Lebaran kurang satu Minggu lagi, menatap isi di dalam dompet usang milikku rasanya begitu perih.
Dua puluh lima ribu, lima lembar uang pecahan lima ribuan yang mengisi dompet warna hitam yang aku beli dari empat tahun lalu.
Shanum adalah nama putriku satu satunya, dia anak yang pintar dan juga tidak pernah menyusahkan. Shanum tergolong anak yang cukup pendiam dan lebih suka menghabiskan waktu didalam rumah saja.
Aku sangat beruntung memiliki anak sebaik Shanum di dalam kondisiku yang serba kekurangan.
Tadi siang, anakku itu bertanya tentang baju baru.
Seketika dadaku mendadak sesak, jangan kan baju baru, buat bayar angsuran arisan pun aku masih belum punya.
Lebaran kali ini, sungguh luar biasa ujian yang harus aku jalani.
"Iya, nak!
Doakan ibu ya, besok dapat arisan. Biar bisa beli baju baru buat Shanum, Aamiin!" jawabku sambil terus beristigfar agar rasa sesak ini berkurang.
"Aamiin, aku doakan ibuk nanti dapat arisan.
Shanum pingin beli baju gamis warna hitam. Dan kue lebaran yang ada kejunya itu loh, buk!
Yang kayak mamanya Kako beli. Enak banget kuenya, Shanum pingin makan kue kayak itu." ucap anakku panjang lebar, sambil membayangkan kue nastar yang memang jadi kue favorit nya sejak dulu.
"Iya, nak. Bismillah sayang, semoga ada rejeki ya." sahutku lemah sambil menahan agar air mata ini tidak berjatuhan.
Sudah hampir seminggu aku terus menangis karena dilanda takut, cemas dan bingung akan hutang yang menumpuk, dan sebelum lebaran harus dilunasi. Ya Alloh!
Kembali aku pandangi uang yang tak seberapa itu dengan hati perih. Berharap ada keajaiban akan rejeki tak terduga.
Saat pikiran ini melayang dan terasa kepala hampir mau pecah.
Ponselku berbunyi, ada pesan masuk di aplikasi hijauku.
"Mbak, besok hari terakhir pelunasan ya, karena uangnya harus dibagikan lusa. Aku tunggu, sampai besok sore, harus sudah beres!" isi pesan yang dikirim Bu Desi, orang yang bertugas sebagai bendahara di arisan PKK ibu ibu komplek tempatku tinggal.
"Injih, mbak!
Besok akan aku antarkan uangnya!" balasku singkat. Entah bagaimana bisa aku membalas seperti itu, sedangkan aku sama sekali tidak tau darimana aku mendapatkan uang sebanyak dua juta dalam waktu semalam. "Astagfirullah, kenapa hidupku harus sesulit ini?" batinku menjerit perih.
Tiba tiba bayangan mas Danang hadir di benakku.
Panas menjalar ke sekujur tubuh, amarah terasa meluap bila mengingat nama laki laki itu.
Laki laki yang masih sah sebagai suamiku itu, samasekali tidak pernah perduli dengan nasib istri dan anaknya lagi.
Dia sudah menikah lagi dengan wanita di perantauan tempatnya bekerja.
Seorang janda yang punya anak satu, dan sekarang sudah punya anak lagi bersama suamiku.
"Semoga karma itu nyata, dan kalian orang orang yang sudah dzalim padaku dan juga anakku akan mendapatkan balasan yang jauh lebih sakit dari yang kami alami." doaku dalam sela Isak tangis yang menderas.
Pikiran buntu, kepala berdenyut nyeri, pusing mendera begitu hebatnya.
Bibir tak henti terus beristigfar, berdoa apapun untuk mengharap pertolongan dariNYA.
Tak terasa mata ini pun terpejam, mungkin karena lelah menangis.
"Buk, bangun!
Sudah jam lima, ibuk gak sholat?" tubuhku digoncang pelan oleh anak gadisku. Ternyata sudah subuh. "Ya Alloh, bagaimana ini." batinku kembali cemas, bahkan tubuh ini gemetar karena kembali teringat hutang yang harus lunas hari ini, Sedang di dompet tinggal dua puluh lima ribu saja.
"Buk, kenapa?
Ibuk sakit?" kembali suara anakku menyadarkan diri ini dari lamunan.
"Ibuk gak papa, nduk!
Cuma kayak masih ngantuk saja.
Yasudah ibuk mau mandi dan wudhu dulu.
Kamu sudah sholat?" jawabku menyembunyikan perasaan hancur di dadaku saat ini.
"Shanum sudah sholat dari tadi, Shanum juga sudah nyapu dan cuci piring, ibuk kayaknya lagi capek banget, Shanum gak berani bangunin ibuk. Kan ibuk lagi nyenyak tidurnya, kayak capek banget." jawab gadis cantikku yang sudah bisa bersikap dewasa di usia tiga belas tahun.
"Ya Alloh, maafin ibuk ya nduk?
Ibuk sampai lupa gak siapin makan sahur buat kamu. Tadi Shanum sahur sama apa?" tanyaku dengan rasa menyesal dan bersalah karena sudah lalai pada anak gadisku.
"Gak papa kok, buk!
Shanum bikin mie goreng sama teh hangat tadi.
Lagian ibuk juga harus istirahat. Shanum sudah besar, insyaallah bisa nyiapin sendiri." sahut anak gadisku dengan bangganya.
Aku sangat bersyukur memiliki anak seperti Shanum, selain cantik, dia juga sangat dewasa dan rajin.
"Maafin ibuk ya, nak!
Harusnya kamu gak sahur sama mie instan, ibuk sudah lalai. Maaf!" lirihku yang tersayat mendengar penuturan putri kesayanganku itu.
"Ibuk ini kayak apa aja, insyaallah Shanum gak papa, dan juga Shanum insyaallah kuat puasanya.
Ibuk buruan mandi, keburu siang loh, nanti waktu subuhnya habis." jawab putriku yang sekali lagi mengingatkan aku agar segera menjalankan kewajiban dua rakaat.
"Ya Alloh, astagfirullah.
Yasudah ibuk mau mandi dulu ya!" aku buru buru masuk ke kamar mandi dan segera membersihkan diri, mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh, diteruskan dengan dzikir panjang serta memasrahkan segala beban yang sedang menghimpit jiwa dan pikiran.
Melebur dalam keheningan bersama doa doa penuh harapan terus dipanjatkan, berharap menemukan jalan untuk masalah yang kini sedang ku hadapi.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu di atas sajadah, sedikit ada rasa tentram meskipun pikiran ini terus berkelana memikirkan hutang yang harus segera di lunasi.
Tak sengaja, mata ini menyorot laptop usang milikku sewaktu masih kerja dulu, masih bagus karena memang jarang sekali digunakan.
"Apa aku harus menjualnya?"
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ On going ]
#Bidadari Salju [ On going ]
#Wanita Sebatang Kara { New karya }
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
Tak sengaja, mata ini menyorot laptop usang milikku sewaktu masih kerja dulu, masih bagus karena memang jarang sekali digunakan.
"Apa aku harus menjualnya?"
Seketika ide muncul di benak ini, aku mulai memfoto laptop milikku, dari arah depan, belakang, samping dengan sebaik mungkin. Lalu memposting nya di sosial media dengan sedikit kata kata ala marketing.
"Dijual murah, barang masih mulus dan mening.
Bisa langsung cek kerumah!" klik aku langsung meng-upload dan beberapa saat kemudian ada salah satu teman yang merespon dan katanya minat, dia janji akan datang kerumah nanti siang.
Rasanya hati sedikit lega, aku mulai menghitung kekurangan yang harus di cari jika nanti laptopnya laku, masih kurang tujuh ratus lagi.
Kembali aku berusaha mengingat ingat siapa saja yang masih punya tanggungan hutang padaku, ya aku ingat, Arip, teman dan juga tetanggaku masih punya hutang padaku sebesar satu juta dua ratus, dia sangat sulit di tagih, sudah hampir enam bulan hanya janji janji saja, tapi tak kunjung di bayar.
Aku mengirim pesan menagih uangku sama Arip tapi tak kunjung di buka, bahkan aku telpon pun tak juga diangkat, padahal dia sedang online, gayanya saja kayak orang kaya, tapi bayar hutang sulitnya minta ampun, tidak tau malu. Entahlah aku jadi membenci temanku itu, dia tega denganku yang bahkan hidupnya saja pas pasan.
Pikiranku terus saja memutar, bingung bagaimana cara mendapatkan uang buat melunasi uang arisan.
Aku memberanikan diri mencari pinjaman pada tetanggaku, Alhamdulillah, mbak Tami tetangga dekatku Sudi memberi pinjaman sebesar lima ratus ribu, Alhamdulillah.
Ponsel di saku ku berdering, tertera nama teman yang tadi berminat ingin membeli laptop milikku.
Dengan segera aku aku mengangkatnya, berharap ada berita baik dan segera mendapatkan uangnya.
"Hallo, asalamualaikum, Bu!" sapaku saat telpon sudah kuangkat.
"Waalaikumsallm, Bu.
Bu, aku minta maaf ya, laptopnya gak jadi, anakku tidak mau katanya, dia mau minta dibelikan hape saja!
Sekali lagi, maaf ya Bu!"
Duaaarr dadaku langsung sesak, apa yang sudah aku harapkan nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan.
"Iya, Bu. Gak papa kok.
Makasih ya Bu, barangkali ada teman Bu Lilis yang berminat!" jawabku lesu, namun sekuat hati aku berusaha tegar dan terlihat baik baik saja, padahal hati ini sudah cemas tidak karuan.
Kembali air mataku menetes deras setelah telpon tertutup.
"Ya Alloh, ujianmu sungguh luar biasa, kuatkan hambaMU ini ya, Robby!" doaku mengiringi Isak tangis yang terus menderas.
Dua juta, baru dapat lima ratus ribu, itupun uang hasil pinjaman dari mbak Tami.
Dari mana aku bisa mendapatkan satu juta lima ratus lagi, aah dadaku sudah teramat sesak, bahkan air mataku tak bisa berhenti, terus mengucur deras bersama pedih dan sakit di dalam hati.
Buntu, benar benar buntu, aku terus beristigfar, memasrahkan semuanya pada pemilik semesta.
Ting, bunyi pesan masuk dari nomor teman satu kantorku dulu, dia mengirimkan bukti transfer sebesar delapan ratus ribu rupiah.
"Ning, hutangku aku bayar ya tujuh ratus lima puluh ribu, aku lebihkan lima puluh buat anakmu, anggep saja amplop lebaran dariku.
Terimakasih banyak sudah membantuku waktu itu, maaf kalau baru bisa mengembalikan sekarang. Sekali lagi terimakasih!" tulis Dono panjang lebar, dulu dia kebingungan dana buat anaknya yang masuk rumah sakit, karena iba aku pun memberikan pinjaman dan sekarang sudah lebih satu tahun, Dono baru mengembalikan di saat waktu yang tepat, saat aku benar benar membutuhkan uang itu. Masyaalloh, terimakasih Tuhan.
"Alhamdulillah, terimakasih Don!" balasku singkat, dan air mataku masih saja terus mengalir, namun hati tak berhenti memuji kebesaran Allah SWT, pertolongannya nyata dan selalu ada disaat diri merasa tak lagi mampu.
Lima ratus ribu ditambah delapan ratus ribu, semuanya jadi satu juta tiga ratus, masih kurang tujuh ratus ribu lagi. Bismillah, semoga ada jalan agar tidak menjadi omongan banyak orang karena tidak bisa mengembalikan uang pinjaman arisan.
"Bund, laptopnya dijual beneran kah?" pesan masuk dari mbak Anis tetanggaku.
Alhamdulillah, aku kembali punya harapan.
"Iya, mbak. Benar!
Murah saja, karena lagi butuh uang banget, dirumah juga gak dipake!" balasku dengan hati berdebar.
"Satu juta lima ratus saja, mbak!
Bisa di cek dulu, kalau cocok Monggo!" balasku semangat dan terus berdoa dalam hati, semoga tetanggaku itu berminat dan membelinya. Agar bisa membayar hutang dan punya uang pegangan untuk lebaran.
"Yasudah, bund!
Habis ini aku kerumah ya, aku lihat dulu barangnya.
Kebetulan lagi butuh laptop lagi buat si bungsu." balas mbak Anis ramah.
Semoga saja ini keberuntunganku, kembali aku melafazkan kalimat kalimat dzikir mengagungkan kebesaran Allah SWT, hati yang sesak terasa damai meskipun ujian begitu pelik. Percaya jika pertolongan Alloh itu dekat, sedekat urat nadi.
Tak berselang lama, mbak Anis benar datang kerumah, wanita ayu itu tersenyum hangat dan langsung aku ajak masuk ke dalam rumah sederhana peninggalan ibuku.
"Ini mbak laptopnya, di cek saja dulu.
Insyaallah masih bagus, sejak tidak lagi ngantor, jarang dipakai lagi, nganggur!" aku menyodorkan laptop milikku ke arah mbak Anis, meskipun dalam hati sebenarnya tidak rela, tapi bagaimana lagi, ini satu satunya yang dipunya, untuk menutupi kebutuhan yang harus dipenuhi.
Dengan teliti mbak Anis mengeceknya, dan Alhamdulillah cocok dan beliau mau membelinya, satu juta lima ratus langsung diberikan, bahkan dilebihkan seratus ribu buat jajan Shanum katanya.
Mbak Anis wanita karir, suaminya juga seorang PNS, kehidupan mereka berkecukupan, namun kekayaan tidak membuat mereka bersikap sombong.
Mata ini sudah berkaca kaca, meskipun sekuat hati menahan agar tidak jatuh, tetap saja air mataku lolos begitu saja membasahi pipiku.
Alhamdulillah, akhirnya masalahku teratasi, jalan yang diberikan Gusti Alloh begitu indah. Nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ On going ]
#Bidadari Salju [ On going ]
#Wanita Sebatang Kara { New karya }
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
Dengan teliti mbak Anis mengeceknya, dan Alhamdulillah cocok dan beliau mau membelinya, satu juta lima ratus langsung diberikan, bahkan dilebihkan seratus ribu buat jajan Shanum katanya.
Mbak Anis wanita karir, suaminya juga seorang PNS, kehidupan mereka berkecukupan, namun kekayaan tidak membuat mereka bersikap sombong.
Mata ini sudah berkaca kaca, meskipun sekuat hati menahan agar tidak jatuh, tetap saja air mataku lolos begitu saja membasahi pipiku.
Alhamdulillah, akhirnya masalahku teratasi, jalan yang diberikan Gusti Alloh begitu indah. Nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan.
"Bund, kok nangis?" mbak Anis menatapku iba, tangannya berlahan menggenggam jemari jemariku.
"Insyaallah pasti ada jalan, apa lagi buat wanita sebaik mbak Ningsih. Alloh itu adil, mbak!" ucap mbak Anis dengan bibir bergetar, mungkin beliau bisa merasakan kepedihan hidup yang aku jalani.
Mbak Anis seringkali melihat perlakuan buruk mas Danang padaku selama ini, dan mbak Anis pula yang sering datang membantu saat aku kesulitan.
"Aamiin, insyaallah mbak!
Aku gak menyangka saja, Alloh memberikan pertolongan-Nya disaat aku sudah pasrah, tidak tau harus bagaimana!" lirihku, air mata yang terus mengalir karena haru dan entah apa yang sedang dirasa, seolah semua campur menjadi satu.
"Mbak Ningsih, kenapa tidak nulis novel saja?
Sekarang nulis novel di aplikasi berbayar itu lumayan loh pendapatannya.
Nanti kalau mbak Ningsih berminat, akan aku ajarkan caranya.
Biar mbak Ningsih tidak bingung lagi cari kerja diluar rumah, kasihan Shanum kalau harus ditinggali." mbak Anis menatapku dalam dengan senyuman hangat terukir di bibir tipisnya.
"Beneran mbak?
Insyaallah aku mau belajar, kalau memang tidak merepotkan mbak Anis." jawabku sungkan, dan lagian aku juga dari dulu memang hobi membaca dan menulis cerita.
"Iya mbak.
Mbak Ningsih tidak usah sungkan, biasa saja. Anggap saja kita ini keluarga." jawabnya ramah, lalu mbak Anis pamitan pulang, karena suaminya sebentar lagi mau pulang.
Uang yang dibutuhkan sudah terkumpul, dan Alhamdulillah masih ada sisa. Setidaknya lebaran kali ini aku masih ada pegangan meskipun hanya beberapa lembar saja.
Aku putuskan untuk segera mandi dan melaksanakan sholat ashar, karena tadi pas dikamar mandi aku lihat sudah bersih, darah mens tidak keluar lagi, Alhamdulillah.
Lalu berniat kerumah Bu Desi untuk menyetorkan uangnya, Alhamdulillah, masalah bisa teratasi berkat pertolongan Allah SWT.
"Buk!" panggil putriku, lalu dia berjalan mendekatiku dengan senyuman manis.
"Iya sayang, ada apa?" tanyaku sambil membelai wajah ayunya. Hatiku selalu teriris tiap kali menatap dalam wajah lugunya, sungguh keterlaluan sekali mas Danang. Disana dia senang senang dan hidup cukup dengan selingkuhannya. Sedangkan Shanum selalu terabaikan dan tak pernah sama sekali dia memperdulikan darah dagingnya.
"Coba ibuk lihat, Shanum bawa apa?" gadisku itu menunjukkan baju gamis warna hitam dan atasan warna ungu juga ada celana warna hitam dan semuanya merk ternama yang berharga ratusan ribu.
"Itu punya siapa, nak?" tanyaku bingung, namun anakku justru tersenyum lebar dengan wajah penuh binar bahagia.
"Ini kiriman dari om Hans, buk!
Barusan ada kurir yang ngantar, dan lihat di dalam saku celananya juga ada uang tiga ratus ribu, katanya amplop lebaran buat Shanum. Ini om Hans juga nulis surat." anakku menyodorkan kertas putih yang berisi tulisan singkat dari mas Hans. Dada rasanya sangat sesak bila mengingat laki laki lembut dan baik hati itu, sayangnya kami tidak berjodoh, hingga memaksaku harus membuang jauh jauh perasaanku padanya.
Tapi entah mengapa, dia selalu saja baik dan sangat perduli pada Shanum.
"Coba, Shanum telpon sama om Hans, bilang terimakasih ya!" aku menatap lembut pada gadisku. "Kamu beruntung, nak!
meskipun ayah kandungmu tak pernah perduli, tapi masih banyak yang perduli dan menyayangi kamu, karena kamu terlahir begitu istimewa dalam kehidupan ibu!" batinku pilu, sekuat tenaga menahan agar air mataku tak jatuh dihadapan putriku.
Shanum langsung melakukan perintahku untuk menelpon mas Hans. Terlihat Shanum mengobrol dengan begitu riangnya.
"Ya Alloh, andaikan itu ayahnya. Shanum pasti akan jauh lebih bahagia." sesak dan air mata ini pun berjatuhan semakin deras.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
"Asalamualaikum, Bu Desi!" aku mengetuk pintu rumah Bu Desi dan mengucapkan salam.
Terdengar suara dari dalam membalas salamku.
Bu Desi membukakan pintu dengan senyuman ramahnya.
"Waalaikumsallm, mbak Ningsih!
Mari masuk!" sambut Bu Desi, dan kamipun duduk di kursi empuk milik Bu Desi diruang tamunya.
"Ini, Bu. Alhamdulillah uangnya sudah ada.
Maaf kalau terlambat dan jadi merepotkan!" kataku merasa tak enak, karena hanya aku saja yang belum melunasi.
"Alhamdulillah, saya terima ya mbak uangnya.
Gak papa kok, masih banyak yang belum bayar, duh kepala ini rasanya mau pecah. Padahal besok sudah harus dibagikan." keluh Bu Desi dengan wajah lesu.
"Aku kira cuma aku saja yang belum bayar, tapi ternyata masih ada yang belum juga ya Bu?
Semoga segera teratasi ya Bu, yang masih memiliki tanggungan segera melunasi." ucapku menanggapi keluhan Bu Desi.
"Iya mbak amiin.
Itu Bu Leni masih kurang banyak, hampir lima juta lebih, rasanya pusing, kalau sampai gak selesai malam ini, bisa bisa kena tegur semua ibu ibu!" sahut Bu Desi yang terlihat gusar.
Aku hanya tersenyum, tak berani menimpali, takut salah ucap dan berakhir tidak baik.
Setelah beberapa saat mengobrol, aku pun pamitan pulang, karena tidak mau terlalu banyak ikut campur urusan orang lain dan membicarakan mereka. Biarlah menjadi urusan mereka sendiri, aku tidak berhak mengomentari, karena hidupku sendiripun juga belum tentu luput dari omongan orang.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ On going ]
#Bidadari Salju [ On going ]
#Wanita Sebatang Kara { New karya }
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!