Aku, Dika Dewantara. Diusiaku kini yang telah genap 39 tahun, aku merasakan bahwa inilah saatnya aku naik kepuncak kehidupan. Setelah menjabat sebagai Manager Pemasaran disalah satu resto waralaba terkemuka di Ibukota 2 tahun lalu, aku akhirnya memetik buah manis kerja kerasku setelah bertahun-tahun lamanya.
Aku juga telah beristri dan memiliki satu orang putri cantik buah hati kami. Ranti Mulia, seorang perempuan manis berhati sesuai namanya selalu setia mendampingiku sejak titik awal pencarian jati diriku.
Kami menikah setelah 2 tahun masa penjajakan dan kini usia pernikahan kami akan menginjak 5 tahun. Kami pun sangat bahagia karena Allah memberikan kami kepercayaan seorang bayi imut nan cantik yang kami beri nama "Jingga Aulia Dirgantara", yang telah berumur 2 tahun 3 bulan lalu.
Kami memiliki rumah huni cukup bagus dibilangan pinggiran kota Jakarta. Juga sebuah mobil Avanz* Putih kesayanganku dan 2 motor keluaran terbaru bertengger didepan rumah kami.
Walau berawal dari hasil kredit dengan resiko gaji hasil kerja kerasku harus berkurang separuhnya guna membayar cicilan setiap bulannya. Tapi kini semua menjadi senyum manis pada akhirnya.
Sudah pasti itu semua karena campur tangan Ranti, istriku. Dialah sang pengatur keuanganku. Seorang menteri keuangan terhebat sekaligus ibu negara yang sejak menjadi istriku telah kudidik dan kugembleng untuk bisa menghemat dan sedikit mengencangkan ikat pinggang. Sebenarnya bukan aku pria kejam, tapi aku berharap Ranti dan aku sepemahaman untuk mencapai tujuan hidup kedepannya. Dan ternyata Ranti termasuk perempuan penurut dan tak suka neko-neko. Hingga akhirnya kami bisa memiliki semua itu kini karena ketekunanku dan Ranti yang konsisten mengatur pengeluaran kami.
Maklum, aku bukanlah dari keluarga berada. Bahkan keluargaku termasuk keluarga yang tidak cukup baik disegi ekonomi maupun ilmu. Karena itu aku bersikeras mengubah kehidupanku agar tidak menjadi seperti kehidupan orangtuaku.
Aku juga mengerti, bahwa hidup ini kejam. Yang lemah pasti kalah dengan yang kuat. Bahwa uang adalah segalanya. Bahkan ketika kita memiliki segalanya, semua orang akan mendekat dari segala penjuru. Itu kenyataan. Jauh berbeda ketika kita tak punya apa-apa. Bahkan saudara pun enggan mendekat apalagi merapat.
Aku adalah lelaki sempurna diusia keemasanku yang terbilang masih cukup muda, yakni 39 tahun.
Kawan-kawan kecilku hampir tak mengenaliku yang sekarang. Baik wajah apalagi penampilan. Iyalah,... aku adalah seorang Manager Pemasaran. Harus bisa membangun kharismaku lewat penampilan dan juga etitude-ku. Sedikit banyak aku dan istriku melakukan perawatan untuk menjaga penampilan kami.
Dan aku bangga pada kehidupan kami.
"Pak Dika! Rapat dimulai pukul 8.30 dilantai 6 Gedung Graha. Sekretaris pak Dirut tadi sudah mengkonfirmasi agar bapak bersiap untuk mendampingi pak Dirut ke Batam setelah rapat." Cecilia, asistenku memberitahukan kabar gembira padaku.
"Oke, Cecil! Thanks a lot! Sebaiknya kita otw sekarang."
Aku melihat gelagat pak Dirut yang memang mengagumi cara kerjaku dan juga ide-ide yang kusodorkan padanya untuk menaikkan grafik penjualan setiap bulannya. Sepertinya jabatanku akan aman untuk jangka yang cukup lama. Secara ia saat ini selalu mengajakku ketempat-tempat cabang baru resto waralaba perusahaannya. Sudah pasti itu membuatku semakin senang walaupun kesibukanku bertambah dua kali lipat.
"Pak Dika, saya ada janji harus general check up hari ini. Jadi, saya minta pak Dika bisa menangani proses serah terima dan gunting pita cabang kita yang di Batam. Untuk urusan berkas-berkas semua sudah lengkap disekretaris saya. Mohon maaf saya tidak bisa ikut." Pak Dirut Angga menyerahkan kepercayaannya padaku. Antara senang tapi waswas. Karena ini adalah kali pertama aku pergi seorang diri mengurus proyek baru.
"Iya, Pak! Semoga hasil general check up bapak bagus. Bapak bisa kembali membimbing saya untuk setiap hal!" kataku sedikit agak menjilat.
...
Batam menyambutku dengan guyuran hujan ringan. Aku dan Cecil mencari kafe disekitar bandara. Memesan dua cangkir kopi dan beberapa potong cake keju untuk sedikit mengganjal perut kami disela menunggu hujan reda.
Berbincang-bincang ringan adalah kesukaanku. Cecil sudah 4 tahun menjadi asistenku. Jadi hubungan kami sudah begitu akrab sebagai partner kerja. Bahkan aku kadang cenderung bersikap layaknya kakak jika sedang dinas luar seperti ini. Karena usia Cecil yang terpaut 10 tahun lebih muda dari aku. Jadi sikapku lebih melindungi karena tidak ingin membuat Cecil tidak nyaman ketika dinas luar dengannya. Dan Cecil adalah tipikal perempuan mandiri yang pintar dan cepat tanggap maksudku. Itu sebabnya ia selalu senang jika ikut dinas lapangan seperti ini.
Walau kami cukup dekat, tapi aku tahu batasanku pada Cecil. Kami menyimpan urusan pribadi masing-masing tanpa berniat menceritakan atau menanyakan hal privasi seperti itu.
Plak!!! Seorang perempuan berdiri dimeja depan tempatku duduk menampar seorang laki-laki yang tengah asik bercengkerama dengan wanita muda nan seksi.
Semua mata memandang kearahnya. Melihat layaknya layar televisi yang tengah menayangkan drama.
Wanita itu menuduh pria yang ditamparnya berselingkuh. Kontan pria itu berdiri tegak. Membalas tamparan sang wanita tiga kali hingga sempoyongan dan nyaris terjatuh kelantai.
Aku yang duduk di depannya melihat kekerasan itu tak bisa tinggal diam.
Kupegang erat bahu wanita itu agar tubuhnya tidak terjungkal kelantai.
"Maaf, mas! Sebaiknya urusan pribadi diselesaikannya jangan di tempat umum. Karena bisa mengganggu kenyamanan orang lain. Maaf!" Aku mencoba berkomunikasi. Tapi ternyata laki-laki itu kadung kalap dan balas menyerang wanita yang kupegang hingga mundur menabrakku dan kami terjatuh bersama karena pukulannya yang keras.
Wajahku langsung memerah menahan amarah. Cecillia membantuku bangkit. Ia menarik tanganku agar menjauh dan tidak terlalu dalam ikut campur urusan orang lain.
Aku menurut. Duduk kembali dikursi tempat awal aku sembari menyeruput kopi panas guna meredam rasa kesalku.
Lelaki itu masih menyerang perempuan tadi dengan menarik rambutnya hingga perempuan itu berteriak kesakitan.
Dua orang sekuriti bandara langsung datang dan membawa lelaki ******** (menurutku) itu keluar kafe. Diikuti wanita muda yang menemaninya tadi.
Sementara perempuan yang tadi bertengkar dengannya masih terisak lalu duduk ditempat pria itu.
Ada iba menyelinap disanubariku melihat penampilannya yang tak karuan. Aku jadi teringat Ranti, istriku. Terlihat perempuan ini sepertinya seusia istriku. Mungkin lelaki tadi adalah suaminya yang sudah lama tak pulang dan akhirnya dipergokinya tengah berduaan dengan perempuan lain.
Sebagai seorang lelaki, aku juga merasa kesal dengan tingkah suaminya yang sok keren itu. Justru ******** itu begitu minus dimataku karena telah melayangkan tangannya untuk menyakiti wanita yang sejatinya harus dijaga dan dilindungi.
Tiba-tiba wanita itu menghampiriku sambil mengulurkan tangannya padaku.
"Terimakasih, mas...atas empatinya tadi. Saya sangat kagum pada mas! Mba' adalah wanita yang sangat beruntung memiliki mas-nya! O iya, saya Vika."
Aku dan Cecil menerima jabatan tangannya.
"Oh iya mba', tidak apa-apa. Maaf kalo saya terlihat ikut campur urusan mba'! Maaf!"
Wanita itu kembali terisak. Sesekali ia menghapus airmatanya yang berderai dipipinya deras.
Aku dan Cecil saling berpandang. Ini sebenarnya yang tidak kami inginkan. Ikut pusing dengan urusan orang yang tak penting. Cecil hanya berusaha menghibur dengan mengusap-usap tangan Vika. Aku hanya diam saja tak bersuara.
Hujan diluar masih terdengar. Bahkan sepertinya semakin deras. Kulirik jam ditangan kiriku. Mendengus kesal karena terjebak disini dengan cerita picisan rumah tangga wanita tak dikenal.
Kopi di cangkirku telah habis sedari tadi. Sesekali Cecil menatapku tak berdaya. Ia lalu berinisiatif menelfon hotel tempat mereka check in untuk meminta jasa layanan antar jemput segera karena emergency deadline pertemuan yang sebentar lagi.
Tak berselang lama, smartphone cecil kembali berbunyi menyampaikan bahwa supir jemput sudah menunggu di parkiran bandara.
"Mba', maaf... kami harus pergi. Sebaiknya selesaikan masalah mba' dengan suami mba' dirumah. Maaf ya, kami tinggal." Cecil dan aku bergegas meninggalkan wanita yang masih menangis dengan memandang kami hingga kejauhan.
"Hhhhh....."
"Hehehehe.... Salah bapak sendiri, sok jadi pahlawan!" ledek Cecil membuatku tersenyum kecut.
"Aku ga suka liat lelaki yang suka mukul perempuan, Cil!"
"Untuk yang satu itu saya setuju."
"Seburuk-buruknya lelaki, pantang main tangan pada perempuan. Karena karma buruk pasti bakalan menimpanya."
Cecillia tertawa mendengar perkataanku. Sedikit meremehkan, tetapi kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju.
Mobil jemputan hotel meluncur membelah hujan yang intens sederas tadi. Mereka harus mengejar waktu agar tiba di resto baru perusahaan mereka untuk acara pembukaan dan gunting pita.
Cecillia memeriksa kembali tas berisi dokumen-dokumen penting yang akan mereka butuhkan nanti disana. Ia tersenyum tanda semuanya aman terkendali.
Acara akhirnya berlangsung lancar dan meriah. Aku pun bisa bernafas lega karena proyek hari ini sesuai seperti yang diharapkan. Walaupun tadi ada sedikit gangguan kecil dicafe bandara.
Tapi aku tidak terganggu karena itu bukan bagian dari kerjaku.
Malam pukul 10 aku dan Cecil baru kembali dari resto baru kami. Manager disana mengajak kami mengobrol santai sambil minum beberapa gelas wine. Sebenarnya acara inilah yang paling aku tak suka karena walaupun tidak sampai membuatku mabuk dan hilang kendali, wine akan membuat mataku melotot sepanjang malam alias susah tidur.
Penyakit yang aneh, kata beberapa temanku. Karena pada umumnya mereka justru meminum wine untuk membuatnya cepat terlelap dan mimpi indah. Tapi tidak bagiku.
Andai aku menolak kumpul dan minum bersama, aku kuatir akan berimbas dengan pergaulan sosialku dikantor dan sekitarnya nanti. Makanya ibarat buah simalakama. Pada akhirnya aku akan sendirian melanglang buana menikmati malam berlalu tanpa istirahat.
Bersambung-
Seperti yang telah aku katakan tadi, aku beneran tak bisa memejamkan mata walau sekejap pun. Cecilia sudah terlelap sepertinya dikamar hotelnya. Tinggal aku sendiri ketantang-ketinting mencari aktivitas malam yang bisa menghilangkan kejenuhanku melewati malam yang panjang.
Suara perempuan dipanggung cafe itu terdengar lirih dan syahdu. Lagunya mendayu-dayu karena ia menyanyikan dengan hati.
Aku terbenam dalam lantunan indahnya membawaku terbang mengembara mengenang semua hal dari kepahitan hingga kebahagiaan dihidupku.
Jam hp menunjukkan pukul 11 malam. Ada pesan masuk ternyata dari Ranti. Ia memang selalu menchat-ku malam-malam tiap kali aku sedang dinas luar. Walau hanya say hello basa-basi menanyakan keadaanku yang jauh darinya. Aku cukup senang dengan perhatiannya itu.
"Hai.... Ternyata Batam sempit ya!"
Aku terkejut. Lebih terkejut lagi melihat seorang wanita tepat duduk didepanku. Wajahnya bermake up membuatku hampir tak kenal. Sepertinya wanita yang bernyanyi diatas panggung tadi.
"Aku Vika, mas! Yang tadi siang mas bantu waktu di cafe bandara!"
Aku memperhatikan diam-diam. Wanita ini berbeda jauh sekali dengan tadi siang. Apa karena pengaruh make-up dan gayanya yang sekarang terlihat berani dan sensual.
"Mas pasti illfeel ya liat aku. Hehehe.., kalo malam aku adalah karyawan cafe ini. Selain sebagai waitress, aku juga penyanyi kontrak tiap malam rabu dan malam minggu. Yaa, beginilah keadaanku, mas! Yang kadang membuat orang salah faham menafsirkanku termasuk suamiku. Padahal sungguh, aku justru ingin membantu dia dalam urusan keuangan karena usahanya yang selalu gagal."
Vika terus nyerocos padahal aku sama sekali tak menanyainya.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ranti menelfonku dan langsung kuangkat. Ternyata ia melakukan video call. Terlihat wajah manis Ranti dengan menggendong buah hati kami yang cantik, yaitu Jingga.
"Hai sayaaang! Koq belum tidur? Kenapa sayaaaang!? Kangen sama papa ya.... Aah muacht, papa juga kangen sama Jingga. Besok pagi papa pulang, sayang!" Aku dengan antusias menatap layar hape dengan senyuman kebahagiaan.
"Jingga agak panas badannya, mas! Jadi rewel nih bobonya!... Iya, papa....cepat pulang yaaa...Jingga kangen papa. Mamanya juga kangen lho!" Aku tersenyum dengan godaan Ranti yang terlihat malu-malu.
"Masih ada parasetamol khan, yang? Bantu kompres dahinya Jingga. Malam ini kamu pasti kerepotan sendirian. Ajak aja bi Nur tidur dikamar kita buat nemenin kamu. Oke?"
"Iya yang! Kamu masih diluar? Belum istirahat dikamar?" tanya Ranti.
"Kamu khan tau, yang! Gini nih setiap aku minum bareng obos-obos. Bikin insomnia-ku kambuh. Terpaksa keluyuran cari angin disini. Bentar lagi aku pulang koq ke hotel!"
"Ranti? Kamu Ranti Mulia ya???.. Rantiiiii....!!" Aku kaget bukan kepalang ketika wanita tadi yang terus berbicara tiba-tiba berdiri dibelakangku melambaikan tangannya menyapa Ranti istriku.
Hampir kudorong dia mengingat dia seorang perempuan. Tapi aku kesal karena perbuatannya yang tidak sopan ikut menyerobot berbincang dihapeku.
Ranti seperti tengah berfikir keras berusaha mengenali. Semoga perempuan tak jelas ini hanya salah orang, bathinku kesal. Tapi ia dengan benar tadi menyebut nama lengkap istriku.
"Vikaaaaaa..... Vika khan?? Beneran kamu Vika? Vika Amalia Salim?" Ranti menjawab spontan dengan suara keras. Hampir mengagetkan anak kami Jingga yang tengah dalam pangkuannya.
"Iya, iyaaa.... hahahaha temen sebangkumu di SMA BINA NUSANTARA dari kelas 1 sampe kelas 3. Sahabatmuuuu yang super keren ini!"
Hhh.... Kesalku bertambah. Ternyata hubungan mereka dulu adalah sahabat karib. Dan Vika semakin cuek menyabotase handphoneku untuk mengobrol dengan istriku.
"Vikaaa, koq kamu bisa sama-sama suamiku?"
"Ya ampuuun, Raan! Beneran pertemuan yang ga disangka yaa... ceritanya panjang, Ran!Ntar kalo ketemu diceritain deh! Eh btw aku minta nomormu via suamimu ya?"
"Iya, boleh. Vik, maaf Jingga mau mimi cucu, next time kita sambung ya obrolan kita." Ranti mengakhiri obrolannya.
"Sini hpnya. Aku mau balik ke hotel." kataku ketus. Aku memang orang yang terlalu spontanitas.
"Mas, aku boleh minta nomor hapenya Ranti?" kata Vika mencegatku sebentar.
Aku meraih dompet disaku belakang celana jeansku. Mengambil satu lembar kartu nama Ranti yang memang selalu kubawa beberapa lembar bercampur dengan kartu namaku. Ya seperti ini, untuk jaga-jaga bila dibutuhkan.
Kuberikan pada Vika tanpa banyak kata. Vika tersenyum mengucapkan terima kasih. Tapi aku berlalu tak peduli.
....
Baru saja aku masuk kamar hotel, tiba-tiba hp-ku berbunyi.
"Selamat malam! Dengan saudara Dika Dewantara? Ini dari Rumah Sakit Umum Batam. Kami menghubungi saudara karena ada pasien UGD bernama nyonya Vika Amalia yang membutuhkan kehadiran saudara secepatnya."
Aku bingung sendiri. Vika? Cewe tadi? Diruang UGD?...
Walau agak ragu, kulangkahkan juga kaki ini ke rumah sakit itu. Berharap bahwa itu hanya kerjaan orang iseng. Tapi kenapa orang itu tahu nomor kontakku. Itu agak membingungkan.
Diruang informasi segera kutanyakan pasien bernama Vika Amalia. Dan ternyata itu benar. Perawat memintaku mengurus biaya administrasinya agar pasien segera ditangani.
Dengan berat hati kuberikan kartu ATMku untuk dijadikan jaminan atas nama Vika.
Hhhh....!!! Lagi-lagi aku sial berurusan dengan perempuan itu. Apalagi yang ia lakukan hingga harus ada di UGD Rumah sakit.
Aku memastikan Vika benar-benar di rawat di UGD. Terkejut aku melihat kondisinya. Wajahnya lebam-lebam dan bengkak sebelah matanya. Aku ngeri berlama-lama menatap wajah Vika karena itu seperti luka pukul yang sangat keras.
"Maaf, mas Dik! Lagi-lagi aku menyusahkanmu." ujarnya berderai airmata membuatku memalingkan wajah karena tak tega.
"Siapa yang membuatmu seperti ini, Vika?"
"Siapa lagi kalau bukan iblis berwajah malaikat itu!" jawabnya setengah membentak. Aku hanya diam menelan ludah. Bisa kuterka, pasti itu perbuatan suaminya.
"Segera buat visum, kamu bisa laporkan dia ke Polisi. Ini tindakan KDRT."
"Mas!.... Boleh aku minta tolong sekali lagi?" Vika mengiba membuatku mendengus kesal tapi tak berdaya.
"Bawa aku serta ke Jakarta, mas! Aku udah ga mau berurusan lagi dengan iblis itu!"
"Urus dulu semua urusanmu. Jangan bertindak gegabah! Itu akan membuatmu salah langkah dan lebih sengsara. Kalau kamu mau ikuti saranku, laporkan dia ke Polisi. Minta cerai, lalu setelah beres...kamu bisa bebas melakukan apapun. Rubah kehidupanmu menjadi pribadi yang lebih baik lagi! Kalau kamu kabur begitu saja, kamu tetap bersalah walaupun ia lebih bersalah kepadamu!"
Vika menangis pilu dengan menggenggam tanganku. Tangannya dingin dan gemetar. Dapat kubayangkan betapa takut dan traumanya dia dengan keadaannya ini. Lama ia baru melepaskan jemariku yang jadi basah karena keringatnya.
"Aku menikah siri dengannya. Jadi, susah untuk meminta hakku. Mungkin lebih baik aku pergi menghilang dari kehidupannya. Kami menikah 3 tahun lalu. Tapi ternyata dia itu iblis, penipu, pecundang.. Aku menyesal sekali jatuh cinta padanya." Cerita Vika setelah ia agak tenang.
Aku tak bergeming. Hanya mendengarkan Vika cerita. Bahwa ia mengikuti Aris ke Batam yang sama sekali tak punya sanak saudara ataupun kerabat untuk diminta tolong apalagi perlindungan. Keluarga Aris juga sudah tidak mau berurusan dengan Aris dan segala masalahnya termasuk Vika yang ternyata adalah istri ketiga Aris.
Aku duduk bersandar dikursi samping ranjang Vika sembari terpekur menatap lantai. Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Ini benar-benar hari yang panjang dan melelahkan.
"Kenapa kamu bisa tahu nomor kontakku?"
"Kamu memberiku kartu nama yang salah. Itu bukan kartu nama Ranti tetapi milikmu, Mas! Aku tak punya pilihan lain. Tak ada yang bisa kumintai tolong. Bahkan hp juga diambilnya. Untung sebelum kejadian aku sempat membereskan surat-surat berhargaku."
Aku tersenyum kecut. Ini salahku juga, tidak melihat dengan seksama nama yang tertera dikartu nama. Hhh....!! Tapi kalaupun kartu nama Ranti, pasti tetap aku juga yang akan dibuatnya pusing dengan urusannya karena istriku Ranti pasti akan menghubungiku dan memohon untuk menolong sahabat masa SMAnya itu. Mengingat cerita Vika yang tak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa.
"Mas Dika!... Kamu benar-benar dewa penolongku!" kata Vika masih dengan lelehan airmata.
Aku menaruh jari telunjukku dibibirku menyuruhnya diam dan istirahat. Sepertinya wajahnya semakin bengkak dan memar parah.
Vika menuruti ucapanku. Berusaha menghapus airmatanya lalu memejamkan matanya yang kini terlihat menyeramkan itu.
Aku iba sebenarnya. Tapi kesal karena jadi terseret terbawa-bawa masalahnya yang sama sekali tidak penting bagiku. Terlebih ternyata dia adalah sahabat istriku dimasa SMA.
Bersambung-
Aku benar-benar sudah gila. Terpaksa menuruti membawa istri orang kabur. Sebenarnya hati ini berontak menolak. Tapi apa daya, antara iba dan juga kesal karena perempuan itu selalu mengintilku. Mengiba dan memohon pertolonganku. Akhirnya aku ikuti semua keinginannya.
Cecillia asistenku hanya bisa tersenyum melihat wajahku yang kutekuk karena tak bisa berkutik.
Vika ikut dengan kami ke Jakarta. Dengan masker dan kacamata hitam, ia justru terlihat mengundang perhatian. Banyak yang menyangka kalau ia artis karena postur tubuhnya dan juga penampilan casualnya yang diatas rata-rata wanita menikah. Dan aku jadi lebih mirip bodyguard karena tubuhku yang tegap dan tinggi.
Lagi-lagi Cecil hanya tertawa kecil meledekku diam-diam.
"Awas ya, kau Cecil ! Berani meledekku!" kataku kesalmembuat Cecil makin tersipu.
"Mereka akan terkejut kalau mbak Vika justru ga pakai masker dan kacamata hitam!"
"Ya, udah... Jangan bahas itu!"
Sementara Vika lebih banyak diam tak bicara. Justru karena sikapnya ini yang makin membuatku tambah kesal.
Perempuan ini sok ngartis banget! Padahal sudah ditolongin tapi malah kebanyakan gaya!Bathinku dongkol.
Setelah menempuh waktu 1 jam 50 menit, akhirnya kami mendarat dibandara Soeta.
"Kita pisah disini saja! Aku rasa Jakarta juga tanah kelahiranmu dan tempat mainmu. Pasti banyak teman yang bisa kamu mintai tolong selain aku. Jadi tolong, kita sudahi sampai disini saja. Kita bukan teman apalagi saudara. Aku pikir kamu paham maksudku!"
Vika menjabat tanganku dan juga Cecil. Mengucapkan terima kasih dan maaf berkali-kali. Cecil menyelipkan selembar uang kertas 100 ribuan ketangan Vika membuatnya makin kikuk.
"Ini untuk naik taxi, mbak! Maaf, kami ga bisa bareng karena harus langsung ke gedung Graha." ucap Cecillia.
"Terima kasih mbak Cecil! Kalian betul-betul penolongku!"
Tanpa basa-basi lagi aku sengaja pergi kearah berlawanan dengan Vika. Tak ada niatan mendengar Vika menceritakan arah tujuannya apalagi menanyainya. Karena kurasa bantuanku sudah teramat banyak untuk orang yang tidak aku kenal sebelumnya. Bahkan terlalu banyak. Hhhh....
Cecil mengikutiku dari belakang. Ia tergesa-gesa karena langkahku yang cepat membuatnya susah mengimbangiku.
"Pelan-pelan saja, Pak! Sepertinya mbak Vika juga berbeda arah dengan kita." ungkap Cecil membuatku mengurangi kecepatan langkahku dan kini berjalan sejajar dengan Vika.
"Bertemu perempuan itu membuatku jadi sial, Cil!" gerutuku membuat Cecil tertawa.
"Hati-hati, Pak kalau bicara!" Cecillia mengingatkanku masih sembari tertawa.
Aku mendengus kesal. Tapi memang aku seperti terkena sial bertemu Vika. Wanita cantik itu seolah menyeretku terus dilingkaran kesialannya. Bahkan kantongku juga ikut terkuras lumayan hanya untuk menolongnya.
Andai Ranti tahu kalau aku sudah boros untuk hal tidak penting. Hhh.....! Ini bukan sodakoh yang ikhlas namanya. Mengingat itu membuat kepalaku sakit memikirkannya. Cari uang itu susah, tapi dengan mudahnya perempuan itu membuatku menggelontorkan beberapa juta untuk biaya rumah sakit dan tiket pesawat.
Kupijit pelan pelipisku. Pusing jadi menyerangku.
Cecillia tidak lagi menggodaku dengan senyum jahilnya. Ia kembali menjadi asistenku dengan menjaga batasannya. Itulah yang kusukai bekerjasama dengannya. Ia tahu diri tanpa harus aku ucapkan kata-kata semisal ancaman agar ia tak berkoar menceritakan segala hal pribadiku kepada karyawan lain.
Pekerjaan lain sudah menunggu dimeja kantorku. Menumpuk dan menunggu deadline membuatku sibuk dan lupa tentang kejadian di Batam.
Sorenya aku pulang kerumahku yang nyaman dengan pelukan sambutan Ranti yang hangat dan tawa Jingga yang ceria. Ah, bahagianya!
Ranti istri yang baik. Ia tidak langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan tapi membiarkanku menghabiskan qualitytime-ku bersamanya dan Jingga.
Anak kami yang baru 2 tahun sudah pandai berlari. Tapi masih harus kami awasi karena Jingga masih suka slebor hingga membuat kami khawatir ia terjatuh.
Rasa capekku perlahan menghilang seiring tawa riang dan canda kami bertiga dirumah kami.
"Yang! Kamu tahu nomor hapenya Vika Amalia?" tanya Ranti usai makan malam.
"Aku ga tahu, yang!.... Lagipula, kayaknya hapenya juga disita suaminya tuh!" jawabku membuat Ranti terkejut.
"Hah? Disita suaminya?"
"Hhh...., ketemu sahabat kamu itu adalah kesialan buat aku, yang!"
"Maksudnya? Koq bisa jadi kesialan kamu, Mas?"
"Panjang ceritanya. Hhhh....., males sebenernya bahas itu orang lagi." Ranti tertawa.
"Aneh! Vika itu membawa keceriaan dan juga kehangatan lho, Mas! Dulu dia itu primadona sekolah kami. Perempuan super yang sempurna. Koq bisa sih dia jadi bikin suamiku ini sial?"
"Kamu tau ga? Sahabatmu itu sekarang jadi perempuan yang menyedihkan. Kasian aku liat dia."
"Koq bisa menyedihkan? Gimana maksudnya? Ayooo ceritaaa....!" Ranti mengelayut dilenganku. Merengek mesra karena rasa penasarannya mencuat. Jingga sudah terlelap dikasurnya hingga Ranti bisa berbuat begitu.
"Tapi nanti kalo udah selesai cerita, aku minta bayaran yaaa..." godaku membuat Ranti mengangguk dengan berkedip nakal. Kalau begitu khan aku jadi semangat! gumam hatiku nakal.
"Pas sampe bandara Hang Nadim ujan deras. Jadi aku sama Cecil mampir dulu ke coffe shop disana sambil nunggu reda juga nunggu jemputan. Tiba-tiba, ada perempuan datang marah-marah sama lelaki yang lagi asyik ngobrol dengan wanita. Ributlah mereka. Awalnya perempuan itu yang nampar si prianya duluan. Tapi malah dibalas tiga kali tamparan sama pria itu sampe si perempuan hampir jatuh. Aku yang duduk tepat didepannya otomatis bantuin si perempuan itu supaya ga jatuh terlempar kelantai. Dan perempuan itulah sahabatmu, yang!"
"Lelaki itu siapanya Vika?"
"Katanya sih suaminya. Yang lagi ke gep selingkuh. Dan sahabatmu itu istri ketiganya."
"Eeh?? Masa' yang? Ga mungkin Vika mau jadi istri ketiga. Dia itu banyak yang naksir lho! Cowo-cowo keren dan tajir. Terus, kalian bisa ada di cafe malem-malem gitu? Gimana ceritanya?"
"Itulah kesialanku ketemu dia lagi. Awalnya abis acara gunting pita sama gathering pembukaan resto, biasalah...para obos ngajak minum. Kalo aku nolak, tau sendiri resikonya, yang! Akhirnya aku dan Cecil ikut ngumpul juga minum. Walau cuma beberapa gelas aja buat penghormatan bos tuan rumah, tapi kamu tau banget aku lah! Aku jadi ga bisa tidur. Cecil sih langsung masuk kamar hotelnya. Aku, bete sendirian ga bisa tidur. Cari angin sampe disatu cafe deket hotel. Lah, ternyata si Vika itu waitress juga penyanyi di kafe itu. Hhh...., dia nyamperin aku, ngucapin terima kasih basa-basi gitu lah. Tiba-tiba kamu video call. Pas kita ngobrol, tuh orang dengan tidak sopannya berdiri dibelakang aku say hello sama kamu, sok akrab gitu. Aku sebenernya kesel banget waktu itu."
"Hahahaha, mas... Vika itu seperti itu. Orangnya cepet akrab. Supel juga pandai bergaul."
"Pandai bergaul apa?... Orang kek gitu tuh justru etitude-nya kurang. Agak gimanaaaa gitu! Dan asal kamu tau, dia itu digebukin suaminya setelah itu. Sampe dirawat semalaman di UGD rumah sakit Embung Fatimah. Dan dia minta tolong admin rs untuk hubungi nomor aku yang ternyata salah kasih kartu nama, yang seharusnya kartu namamu yang dia pinta tapi kartu nama aku yang kukasih!"
"Lalu?!..."
"Ya asal kamu tau, aku dinas ke Batam bukannya menghasilkan uang, tapi malah ngabisin uang!"
Ranti bengong.
"Biaya rumah sakitnya. Setelah itu dia nangis-nangis, minta tolong lagi untuk bawa dia juga ke Jakarta!"
"Hah?? Terus? Kamu ajak khan, mas?"
"Aku kasih dia pengertian untuk lapor polisi. Urusin KDRT-nya. Eh dia bilang percuma. Mending dia kabur aja katanya. Katanya suaminya juga udah ga peduli dia. Juga keluarga suaminya. Di Batam dia ga punya siapa-siapa yang bisa dimintai tolong. Dia nangis-nangis sama aku mohon bantuannya. Ya akhirnya, aku ngeluarin uang buat tiket dia juga! Hhh....!"
"Terus,... Vika sekarang dimana? Kamu antar dia kemana?"
"Mana aku tau?? Cecil ngasih uang seratus ribu buat ongkos taxi-nya. Udah, selesai. Aku ga mau kepo tanya-tanya dia mau kemana. Nanti dia gimana. Hhh.... Uangku habis sama dia!"
"Mas....! Kalo nolong orang itu jangan setengah-setengah. Kasian Vika, mas! Andai kamu bawa dulu kerumah kita. Atau minimal kasih alamat kita ke Vika supaya Vika langsung kesini. Kasian aku dengar kisahnya! Hampir 8 tahun aku ga tau kehidupannya!"
"Ampun deh, yang! Aku ngabisin uang lho buat perempuan lain....! Kamu bukannya marah-marah, malah bilang aku bantu orang setengah-setengah? Uangku habis buat bantuin dia lho!... Kamu ga kesel gitu?? Harusnya tabungan kita bertambah karena dapat bonus dari perjalananku keluar kota. Tapi ini malah tabungan ketarik, yang! Amboooy.... baik hatinya istriku! Aku aja masih kesel kalo mikirin itu!" gerutuku membuat Ranti menciumiku. Bertubi-tubi kepipiku, dahi hingga bibir. Aku jadi terdiam dan terhanyut godaan Ranti.
Malam ini kami terlupa karena pergumulan panasku dengan Ranti. Ia paling bisa membuatku senang. Paling mengerti aku. Dialah istri sempurnaku.
Bersambung-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!