Namaku adalah Aghnia Azalea Khalil. Aku adalah seorang anak yang terlahir dari pasangan Andonios Kairaz Khalil dan Maisara Adiba. Orangtuaku adalah salah satu pasangan yang saling mencintai dan melengkapi satu sama lain, itu adalah sisi terlihat keromantisan mereka berdua yang begitu saling mencintai.
Perihal cinta, setiap manusia pernah merasakan jatuh yang namanya cinta. Mengutarakan rasa hati termasuk pilihan mengungkapkan atau mengabaikan. Seorang gadis yang cantik jelita bernamakan Maisara Adiba seorang remaja beranjak dewasa berumur tujuh belas tahun yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas, bertetapan dengan hari perpisahan kelulusan yang digelarkan di Sekolah Menengah Atas Negeri Aceh, panggung besar sebagai penunjukan adik-adik kelas untuk sang kakak kelas melepaskan sandangan pelajar SMA yang tersematkan padanya.
Kini panggung tersebut dinaiki seorang pemuda asing yang tampan rupawan dan terdengarlah suara microfont yang disuarakan oleh Andonios Kairaz Khalil berupa pernyataan rasa “Maisara Adiba, dengarlah ungkapan hati dari seorang pemuda Andonios Kairaz Khalil yang telah lama mendamba. Izinkan dan perkenankan aku untuk menjadi teman hidupmu dan izinkan aku menjadi nahkoda hidupmu yang membimbingmu kejalan yang benar. Singkatnya, maukah kamu menjadi istriku?.”
Perrnikahan adalah salah satu bentuk janji suci, mengikat diri sehidup semati sampai maut memisahkan. Perihal anak adalah salah satu anugrah rezeki terindah yang diidamkan setiap pasangan dimuka bumi.
Diba yang sedang duduk dibawah tenda khusus yang disediakan untuk siswa dan siswi kelas XII sambil bercengkrama dan canda tawa bersama teman-temannya lantas Diba menghentikan aktivitasnya dan menatap tidak percaya pada seorang pemuda yang masih berdiri diatas panggung dengan melihat dirinya yang tiada berkedip mata dan ditambah lagi senyuman manis menambah kesan tampan. Suara riuh dan siulan tertuju untuknya, seakan Diba tidak bisa mendengarkan karena syok akan ungkapan rasa hati yang baru saja tertuju untuk dirinya.
“Maisara Adiba, pujaan hatiku, janganlah kamu berpaling dariku. Aku sungguh-sungguh sangat mencintaimu,” turun dari podium, berjalan dan menghampiri Diba yang masih duduk di kursi bawah tenda dengan wajah cantik berbalut make up, tetapi sedang merasakan syok yang tidak terhingga jumlahnya.
Diba ialah seorang remaja yang hanya fokus pada pendidikan dan tidak pernah mau berkenalan dengan yang namanya cinta. Sekalinya mendapat pengakuan cinta, tubuh Diba bagaikan terpaku di bumi, tidak tahu harus meresponnya seperti apa.
Doni telah berdiri tepat di hadapan Diba tetapi Diba masih tidak sadarkan diri, berdiri bagaikan patung tanpa aksi sedikitpun. Satu pukulan keras mendarat di bahu Diba yang diberikan oleh teman yang tepat duduk disebalah Diba, dengan pukulan itulah Diba tersadar dari keterpakuannya. Dalam seketika Diba kembali terkejut dengan adanya senyuman manis dari Doni yang berdiri tepat dihadapannya. “Astaqfirullah,” terkejut Diba.
Untuk tenda yang dikhususkan para orangtua wali, Marzuki Aldibira ialah seorang kakak dan juga wali dari Maisara Adiba menatap tajam pada Andonios Kairaz Khalil yang berani-beraninya melamar adik kesayangannya dengan cara seperti ini. Lantas dengan menahan amarah kekesalan Bira menunggu reaksi Diba dalam menanggapi Doni bagaimana.
Satu senyum terukir diwajah tampan putih, bersih dan sedikit brewokan dari Bira saat mendengar tanggapan Diba sang adik.
“Anda siapa?” tanya Diba dengan penuh kebingungan.
Senyum lebar dari Doni sedikit pudar disebabkan pertanyaan dari Diba yang mempertanyakan dirinya siapa. Dan ditambah lagi hampir seluruh kawan-kawan Diba serentak menertawakan dirinya. Tidak sampai disitu, tekad Doni memang sudah sangat kuat untuk memperistrikan Diba sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Doni kembali tersenyum tulus dan berujar “tidak mengapa jika kamu belum bisa menjawab tawaranku, aku siap menunggumu. Ini kartu namaku” menyerahkan selembar kartu pada Diba dan Diba menerimanya walau masih dalam keadaan bingung, tidak mengerti apa yang terjadi. “Pekan depan, aku akan kembali menghampiri dirimu sayangku dengan membawa keluargaku untuk melamarmu menjadi istriku,” lanjut ujar Doni dan berlalu pergi menghilang meninggalkan Diba dalam kebingungan dan ditambah kebisingan yang mengelilingi Diba akibat teriakan dari kawan-kawan Diba. Diba terus melihat kemana arah Doni melangkah sampai Doni menghilang termakan jarak.
Setelah Doni menghilang dalam langkah menjauh namun Diba masih dalam keadaan linglung antara iya dan tidak, apa yang baru saja ia lalui.
Seorang sahabat Diba yang bernama Syahra Kinan atau yang sering disapa dengan nama Ara menepuk punduk Diba untuk kedua kalinya guna menyadarkan Diba dari lamunan sibuk dengan pikirannya sediri.
Sedang untuk keadaan yang sempat riuh dikarenakan kehadiran dan ungkapan dari Doni, kini keadaannya sudah mulai normal kembali dikarenakan MC menetralkan keadaan kembali pada sub agenda yang memang sudah tersusun rapi.
Acara demi acara terus terlaksana dengan meriah tetapi tidak dengan hati Diba yang terus gelisah, memikirkan apa yang baru saja yang ia alami. Sampai pada tahap terakhir yaitu sesi photopun Diba masih saja merasakan tidak tenang, masih terbayang apa baru yang ia hadapi. Meriahnya acara tidak terasa bagi Diba.
...****************...
Tepat sepekan setelah hari pengungkapan rasa yang diungkapkan Doni, disore hari disebuah rumah sederhana berlantai dua terdengar teriakan menggema dari seorang kakak pada sang adik “Diibaaa maandiii.”
“Iyaa, sebentar lagi,” ikutan berteriak.
“Jangan sampai kakak menyusulmu kekamar ya,” sambil tarsus mengaduk-ngaduk masakan yang sedang dimasak untuk persiapan makan malam.
Ruangan luas, buku bertata rapi bagaikan ruang perpustakaan pribadi yang aslinya adalah ruang kamar tidur yang tepat terletak sisi ranjang ditengah-tengah ruangan. Diba tidur posisi telungkup dengan asiknya membaca buku novel ciptaan penulis favoritnya sambil kedua kaki Diba hayun-hayunkan naik turun bawah atas, atas dan bawah. Diba terus membaca tanpa mempedulikan teriakan dari kakak dibawah sana yang dari tadi masih sibuk berkutat dengan dapur yang belum juga usai.
Lebih dari tiga puluh menit berlalu, Bira telah menyelesaikan urusannya dengan dapur, semua masakan yang telah dimasaknya juga telah ia susun di meja makan, tidak lupa Bira menutupnya dan juga seluruh sisi dan sudut rumah telah Bira bersihkan seorang diri. Lantas Bira menaiki tangga menuju kamar Diba sang adik memastikan Diba sedang melakukan apa.
Bira membuka pintu kamar Diba perlahan dan melihat Diba yang dengan santainya masih tiduran sambil membaca, sedang hari sudah menunjukan gelapnya malam. Bira membiarkan pintu kamar terbuka, berjalan perlahan berdiri tepat disamping ranjang Diba “apa harus kakak sendiri yang menuntunmu ke kamar mandi,” menatap Diba kesal.
Teriakan disebabkan terkejut dilakukan dan dialami oleh Diba. Diba berteriak keras dengan ditambah reflek melemparkan buku novel yang ia baca mengenai tepat di pelipis sang kakak. Lagi dan lagi Diba terkejut untuk kedua kalinya dan lantaran dikarenakan panik Diba langsung loncat dari ranjang dan juga merampas handuk secara kasar menuju kamar mandi dan yang terakhir Diba membanting pintu kamar mandi keras.
Bersambung...
Bira merasakan ada sesuatu yang mengalir di pelipisnya lantas Bira meraba dan melihat cairan merah ada di tangannya “darah,” monolog Bira. Bira menunduk dan memungut buku tebal yang baru menerjang dirinya dan meletakkan diatas meja melajar Diba. Bira keluar dari kamar Diba dengan melangkah pelan lantaran pusing mulai mendatangi.
Semakin lama, darahnya bukan berkurang malah semakin deras mengalir ditambah lagi Bira seorang yang mengidap hematophobia atau (phobia darah.) Bira yang kebetulan sedang memakai sinlet putih dan juga celana training panjang. Bira mencoba untuk tetap tenang menarik baju yang sedang ia kenakan keatas untuk guna menghentikan darah yang terus keluar.
Bira melangkahkan kaki perlahan sambil memegang erat pembatas tangga takut terjatuh namun Bira tetap terus melangkahkan kakinya menuju ruang tamu mencari keberadaan hp nya yang semenjak tadi ia tinggalkan. Hp sudah berada ditangan Bira dan dengan segera Bira menggeser layar telepon untuk menelpon Syahira Kayla sang pacar “sayang tolong aku, aku terluka.”
“Hah, sayang kamu kenapa? Kamu dimana?” Panik. “Halo, halo, halo sayang.” Kay tidak menunggu lama lagi langsung mengutakatik hp yang masih tersambung dengan sambungan telepon itu guna mencari titik lokasi Bira sang kekasih dimana sekarang. Setelah menemukan titik keberadaan Bira, tanpa menunggu lama Kay mengambil kotak P3K yang selalu ada dalam tas kuliahnya Kay.
Rumah Kay dengan rumah Bira tidak jauh jarak tempuhnya hanya sekitar 20 menit perjalanan, tidak kali ini, Kay menyetir mobil jizz putihnya hanya memakan waktu sekiran 5 menit saja. Dengan langkah tergesa-gesa Kay masuk dalam rumah Bira yang pintu rumahnya tidak tertutup rapat, tanpa pemisi Kay menerobos masuk dalam rumah dan mendapati Bira tidur diatas sofa, baju berlumur darah dalam keadaan tidak sadarkan diri lagi.
Dengan cekatan Kay mengobati luka yang ada di pelipis Bira dan juga mengganti atasan baju Bira dengan baju bersih. Kay melihat Bira dalam dan bermonolog dalam hati “dengan cara apalagi aku harus mengobatimu, hanya luka kecil begini saja kamu pingsan sayangku.”
Usai shalat magrib, Diba baru turun menghampiri sang kakak berniat ingin meminta maaf atas apa yang ia lakukan tadi. Posisi tangga bertepatan diantara ruang tamu dengan ruang makan jadi Diba melihat jelas diruang makan ada calon kakak iparnya yang sedang menuangkan air dalam gelas sedang diruang tamu ada sang kakak yang sedang tiduran sambilan menonton siaran tv.
“Eh kak, sudah lama sampai,” menyusul menghampiri. Kay tidak bisa menjawab hanya bisa mengangguk sekali lantaran Kay sedang meminum air. Setelah sampai Diba dimeja makan, Diba duduk dikursi dan berteriak pada Bira “kak aku makan duluan ya, lapar.”
Bira tidak menyahuti Diba namun Bira segera beranjak mendekati meja makan untuk makan malam bersama.
Kay melayani Bira dan Diba dengan baik. Dan Kay juga ikut makan bersama dengan adik kakak tersebut.
Diba terlalu fokus pada makanan yang ia santapi, sampai tidak menyadari ulahnya tadi yang melemparkan buku menyabkan luka pada sang kakak. Sampai makanan dalam piring yang ada di hadapan Diba kandas tiada sisa baru Diba mengangkat kepalanya memperhatikan sekitar sambil bersendawa dan mengusap-ngusap perutnya yang terasa kekenyangan.
Bira dan Kay menatap Diba yang bersendawa dengan suara besar itu sambil berkata dan menasehati “tidak baik anak gadis bersendawa sebesar itu.” Diba yang hanya menanggapi dengan senyum lebar yang memperlihatkan dua baris gigi beserta gusi yang menambah sisi cantik Diba semakin terlihat.
“Eh kak, itu kening kakak kenapa?”
“Kamu lupa atau pura-pura lupa?” menatap Diba.
“Kak, Diba minta maaf, ngak sengaja, tadi Diba panik, takut dimarahin kakak.”
Bira diam tidak merespon.
“Kakak, Diba minta maaf, Diba tidak sengaja tadi, Diba terkejut sama kakak. Lagian tadi kakak tiba-tiba sudah ada disamping Diba, Diba kira tadi hantu,” memelan suara diahkhir kalimat.
Kay yang semenjak tadi memperhatikan drama yang terjadi mengulum senyum menahan tawa. Bira juga ingin tertawa saat mendengar kalimat terakhir Diba tetapi Bira mengurungkan niatnya.
“Kak, Diba minta maaf,” suara serak menahan tangis.
Satu menit, dua menit, tiga menit lebih, Bira masih diam memperhatikan Diba yang sudah bermata embun itu yang siap hendak menangis.
“Kakak Diba minta maaf,” sudah dalam keadaan menangis.
Kay yang duduk berhadapan dengan Bira memelototkan matanya untuk mengakhiri sandiwara marah yang sedang diperankan Bira sambil mulut berkomat kamit, entah apa saja yang dikatakan kay, Bira tidak tahu.
Setelah teguran singkat Bira dapatkan, barulah Bira tertawa keras sambil bangun dan memeluk adik kesayangannya “iya tidak apa-apa adik cengeng kesayangan kakak. Kakak tahu kamu melempar buku tadi sebagai bentuk kecil perlindungan diri yang kamu lakukan. Kakak bangga kamu memiliki reflek baik untuk perlindungan diri kamu. Tetap dipertahankan ya.”
“Ish kakak ini, orang seriusan nangisnya dia malah marahnya bercanda.”
Orang ketiga yang daritadi menyimak dan memperhatikan, kini tidak lagi menahan semburat tawa saat melihat akting yang diperankan Bira bersama Diba malah sekarang Kay tertawa keras sampai merasakan kram di area perutnya. Lantas Kay memegangi perutnya dan berkata “kamu ini sebernarnya pinter dek hanya saja kamu ini bodoh.”
Bira dan Diba yang sedang berpelukan sayang itu melepaskan pelukan mereka dan menatap Kay yang sedang susah payah mengurangi kadar tawanya “itu konsepnya gimanalah sayang.”
Kay menelan ludah susah dan menarik napas panjang setelah sekian menit bisa menetralkan kembali deru napasnya “maksudku pinter tapi bodoh itu, Diba sangat mudah bisa mamahami materi apapun itu yang ia pelajari tetapi ia bodoh memahami praktik bagaimana caranya membedakan hal yang sebenarnya dan yang mana yang dibuat-buat contohnya seperti tadi, kamu Bira,” menunjuk Bira “gerakanmu menunjukan keseriusan tetapi dimatamu menunjukan hal sebenarnya bahwa kamu tidak serius benar-benar marah pada adik kesayangan cengengmu ini.”
"Kakak, aku dikatain cengeng,” mengadu sambil menatap Bira meminta pertolongan.
“Lah memang kamu cengeng," kembali fokus menatap Kay kembali "maksud pinter tapi bodoh itu seperti apasih?"
"Sayang, setiap kita manusia itu ada kekurangan dan kelebihan jadi kelebihan Diba dia sangat pintar dalam bidang akademik pelajaran disekolahnya sedangkan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari dia sangat bodoh contoh kecilnya Diba tidak bisa mempelajari trik manipulasi yang sering ia jumpai sehari-hari."
Diba yang mendengar penjelasan Kay tersenyum bangga lantas berkata "kan aku anak baik kak."
"Yakin," tanya Bira dan Kay serentak.
"Cieee, bersamaan," menaikturunkan alis menggoda.
Kay yang digoda seperti itu menjadi salah tingkah sendiri sedangkan Bira tidak menyahut apa-apa malah wajah datarnya yang biasa menjadi kebiasaannya saat diluar rumah yang ia pakai kembali kini.
BERSAMBUNG ...
Ejekan dan kata godaan niatan candaan terus Diba lontarkan namun suara ketukan pintu rumah membuat Diba menghentikan aksinya. "Ish, ganggu, siapasih yang bertamu malam-malam begini." Beranjak berdiri melangkahkan kaki menuju pintu utama dan membuka pintu yang juga diikuti oleh Kay yang turut serta melihat tetamu yang datang menghampiri.
Diba diam terpaku bagaikan patung melihat tamu yang datang menghampiri rumahnya "Anda" menunjuk salah satu tamu yang hadir.
"Sesuai janji saya tempo hari dulu nona Maisara Adiba."
"Saya sedang tidak menerima tamu," jawab ketus Diba.
"Diba," tekan panggilan yang dilakukan Kay dan Kay berjalan menghampiri lebih dekat pada tetamu yang datang tiga orang. "Jangan seperti itu, tidak sopan."
"Diba tidak mau kakak," berlalu pergi meninggalkan tamu dan kedua kakaknya menuju kamar pribadinya.
Kay melihat Diba berlalu begitu saja dan kembali beralih pandangannya pada tamu yang masih berada di hadapannya. "Maaf pak, mau cari siapa ya?"
"Marzuki Aldibira kakak dari Maisara Adiba."
"Ada pak didalam, mari silahkan masuk dulu."
Bira yang kembali duduk di ruang tamu sambil menonton serial televisi sedikit kebingungan melihat tingkah Diba yang tampak sedang kesal, berjalan melewatinya dan menaiki tangga menuju kamarnya. Tidak lama kemudian Kay kembali bersama tiga orang asing menghampiri.
Dia yang melamar Diba sepekan yang lalu monolog batin Bira setelah melihat salah satu tamu yang datang menghampiri.
"Silahkan duduk, pak, bu," tersenyum dan kemudian Kay melangkahkan kakinya menuju dapur dengan meninggalkan para tamu bersama dengan tuan rumah.
Bira menatap datar para tamu yang datang, tanpa ada sepatah kata yang terlontar dari mulutnya.
"Heum," ayah dari Doni berdehem sebagai pembuka acara mengungkapkan maksud kedatangan mereka. "Maaf menganggu waktunya. Saya Albert Nios Khalil dan ini istri saya Selina Marton Khalil," menunjuk dan tersenyum pada Bira.
Bira masih diam menyimak menatap datar pada lawan bicaranya.
"Dan ini yang terakhir adalah anak sulung saya Andonios Khairaz Khalil."
"Senang bertemu dengan Anda tuan Andonios," Bira tersenyum dan menatap dalam pada Doni.
"Saya juga senang bisa bertemu dengan Anda tuan Marzuki Aldibira."
Saling tatap menatap tajam terjadi diruang tamu tersebut yang bermula suasana tenang aman dan nyaman kini terasa suram dan sedikit mencekam.
Kay datang bersama nampan yang berisi cemilan dan juga minuman sebagai hidangan yang ia berikan pada tamu yang datang menghampiri.
Kay sedikit merasa merinding melihat tiga pasang mata yang dihadapan matanya saling menatap tajam bahkan kekasihnya yang biasanya terlihat ramah dan hangat terlihat seram kali ini.
Kay bergegas menyimpan nampan yang ia bawa pada meja yang terletak tepat didepan tamu, yang kemudian Kay juga ikut bergbung duduk bersama tamu, Kay duduk disamping Bira.
"Mari, silahkan diminum," mengangguk dan tersenyum sambil membuka tutup toples cemilan.
Sambil tersenyum sopan dan ramah, Albert menjawab "baik," meminum air sedikit dan menaruhkan cawan gelas kembali pada tempat semula.
Tidak dengan reaksi anak dan istrinya yang terlihat arogan. Albert mengisyaratkan pada istrinya untuk tidak membuat ulah dengan sifatnya itu. Yang kemudian Seli juga ikut meminum airnya sedikit.
Albert, Seli dan Doni meletakkan gelas yang berisi air yang baru saja mereka minum dalam jangka waktu hampir bersamaan. Albert berdehem sekali tanda ingin memulai percakapan kembali.
"Bunga yang ada dalam rumah ini cukup harum dan indah. Maksud kedatangan kami kesini ingin ingin meminta bunga tersebut untuk kami jaga dan kami rawat dengan semampunya kami."
"Kami tidak punya bunga, yang ada dibelakang rumah cuma pohon cabe, tomat dan sop," Bira menjawab sekenanya.
"Bang, bukan itu," bisik Kay sambil mencubit pinggang Bira keras.
Albert mengulum senyum melihat reaksi anak muda milineal sekarang yang tidak tahu istilah yang ia digunakan barusan. Sedangkan Doni juga ikut tertawa tetapi dalam hati, mukanya tetap tidak menunjukan reaksi alias datar.
"Apaansih sayang, cubit-cubit sakit tahu,dasar kepiting," ikutan berbisik.
"Makanya kalau tidak tahu, tidak usah sok tahu kamu bang."
"Dia tanya bunga, mana ada tanaman bunga dirumah ini, yang ada tuh tanaman untuk bahan aku buat mie."
"Bunga yang dimaksud Diba sayangku. D I B A, " menekan setiap ejaan huruf yang dilontarkan Kay.
"Diba kan manusia bukan bunga."
"Terserahmulah bang."
"Dengan alasan apa gerangan tuan-tuan dan nyonya menyukai dan ingin merawat bunga yang kami punya."
"Bunga dirumah ini begitu terjaga dan terawat sempurna."
Kay tersenyum menanggapi sedangkan Bira masih sibuk dengan pikirannya sendiri mengenai hubungan Diba sang adiknya dengan tumbuhan bunga. Aneh pikirnnya.
"Baiklah jika itu alasan dan tujuan Anda tuan Albert. Sebelum itu, kami ingin bertanya siapa nanti yang akan menjadi tuan bagi bunga harum kami."
"Bunganya nanti akan dirawat oleh anak sulung kami yaitu Andonios khairaz Khalil putra sulung saya."
Percakapan manis terus tercipta sebagai perkenalan antara kedua keluarga sampai pada akhir cerita Bira sedikitnya sudah paham mencoba untuk menyesuaikan percakapan dan meminta waktu beberapa hari untuk Diba adiknya memikirkan dan memustuskan untuk menerima atau tidak akan pinangan yang baru saja datang menghampirinya lagi.
"Bang, sepertinya Diba tidak suka sama calonnya yang datang tadi," ucap Kay sudah tiduran merebahkan kepalanya dipangkuan Bira.
"Aku tahu sayangku."
Kay mengernyitkan dahinya pertanda bingung.
"Sepekan yang lalu dia sudah datang menghampiri dan melamar Diba secara langsung dihari perpisahannya di sekolah."
Lantas terkejut Kay segera bangun dan duduk bersila sambil menatap Bira penuh tanya. "Kenapa heum. Apakah kamu cemburu adikku mendahului pernikahan kita."
"Buu kannnn begitu. Aku belum siap, pendidikanku belum selesai."
Satu kecupan hangat mendarat di kening Kay "Iya. Aku siap menunggu. Ingat jangan terlalu lama, selesaikanlah kuliahmu itu secepatnya.
"Ish abang. Janganlah," berusaha mendorong Bira yang hendak menciumnya lagi. "Jadi bagaimana dengan Diba, kapan abang akan memberitahukannya."
"Besok."
"Kenapa tidak dengan malam ini. Bukankah lebih cepat lebih baik."
"Benaran sayang."
"Apanya yang benar."
"Kita nikah bulan depan ya yang." Mendaratkan ciuman bertubi-tubi.
"Ish abang, kapan aku bilang setuju."
"Bukannya kamu sendiri tadi yang bilang, lebih cepat lebih baik."
"Tapiii."
"Tidak ada tapi tapi. Pokoknya kita nikah bulan depan. Abang khawatir kamu ini terlalu mandiri, tinggal juga sendiri. Masalah kuliah jangan khawatir, kamu tetap bisa melanjutkan cita-citamu sayangku."
"Yang benar sayang," menatap dengan mata penuh kegirangan "terimakasih sayangku." Kini bergantian Kay lah yang mencium Bira tiada henti sampai wajah tampan Bira dipenuhi lipstik Kay.
Diba turun menuruni anak tangga dan berhenti di pertengahan tangga menatap kaku bagaikan patung pada sepasang kekasih yang sedang bermesraan disana.
Dasar pasangan gila, bermesraan tidak tahu tempat, monolog dongkol Diba dan kembali masuk kekamarnya lagi.
Keesokan paginya Diba yang sudah libur sekolah, semenjak bangun pagi tiada aktivitas yang menemani hanya duduk termenung di balkon teras kamarnya sambil menatap kebawah pada kebun kecil sang kakak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!