Citra kusumawardani, seorang gadis manis yang setiap harinya selalu sendiri. Entah dia merasa terlalu nyaman sendiri atau dia memang tak pandai bergaul. Padahal dia adalah siswi terpintar di kelasnya. Dia selalu menjadi juara kelas setiap semesternya.
"Eh Citra. Baru datang Cit?" sapa Anne. Dia adalah teman sebangku Citra. Anaknya cantik dan modis. Tak heran jika banyak siswa yang tertarik dengannya.
Citra hanya tersenyum membalas sapaan Anne. Dia terus berjalan menuju bangkunya dan meletakkan tas sekolahnya di bangkunya.
"Istirahat nanti temani aku ke kantin ya Cit." Anne mendekati Citra dan mengajak gadis itu untuk mengobrol.
"Insya Allah. Aku ada janji dengan wali kelas siang nanti. Jadi aku nggak bisa janji buat nemenin kamu ke kantin," jawab Citra.
"Yah Citra. Tapi ya udah deh enggak apa-apa. Aku ngerti kok," tukas Anne. Senyum manis terkembang di bibirnya.
"Kamu udah sarapan?" tanya Anne.
"Alhamdulillah udah," jawab Citra.
"Nih buat kamu." Anne berkata seraya menyerahkan sekotak kue donat pada Citra.
Citra bergeming. Dia hanya menatap kotak bergambar kue bulat itu dengan pandangan heran.
"Ambil aja Citra. Aku nggak ada maksud apa-apa kok. Aku tulus ngasih ini buat kamu. Kita kan teman," ucap Anne saat melihat sorot keraguan dalam mata Citra.
Citra akhirnya mau menerima pemberian Anne. Dia menyimpan kotak kue itu ke dalam laci mejanya.
"Makasih ya." Citra menjawab sambil tersenyum manis pada Anne.
"Kamu itu cantik lho aslinya Cit. Kulit kamu bersih. Wajah kamu mulus. Rambut kamu juga tebal dan bergelombang. Aku suka lihat wajah kamu. Aku juga suka sama rambut kamu," ucap Anne.
"Kamu bisa aja. Aku tuh item. Jelek. Dekil lagi. Kayak gini kok dibilang cantik," sahut Citra.
Anne tersenyum mendengar ucapan Citra. Dia merasa geram saat tahu ada yang merundung Citra tempo hari. Dia tak suka pada aksi perundungan seperti itu. Mereka terlalu memandang fisik. Tanpa melihat kedalam hati orang itu.
"Eh Cit, pulang sekolah ikut ke rumah aku yuk. Aku mau minta diajarin pelajaran kemarin. Soalnya aku nggak ngerti," ajak Anne.
Citra menggeleng pelan. "Maaf Anne. Sepulang sekolah aku harus bantuin orang tua ku di kios," tolak Citra.
"Yaah... ayolah Cit. Aku beneran nggak ngerti nih pelajarannya Pak Hasan." Anne merengek dan memohon agar Citra mau ikut ke rumahnya.
"Maaf Anne. Aku benar-benar nggak bisa. Aku harus bantuin orang tuaku," ucap Citra.
"Kalau gitu aku ikut ke rumah kamu boleh?" tanya Anne.
Citra menatap Anne dengan pandangan ragu. Dia tak yakin Anne akan suka berada di rumah kecilnya.
"Lihat entar deh An. Aku nggak berani janji dulu." Citra berkata sambil mengulas senyum.
"Ya udah deh nggak apa-apa. Tapi kamu mau kan ngajarin aku pelajarannya Pak Hasan?" ujar Anne.
Citra menganggukkan kepalanya. Gadis itu lantas tersenyum manis pada temannya itu.
Obrolan keduanya terhenti kala seorang guru masuk ke dalam kelas dan siap untuk memulai pelajaran.
*****
Siang ini suasana kantin lumayan ramai oleh anak-anak yang ingin makan siang. Tak terkecuali Anne. Si gadis cantik incaran para cowok di sekolah ini.
Dara cantik itu tampak memesan semangkuk bakso lengkap dengan babat dan ususnya. Kemudian dia juga tampak memesan segelas es teh manis sebagai minumannya.
"Tolong dianterin ke meja lima ya Mang?" pinta Anne.
"Siap Neng. Tunggu ya Neng," jawab si Mamang penjual bakso.
Anne tersenyum manis kepada lelaki itu. Setelah mengucapkan terimakasih, Anne segera duduk di bangku kantin. Dia duduk sendirian di sana. Matanya menatap ke arah taman bunga yang bersebelahan dengan lapangan basket. Dari sana ia bisa melihat dengan jelas sesuatu yang membuatnya merasa geram dan emosi. Matanya terus menyorot tajam ke arah lapangan basket. Tempat di mana seorang gadis cupu sedang menerima bullying dari sekelompok siswi.
"Elu yang nulis surat cinta ini ya?" tanya seorang siswi berambut pirang. Dia menggoyang-goyangkan sebuah kertas merah jambu di hadapan gadis cupu itu.
Gadis itu berusaha merebutnya. Namun gadis berambut pirang itu terus menjauhkan kertas itu dari jangkauan gadis cupu itu.
"Balikin Sha. Itu punya aku." Gadis cupu itu mencoba meraih kertas itu.
"Balikin? Enak aja. Sekarang kertas ini ada di tangan gue. Jadi ini sekarang jadi milik gue," ucap gadis berambut pirang itu.
Dia kemudian membuka kertas itu dan membaca isinya dengan keras. Sesekali tawa mengejek terdengar dari mulut gadis bernama Sasha itu.
Citra terus berusaha merebut kembali kertas itu hingga tanpa sengaja dia mendorong Sasha hingga terjatuh.
"Eh kurang ajar bener lo. Berani-beraninya lo ngedorong temen gue," bentak salah satu teman Sasha.
"Dia yang duluan bikin aku kesal," jawab Citra.
"Heh!" bentak salah seorang teman Sasha.
"Elo berani sama kita?" bentuknya lagi.
"Elo tuh harusnya ngaca. Cewek jelek kayak elo nggak pantas ngedeketin Dirga," ejeknya.
"Elo harusnya sadar diri. Elo tuh siapa?"
"Jangan ketinggian kalau mimpi. Entar kalau jatuh sakit rasanya," sahut yang lain.
Citra tertunduk malu. Dia tak menyangka jika akan dipermalukan seperti ini oleh Sasha dan gengnya.
"Cewek jelek kayak elo pantasnya sama tikus got. Bukan sama cowok populer yang jadi incaran cewek satu sekolahan." Sasha yang sudah bangkit dari jatuhnya segera menyerang Citra dengan kata-katanya yang menusuk hati.
Citra semakin tertunduk. Dia tak berani mengangkat wajahnya. Dia merasa sangat malu dan sakit hati saat ini. Apalagi di depan kelas cowok yang di surati olehnya berdiri menatapnya.
"Heh! Kalian kalau berani jangan main keroyokan dong. Sini satu lawan satu," bentak seseorang dari arah berlawanan.
Mereka semua menoleh ke sumber suara. Citra membelalakkan matanya. Dia tak percaya Anne dan Shintya datang ke arah mereka.
"Yuk cabut," ajak Sasha pada kedua temannya.
"Kenapa cabut Sha? Elo takut sama Anne?" tanya Maria.
"Iya Sha. Kenapa cabut?" Karin ikut-ikutan bertanya pada Sasha.
Sasha berdecak kesal. Dia bukannya takut. Tapi dia malas berhubungan dengan Anne. Dia malas berurusan dengan cewek yang berpengaruh di sekolah ini.
"Kalau lo mau di sini ya udah. Gue mau pergi," kata Sasha. Kemudian gadis itu pergi meninggalkan kedua temannya yang masih berdiri di tempat yang sama.
"Sha tungguin dong!" seru Maria dan Karin hampir bersamaan.
Sasha tak memperdulikan seruan teman-temannya. Dia terus berjalan meninggalkan lapangan menuju kelas mereka.
"Kamu nggak apa-apa Cit?" Shintya bertanya dengan kening berkerut sempurna.
Citra menggeleng pelan. Dia masih menundukkan kepalanya. Dia masih merasa malu karena ulah Sasha dan gengnya tadi.
"Kenapa mereka bisa sejahat itu sih sama aku? Aku salah apa sama mereka sih?" tanya Citra di sela isak tangisnya.
Shintya merangkul pundak temannya itu. Dia mengelus lembut punggung Citra. Memberikan ketenangan dan kenyamanan untuk Citra.
"Emang kamu habis ngapain sih? Kok mereka ngeroyok kamu?" Kali ini Anne yang bertanya.
Citra tak lantas menjawab pertanyaan Anne. Dia tetap menunduk sembari menyeka air mata yang jatuh tak tertahankan ini.
"Aku cuman nulis ini An." Citra berkata sambil menyerahkan kertas merah muda yang tadi di rebut oleh Sasha.
Anne menerima kertas itu dan mulai membukanya. Awalnya dia tak mengerti arti puisi yang di tulis Citra di kertas itu. Tapi lama kelamaan Anne mulai paham artinya. Dia mulai menyadari jika Citra sedang jatuh cinta pada seseorang.
"Kamu lagi jatuh cinta ya Cit?" tanya Anne setelah ia selesai membaca puisi cinta itu.
Wajah Citra bersemu merah. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Sejurus kemudian dia menganggukkan kepalanya perlahan.
Anne dan Shintya kompak tersenyum melihat perubahan Citra.
"Tapi aku malu An. Aku malu. Soalnya cowok yang aku taksir itu idola cewek-cewek. Sedangkan aku... aku hanya itik buruk rupa yang mengharapkan pangeran menjadi kekasihku," ucap Citra putus asa.
"Kok ngomongnya gitu? Kamu itu cantik Cit. Kecantikan kamu terpancar dari dalam sini." Shintya berujar sembari menunjuk ke arah dada Citra.
"Iya Cit. Kamu itu cantik dari dalam. Dan nggak semua orang bisa lihat kecantikan kamu yang sesungguhnya." Anne menimpali ucapan temannya itu.
Citra hanya menundukkan kepalanya saja mendengar ucapan kedua temannya. Dia tak tahu kedua temannya hanya ingin menghiburnya saja atau memang mereka mengatakan itu tulus dari dalam hati mereka.
*****
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Namun Citra masih saja berada di koridor sekolah. Matanya menatap ke arah lapangan basket. Di sana sekelompok siswa sedang melakukan latihan. Matanya terus menatap ke arah salah seorang dari para pemain basket itu.
Dialah Dirgantara atau yang lebih akrab dipanggil Dirga. Seorang pemain basket andalan sekaligus kapten tim basket sekolah itu. Nama yang selalu Citra sebut dalam doanya. Nama yang selalu ada di dalam relung batinnya. Merajai seluruh hatinya dan membuatnya selalu bersemangat setiap harinya.
Citra tersenyum saat melihat sang pujaan hati berhasil merebut bola dan mengecoh lawannya. Tanpa dia sangka, pemuda yang selalu membuat tidurnya tak nyenyak tersenyum padanya. Pemuda itu tampak melambaikan tangannya pada Citra.
Citra tampak salah tingkah saat pemuda itu berjalan mendekat ke arahnya. Dia tampak gugup dan menahan debaran jantungnya yang mulai tak beraturan. Namun semua itu sirna seketika saat....
"Hai Sayang," sapa Dirga pada seorang gadis yang berdiri di belakang Citra.
Citra menoleh dan mendapati Sasha tengah berdiri di belakangnya.
Sasha menyunggingkan senyum mengejek saat melihat raut wajah Citra yang begitu merah menahan rasa malu.
"Sayang," rengek Sasha pada Dirga. Dia sengaja bermanja-manja di depan Citra. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia adalah cewek yang pantas mendampingi Dirga.
"Kamu tahu nggak sih kalau ada cewek di sekolah ini yang lagi naksir berat sama kamu?" ujar Sasha. Matanya melirik ke arah Citra yang menatap mereka.
"Suka sama aku? Siapa?" Dirga bertanya kepada Sasha dengan dahi terlipat.
Sasha melepaskan genggaman tangannya dari lengan pemuda itu. Dia kemudian berjalan ke arah Citra dan memegang pundak gadis itu.
"Cewek culun ini lho yang suka sama kamu Sayang. Dia bahkan sampai ngirimin kamu surat. Untung aja ketahuan sama aku," ucap Sasha.
Dirga mengerutkan keningnya. Dia menatap gadis di depannya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Dia ini lho yang nekat ngirim puisi cinta untuk kamu. Untung aja ketahuan sama aku," ucap Sasha lagi.
Dirga tertawa mengejek saat mendengar cerita dari mulut Sasha.
"Cewek kayak gini? Cewek dekil, kumal, item kayak gini yang suka sama aku?" ejek Dirga.
Dirga mendecih setelah mengatakan kalimat bernada ejekan itu pada Citra.
"Ngaca dulu dong. Siapa lu? Cewek yang mendekati gue itu minimal harus cantik. Putih dan bersih. Bukan kayak m****t begini," sentaknya.
Citra hanya mampu menundukkan kepalanya. Dia tak berani mengangkat wajahnya barang sebentar saja.
Sasha tersenyum mengejek saat mendengar kekasihnya itu menghina Citra di depan seluruh anggota basket.
Tanpa terasa air mata Citra menetes tak tertahankan. Hatinya terasa perih mendengar kalimat bernada mengejek itu keluar dari mulut pemuda yang selama ini menjadi raja dalam hatinya.
"Heh! cewek m****t. Mending lo beli kaca deh. Biar tahu seberapa jeleknya muka lu. Biar lu sadar diri sebelum mendekati cowok," hinanya lagi.
Dirga hendak melancarkan kalimat hinaannya saat salah seorang rekan setimnya mencoba menyela perkataannya.
"Udah Dir. Kasihan dia. Dia udah malu banget itu. Jangan sampai dia nggak mau sekolah karena ketahuan suka sama elu?" ujar Azwan, rekan setim Dirga.
Dirga tersenyum mengejek. "Biarin aja dia malu. Sekalian dia keluar dari sekolah ini. Biar mata gue nggak sakit karena lihat dia yang sok manis dan senyum-senyum sendiri," ejeknya lagi.
"Dirga," panggil Azwan.
"Udah dong. Jangan keterlaluan. Udah cukup lo ngehina dia. Kasihan tahu nggak," kata Azwan.
"Iya Dir. Lo nggak kasihan apa sama dia?" sahut temannya yang lain.
"Iya Dir. Kasihan tahu nggak. Udah wajahnya hancur masa sih lo mau menghancurkan mentalnya juga," sambung yang lain.
Citra tak kuat lagi menahan ejekan demi ejekan yang mereka keluarkan. Dia akhirnya berlari sekuat tenaga menuju pintu gerbang sekolah.
Suara tawa membahana saat melihat Citra berlari pergi dari hadapan mereka semua.
"Yah topeng m****t nya kabur," sahut salah seorang teman Dirga.
"Padahal mau ikutan nonton," timpal yang lain.
Semua anak cowok itu tertawa terbahak-bahak. Kecuali Azwan. Ya! Azwan tak ikut tertawa bersama mereka. Dia justru merasa kasihan pada Citra.
"Tuh cewek pasti malu banget deh. Keterlaluan si Dirga. Dia pasti menyesal nanti udah menghina cewek itu," gumam Azwan dalam hati.
Azwan bertekad untuk meminta maaf pada Citra esok hari. Dia tak sampai hati melihat Citra dipermalukan sedemikian rupa oleh Dirga. Dia tak tega melihat Citra yang tampak sangat malu dan terhina karena ulah Dirga.
Citra berjalan menuju ruang kelasnya dengan langkah gontai. Tas punggung lusuh yang selalu menemaninya ke sekolah tergantung di pundaknya.
"Hai," sapa seorang pemuda pada Citra.
Pemuda itu tersenyum manis ke arah Citra. Sedangkan Citra hanya menautkan kedua alisnya.
Citra menghentikan langkahnya. Dia menatap wajah pemuda di depannya itu.
"Baru datang ya?" tanya pemuda itu tanpa memperhatikan ekspresi wajah Citra yang heran dan kebingungan.
"Kenapa?" Pemuda itu bertanya lagi saat melihat Citra menatapnya dengan lekat.
Citra hanya menggelengkan kepalanya tanpa bersuara.
"Kenalin, aku Azwan. Teman setim Dirga." Azwan memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya kepada Citra.
Citra menatap tangan pemuda itu dan beralih menatap wajah pemuda tampan itu.
"Citra." Gadis itu menjawab pendek ucapan Azwan.
Azwan mengangguk dan tersenyum. "Kamu baru datang ya?" Azwan mengulangi pertanyaannya tadi.
Citra hanya menganggukkan kepalanya. Dia kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas.
"Hei tunggu," kata Azwan. Dia mengejar langkah Citra yang semakin menjauh.
Citra menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menatap sekilas pada Azwan. Kemudian tanpa menjawab, dia melanjutkan langkahnya kembali.
"Citra, tunggu," kata Azwan lagi.
Kali ini gadis itu berhenti dan menatap wajah pemuda tampan itu dengan lekat.
Azwan tersenyum melihat saat Citra menatap ke arahnya.
"Aku minta maaf soal kemarin," ucap Azwan.
Citra mengernyitkan keningnya. Dia merasa heran dengan ucapan pemuda itu. Citra merasa Azwan tak pernah berbuat salah padanya. Jangankan berbuat salah, kenal saja enggak. Begitu pikir Citra.
"Soal apa?" Akhirnya keluar juga suara dari mulut Citra.
"Soal kemarin. Yang kamu dipermalukan oleh Dirga dan teman-temanku yang lain," lirih Azwan.
Citra terdiam mendengar ungkapan permintaan Azwan. Sedetik kemudian, gadis itu menghela napas panjang.
"Enggak apa-apa. Enggak masalah buat aku. Udah biasa aku digituin sama mereka," jawab Citra.
Azwan menatap Citra dengan heran. Dia merasa aneh saja saat gadis itu mengatakan tak apa-apa dan sudah terbiasa mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya.
"Kamu yakin?" tanya Azwan. Dia bukannya tak percaya pada pendengarannya. Tapi dia hanya ingin meyakinkan saja apa yang didengarnya adalah benar.
Citra tersenyum mendengar pertanyaan Azwan.
"Aku udah biasa dapat bullying dan body shaming kayak gitu. Jadi aku udah ngerasa biasa aja," ucap Citra.
Padahal tanpa seorang pun tahu. Citra sering kali menangis dalam kesendiriannya. Dia merasa putus asa dan merasa kecil hati. Dia merasa tak percaya diri saat harus berbaur dengan lingkungannya. Hal itu membuatnya semakin tenggelam dalam kesendiriannya.
"Kamu beneran nggak apa-apa Citra?" Azwan bertanya untuk memastikan lagi. Dia tak ingin gadis lugu seperti Citra mengalami trauma dan merasa direndahkan.
"Beneran. Buktinya aku masih bisa berdiri dan masih bisa bernapas kan?" ujarnya.
Azwan menarik napas lega. Dia tak merasa takut atau merasa bersalah lagi pada gadis itu. Walaupun dia tak yakin dengan semua ucapan Citra. Tapi dia merasa lega karena Citra terlihat baik-baik saja.
"Aku minta maaf atas nama teman-temanku dan Dirga. Aku merasa bersalah karena mereka merendahkan kamu dan mempermalukan kamu di depan umum seperti kemarin," ungkap Azwan.
Citra menarik napas dan menghembuskan perlahan. Kemudian dia tersenyum tipis.
"Enggak apa-apa. Aku udah maafin kalian. Dan anggap aja kejadian kemarin nggak pernah terjadi," jawab Citra.
"Wow enak banget ya kalau ngomong," sahut seseorang.
Kedua muda mudi itu menoleh ke asal suara. Mereka sedikit terkejut saat melihat siapa yang datang.
"Enak banget lo ngomong kayak gitu? Lo pikir bisa seenaknya aja ngelupain hal memalukan kemarin," kata orang itu.
"Lo udah bikin gue malu di depan teman-teman gue. Elo udah mencoreng reputasi gue," ucapnya lagi.
Matanya menyorot tajam ke arah Citra. Gadis itu hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap orang itu.
"Lo juga Wan. Ngapain sih lo pakai minta maaf segala. Lo suka sama cewek udik dan j***k ini?" ujarnya. Tangannya menunjuk tepat ke arah Citra.
"Dia punya nama Dir. Namanya Citra. Dan asal lo tahu aja. Dia dengan lapang dada mau maafin semua perbuatan lo ke dia," balas Azwan.
Pemuda itu tak suka jika ada ketidak adilan yang terjadi di depan matanya. Dia tak peduli jika harus berdebat dengan orang yang melakukan tindakan tidak adil seperti sekarang ini.
Dirga tersenyum miring saat mendengar ucapan Azwan. Dalam otaknya tersusun rencana yang akan ia gunakan untuk menjatuhkan Azwan.
"Lo udah bosan ya berada di tim basket?" tanya Dirga.
"Maksud Lo?" Azwan balik bertanya karena tak mengerti arah pembicaraan Dirga.
"Elo udah bosan main basket di tim sekolah? Lo mau dikeluarin dari tim karena masalah cewek udik ini?" ujar Dirga.
"Maksud lo apa sih Dir? Kenapa lo bawa-bawa tim basket sih?" tanya Azwan. Dia mencoba tetap tenang dan sabar. Dia tak ingin terpancing emosi hanya karena ucapan Dirga yang terdengar memprovokasi.
"Elo mau dikeluarin dari tim karena ngebelain cewek ini? Cewek j***k yang nggak jelas asal usulnya. Cewek yang bapaknya cuman kuli bangunan dan ibunya p*****r," ejek Dirga.
Citra mendongakkan kepalanya saat mendengar kedua orang tuanya di hina oleh Dirga. Dia menatap nyalang ke arah pemuda yang sempat menjadi penyemangat hidupnya itu.
"Kenapa? Lo nggak terima gue ngomong barusan?" tanya Dirga.
Tanpa berkata apapun. Citra maju selangkah ke hadapan Dirga. Dan tanpa banyak bicara tangannya melayang menampar keras pipi Dirga.
"Kamu boleh hina aku sesuka kamu. Kamu boleh ngatain aku apapun yang kamu mau. Aku nggak peduli. Tapi jangan pernah menghina orang tuaku. Terutama ibuku," tegas Citra.
Azwan yang melihat kejadian itu hanya bisa melongo tak percaya. Dia tak menyangka jika gadis selembut Citra bisa mengeluarkan amarah yang luar biasa.
Dirga mengelus pipinya yang panas karena tamparan Citra. Dia menatap Citra dengan penuh kebencian. Dia merasa tak terima diperlakukan demikian oleh orang yang dianggapnya lemah dan tak berdaya.
"Lo akan bayar perlakuan lo ke gue hari ini. Gue akan bikin perhitungan sama Lo," ancam Dirga.
Citra tersenyum miring mendengar ancaman Dirga. Dia sama sekali tak menampakkan raut ketakutan di wajahnya.
"Tenang aja Cit. Enggak usah takut. Ada aku yang akan belain dan bantuin kamu. Ya nggak Wan?" sahut Arga, teman setim Dirga.
Dirga melotot tajam ke arah Arga dan Azwan. "Kalian berdua apa-apaan sih? Kalian udah bosan ya ada di tim basket sekolah?" tanya Dirga dengan marah.
"Udah dari dulu gue pengin keluar dari tim. Udah dari lama gue ngerasa kalau lo berubah semenjak menjabat ketua basket," ucap Arga.
Dirga menatap tajam ke arah tekan setimnya itu. Sedari awal Dirga memang tak pernah suka dengan kedua rekannya itu. Dia merasa teman-temannya selalu membandingkan dirinya dengan Azwan ataupun Arga.
"Kalian berdua akan menyesal karena udah belain cewek s****n ini," ucapnya.
Arga hendak maju untuk menghajar Dirga. Tapi Azwan dengan cepat mencegahnya.
"Mulai hari ini kalian bukan anggota tim basket lagi. Kalian gue keluarin dari tim," ucap Dirga dengan nada marah.
Azwan dan Arga kompak tersenyum mendengar kalimat yang terucap dari bibir Dirga. Mereka tak perlu repot-repot lagi untuk mencari alasan agar bisa keluar dari tim. Karena tanpa di duga Dirga mengeluarkan mereka dari tim saat ini juga.
*****
Siang ini Citra menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan sekolah. Dia tak pergi ke kantin walau Anne dan Shintya mengajaknya.
"Makasih deh. Aku mau ke perpus aja. Ada yang mau aku kerjakan di sana," tolak Citra saat kedua sahabatnya mengajaknya ke kantin.
"Ya udah deh kalau kamu nggak mau. Tapi beneran kan kamu nggak sakit?" tanya Anne memastikan.
"Bukan karena kejadian kemarin kan Cit?" Kali ini Shintya yang bertanya pada Citra.
Citra menggelengkan kepalanya. Dia memang tak bercerita banyak pada kedua sahabatnya itu. Dia tak ingin membuat kedua sahabatnya itu merasa terbebani dengan masalahnya.
Sekarang Citra berada di perpustakaan. Di depannya telah ada beberapa buku dan sebuah buku catatan juga pena. Dia tampak sibuk menulis sesuatu di buku catatan miliknya.
"Hai sendirian aja?" tegur Azwan. Senyum manis terkembang di wajahnya yang tampan dan rupawan.
Citra hanya tersenyum membalas teguran Azwan. Kemudian dia melanjutkan kembali aktivitasnya.
"Lagi nulis apa sih? Boleh aku lihat?" ucap Azwan.
Citra menghentikan aksi menulisnya. Dia menatap Azwan dengan pandangan ragu dan tak percaya.
"Kalau nggak boleh enggak apa-apa sih?" ujar Azwan lagi.
Tanpa banyak bicara, Citra menyodorkan bulu catatan miliknya kepada Azwan. Azwan menerima buku itu dengan senang hati.
Azwan membaca apa yang ditulis oleh Citra di bukunya. Sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya.
"Kamu suka nulis puisi ya Cit?" tanya Azwan setelah dia selesai membaca tulisan Citra.
Citra tersenyum malu-malu saat mendengar pertanyaan Azwan.
"Iseng aja kok. Itu juga karena aku nggak sengaja bikin pas ada tugas bahasa Indonesia kemarin," jawab Citra.
Azwan manggut-manggut mendengar jawaban Citra. Sebuah ide brilian muncul begitu saja di kepalanya.
"Eh Citra. Mau ikutan lomba nggak?" ujar Azwan.
"Lomba apaan?" tanya Citra.
"Lomba cipta puisi. Aku yakin puisi kamu pasti keluar sebagai juaranya," jawab Azwan.
Citra tampak ragu. Dia merasa kurang percaya diri untuk mengikuti lomba semacam itu. Karena menurutnya, puisi nyatanya masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak yang harus diperbaiki lagi.
"Aku malu Wan. Aku nggak PD kalau ikut-ikutan lomba kayak gitu," ucap Citra ragu-ragu.
"Kenapa nggak PD? Puisi kamu bagus lho. Aku aja baper baca puisi kamu. Eh tapi puisi kamu itu buat siapa sih? Bukan buat aku kan?" Azwan nyerocos saja seperti kereta api listrik.
Citra hanya tersenyum mendengar ucapan Azwan. Dalam hati, dia ingin jujur pada Azwan. Tapi dia takut jika teringat perlakuan Dirga padanya kemarin.
"Cit," panggil Azwan.
"Kamu mau kan ikutan lomba cipta puisi?" Azwan berharap jika Citra mau menerima tawarannya. Dengan begitu dia bisa lebih dekat lagi dengan gadis yang menurutnya sangat unik ini.
"Gimana ya Wan? Aku nggak PD aja gitu ikutan lomba. Aku malu Wan. Soalnya...."
"Udah deh. Aku yakin kok puisi kamu berhasil menang. Soalnya puisi kamu itu bagus dan keren. Pilihan kata-katanya juga bagus banget," ucap Azwan. Dia mencoba memberikan semangat dan memompa rasa percaya diri gadis itu.
"Gimana Cit? Kamu mau kan ikutan lomba itu?"
Dari hari ke hari, Azwan dan Citra semakin dekat saja. Itu sudah cukup menimbulkan gosip yang membuat Anne dan Shintya merasa gerah. Mereka berdua tak suka saat sahabat baik mereka digosipkan yang bukan-bukan oleh penghuni sekolah itu.
"Duh gue gemes banget deh Shin. Mereka maunya apa sih? Padahal Citra nggak pernah sekalipun menyenggol mereka. Jangankan nyenggol, mau tahu urusan mereka aja enggak. Tapi kenapa mereka seolah pengin tahu aja urusan Citra," geram Anne.
Shintya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar omelan Anne. Gadis manis itu juga merasa heran dengan penghuni sekolah itu. Kenapa mereka seolah menjadi hakim atas apa yang dilakukan oleh Citra. Apapun yang dilakukan oleh Citra selalu salah di mata mereka. Bahkan mungkin saat Citra bernapas pun juga salah.
"Eh lihat tuh si culun?" ujar seorang gadis yang duduk di bangku di sebelah Anne dan Shintya.
"Pakai pelet apa sih dia? Sampai-sampai Azwan nempel banget sama dia?" ujarnya lagi.
"Iya ya. Cowok sekeren Azwan sampai rela keluar dari tim basket demi belain cewek kayak gitu," timpal gadis yang satu lagi.
Anne yang mendengar itu menjadi panas. Dia merasa tak terima sahabat baiknya dihina seperti itu.
"Sabar An. Sabar. Jangan kepancing emosi. Karena itu yang mereka harapkan." Shintya mencoba menenangkan Anne yang sudah terbakar emosi.
"Gue nggak bisa sabar lagi Shin. Mereka keterlaluan. Mereka nggak bisa ngejudge orang lain kayak gitu. Apalagi orang selugu Citra," sahut Anne. Wajahnya memerah karena menahan marah.
"Sabar An. Lo nggak mau kan nama Citra semakin jelek di mata mereka?" ujar Shintya.
"Kalau lo nyamperin mereka dan ngelabrak mereka sekarang. Itu sama aja lo bikin nama Citra semakin jelek di mata para pembencinya." Shintya berkata sembari menatap mata Anne dengan lekat.
Anne terdiam mendengar ucapan Shintya. Ucapan Shintya memang ada benarnya. Jika dirinya melabrak para gadis bermulut pedas itu sekarang, itu sama saja dirinya mengumpankan Citra ke sarang buaya kelaparan.
"Tapi gue ngerasa kasihan Shin sama Citra. Dia itu lugu banget. Mana pendiem lagi. Dia nggak pernah berani ngelawan mereka yang bully dia," ucap Anne. Wajahnya menunjukkan rasa kasihan dan juga rasa iba yang mendalam.
"Iya gue ngerti perasaan Lo. Tapi coba deh lo pikir. Kalau lo melabrak para pembenci itu sekarang, mereka pasti nggak akan tinggal diam. Mereka pasti bakalan semakin membenci Citra. Mereka pasti akan melakukan segala cara untuk bisa nyakitin Citra."
Anne terdiam mendengar ucapan Shintya. Dia jadi berpikir ulang untuk melakukan hal-hal yang mungkin bisa merugikan dirinya sendiri dan juga Citra.
Sementara itu, Azwan dan Citra sedang duduk berdua di gazebo di taman sekolah. Azwan menemani Citra yang menulis puisi untuk lomba.
Wajah Citra tampak sangat serius. Sampai-sampai kedua alisnya bertaut sempurna. Azwan memperhatikan wajah itu dengan senyuman yang sulit diartikan. Dia merasakan sesuatu saat melihat wajah Citra yang tampak serius itu.
"Kamu cantik juga ya Cit. Manis. Apalagi saat serius begini. Semakin terlihat kecantikan kamu," ucap Azwan dalam hati. Matanya tak lepas dari wajah gadis di depannya itu.
"Kayak gini bagus nggak Wan?" tanya Citra. Dia menyodorkan buku catatannya pada Azwan.
Azwan tak menghiraukan itu. Dia masih fokus menatap wajah Citra.
"Wan," panggil Citra.
"Azwan," panggil Citra sekali lagi.
"Eh iya. Kenapa Cit?" tanya Azwan. Suaranya sedikit bergetar karena gugup.
Citra menatap Azwan dengan heran. Sedetik kemudian dia tersenyum. Membuat Azwan semakin melayang dibuatnya.
"Ini bagus nggak?" Citra kembali mengulangi pertanyaannya sembari menyodorkan bukunya.
Azwan menerima buku itu dan membaca puisi yang baru saja dibuat oleh Citra. Azwan membaca puisi itu dengan saksama. Pemuda itu tampak mengulas senyum tipis saat membaca puisi itu. Wajahnya juga bersemu merah saat membaca puisi cinta Citra.
"Seandainya puisi ini buat gue. Gue pasti senang banget. Tapi... Ah enggak mungkin lah. Pasti puisi ini buat Dirga," ucap Azwan dalam hati.
"Gimana Wan? Bagus nggak? Apa ada yang perlu diperbaiki lagi?" tanya Citra.
"Eh... em... puisinya bagus banget. Keren. Aku aja sampai baper bacanya," jawab Azwan.
Citra mengulas senyum manisnya. Dia mengucapkan terimakasih pada pemuda itu.
"Kalau boleh tahu puisi itu buat siapa Cit?" Azwan bertanya sembari menatap Citra lekat-lekat. Dia berharap jika puisi itu adalah untuknya. Tapi sudut hatinya yang lain tak berani berharap demikian. Karena dia tahu Citra sangat menyukai Dirga. Cowok yang sudah membuatnya malu dan terhina.
Citra menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Azwan.
Citra menatap bunga-bunga yang tumbuh di taman itu. Matanya memperhatikan kupu-kupu yang terbang kesana kemari dan hinggap diantara bunga-bunga.
"Puisi itu buat seseorang yang selalu ada di hati aku. Walaupun dia nggak pernah tahu perasaan aku dan nggak pernah membalas rasa yang ada di hati aku. Aku selalu menjaga cinta itu terus tumbuh." Citra menjawab pertanyaan Azwan tanpa menatap wajah Azwan. Dia masih fokus menatap bunga-bunga yang bermekaran indah.
"Buat Dirga ya?" ujar Azwan tiba-tiba.
Citra menoleh ke arah Azwan. Dia menatap wajah pemuda itu lekat-lekat.
"Puisi itu buat Dirga kan?" ulangnya. Ada sudut yang perih saat dia mengatakan hal itu.
Citra menatap Azwan dengan pandangan yang sulit diartikan. Tapi sejurus kemudian, gadis itu menganggukkan kepalanya.
Azwan memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tak lagi menatap wajah Citra. Hatinya terasa sedikit sakit saat mengetahui fakta bahwa Citra masih menyimpan rasa cinta untuk Dirga.
*****
Hari telah berganti senja. Langit cerah mulai berubah menjadi jingga. Burung-burung dan juga hewan-hewan mulai kembali ke sarangnya masing-masing.
"Diminum dulu Wan," tawar Arga.
Azwan hanya tersenyum tipis untuk menjawab tawaran Arga.
"Citra emang unik Wan. Dari kecil dia selalu menyendiri. Dia lebih nyaman saat berada di tempat sepi daripada harus berkumpul di keramaian," kisah Arga.
Pemuda itu tampak menatap langit yang perlahan berubah gelap. Bintang-bintang tampak mulai menampakkan dirinya. Sang rembulan pun mulai malu-malu saat menampakkan sinarnya di langit.
"Elo tahu banyak ya tentang Citra?" ujar Azwan.
Arga tertawa mendengar ucapan Azwan. Dia menatap wajah sang sahabat dengan heran sekaligus penasaran.
"Kenapa? Elo nggak cemburu kan kalau gue tahu banyak tentang dia?" Arga bertanya dengan nada bercanda.
"Cemburu? Buat apa? Dia bukan siapa-siapa gue kan?" sahut Azwan.
Jangan-jangan elo kali Ga yang cemburu gue dekat sama Citra?" tuduh Azwan.
Wajah Arga seketika berubah. Wajahnya merona merah saat Azwan menggodanya.
"Eh enggak. Siapa yang cemburu? Gue biasa aja tuh," sahut Arga.
Azwan tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia tahu jika sang sahabat telah lama memperhatikan Citra. Tapi dia tak ada keberanian untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
"Gue tahu Ga. Elo udah lama naksir Citra. Gue tahu elo diam-diam suka perhatiin dia," ucap Azwan.
Wajah Arga memerah sempurna mendengar ucapan sahabat baiknya itu. Dia tak menyangka jika sang sahabat mengetahui sesuatu yang coba ia tutup-tutupi.
"Gue nggak munafik Ga. Gue juga suka sama Citra. Cantiknya tuh cewek beda dari yang lain. Cantiknya dia itu benar-benar alami dan datang dari dalam dirinya." Azwan mengungkapkan pujiannya sembari menatap langit malam yang bertabur bintang.
"Emang. Dia itu cantik dan manis. Enggak bosan kalau lihatin dia. Tapi yang gue nggak suka dari dia. Dia terlalu baik sama orang. Dia terlalu percaya jika suatu saat orang yang jahat atau nyakitin dia bakalan sadar." Arga membenarkan ucapan sahabatnya itu.
"Dirga b**o banget dah nolak cewek kayak Citra. Selain pintar, dia juga jago banget bikin puisi," ucap Azwan.
"Oh iya? Kok gue baru tahu ya," ujar Arga. Dia tampak terkejut mendengar ucapan. Azwan. Dia sama sekali tak mengetahui jika Citra jago menulis puisi.
"Iya. Gue yang ngasih saran buat dia supaya ikutan lomba cipta puisi. Gue juga yang mendaftarkan puisi buatan dia ke website."
"Gue yakin banget. Puisi Citra bakalan menang." Azwan berkata dengan penuh keyakinan.
"Yakin banget Lo? Emang sebagus apa sih?" tanya Arga.
Azwan menoleh ke arah sahabatnya itu. Dia menatap mata sang sahabat dengan pandangan penuh tanya.
"Sebagus apa sih puisi yang ditulis Citra? Jadi penasaran gue," ujar Arga.
"Elo baca aja entar di buku kumpulan puisi. Soalnya semua puisi peserta lomba bakalan dibukukan," sahut Azwan.
"Elo suka banget ya sama Citra Wan?" tanya Arga tiba-tiba. Pemuda itu merasa sedikit khawatir. Dia takut jika sang sahabat juga menyukai gadis yang disukainya.
Azwan tak lantas menjawab pertanyaan Arga. Pemuda itu tampak menatap langit malam yang semakin gelap. Perasaannya tak menentu. Dia tak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Dia merasa nyaman sekali saat berada di dekat gadis itu. Tapi di sisi lain, dia juga merasakan ketakutan. Entah apa yang membuatnya takut.
Tak hanya Azwan yang merasa bimbang. Citra pun juga merasakan hal yang sama. Dia juga merasa nyaman saat berada di dekat Azwan. Tapi dia juga tak bisa begitu saja menghapus jejak bayang-bayang Dirga dalam hatinya.
"Terus sekarang perasaan kamu ke dia gimana?" Seorang gadis bermata indah bertanya pada Citra yang tengah duduk di bangku di dekatnya.
Citra menghela napas panjang. Dia bingung harus bagaimana sekarang.
"Aku nggak tahu Mbak Wit. Aku bingung," jawab Citra.
Gadis bernama Wiwit itu menepuk pelan bahu Citra. Kemudian dia tersenyum ke arahnya.
"Apa yang membuat kamu bingung? Apa dia juga mendekati gadis lain selain kamu?"
Citra menggelengkan kepalanya perlahan.
"Lalu?" sambung Wiwit.
Lagi-lagi Citra menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
"Aku nggak tahu Mbak. Masih ngerasa takut aja kalau dekat sama cowok. Kayak nggak PD aja aku Mbak." Citra menjawab pertanyaan sang kakak dengan tatapan sendu.
"Coba deh buka hati kamu untuk yang lain. Jangan terus menerus menunggu yang tak pasti. Kamu harus bisa membuka hati kamu untuk orang lain," saran Wiwit.
"Jangan kamu pasung hati kamu untuk mencintai seseorang yang sama sekali tak mencintai kamu," imbuhnya.
Citra terdiam mendengar ucapan kakaknya itu. Dia meresapi setiap kata yang keluar dari mulut sang kakak dan mencoba memasukkannya ke dalam hati.
"Masuk yuk. Udah malam. Besok harus sekolah kan," ajak Wiwit.
Citra tersenyum ke arah sang kakak. Kemudian dia mengikuti langkah sang kakak masuk ke dalam rumahnya.
"Ingat Cit. Buka hati kamu. Jangan pasung hati kamu. Biarkan hati kamu memilih siapa yang layak ada di dalamnya," ucap Wiwit sebelum Citra masuk ke dalam kamarnya.
"Kamu udah dewasa. Udah bisa memilih yang terbaik untuk hati kamu," ucapnya lagi.
"Apapun pilihan kamu. Mbak Wiwit dan Mas Tegar akan selalu dukung kamu," lanjutnya.
Citra mengucapkan banyak terimakasih pada kakaknya itu. Dia merasa bersyukur karena sang kakak mau mendengarkan semua curahan hatinya.
Sekarang yang harus dia lakukan adalah membuka kembali hatinya. Membebaskan hatinya memilih untuk siapa dia akan berlabuh. Azwan atau Arga?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!