghentakkan kakinya.
"Sayang...." Panggil Kinanti lembut.
Sasa menoleh dengan bibirnya yang mengerucut. Lalu Sasa segera mendekati sang ibu.
"Mama ... Abang tuh...." Sasa mengadu.
Kinanti mengelus kepala Sasa. "Biar Abang dulu yang mandi. Abang kan sekolahnya pagi, sedangkan Adek sekolahnya agak siang," ucap Kinanti memberi pengertian.
"Tapi Adek pengen mandi sekarang."
"Tunggu Abang selesai dulu ya."
Dengan wajah ditekuk, Sasa menganggukkan kepalanya. Terpaksa Sasa mengalah.
Drama pagi hari sudah berlalu. Kedua anaknya sudah pada sekolah. Kinanti yang saat ini tengah menyetrika baju, harus menghentikan kegiatannya. Sebab sang suami pulang setelah beberapa hari dinas di luar kota.
Suaminya itu bekerja di perusahaan pertambangan. Makanya, suaminya itu sering keluar kota untuk meninjau nya langsung.
Kinanti segera mendekati Yoga dan menyambut sang suami.
"Mas," sapa Kinanti sambil menyalami tangan Yoga.
Dengan wajah lelah Yoga duduk, hanya untuk menghilangkan rasa capek setelah berjam-jam mengemudi mobil.
Kinanti segera menyediakan minum untuk sang suami.
"Di minum dulu, Mas," seloroh Kinanti sambil menyorongkan cangkir ke tangan Yoga.
Tidak lama terdengar suara riang dari arah luar, gadis kecilnya pulang sekolah bersama temannya.
Sekolah Sasa tidak jauh dari rumah, makanya Sasa jarang sekali di antar oleh Kinanti.
"Assalamualaikum...." Salam Sasa dengan suara riang.
"Wa'alaikum salam," jawab Kinanti dan Yoga.
Sasa tersenyum lebar ketika melihat papanya sudah pulang dari kerjanya. Sasa langsung menghamburkan diri ke pelukan papanya.
"Ye ... Papa pulang." Riang Sasa dengan wajah gembira.
"Sudah, awas. Papa masih capek," ucap Yoga, melepaskan tangan Sasa yang melingkar di pinggangnya.
Seketika bibir Sasa mengerucut. Padahal Sasa sangat merindukan papanya yang sudah empat hari tidak bertemu.
"Mas, jangan gitu dong," tegur Kinanti, yang tak suka sikap suaminya terhadap anaknya, padahal Sasa sangat merindukan papanya. Hampir setiap hari Sasa menanyakan kapan papanya pulang, tapi setelah pulang, suaminya bersikap begitu.
"Memang aku capek," sahutnya, tidak peduli dengan teguran Kinanti. Kemudian Yoga bangkit dari duduknya dan memilih masuk ke kamar.
Kinanti menggelengkan kepalanya melihat sikap suaminya.
"Sayang, ganti baju dulu gih, habis itu makan," suruh Kinanti, yang langsung dianggukin oleh Sasa.
Sasa langsung melesat ke kamarnya dan berganti pakaian. Selesai mengganti pakaian, Sasa menemui ibunya.
"Nih, Sasa makan sendiri ya," suruh Kinanti.
"Iya, Ma...." Jawab Sasa dan membawa piringnya ke depan televisi. Sasa makan sambil menonton film kartun.
Kinanti tersenyum dan mengelus lembut rambut putrinya itu, lalu Kinanti melanjutkan menyetrika baju yang sempat tertunda.
"Ma...." Panggil Sasa.
"Iya, kenapa nak?"
"Sasa minta uang buat jajan."
"Tunggu sebentar." Kinanti merogoh dompet kecil di saku celana baby doll. Lalu, mengulurkan selembar uang lima ribu.
"Jajannya dua ribu aja."
"Ya ... Sasa kan pengen jajan es krim," lesu Sasa, tapi tak urung, Sasa pun menuruti ucapan ibunya.
***
Sore harinya, Sasa yang akan berangkat mengaji, terlebih dahulu mencari kedua orang tuanya. Karena sudah menjadi kebiasaannya pamit dulu kepada mama dan papanya.
Sasa tersenyum lebar melihat papanya yang tengah duduk di ruang tamu sambil menatap laptop. Sasa segera mendekati papanya itu.
"Papa, Sasa pamit berangkat ngaji dulu," ucap Sasa, seraya mengulurkan tangannya untuk salim. Akan tetapi Yoga mengacuhkan Sasa dan lebih fokus ke layar laptop.
"Hmm...." Yoga hanya menjawabnya dengan gumaman.
Karena papanya diam saja, Sasa inisiatif menarik tangan papanya, yang kebetulan saat itu Yoga mau mengambil minumnya.
"SASA!" Bentak Yoga. Minumannya tumpah mengenai laptopnya.
Sasa langsung menundukkan kepalanya. Rasa takut menggelayuti hatinya. Beningan kristal mulai membasahi kedua matanya.
Yoga menatap tajam wajah putrinya itu. Rasa marah karena laptopnya tersiram air, tak memperdulikan ketakutan dari wajah putrinya.
"Kamu tuh jadi anak nakal banget sih!" Yoga masih lanjut memarahi Sasa.
"Maaf papa...." Ucap Sasa sedih.
Yoga mendengus kesal. Pekerjaannya tertunda gara-gara Sasa menumpahkan air dan laptopnya terkena siraman air.
"Gara-gara kamu, laptop papa jadi basah!" Sentak Yoga.
Sasa semakin dalam menundukkan kepalanya.
Kinanti dan Amar segera menghampiri Yoga, sebab suara Yoga sampai terdengar sampai ke belakang.
"Ada apa sih, mas?" Tanya Kinanti.
Yoga mendelik kesal Kinanti. "Tuh, anak mu buat ulah!" Tunjuk ke arah Sasa.
"Sasa buat ulah apa?"
"Tumpahin minuman ke laptop!" Ucapnya penuh kekesalan.
Sasa kini mulai menangis sesenggukan. Gadis kecil itu tak berani mengangkat kepalanya. Rasa takut masih melingkupi hatinya.
"Urusan sana anak-anak!" Bentak Yoga kepada Kinanti.
Kinanti segera mendekati Sasa yang menangis, lalu mengajaknya keluar bersama Amar.
Kinanti mendudukkan Sasa di pangkuannya dan menghapus air matanya.
"Cup cup ... Jangan nangis lagi," ucap Kinanti lembut.
"Sa- Sasa ng-nggak sengaja, ma," ucap Sasa sesegukan.
"Iya ... Tapi lain kali harus hati-hati ya, Sayang." Sasa mengangguk mengerti.
"Maafin Sasa, ma...." Sasa berucap sangat lirih.
"Iya ... Sudah, jangan nangis lagi." Kinanti menghapus sisa-sisa air mata Sasa. "Sekarang Sasa cuci muka, terus berangkat ngaji sama Abang." Sasa mengangguk dan menuruti perintah ibunya.
Kinanti menghela napasnya. Setelah Sasa dan Amar pergi, Kinanti menemui suaminya yang terus mengomel karena laptopnya basah.
"Mas, tolonglah jangan membentak anak-anak. Kalaupun anak-anak salah, bicaralah secara baik-baik, bukannya membentak," ucap Kinanti yang tak suka dengan sikap suaminya.
Yoga mendesis kesal. "Kenapa? Kamu nggak suka kalau aku marahin anak-anak. Lagian Sasa juga yang salah, sudah tahu aku lagi kerja dia malah ganggu!"
"Tapi nggak harus membentak juga, mas."
"Sudah-sudah! Malas aku ngomong sama kamu. Mending kamu masak sana."
Kinanti menggelengkan kepalanya, melihat sikap suaminya yang tak pernah berubah.
Malam adalah waktunya quality time bersama keluarga tercinta. Begitu juga dengan Kinanti dan kedua anaknya, yang saat ini tengah menemaninya belajar, sedangkan Yoga sibuk dengan laptopnya.
"Mama ke kamar mandi dulu ya," ujar Kinanti kepada kedua anaknya.
"Iya, ma," sahut Amar, tanpa menolehnya.
Kinanti segera ke kamar mandi.
Amar menggaruk kepalanya, saat ini Amar tengah kesulitan mengerjakan PR matematika. Karena bingung, Amar akhirnya meminta bantuan kepada Yoga.
"Pa, bisa bantu Abang ngerjain nomor 8," pinta Amar, sembari memperlihatkan bukunya ke hadapan Yoga.
Yoga meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke layar laptop. "Sama mama aja ngerjainnya. Papa lagi sibuk," tukas Yoga.
"Tapi mama lagi ke kamar mandi."
"Ya tinggal tunggu saja, apa susahnya sih," omel Yoga ketus.
Dengan perasaan kecewa, Amar membawa lagi bukunya. Amar merasa papanya sudah banyak berubah, padahal dulu sesibuk apapun papanya selalu menyempatkan waktu menemani belajar.
Sasa yang baru selesai membuat gambar, ingin segera menunjukkan ke papanya. Dengan senyum terkembang di bibirnya Sasa mendekati Yoga.
"Papa, lihat gambar buatan adek, bagus kan," celetuk Sasa menunjukkan gambarnya. Akan tetapi Yoga mengacuhkannya.
"Pa...." Sasa mendekati Yoga dan menggoyang tangan Yoga.
"Sasa! Bisa nggak sih, nggak gangguin papa terus!" Sentak Yoga.
"Adek kan mau nunjukin ini," ucap Sasa sedih.
Yoga mendengus kesal. Pekerjaannya terus di ganggu sama anak-anaknya, dengan perasaan marah Yoga merebut buku gambarnya dan merobeknya di depan Sasa.
"Papa jangan di sobek," pekik Sasa. Tapi Yoga sudah terlanjur merobek gambarnya menjadi dua bagian.
"Jangan ganggu papa lagi! Lagian gambarnya jelek," ucap Yoga tanpa memperdulikan perasaan Sasa.
Wajah Sasa seketika mendung, air matanya sudah terkumpul di pelupuk mata. Sasa melihat hasil gambarnya yang sudah sobek terogok di lantai. Padahal Sasa membuatnya dengan susah payah, tapi dengan teganya papanya itu merobeknya. Sasa benar-benar sangat sedih.
"Papa jahat!" Pekik Sasa dengan derai air mata.
Yoga hanya memutarkan bola matanya, jengah.
Sasa berlari ke kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Amar segera menghampiri Sasa yang tengah terisak, sambil membawa buku gambar milik Sasa.
"Hiks ... Hiks ... Papa jahat...." Ucap Sasa sesegukan.
Amar juga sedih melihat gambar buatan adiknya di robek. Papanya itu sudah sangat keterlaluan. Apa salahnya memuji gambar buatan Sasa.
"Dek ...." Amar menyentuh punggung Sasa yang bergetar. "Jangan nagis. Nanti gambarnya disatuin lagi pakai lakban bening," ucap Amar menghibur Sasa.
Sasa menggelengkan kepalanya. " Nggak mau," tolak Sasa.
Amar menghela napasnya, sambil berpikir caranya menghibur sang adik. "Kalau gitu Abang buatin yang lebih bagus. Mau," tawar Amar dan berharap Sasa mau.
"Beneran?" Sahut Sasa sambil mengelap ingusnya.
Amar mengangguk. "Beneran, masa bohong."
"Adek mau dibikinin nya sekarang," pinta Sasa.
"Oke, tapi jangan nangis lagi."
Sasa segera menghapus air matanya dan keluar dari kamar.
Kinanti yang baru selesai dari kamar mandi, mengernyitkan dahinya melihat wajah sembab Sasa.
"Adek kenapa nangis?" Tanya Kinanti.
Sasa melirik papanya yang masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang papanya itu kerjakan sama laptopnya, tapi yang jelas papanya itu jahat.
"Sasa...." Panggil Kinanti lagi. Karena Sasa tak kunjung bicara.
Dengan wajah menunduk Sasa mulai berterus terang. "Papa ... Ngerobek hasil gambar adek," ucap Sasa lirih.
Kinanti langsung menghembuskan napasnya dan menggelengkan kepalanya.
Bisa-bisanya suaminya itu merobek gambar buatan Sasa.
"Ya sudah, Adek buat lagi yang baru," kata Kinanti lembut.
"Iya, ma...."
Mas Yoga sudah keterlaluan. Ucap Kinanti di dalam hati.
Kinanti harus bicara sama suaminya, ia tidak bisa terus menerus melihat anaknya dimarahin sama suaminya.
"Abang...."
"Iya, ma," sahut Amar.
"Belajarnya di kamar Abang. Mama nanti nyusul," ucap Kinanti.
Amar mengangguk, lalu membereskan alat tulis. Setelah itu Amar dan Sasa pindah ke kamar Amar.
Setelah memastikan kalau kedua anaknya sudah masuk ke kamar, Kinanti mendekati suaminya, yang begitu sibuk dengan laptopnya.
"Mas, aku mau bicara sama kamu," cetus Kinanti yang kini duduk di samping suaminya.
"Ya tinggal ngomong lah," sahut Yoga cuek.
Kinanti mendengus melihat sikap suaminya yang cuek dan terlalu sibuk dengan kerjaannya.
"Bisa nggak, berhenti dulu kerjanya."
"Nggak," jawab Yoga singkat.
Kesal karena suaminya terlalu fokus dengan pekerjaannya, Kinanti langsung menutup laptopnya.
"Kinan!" Yoga marah dan melototi Kinanti.
"Berhenti dulu kerjanya. Aku tuh mau ngomong sama kamu," jawab Kinanti tak kalah tingginya.
Yoga mendengus penuh kesal.
"Ya sudah tinggal ngomong!"
"Aku tahu kamu sibuk, tapi bisa nggak jangan marahin anak-anak," ucap Kinanti.
"Aku tuh nggak suka di ganggu. Harusnya tuh kamu ngasih tahu ke anak-anak jangan gangguin aku. Aku tuh lagi kerja, cari duit buat kamu dan anak-anak," jawabnya kesal.
"Tapi setidaknya jangan marahin anak-anak. Mereka juga butuh kamu. Kamu juga kalau sudah di rumah jangan terlalu sibuk sama kerjaan kamu."
"Aku tuh lagi kerja keras, karena sebentar lagi aku tuh mau dipromosikan naik jabatan. Makanya kamu dan anak-anak jangan ganggu aku."
"Tapi setidaknya kamu luangin waktu buat anak-anak," jawab Kinanti, berharap suaminya mengerti.
"Sudahlah, aku malas ngomongin anak-anak." Yoga menyudahi pembicaraannya, yang menurutnya tidaklah penting.
Yoga yang kesal, memilih melanjutkan pekerjaannya di kamar.
"Mas...." Kinanti pun mengikuti suaminya yang pindah ke kamar. Pokoknya Kinanti mau suaminya harus bisa menjaga perasaan anak-anaknya dan tidak lagi mengacuhkan anak-anak, apalagi sampai memarahinya.
"Mas, tolonglah jangan seperti ini."
Kesal karena Kinanti terus berbicara. Yoga yang sudah duduk di atas kasur, melempar batal ke arah Kinanti.
"Kamu dan anak-anak sama aja. Keluar kamu dari sini !" Hardik Yoga. Bola matanya memancarkan kemarahan.
"Keluar!" Hardik Yoga.
Malam itu Kinanti tidur di kamar Sasa. Tidak peduli dengan suaminya yang terlalu sibuk dengan kerjaannya.
Sejujurnya hati Kinanti sangat lelah dengan sikap suaminya yang sering marah-marah. Sembilan tahun menikah dengannya, sikap suaminya tak pernah bersikap manis terhadapnya.
Apa mungkin ini karma untuknya, karena sudah menyakiti hati orang tuanya. Padahal orang tuanya sudah melarang keras untuk tidak menikah dengan Yoga, tapi ia yang begitu sangat mencintai Yoga tetap bersikeras menikah dengan Yoga.
Sayup-sayup terdengar suara alarm dari ponselnya, Kinanti segera bangun. Lalu melangkah ke kamar mandi. Selesai mandi dan sholat, Kinanti segera membuat sarapan.
Yoga yang sudah bangun, mencari Kinanti. Langkahnya terhenti ketika melihat tubuh Kinanti dari belakang. Seketika has*ratnya mendidih dan ingin segera di salurkan.
Yoga langsung mendekati Kinanti dan memeluknya dari belakang.
"Mas...." Pekik Kinanti kaget.
Yoga mengangkat daster Kinanti dan menurunkan celana segitiganya. Yoga tidak peduli tempatnya, yang jelas saat ini juga has*ratnya tersalurkan.
"Mas, aku mohon hentikan." Bukannya Kinanti tidak mau melayani Yoga, tapi cara Yoga meminta hak-nya tidak ada manisnya, apalagi tidak ada cumbuan yang membuat has*rat Kinanti ikut bergelora, selain itu Kinanti tidak ingin kedua anaknya melihat adegan dewasa.
"Diam! Pokoknya kamu nurut saja," ucap Yoga, yang langsung memasukkan miliknya ke milik Kinanti. Baginya, kebutuhan biologisnya harus terpenuhi, tidak peduli Kinanti merasa puas atau tidak.
Kinanti memejamkan matanya. Ia merasakan perih di bagian intinya, karena Yoga bermain dengan kasar. Kinanti benar-benar tidak menikmatinya, apalagi tidak ada foreplay terlebih dahulu.
Yoga memejamkan matanya dan semakin cepat ia menggerakkan pinggulnya. Tidak lama Yoga mele nnguh panjang.
Selesai hasratnya terpenuhi, Yoga begitu saja berlalu ke kamar mandi. Kinanti menghela napasnya, melihat punggung suaminya.
"Kapan kamu akan bersikap manis terhadapku," lirih Kinanti di dalam hatinya.
***
Siangnya, Kinanti yang baru pulang dari warung, di kejutkan dengan kedatangan ibu mertuanya.
"Ibu...." Kinanti menyalami tangan ibu mertuanya itu.
"Lama banget kamu ke warungnya," ucap Bu Rohayani, yang sudah cukup lama menunggunya.
"Ibu nggak bilang mau ke sini," jawab Kinanti sambil membuka kunci pintu.
"Ibu kan kangen sama cucu ibu," sahutnya, seraya mendudukkan dirinya di kursi.
Kinanti langsung melangkah ke dapur, untuk membuat minum.
"Kapan kalian nginep di rumah ibu? Kalian sudah lama nggak datang ke rumah." Ucap Bu Rohayani, ketika Kinanti sudah datang membawa minum untuknya.
Kinanti menghela napasnya. Ia tidak bisa memastikannya, sebab suaminya itu begitu sibuk bekerja. Jangankan meluangkan waktu nginep di rumah ibunya sendiri, meluangkan waktu untuk anak-anak saja nggak.
"Mudah-mudahan akhir pekan ini," jawab Kinanti asal.
Semoga saja, suaminya itu bisa meluangkan waktunya.
Hingga sore hari, Bu Rohayani masih berada di rumah Kinanti. Bu Rohayani sengaja ingin berlama-lama melepaskan rasa rindunya dengan kedua cucunya.
Tawa riang Amar dan Sasa menggema di rumah sederhana itu. Amar dan Sasa sangat senang neneknya datang ke rumah. Amar dan Sasa juga sangat merindukan neneknya.
Sangat jarang sekali keduanya bisa ketemu dengan sang nenek.
Bu Rohayani kini menggelitik Sasa, karena Sasa kalah bermain tebak-tebakan.
Tidak lama terdengar suara deru mobil. Sasa yang mendengar suara mobil papanya, segera berlari keluar dari rumah dan menyambut papanya pulang.
"Papa...!" Teriak Sasa.
Yoga tersenyum dan mengusap kepala Sasa. "Ayo masuk," ucap Yoga.
Yoga dan Sasa masuk ke dalam rumah. Yoga terkejut melihat ibunya ada di rumahnya.
"Ibu, kapan datang ke sini?" Tanya Yoga sembari menyalami tangan ibunya.
"Dari siang ibu di sini," jawab Bu Rohayani sambil memukul lengan anaknya.
Yoga manggut-manggut. "Aku mandi dulu," sambung Yoga.
***
Selepas Maghrib, Bu Rohayani pulang. Yoga mengantarkan ibunya pulang atas permintaan Kinanti, "Kamu tuh jangan sibuk merja," tegur sang ibu.
"Iya...." sahut Yoga singkat.
"Jangan iya iya aja. Kasihan Amar dan Sasa, anak mu juga butuh liburan."
Yoga tak menyahutinya. Ucapan ibunya itu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Kurang lebih tiga puluh menit, mobil yang dikendarai Yoga berhenti di depan rumah sang ibu.
"Akhir pekan ini, ibu mau kamu, Kinanti dan cucu ibu bermain ke rumah," ucap Bu Rohayani.
"Aku nggak janji,"
Bu Rohayani mendengus. Baiklah, ia tidak akan memaksakan putranya itu. Bu Rohayani juga berharap kalau sikap Yoga tidak lagi buruk terhadap Kinanti.
Bu Rohayani sangat sedih, jika melihat Kinanti yang selalu di perlakukan kurang baik.
"Aku nggak mampir," ucap Yoga.
"Iya, nggak apa-apa."
Setelah melihat ibunya masuk, Yoga langsung melajukan mobilnya. Seharian bekerja, Yoga ingin secepatnya beristirahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!